Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 232002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan, 2008.
USU Repository © 2009
BAB III PERTANGGUNGJAWABAN TINDAK PIDANA PAEDOFILIA DITINJAU DARI
KUHP DAN UU NO 232002 TENTANG PERINDUNGAN ANAK
A. Ketentuan Pidana Menurut KUHP
Kasus-kasus pemerkosaan akhir-akhir ini telah menimbulkan reaksi-reaksi sebagian masyarakat bahkan ketidakpuasan pun terhadap pidana yang telah
dijatuhkan, dimuat dalam media mass media. Selain daripada pemerkosaan dan pemidanaan terhadap pemerkosaan yang disorot, sering juga orang membicarakan
penanggulangan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Mengamati pandangan pendapat terhadap penanggulangan akibat tindak kekerasan seksual pada anak-anak
sebagai dimuat dalam Bab II KUHP, tampaknya masih kurang tepat jika hal tersebut dibebankan kepada aparat penegak hukum terutama selain dari kegiatan aparat
penegak hukum tersebut telah cukup padat, keahlian tersebut kemungkinan tidak dimiliki aparat penegak hukum tersebut.
KUHP Indonesia yang dijadikan acuan utama bagi kalangan praktisi hukum untuk menjaring pelaku kejahatan kekerasan seksual mengandung kekurangan secara
substansial dalam hal melindungi korban kejahatan. Korban dalam sisi yuridis ini tidak mendapatkan perlindungan yang istimewa.
Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 232002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan, 2008.
USU Repository © 2009
Dalam pembahasan ini penulis akan uraikan atau deskripsikan posisi korban kejahatan kekerasan seksual dalam perspektif hukum positif KUHP.
Tindak pidana perkosaan dalam KUHP dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: pasal 289 dan pasal 290. Disini penulis membahas pasal 289 sehubungan dengan
tindak pidana Paedofilia kekerasan seksual pada anak-anak. Dalam rumusan KUHP dirumuskan perbuatan perkosaan pada pasal 289 yang bunyinya sebagai
berikut : “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang
melakukan atau mebiarkan dilakukan pada dirinya perbuata cabul, dihukum karena merusakkan kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun”.
53
2a. barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, sedang diketahuinya atau patut disangkanya, bahwa umur anak orang iu belum cukup
15 tahun atau kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa orang itu belum masanya untuk kawin.
Sedangkan dalam pasal 290 berbunyi : 1a. barangsiapa melakukan perbuatan perbuatan cabul dengan seseorang, sedang
diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya.
54
Dari rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur yang harus ada untuk adanya tindak pidana Paedofilia adalah :1 barang siapa, 2 dengan kekerasan , atau
53
R. Soesilo, Op Cit, hal. 212
54
R.Soesilo, Loc, Cit.
Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 232002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan, 2008.
USU Repository © 2009
3 dengan ancaman kekerasan, 4 memaksa, 5 seorang wanita yang belum masanya kawin, 6 adanya percabulan.
Persepsi terhadap kata “cabul” tidak dimuat dalam KUHP. Kamus Besar Bahasa Indonesia memuat artinya sebagai berikut :
“ keji dan kotor, tidak senonoh melanggar kesopanan, kesusilaan.“ Yang dimaksud dengan perbuatan cabul ialah segala perbuatan yang
melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan lain yang keji dan semuanya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin.
55
55
R.Soesilo, Loc, Cit.
Sanksi hukuman berupa pemidanaan yang terumus dalam pasal 289 KUHP menyebutkan bahwa paling lama hukuman yang akan ditanggung oleh pelaku adalah
sembilan tahun. Hal ini adalah ancaman hukuman secara maksimal, dan bukan sanksi hukum yang sudah dibakukan harus diterapkan . Sanksi minimalnya tidak
ada, sehingga terhadap pelaku dapat diterapkan berapapun lamanya hukuman penjara sesuai dengan “selera” yang menjatuhkan vonis.
Jika kemudian dalam perjalanan sejarah penerapan pasal 289 oleh hakim, hanya ada beberapa kali putusan maksimal itu diterapkan, maka tidak semata-mata
bisa menyalahkan hakimnya, meskipun dalam visi kemanusiaan dan keadilan yang layaknya didapatkan korban, hakim telah bertindak diluar komitmen dan nilai-nilai
kemanusiaannya.
Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 232002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan, 2008.
USU Repository © 2009
1. Tentang unsur “barang siapa” dalam KUHP memang tidak ada penjelasan rinci. Namun kalau kita simak pasal 44, 45, 46, 48, 49, 50 dan 51 KUHP
dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan “barang siapa” atau subjek tindak pidana adalah ‘orang’ atau ‘manusia’. Bukti lain yang dapat diajukan
yang menunjukkan bahwa subjek tindak pidana adalah orang lain ialah: pertama, untuk penjatuhan pidana diharuskan adanya kesalahan atau
kemampuan bertanggung jawab dalam hukum pidana sebagimana yang diatur dalam pasal 10 KUHP hanya bermakna atau hanya mempunyai arti bila
dikenakan pada ‘orang’ atau ‘manusia’. Kalau dilihat dari luas sempitnya perbuatan pelaku maka yang termasuk
sebagai pelaku tindak pidana dalam sistem hukum pidana bukan hanya orang yang perbuatannya selesai tetapi juga termasuk mededaders turut
melakukan, medepleger
menyuruh melakukan, medeplichtigheid membantu melakukan dan uitloking membujuk atau menganjurkan.
56
56
Barita Sinaga,Varia Peradilan, IX ,1994,hal.157.
2. Yang dimaksud dengan ‘kekerasan’ adalah kekuatan fisik atau perbuatan yang menyebabkan oranglain secara fisik tidak berdaya tidak mampu
melakukan perlawanan atau pembelaan. Wujud dari kekerasan dalam tindak pidana Paedofilia antara lain bisa berupa perbuatan menindih, memegang,
melukai, mendekap dan lain sebaginya perbuatan fisik yang secara objektif dan fisik meyebabkan orang yang terkena tidak berdaya.
Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 232002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan, 2008.
USU Repository © 2009
Dalam tindak perkosaan, kekerasan ini dilakukan oleh pelaku sebagai upaya untuk mewujudkan maksud atau nitnya untuk bersetubuh dengan korban.
Sudah barang tentu ini dilakukan karena adanya pertentangan kehendak. Dalam kasus tindak pidana percabulan, berlaku prinsip semakin cepat kasus
dilaporkan dan tempat kejadian perkara diamankan, maka akan semakin besar untuk menangkap pelakunya. Untuk menentukan ada tidaknya sperma
dalam tubuh korban, paling lama visum dilakukan dua hari sejak terjadi perkosaan.
3. Ancaman kekerasan adalah serangan psikis yang menyebabkan orang menjadi ketakutan sehingga tidak mampu melakukan pembelaan atau
perlawanan atau kekrasan yang belum diwujudkan tapi menyebabkan korban yang sebagian besar anak-anak menjadi takut dan tidak punya pilihan lain
selain mengikuti kehendak orang yang mengancam dengan kekerasan.
57
5. Unsur yang dipaksa untuk bersetubuh adalah “wanita yang belum masanya untuk kawin” atau anak-anak dibawah umur atau seseorang yang umurnya
belum cukup 15 tahun. Terhadap “wanita yang belum dewasa” memerlukan perlindungan khusus sehingga setiap pria yang berniat bersetubuh dengan
4. Unsur ‘memaksa’ dalam pencabulan menunjukkan adanya pertentangan kehendak antara pelaku dengan korban. Sehingga tidak ada pencabulan
apabila tidak ada pemaksaan.
57
Lamintang, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1990, hal.113.
Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 232002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan, 2008.
USU Repository © 2009
wanita tersebut mengetahui dan memahami resiko yang lebih besar. Anak- anak wanita yang masih belum mengerti “hubungan seks”, dengan bujukan
sedikit uang. Mungkin telah mau membuka celana dalamnya dan mau disuruh tidur telentang sehingga tanpa paksaan si pria telah dapat
menyetubuhinya. 6. Untuk selesainya tindak pidana Paedofilia maka harus terjadi pencabulan
yang dilakukan pelaku kepada korban. Dalam arti tidak ada pidana Paedofilia jika tidak terjadi pencabulan dimana anak-anak sebagai korbannya.
Adapun tanda-tanda atau bukti yang dapat menguatkan bahwa telah terjadi persetubuhan atau penetrasi antara lain :
a. robeknya selaput dara hymen dalam hal anak-anak sebelum dicabuli
masih dalam keadaan perawan, bentuk robeknya selaput dara akan akan berbeda antara hibungan kelamin yang dilakukan paksa, umumnya
robekan hymen akan tidak beraturan bila korban berusaha untuk melawan.
b. Tanda kekerasan pada vagina vulva biasanya terjadi karena pelaku
membuka celana dalam korban atau memasukkan penisnya secara paksa dan tergesa-gesa, tanda kekerasan ini bisa berupa goresan kuku atau
tangan pelaku. c.
Sperma pelaku yang tertinggal dalam vagina.
58
58
Ibid, hal. 27.
Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 232002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan, 2008.
USU Repository © 2009
Perbuatan cabul sebagaimana dijelaskan pada KUHP adalah dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya :
1. Seorang laki-laki dengan paksa menarik tangan seorang anak perempuan dan menyentuhkan pada alat kelaminnya.
2. Seorang laki-laki merabai badan seorang anak laki-laki dan kemudian membuka kancing baju anak tersebut untuk dapat mengelus teteknya
dan menciuminya. Pelaku melakukan hal tersebut untuk memuaskan nafsu seksualnya.
59
59
W.A Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, Jakarta, Ghalia Idonesia,1982, hal.87.
Konsep mengenai tindak pidana Paedofilia atau kejahatan kesusilaan ini sebagaimana dalam RUU-KUHP sudah mulai ada kemajuan, terutama dari segi
ancaman sanksi hukuman yang akan dikenakan pada pelaku. Masing-masing kejahatan kesusilaan telah diancam dengan sanksi hukuman bersifat pemberatan.
Selain itu, dalam RUU-KUHP telah ada kemajuan mengenai penjatuhan hukuman secara berganda pada pelakunya, yaitu selain dijatuhi sanksi penjara, juga
dapat dijatuhi sanksi berupa denda yang sudah disahkan oleh pemerintah, yaitu denda Rp 300.000.000 juta rupiah bagi setiap pelaku Paedofilia yang tertangkap
sebagai ganti rugi terhadap anak-anak yang sudah dicabulinya. Meskipun demikian, ancaman hukuman itu masih belum bisa mengimbangi
ancaman hukuman yang digariskan hukum Islam. Padahal dalam hukum Islam, kalau kasus seperti itu yang terjadi, maka hukuman maksimumnya adalah hukuman mati.
Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 232002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan, 2008.
USU Repository © 2009
Idealnya, pembaharuan hukum yang hendak direncanakan sebagai bagian dari konsekuensi politik hukum di Indonesia ini, adalah dapat mengacu pada
kepentingan yang memfokuskan pada kepentingan masyarakat dan korban kejahatan.
B. KETENTUAN PIDANA MENURUT UU NO.232002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK