Melalui pemikiran Saussure tersebut, Barthes menjelajahi dengan tekun segala kemungkinan dari linguistik modern strukturalisme untuk membangun teori
mitosnya kelak. Akan tetepi, sejak awal, ia meniatkan penjelajahannya itu ditapakinya ke wilayah yang lebih luas, signification other than language.
56
Apa yang digagas oleh Saussure mengubah model berpikir dalam ilmu-ilmu sosial. Meski demikian,
bahasa tetap menjadi pijakan, atau barangkali juga model sistem penandaan di luar bahasa. Cara pandang baru atas bahasa ini membuat Barthes terpesona dalam
penelitian-penelitiannya kelak, terutama sebagai kritik ideologi. Dalam bukunya, Mythologies 1957, untuk kepentingan analisa terhadap
mitos-mitos yang dipublikasi di berbagai media, sebenarnya Barthes sudah membahas semiologi. Karena mitos, kata Barthes, adalah bagian dari kajian semiologi. Beberapa
istilah kunci semiologi telah diurainya secara detail. Namun, penjelasannya masih terbatas pada konsep yang sejauh menunjang analisanya atas mitos.
Baru pada tahun 1964, melalui bukunya Elements of Semiology, Barthes memaparkan beberapa konsep kunci teori semiologinya. Tepatnya, buku itu lebih
berupa ulasan atas kemungkinan teori semiologi Saussure dan para penerus dengan perkembangannya. Buku ini dipersiapkan sebagai bahan mata kuliah di mana dia
mengajar. Akan tetapi, ternyata buku ini juga menjadi momen bagi Barthes untuk membangun teori untuk mendekati persoalan-persoalan kebudayaaan secara luas.
Pendek kata, kita akan melihat bagaimana mitos dalam pandangan Barthes dengan memahami landasan teori yang dipakainya. Oleh karenannya, membahas konsep-
konsep kunci akan dibicarakan terlebih dahulu.
2. LangueParole
56
Roland barthes, Element of Semiology, London: Jonathan cape, 1967, h. 95
Pertama-tama Barthes membahas soal pembedaan antara bahasa langue dan wicara parole. Sebagai seorang Saussurean, Barthes setuju akan dua istilah ini.
Bahasa langue adalah pranata sosial dan sistem nilai. Sebagai pranata sosial, bahasa merupakan ciptaan masyarakat bersama dan bukan oleh individu. Bahasa ini harus
diterima oleh seluruh lapisan masyarakat dan sifatnya otonom, memiliki aturannya sendiri. Sebagai sistem nilai, bahasa memiliki unsur-unsur yang dapat dipertukarkan
dan dibandingkan. Sebagai pranata sosial dan sistem nilai, bahasa menjadi sesuatu yang objektif, berada di luar dan memaksa manusia untuk berujar sesuai dengan
bahasa yang ada. Sementara itu, wicara parole merupakan tindakan individu dalam memilih
dan mengaktualisasikan pilihannya dari bahasa yang tersedia. Melalaui bahasa, memungkinkan individu mengungkapkan subjektivitasnya. Dengan bahasa
sebagaimana dijelaskan di atas, orang secara individu dapat memakainya sesuai dengan kebutuhan pribadi. Bahasa sebagaimana dipakai ini disebut wicara yang
disipiakan oleh pilihan-pilihan pribadi. Pembedaan dua kategori Saussurean ini disepakati oleh Barthes. Hanya saja,
melalui dua konsep ini Barthes mengembangkan keduanya ke arah non-verbal yang lebih luas. Karena tidak ada lagi istilah yang lebih baik dari dua istilah ini, Barthes
tetap mempertahankannya untuk sistem tanda yang lebih luas tadi. Misalnya, dalam perkembangan mode. Struktur antara bahasa dan wicara ini berlaku. Sederetan
rancangan busana yang tersedia dalam buku-buku mode dilihat sebagai bahasa, berupa sistem mode yang sedang berkembang. Jatuhnya pilihan pada mode tertentu
merupakan wicara dalam struktur mode tersebut. Di samping itu, Barthes juga mengidentifikasi pada sistem mobil, sistem makanan, sistem pakaian dan sebagainya
yang meruapakan bagian dari sistem tanda yang non-verbal. Perhatian Barthes sistem
bahasa non-verbal karena keyakinannya bahwa semiologi bisa mempelajari other than language.
57
Bila sistem bahasa yang dihubungkan melalui sistem relasi antar langue, wicara pun demikian. Selain pilihan yang disediakan bahasa beragam, wicara sendiri,
bagi Barthes, tidak terbatas dalam bentuk oral. Wicara juga bisa diaktualisasikan melalui tulisan, gambar, foto, gestur tubuh, film, dan seterusnya. Sistem tanda yang
tersedia dalam bahasa tidak terbatas pada oral sebagai sistem pemaknaan. Akan tetapi, tentu saja pilihan-pilihan beragam bentuk wicara ini tetap mengacu pada sistem
langue yang berlaku. Dalam ilmu sosial kemanusiaan, pemisahan antara bahasa dan wicara ini
memiliki peran yang cukup signifikan. Yang agak mengherankan, seperti kita tahu, Saussure terispirasi dari konsep “fakta sosial” dalam sosiologi yang digagas oleh
Durkheim. Justru pemisahan antara bahasa dan wicara ini tidak banyak mendapat perhatian dalam bidang sosiologi. Jika di ranah sosiologi tidak mendapat perhatian,
pemisahan langueparole ini diapresiasi oleh tradisi filsafat di Prancis waktu itu. Misalnya, kata Barthes, pemisahan antara speaking speech dan spoken speech dari
Merleau-Ponty. Begitu juga dalam antropologi seperti yang dipraktekan oleh Levi- Strauss.
58
Ini membuktikan bahwa pemisahan antara bahasa dan wicara ini masih dipertahankan Saussure sebagai konsep dalam perkembangan teori kemanusiaan
hingga kini. Termasuk Barthes dalam menganalisa sistem kebudayaan di luar bahasa: mode, makanan, iklan, film dan lain sebagainya.
3. Tanda Sign, Penanda Signifier dan Petanda Signified