2.5. Mengurangi Risiko Bencana
Pembentukan Platform Nasional Pengurangan Risiko Bencana PRB sejalan dengan Kerangka Aksi Hyogo 2005-2015 yang telah disepakati oleh 168 negara,
termasuk Indonesia, dalam konferensi sedunia untuk Pengurangan Bencana di Kobe, Jepang pada bulan Januari 2005. Hal ini tercermin juga dalam visi penanggulangan
bencana yang bertujuan untuk membangun ketangguhan bangsa dan masyarakat terhadap bencana. Saat ini Indonesia telah menempatkan PRB sebagai salah satu
prioritas dalam pembangunan nasional dan menjadi bagian dalam proses perencanaan pembangunan Widjaja. 2009.
Terbitnya Undang-Undang. Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, merupakan suatu komitmen Pemerintah yang sangat jelas dalam menangani
kebencanaan di tingkat nasional maupun daerah, yang mencakup berbagai aspek yang bersifat terobosan di dalam pengelolaan dan penanganan masalah kebencanaan secara
lebih komprehensif dan berdimensi sistemik. Hal ini ditunjukkan dengan muatan dari undang-undang Nomor 24 tahun 2007, yang menjadi dasar hukum dalam penanganan
masalah kebencanaan, tidak hanya dalam penanganan kedaruratan, namun juga mencakup kesiapsiagaan menghadapi bencana, dan penanganan pemulihan
pascabencana dalam jangka menengah dan panjang Laporan Kinerja Pembangunan, 2009.
Salah satu turunan dari Undang-Undang Nomor 24 tahun 2004 adalah diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 8 tahun 2008 tentang Badan Nasional
Penanggulangan Bencana BNPB. Tugas dan tanggung jawab dari BNPB, selain
Universitas Sumatera Utara
dalam melakukan koordinasi penanggulangan bencana di tingkat nasional, namun juga memberikan dukungan peningkatan kapasitas bagi lembaga penanggulangan
bencana di tingkat daerah, serta berbagai upaya lainnya untuk meningkatkan kesiapsiagaan di tingkat nasional maupun daerah di dalam penanggulangan dan
pengurangan risiko bencana Laporan Kinerja Pembangunan, 2009. Undang-undang ini mengubah paradigma penanganan bencana dari semula
hanya ditangani pemerintah secara sentralistis, sektoral, dan lebih memfokuskan pada upaya responsif, menjadi tanggung jawab bersama seluruh pemangku kepentingan
yang didesentralisasikan di segala tingkatan secara multisektor serta penekananan pada pengurangan risiko bencana BappenasBPPN, 2009.
Kebijakan dan payung hukum terkait pengurangan risiko bencana sebagai turunan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
sangat diperlukan dengan alasan sebagai berikut: a.
Menjamin ketersediaan sumber daya dan kontinuitas pengurangan risiko bencana.;
b. Pemerintah memandang bahwa pengkajian risiko bencana merupakan suatu
isu utama dalam menyusun kebijakan bagi pengurangan risiko bencana; c.
Mengatur sistem peringatan dini guna meningkatkan efisiensi dan efektivitas kesiapsiagaan dan respon terhadap bencana;
d. Memberikan dasar bagi pemaduan pengurangan risiko bencana ke dalam
sistem pendidikan formal dan nonformal dalam upaya mengubah pola pikir,
Universitas Sumatera Utara
sikap dan perilaku dalam upaya mengurangi risiko bencana serta menjadikan upaya pengurangan risiko bencana menjadi budaya masyarakat;
e. Menjamin pengutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam pembangunan
yang berkelanjutan; f.
Menggalakkan sinkronisasi pengurangan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim mulai dari tingkat nasional sampai dengan komunitas guna
membantu meningkatkan efektivitas penggunaan sumber daya yang berkesinambungan;
g. Sebagai suatu negara hukum, maka apapun yang telah dan akan dilaksanakan
untuk pengurangan risiko bencana harus dapat dipertanggung jawabkan secara hukum;
h. Undang-undang tentang kebencanaan di Indonesia masih relatif baru dan
belum lengkap sehingga diperlukan upaya untuk. Penelitian Wahdiny 2008, tentang Tsunami Drill sebagai bagian penting dari
implementasi Sistem Peringatan Dini Tsunami Indonesia Ina-Tsunami Early Warning System, yang diinisiasi oleh pemerintah pusat sejak tahun 2005. Program
Tsunami Drill pada dasarnya ditujukan untuk menstimulasi peran serta masyarakat dalam pencapaian kesiapsiagaan terhadap bencana gempa bumi dan tsunami. Tetapi
sampai saat ini belum ada kajian yang mengevaluasi pelaksanaan program Tsunami Drill tersebut. Kajian yang bersifat evaluatif penting sebagai sarana pembelajaran dan
untuk membuat perbaikan-perbaikan di kemudian hari. Penelitian ini merupakan
Universitas Sumatera Utara
sebuah inisiatif untuk melakukan kajian evaluatif terhadap program Tsunami Drill, dengan mengambil Tsunami Drill Bali 2006 sebagai sebuah kasus.
Hasil penelitian Wahdiny 2008, menunjukkan bahwa implementasi Tsunami Drill Bali 2006, telah memberikan sumbangan terhadap upaya-upaya peningkatan
kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana gempa bumi dan tsunami. Khususnya sumbangan ini dalam bentuk pengetahuan dan ketrampilan baru, yang diseminasikan
ke masyarakat lokal. Tingkat partisipasi masyarakat dan pemerintah lokal cukup tinggi dalam pelaksanaan program tersebut, meskipun pelaksanaan Tsunami Drill
Bali 2006 telah memfasilitasi kerjasama dan kemitraan antara pemerintah lokal dan masyarakat lokal, masih terdapat pertanyaan berkenaan dengan keberlanjutan
kemitraan tersebut. Selain itu, indikator-indikator capaian yang diadopsi oleh program Tsunami Drill dapat dikatakan kurang memperhatikan peran penting dari
kearifan lokal, terutama kearifan lokal berkenaan dengan fenomena alam dan sikap masyarakat terhadap fenomena alam.
Rencana mitigasi bencana gempa bumi dapat meningkatkan cara pandang yang luas dan terintegrasi terhadap sistem pengurangan resiko bencana yang meliputi
beberapa elemen sebagai berikut: 1.
Identifikasi bencana dan kerentanannya serta evaluasi resiko bencana tersebut. 2.
Strategi pengurangan bencana yang bersumber dari wilayah dan dimiliki oleh pemegang kebijakan.
Universitas Sumatera Utara
3. Seperangkat peraturaan, perundang-udangan dan regulasi yang menyediakan
kerangka kerja yang komprehensif untuk interaksi antara berbagai organisasi dan insitusi yang berbeda.
4. Mekanisme koordinasi institusi yang kuat
5. Sistem yang solid untuk mengendalikan pemenuhan dan penguatan code dan
standar untuk konstruksi bangunan yang aman 6.
Perencanaan tataguna lahan dan permukiman yang menggabungkan kepedulian akan bencana dan pengurangan resiko.
7. Penggunaan peralatan komunikasi untuk pengurangan resiko akibat bencana yang
bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan bencana, pendidikan, pelatihan dan penelitian.
8. Manajemen kesiapsiagaan dan kedaruratan berdasarkan pada pemahaman resiko.
9. Kerjasama dan koordinasi antar kota dalam satu program mega city.
2.6. Kearifan Lokal dan Penanggulangan Bencana di Aceh
Masyarakat Aceh memiliki sejumlah kearifan lokal dalam penanggulangan bencana. Diantaranya, masyarakat Aceh memiliki institusi adat yang
bertangungjawab mengelola lingkungan dan memastikan tidak ada pengrusakan yang bisa menimbulkan bencana, seperti Institusi Adat : Ulee Seneuboek, Ketuha Uteun
yang menjaga pengelolaan hutan dalam pemukiman mereka dan Panglima Laot yang bertanggungjawab dalam mengatur penggunaan sumberdaya laut dan menjaga
kelestarian alam laut CSO - NAD, 2007.
Universitas Sumatera Utara
Pelaksanaan rangkaian penanggulangan bencana selama ini nampak kurang melibatkan masyarakat yang terkena bencana dan tidak memperhatikan potensi
masyarakat yang menjadi korban. Jika dicermati lebih jauh lagi, perlengkapan baku dalam kegiatan manajemen terdiri dari perlengkapan operasional yang mungkin aneh
buat masyarakat. Padahal, sangat mungkin, masyarakat setempat dengan kearifan lokal yang mereka warisi turun-temurun telah memiliki seperangkat alat yang lebih
tepat guna bagi mereka. Adalah kewajiban semua pihak untuk membuat masyarakat yang rentan lebih berkapasitas. Dengan tujuan, membuat masyarakat yang rentan
mampu mengatasi semua ancaman agar tidak menjadi bencana CSO - NAD, 2007. Menurut Yusuf 2007, di beberapa daerah, mitos serta kearifan lokal seputar
gempa masih terjaga kelestariannya hingga saat ini. Mitos dan kearifan lokal seputar gempa yang berkembang sebaiknya tidak hanya kita maknai sebagai kekayaan
khazanah budaya, melainkan dapat juga dijadikan sebagai bentuk peringatan dini dan antisipasi dalam menghadapi berbagai bencana kebumian yang ada. Contoh kearifan
lokal yang terbukti mampu menyelamatkan masyarakat dari bencana gempa di antaranya adalah rumah panggung, seperti rumah gadang yang berarsitektur
bagonjong di Sumatra Barat. Rumah panggung tersebut tetap berdiri tegak dan selamat meski gempa sering kali terjadi.
Contoh lain, kearifan lokal juga telah mampu menjadi peringatan dini yang efektif dan terbukti menyelamatkan banyak orang dari tsunami. Sebagaimana
kearifan lokal yang dikembangkan masyarakat Pulau Simelue. Sehingga ketika terjadi megatsunami pada 2004, ribuan manusia terselamatkan. Mereka belajar dari kejadian
Universitas Sumatera Utara
tsunami yang terjadi beberapa ratusan tahun silam dan mengembangkannya menjadi sistem peringatan dini. Teriakan semong yang berarti air laut surut dan segera lari
menuju ke bukit merupakan kearifan lokal yang melekat di hati setiap penduduk Pulau Simelue Yusuf, 2007.
Keberhasilan masyarakat Simeulue dalam menghadapi bencana smongtsunami kiranya dapat menjadi pelajaran penting bagi kita untuk mempelajari
kembali dan merevitalisasi kearifan-kearifan budaya lokal local wisdom. Kearifan budaya lokal tersebut secara kontinu dan simultan perlu dilestarikan, jika tidak maka
secara gradual akan terlupakan dan hilang. Upaya melestarikan pengetahuan tentang bencana alam melalui nafi-nafi, sayangnya tidak tersosialisasi. Terma smong sendiri
hanya dimiliki oleh masyarakat Simeulue, tanpa tersosialisasi kepada masyarakat di luar pulau itu. Seandainya seluruh masyarakat yang berdomisili di Aceh memiliki
pengetahuan itu, tentu saja korban manusia yang jatuh dapat diminimalisir secara drastis. Begitupun tentang terma yang digunakan, tentu bencana dahsyat pada 26
Desember 2004 itu akan dinamai dengan smong, bukan tsunami Abubakar, 2009. Lepas dari semua itu, kita patut belajar kepada masyarakat Simeulue atas
kepeloporan, konsistensi dan komitmen mereka dalam melestarikan pengetahuan melalui kearifan budaya lokal. Memang sekarang ada upaya-upaya yang dilakukan
ragam kalangan untuk mengingatkan masyarakat Aceh terhadap musibah smong, baik melalui tulisan berupa buku-buku, artikel jurnal, majalah, dan sebagainya. Ada
melalui pembangunan monumen dan museum tsunami. Bahkan yang paling anyar adalah peringatan dini bahaya tsunami tsunami early warning. Begitupun dengan
Universitas Sumatera Utara
peringatan tsunami yang digelar saban tahun dengan aneka paket kegiatan Abubakar, 2009.
2.7. Tokoh Masyarakat
Pengertian tokoh masyarakat menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1987 tentang Protokol adalah adalah seseorang yang karena
kedudukan sosialnya menerima kehormatan dari masyarakat danatau Pemerintah. Sedangkan menurut Donousodo 2008 tokoh masyarakat adalah seseorang yang
berpengaruh dan ditokohkan oleh lingkungannya. Penokohan tersebut karena pengaruh posisi, kedudukan, kemampuan, dan kepiawaiannya. Oleh karena itu, segala
tindakan, ucapan, dan perbuatannya akan diikuti oleh masyarakat di sekitarnya. Di dalam operasionalisasi, dikenal dengan dua sebutan bagi tokoh
masyarakat, yaitu tokoh masyarakat formal dan tokoh masyarakat informal. Tokoh masyarakat formal adalah seseorang yang ditokohkan karena kedudukannya atau
jabatannya di lembaga pemerintahan. Misalnya ketua RT, ketua RW, kepala desa, lurah, camat, dan lain-lain. Tokoh masyarakat informal adalah seseorang yang
ditokohkan oleh masyarakat di lingkungannya akibat dari pengaruhnya, posisinya, dan kemampuannya yang diakui masyarakat di lingkungannya, yaitu:
1 Tokoh agama: seseorang yang ditokohkan karena kemampuan dan kepiawaiannya di bidang keagamaan.
Universitas Sumatera Utara
2 Tokoh adat: seseorang yang ditokohkan oleh masyarakat di lingkungannya karena kemampuan dan kepiawaiannya di bidang adat dan kebudayaan, yang saat ini
populer disebut kearifan lokal. 3 Tokoh perempuan: seseorang yang ditokohkan karena kemampuannya, dan
suaranya dapat mewakili suara perempuan. 4 Tokoh pemuda: seseorang yang ditokohkan karena kemampuannya dan suaranya
dapat mewakili pemuda. Jadi, tokoh masyarakat informal adalah seluruh tokoh masyarakat yang diakui
karena kedudukan, kemampuan, keahlian, maupun kepiawaiannya di bidang tertentu yang diakui oleh masyarakat di lingkungannya.
Menurut Basri 2006, tokoh masyarakat adalah orang yang memiliki 5 faktor yang mempengaruhi kearifan di tengah masyarakat, yaitu: 1 kondisi spiritual-moral;
2 kemampuan hubungan antar manusia; 3 kemampuan menilai dan mengambil keputusan; 4 kondisi personal; dan 5 kemampuan khususistimewa. Dengan
demikian seorang tokoh masyarakat dapat ditinjau dari faktor-faktor yang berorientasi ke dalam diri pribadi mereka maupun dari faktor-faktor yang berorientasi ke luar,
yaitu keberhasilan berhubungan sosial dengan orang-orang lain. Peran tokoh masyarakat dalam mendukung pengembangan kemampuan
masyarakat dalam pengurangan risiko bencana alam gempa bumi akan lebih berdayaguna apabila didukung sistem kelembagaan di masyarakat. Menurut
Rissalwan 2007, kelembagaan lokal di tingkat akar rumput dalam hal penanggulangan bencana sesungguhnya dapat menjadi aktor yang berperan vital
Universitas Sumatera Utara
dengan membentuk rangkaian jembatan yang berkonstruksi jaringan koordinasi lembaga-lembaga lokal. Keadaan ideal inilah yang merupakan pertanyaan apakah
keterlibatan institusi lokal dapat membentuk rangkaian yang sinergis dan terkoordinasi Atau lembaga tersebut berjalan sendiri-sendiri guna mendapatkan
popularitas dan menambah modal. Sehingga tidak ada aktor pengorganisir lembaga dan bertanggung jawab atas penanggulangannya. Dengan adanya kelembagaan lokal
sebagai kekuatan sumber daya masyarakat seharusnya hal ini dapat dimanfaatkan guna mengatasi bencana yang sering terjadi dan akan terjadi. Sehingga diperlukan
sinergisme kelembagaan lokal masyarakat guna penanggulangan bencana yang terkoordinasi di tingkat kelembagaan komunitas akar rumput, baik itu sebelum
bencana, saat bencana, dan setelah bencana. Kriteria tokoh masyarakat dalam penanggulangan bencana menurut penelitian
Irsyadi 2008, tentang pemberdayaan masyarakat dalam program rehabilitasi dan rekontruksi korban tsunami di Desa Meuraksa Kecamatan Blang Mangat Kota
Lhokseumawe, menyatakan bahwa tokoh masyarakat merupakan orang yang memahami betul kondisi dan tanggapan masyarakatnya terhadap penanganan bencana
yang dihadapi sehingga dapat memberikan informasi tentang bagaimana penilaiannya tentang penanganan bencana tersebut.
Dalam manajemen risiko bencana berbasis masyarakat, keterlibatan langsung pemuka masyarakat dalam melaksanakan tindakan-tindakan peredaman risiko di
tingkat lokal adalah suatu keharusan. Keikutsertaan dan keterlibatan pemuka masyarakat digunakan secara bergantian, yang berarti bahwa pemuka masyarakat
Universitas Sumatera Utara
bertanggung jawab untuk semua tahapan program termasuk perencanaan dan pelaksanaan. Pada akhirnya, ujung dari partisipasi pemuka masyarakat dalam
penanggulangan bencana adalah penanggulangan bencana oleh pemuka masyarakat itu sendiri.
Pengalaman dalam pelaksanaan penanggulangan bencana yang berorientasi pada pemberdayaan dan kemandirian pemuka masyarakat akan merujuk pada:
1 Melakukan upaya pengurangan risiko bencana bersama komunitas di kawasan
rawan bencana, agar selanjutnya komunitas mampu mengelola risiko bencana secara mandiri
2 Menghindari munculnya kerentanan baru dan ketergantungan komunitas
di kawasan rawan bencana pada pihak luar. 3
Penanggulangan risiko bencana merupakan bagian tak terpisahkan dari proses pembangunan dan pengelolaan sumberdaya alam untuk pemberlanjutan
kehidupan komunitas di kawasan rawan bencana. 4
Pendekatan multisektor, multi disiplin, dan multi budaya.
2.8. Partisipasi Masyarakat dalam Penanggulangan Bencana