105
identitas etnis baik adat istiadat, nilai sosial budaya masyarakat Mandailing.
4.4.2 Penggunaan Adat Istiadat Dalam Siklus Kehidupan Seseorang
Adat istiadat adalah segala aturan, ketentuan, tindakan dan sebagainya yang sudah menjadi kebiasaan hidup secara turun temurun.
Indonesia dikenal dengan masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai suku, agama, ras dan golongan. Salah satu kota yang terkenal dengan
kemajemukannya yaitu Kota Medan. Wilayah ini didiami berbagai suku, agama, ras dan golongan yang mengarah pada multikultural.
Masing-masing kelompok etnik memiliki kebebasan untuk mengekspresikan identitas etnisnya masing-masing termasuk adat
istiadat, nilai sosial budaya masing-masing etnik, bahasa dan lainnya. Penggunaan adat istiadat dalam siklus kehidupan seseorang yaitu pada
pelaksanaan acara adat seperti: 1. acara kelahiran anak
2. upacara suka Siriaon yaitu prosesi pernikahan adat 3. upacara suka duka Siluluton
Sebagai contoh adat pada kelahiran anak yaitu setelah kelahiran anak ada acara mangupa yang berarti membuat pesta kelahiran sebagai
tanda kebesaran hati atas kelahiran anak tersebut. Hal ini sesuai yang dikatakan oleh Bapak Faizal Lubis yaitu :
“…..ya,.. upa-upa ataupun pesta kelahiran berarti tanda kebesaran hati. Jadi kalau lahir anak dari anak saya, yaitu lahir cucu saya,
ada kewajiban saya untuk memberikan parompa sadun. Jadi di Mandailing dikenal dengan Manjeir yaitu semacam puisi yang
Universitas Sumatera Utara
106
menceritakan sejarah anak ini lahir. Hasil wawancara 14 Agustus 2015
Penggunaan adat istiadat Mandailing dalam acara-acara tertentu,
sebagai gambaran bahwa adat budaya masih bisa dipertahankan walaupun hidup di wilayah perantauan. Hal ini menggambarkan bahwa
adat budaya telah tertanam dalam jiwa setiap masyarakat Mandailing sehingga jiwa Mandailing tersebut tidak akan hilangterhapus. Hal ini
sesuai dengan yang diungkapkan oleh Ibu Aida Fitri Tanjung yaitu: “...Anggo ia masih halak Mandailing, adat Mandailing
tetap di pake, jadi bope madung mangaratto tai jiwa Mandailing nai inda ra mapus...” Hasil wawancara 29
Mei 2015
Artinya: “....Selagi dia masih orang Mandailing, adat
Mandailing tetap dipakai, jadi walaupun sudah di rantau tapi jiwa Mandailingnya tidak akan terhapus...”
Hasil wawancara 29 Mei 2015
Dalam hal ini adat budaya yang sudah tertanam dalam jiwa masyarakat Mandailing tidak pernah terhapus sehingga ketika ada pesta
ataupun kemalangan mereka masih memakai adat budaya Mandailing. Dalam masyarakat Mandailing adat budaya yang sudah tertanam dalam
jiwa dikenal dengan surat tumbaga holing buku pedoman yang di dalamnya adat istiadat, budaya Etnis Mandailing dalam artian tidak
tertulis tapi sudah tertanam dalam jiwa. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Bapak Taufik Lubis yaitu:
“...kalau ada acara pesta ya jelas pakai adat Mandailing. Karena itulah dia ada surat tumbga holing na so ra sasa,
yaitu salah satu buku pedoman yang bernama tumbaga holing yang tidak pernah hapus, dalam buku ini
Universitas Sumatera Utara
107
termasuk didalamnya adat istiadat, budaya Mandailing. Artinya tak tertulis tapi sudah tertanam dalam jiwa,
walaupun tidak
tertulis tapi
kita tetap
bisa membacanya...” Hasil wawancara 27 Mei 2015
Adat istiadat Mandailing baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam upacara-upacara adat tertentu masih dipakai orang
Mandailing yang tinggal di perantauan. Adat istiadat masyarakat Mandailing yaitu markoum marsisolkot makna markoum adalah
berkaum atau famili dekat, meskipun ia dari orang yang jauh atau orang yang tidak pernah dikenal, sedangkan marsisolkot artinya mendekatkan
yang sudah dekat artinya masih satu marga atau satu suku dari satu nenek moyang. Adat istiadat ini telah dipakai baik dalam upacara
siriaon upacara suka cita ataupun upacara siluluton upacara duka cita. Adat istiadat ini dikatakan juga sebagai dalihan na tolu, dalihan
artinya batu tungku dan na tolu artinya yang tiga maksudnya ketiga batu ini menjujung satu wadah atau satu adat. Hal ini sesuai dengan
yang diungkapkan oleh Bapak Faizal Lubis yaitu: “....konsep orang Mandailing yaitu tempatkan sesuatu
pada tempatnya, di Mandailing apa itu tempatkan sesuatu pada tempatnya?, dalihan na tolu...” Hasil
wawancara 27 Mei 2015
Berdasarkan wawancara di atas bahwa dalihan na tolu yaitu mora keluarga dari pihak istri atau pihak pemberi istri, kahanggi kelompok
yang terdiri dari pihak kita sendiri yang bersaudara kandung dan ditambah dengan kelompok yang sesama satu marga, anak boru pihak
menantu laki-laki atau pihak penerima istri. Ketiga kelompok ini mempunyai kedudukan dan fungsi tertentu dalam struktur masyarakat
Universitas Sumatera Utara
108
hukum adat Mandailing. Setiap orang secara pribadi dapat memiliki tiga dimensi di dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat. Pada
suatu saat dapat menjadi kahanggi, pada saat lain sebagai anak boru atau dapat pula sebagai mora.
Dalam upacara-upacara adat Dalihan na tolu ini memegang peranan penting dalam menetapkan keputusan-keputusan, dan ketiga
unsur ini memiliki fungsi dan kedudukan yang berbeda-beda satu sama lain. Perbedaan kedudukan dan fungsi ini ditentukan oleh
kedudukannya apakah yang bersangkutan sebagai kahanggi, anak boru, atau mora. Jika ada salah satu unsur dari Dalihan na tolu tidak
berperan dalam sebuah acara adat, maka acara tersebut masih ada yang kurang atau tidak berjalan menurut hukum adat. Sehingga ketiga usnsur
ini saling membutuhkan satu sama lain. Sesuai dengan ynag di ungkapkan oleh Bapak Faizal Lubis bahwa konsep Dalihan na tolu
yaitu: “....somba mar mora hormat kepada mora, manat
markahanggi bijaksana kepada saudara, elek marboru harus diambil hatinya ataupun di bujuk....
” Hasil wawancara 27 Mei 2015
Dari hasil wawancara di atas dengan menerapkan konsep Dalihan na tolu tersebut dalam kehidupan sosial masyarakat Mandailing maka
setiap acara upacara adat setiap unsur akan melaksanakan perannya sesuai dengan fungsi dan kedudukannya.
Universitas Sumatera Utara
109
4.4.3 Penggunaan Marga