Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 232002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan, 2008.
USU Repository © 2009
laki, mereka tidak hanya membencinya, tapi juga takut menjalin relasi dengannya. Selain itu banyak lagi akibat-akibat yang dapat ditimbulkan antara lain yaitu :
1. Secara Hukum
Reaksi terhadap pelaku kekerasan seksual khusunya timbul dari kalangan wanita yang menganggap bahwa pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku kekerasan
seksual selama ini kurang memadai bila dibandingakan dengan jahatnya perbuatan pelaku yang sudah menghancurkan masa depan anak-anak yang menjadi korbannya.
KOWANI misalnya mendesak agar hakim yang mengadili pelaku kekerasan seksual menjatuhkan pidana yang lebih berat dengan dalih bahwa pidana yang berat
merupakan tindakan untuk menjerakan pelaku sekaligus agar pelaku Paedofilia lain tidak melakukan perbuatan yang sama.
39
“Kejahatan kekerasan seksual terhadap anak-anak, khususnya perkosaan disatu sisi dipandang sebagai kejahatan yang sangat merurugikan dan
mencemaskan, bukan saja para orang tua akan tetapi juga masyarakat dan kemanusiaan, namun di sisi lain terdapat realitas sosial-budaya yang justru
“menyuburkan” perkosaan seperti mitos-mitos yang berkaitan dngan jenis kelamin,”budaya hukum yang tidak adil”.
I.S. Susanto berpendapat :
40
“Dalam kasus perkosaan misalnya, posisi korban selalu berada pada pihak yang dilematis, karena kalau menuntut melalui jalur hukum pidana
mengundang konsekuensi selain sering berbelit-belit juga dia merasa malu kalau terpublikasi atau diketahui oleh tetangga dan masyarakat banyak.
Selain dari itu, sistem pemidanaan KUHP Indonesia tidak menyediakan Hal itu sejalan dengan pendapat Artijo Alkostar yaitu :
39
Abdul Wahid, Op Cit ,hal. 73.
40
Suparman Marzuki,dkk, pelecehan seksual, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1995, hal.127.
Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 232002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan, 2008.
USU Repository © 2009
pidana ganti rugi korban perkosaan, jadi posisi anak-anak berada pada posisi yang tidak diuntungkan sebagai korban kejahatan.
41
Hal itu dapat dipahami melalui pendapat Rahma Sugiharti yang menulis, “Dapat kita bayangkan, bagaimana mungkin seorang anak yang lugu dan polos dapat
bertahan bila selama pemeriksaan mereka kembali “ditelanjangi” dan harus mengulang kisah berikut rekontruksi aib perbuatan cabul yang dialaminya. Belum
lagi anak-anak yang menjadi korban pencabulan itu menjadi bulan-bulanan berita pers. Detail peristiwa perkosaan yang diekspose pers biasanya justru menjadi
semacam perkosaan baru yang tak kalah memalukan korban. Memang seringkali kita dihadapkan dengan sejumlah kasus yang
menunjukkan mengenai proses jalur hukum yang belum mampu menjembatani aspirasi pencari keadilan. Pihak penegak hukum belum mampu menjalankan
tugasnya secara profesional, sehingga mengecewakan dan merugikan korban kejahatan yang merindukan keadilan. Praktik peradilan di Indonesia belum
sepenuhnya memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap anak-anak. Pada tahap pemeriksaan terhadap korban kejahatan seperti korban perkosaan dilakukan
dengan tidak memperhatikan hak asasi korban. Sedangkan pada tahap penjatuhan putusan hukuman, korban kembali dikecewakan karena putusan yang dijatukan pada
pelaku cukup ringan atau jauh dari memperhatikan hak-hak asasi anak.
42
41
Ibid, hal. 166.
42
Bagong Suyanto dan Emmy Susanto, Wanita dari Suobordinasi dan Marginalisasi menjuju ke Pemberdayaan, Airlangga University Press Surabaya, 1996, hal.15.
Bahkan pers biasanya cukup gencar menjadikannya sebagai objek jual, yang kadang-kadang
Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 232002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan, 2008.
USU Repository © 2009
pemberitannya tidak memperhatikan perasaan, harkat dan masa depan si anak. Pihak korban lebih ditempatkan sebagai sasaran empuk untuk mencari keuntungan
ekonomi. Lidya Suryani W dan Sri Wurdani menyatakan :
“Berbeda dengan korban kejahatan konvensional lainnya, korban perkosaan mengalami penderitaan lahir maupun batin. Keputusan korban unuk
melaporkan kejadiaan yang menimpa dirinya pada pihak yang berwajib bukanlah keputusan yang mudah. Peristiwa yang begitu traumatik dan
memalukan harus dipaparkan kembali secara kronologis oleh korban. Belum lagi sikap dan perlakuan penegak hukum yang kadang memandang sebelah
mata terhadap korban. Prosedur pemeriksaan sejak penyidikan, penuntutan hingga pemeriksaan di pengadilan harus dilakukan oleh korban, sama seperti
korban kejahatan lain apabila memperjuangkan perlidungan hukumnya.
43
“Dapat dimengerti bahwa menjadi korban perkosaan merupakan derita yang luar biasa bagi seorang wanita. Proses peradilan pidana yang rumit akan sulit
untuk dapat dikatakan membantu si korban. Penderitaan si korban ditambah lagi dalam proses pemeriksaan perkara di pengadilan. Dengan adanya
tindakan si korban untuk melapokan tindak pidana dan pengajuan perkara oleh jaksa ke pengadilan, maka privasi korban akan diekspose didalam
sidang. Kriminolog Hankristuti Hankrisnowo mengemukakan :
44
“KUHP kurang memberikan perhatian terhadap korban kejahatan khususnya korban kekerasan seksual terhadap anak-anak sebagai pihak yang paling dirugikan
yang juga membutuhkan perlindungan terhadap hak-haknya yang telah dilanggar. Hal serupa juga ditegaskan oleh Lidya Suryani dan Sri Wurdani yang
berpendapat sebagai berikut :
43
Suparman Marzuki, Op Cit, hal. 193-194.
44
Bagong Suyanto, Op Cit, hal. 15.
Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 232002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan, 2008.
USU Repository © 2009
Perjalanan penderitaan yang panjang dalam proses peradilan pidana, lebih banyak berakhir dengan kepedihan. Hukuman yang dijatuhkan hakim terkadang terlampau
ringan jika dibandingkan dengan trauma yang diakibatkan oleh kekerasan seksual itu dalam kehidupan anak-anak yang menjadi korbannya sepanjang hayat. Ancaman
hukuman maksimal 12 tahun hanya menjadi sederetan kata-kata di dalam KUHP, karena rata-rata hakim menjatuhkan pidana kepada pelaku berkisar 5 bulan hingga 2
tahun penjara.
45
2. Secara Fisik