Bahasa Agama sebagai Sistem Semiologi

BAB IV MITOLOGISASI BAHASA AGAMA

DARI KACA MATA SEMIOLOGI ROLAND BARTHES

A. Bahasa Agama sebagai Sistem Semiologi

Pada bab ini, penulis akan mencoba menerapkan analsis mitis Barthesian pada bahasa agama. Bahasa agama, sebagaimana bahasa lain, merupakan mangsa paling empuk bagi sistem mitis. Karena tanda pada bahasa agama menggunakan metafor yang selalu polisemi. Tentu teori mitos yang akan dipakai di sini adalah mitos Barthesian yang mengurainya melalui jalur analisis sinkronis 81 formal sekaligus diakronis historical. Secara semiologis, bahasa agama dikupas dalam bentuk, dan secara ideologis mengungkap ide-ide. Sebelum kita mengurai lebih lanjut mitologisasi bahasa agama melalui kaca mata semiologi Barthesian, ada baiknya kita tengok sejenak definisi umum bahasa agama. Bahasa didefinisikan sebagai 1 sistem lambang bunyi berartikulasi yang dihasilkan oleh alat-alat ucap yang bersifat sewenang-wenang dan konvensional yang dipakai sebagai alat kemunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran; 2 perkataan-perkataan yang dipakai oleh suatu bangsa suatu bangsa, daerah, negara, dst 82 . Definisi pertama akan digunakan karena ada kemiripan dengan gagasan Saussure tentang langue yang adalah khazanah tanda. Tanda itu terdiri dari penanda dan petanda, yang ditandai dengan sifatnya yang arbitrer dan konvensional. 81 Diakronis adalah pola penelitian bahasa berdasarkan urutan waktu, atau dalam sejarahnya. Sementara sinkronis lebih pada struktur kebahasaanya, lepas dari sejarahnya. 82 Deparatemen Pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar bahasa indonesia, jakarta: bali Pustaka, 1988 h, 66-67 Sementara religion agama berasal dari bahasa latin religio. Secara kebahasaan religion ini berkaitan dengan ketaatan yang sungguh-sungguh akan kewajiban ritual dan rasa takjub terhadap yang gaib. Intinya agama selalu diasosiasikan dengan Tuhan. 83 Namun, Tuhan tidak hanya sebagaimana dimengerti oleh tiga agama besar Yahudi, Kristen dan Islam, melainkan segala macam kepercayaan terhadap realitas yang tran-historis. Bila digabung keduanya, bahasa agama, menurut definisi umum berarti sistem bahasa arbitrer yang dijadikan alat komunikasi seputar hubungannya dengan realitas yang tran-historis, transenden. Komaruddin Hidayat dalam bukunya, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutika 1996 mendefinisikan bahasa agama sebagai bahasa yang berkaitan dengan ungkapan tentang Tuhan, kalam Tuhan kitab Suci dan ritual keagamaan. Pertama, ungkapan yang menggambarkan relitas metafisik. Oleh karena bahasa manusia tidak mungkin mencapainya, untuk mengatasi ketakmungkinan itu, ungkapan tentang Tuhan mengenai Tuhan harus diungkapkan dalam kerangka analogis atau metafora. Bahasa manusia akan mampu mendekati pemahaman tentang realitas metafisik, termasuk Tuhan, asalkan bahasa yang digunakannya berupa analog- analog. Melalui analogi diharapkan kehadiran yang metafisik tersebut bisa dirasakan sebagai yang transenden. Kedua, kalam Tuhan, dalam hal ini kitab suci. Dari awal hingga akhir tulisan dan bacaan dalam kitab suci adalah firman Tuhan. Soal bahasa manusia yang historis? Bahasanya boleh historis, maknanya universal. Di sini juga agar kita bisa menghindari kesalahpahaman, harus dibaca juga sebagai metafor. Terakhir, ritual. Bahasa agama tidak hanya terbatas pada bahasa oral, melainkan juga 83 Religion, Microsoft ® Encarta ® 2006 bahasa tubuh dan isyarat. Dalam hal ini ritual dalam bentuk gerak tubuh atau isyarat merupakan bahasa agama. Setiap agama bahasa isyarat ini akan dapat ditemukan. 84 Hermeneutik yang diajukan oleh Komaruddin ini mengandaikan iman yang begitu kuat, sehingga menafsir kehendak Tuhan selalu disertai beban iman. Beban karena ada batas-batas yang jika dilampaui akan dicap sebagai tidak iman kafir. Sebagai sikap atau hasil akhir dari penelitian, iman terhadap kitab suci verbal dan maknanya dari Tuhan adalah pilihan. Tidak ada masalah. Akan tetapi, kalau menjadi bagian dari metode, akan melahirkan makna eksklusif dan sinis terhadap pendekatan lain yang memaknai dengan cara lain. Terlebih mengalihkan makna yang membuat peneliti mengambil sikap tidak iman, sebagai pilihan. Lalu apa yang dimaksud dengan “pemahaman yang benar”, atau objektif? Jika demikian, mungkinkah yang objektif berdasar pada yang subjektif, atau iman? Meski demikian, definisinya tentang bahasa agama bisa diterima. K. Bertens melalui salah satu aritikelnya Masalah Bahasa Religius dalam buku Panorama Filsafat Modern 2005 membicarakan bahasa religius agama dalam perdebatan filsafat bahasa. Bahasa agama yang dipersoalkan oleh kalangan tradisi filsafat bahasa adalah logis tidaknya bahasa religius. Jadi perdebatan yang muncul bukan unsur teologis, seperti mempersoalkan eksistensi Allah dan seterusnya. Yang mereka perdebatkan bahasa pemakaian bahasa teologis. Ini artinya, dalam prakteknya, apakah bahasa teologis agama absah menurut filsafat analitik? Secara umum filsafat analitik periode awal menganggap bahwa bahasa agama tidak bermakna. Bukan berarti bahasa agama sebagai omong kosong nonsensical, melainkan bahasa agama tetap berguna untuk hidup pribadi si penutur. Ucapan teologis tidak memiliki isi faktual, tidak dapat diverifikasi. Baru pada periode 84 Komaruddin hidayat, Menafsir Kehendak Tuhan, jakarta: Teraju, 2003 h, 6 Wittgenstein II yang merumuskan teori language game 85 . Teori ini memungkinkan di kalangan analitik bahasa teologis bermakna di dalam permainannya sendiri. 86 Agama yang dimaksud dalam tulisan ini adalah seluruh agama yang pernah ada di jagat raya, baik agama langit atau bumi. Agama apapun di dunia ini memiliki bahasa untuk mengomunikasikan gagasan-gagasannya. Dalam perngertian inilah terma bahasa agama akan dibongkar sistem tandanya. Secara semiologis, sebagaimana bahasa lainnya, merupakan bahasa agama yang memiliki struktur antara langue dan parole. Setiap agama memiliki langue, berupa perangkat bahasa yang memungkinkan pemeluknya bertutur dan beribadah. Sementara parole, sebagai respon individual atau kelompok, berupa pemaknaan atau ritual akan melestarikan keberadaan agama tersebut. Tanpa salah satunya, tidak ada agama. Seperti juga sudah kita tahu bahwa langue adalah khazanah tanda. Jadi kita akan membahas bahasa agama dari unit terkecilnya: tanda. Tulisan ini merujuk pada objek materi yang sama dengan apa yang dikemukakan oleh Komaruddin dan para filsuf analitik, yakni bahasa agama religius. Akan tetapi, cara mendekatinya berbeda. Cara pandang yang akan menjadi kaca mata dalam mengupas bahasa agama di sini menggunakan semiologi Barthesian. Seluruh tanda sebagai unit terkecilnya diurai melalui dikotomi sign antara signifier dan signified. Kaca mata semiologi ini tidak mempersoalkan apakah kata memiliki rujukan objektif atau tidak. Kata Tuhan misalnya, untuk memverifikasi adakah rujukan objektif—dalam pengertian positivisme yang melulu indrawi— keberadaannya, tidak akan dapat ditemukan, sebagaimana sulitnya—untuk tidak 85 Language game adalah teori yang dilahirkan oleh Wittgenstein untuk menjelaskan bahwa masing-masing jenbis ungkapan dalam berbahasa akan bermakna sesuai dengan permainannya masing- masing. Bahasa resmi, atau dalam hal ini bahasa islmiah, memiliki aturan masinnya sendiri. sementara, bahasa lainnya, misalnya bahasa agama, juga memiliki aturan mainnya juga. Sehingga bahasa resmi tidak bisa menilai aturan main pada permainan bahasa lainnya. Lih. Bartens, Panorama Filsafat Moderen, jakarta: Teraju, 2005, h,184 86 Ibid, h. 167-189 mengatakan tidak mungkin—orang membuktikan ke-tidak-ada-an Tuhan. Analisis semiologi, melalui penelusuran signifier, signified dan sign, kata Tuhan bisa bermakna. Citra akustik “Tuhan” sebagai signifier, konsep mental Tuhan sebagai khalik menjadi signified-nya, dan kemudian, kata “Tuhan” secara semiologi sudah sempurna menandakan Tuhan yang bermakna. Tulisan ini juga tidak membahas apakah kitab suci konstruk manusia nabi atau benar-benar datang dari Tuhan. Dalam agama Islam misalnya, perdebatan ini sudah mewarnai pemikiran teologi. Bahkan telah memakan korban jiwa yang cukup banyak. Di sini yang akan dibicarakan adalah bahasa agama yang kini dikonsumsi. Kitab suci di tangan penganut-penganutnya hari ini. Pemaknaan atas teks suci atau keagamaan lainya tidak pernah abstrak, ia selalu dipenuhi situasi dan kondisi tertentu. Kendatipun mengklaim dirinya memahami makna literalnya, tapi proses pemaknaan tidak akan pernah lepas dari situasi masyarakat di mana bahasa agama itu dikonsumsi. Letak perbedaan bahasa agama dengan bahasa lainnya: tanda yang tampil adalah wacana keagamaan; dari ritual hingga hubungan sosial yang dilegitimasi oleh wacana agama. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan bercampur-baur dengan bahasa wacana lainnya; malah berkelindan dalam rajutan relasi antar tanda sehingga kemudian membentuk langue suatu masyarakat. Misalnya, budaya, politik, ekonomi, dan sebagaianya. Jadi, dalam hal ini bahasa agama yang dibicarakan di sini, sebagaimana telah dirumuskan Komaruddin di atas, terkait erat dengan ungkapan tentang metafisik, kitab suci, dan ritual, baik vetikal maupun horizontal, pada ranah politik, sosial, ekonomi, dan lain-lain. Secara mental, bahasa agama dapat dimengerti, meski tidak masuk akal 87 . Karena ia terdiri dari penanda dan petanda yang menyatu dalam tanda. Jika bunyi bahasa tidak memiliki konsep, ia hanya igauan belaka. Begitu juga dengan konsep tanpa penanda, tidak akan pernah terungkap ke permukaan. Artinya, bahasa agama bagian dari bahasa manusia yang dapat diurai secara semiologis. Misalnya, kejadian Isra’ Mi’raj nabi Muhammad. Kejadian itu tidak masuk akal pergi ke langit dalam waktu semalam. Akan tetapi, disampaikan melalui bahasa, kejadian itu dapat dicerap oleh mental pendengarnya. Penanda signifier dalam bahasa agama juga tidak hanya terbatas pada bahasa oral. Penanda juga bisa tampil dengan tulisan, gambar, foto, kaligrafi, patung, dan seterusnya. Sebagai contoh, tulisan kaligrafi merupakan penanda bagi konsep atau petanda tulisan indah tersebut. Begitu juga film yang memperlihatkan wacana agama. Tanda pada dirinya, menurut Barthes, memang sudah polisemi. Terlebih tanda keagamaan yang selalu menggunakan metafor sebagai tanda. Kekayaan makna ini menjadi lahan subur juga buat tumbuh dan berkembangnya pertarungan perebutan makna berdasarkan ideologi masing-masing. Akan tetapi kekayaan dua unsur ini baru pada level sistem tanda tingkat pertama. Bahasa agama adalah sistem tanda yang paling empuk menjadi mangsa mitos. Begitu juga proses pemaknaan bahasa agama tidak lepas dari hubungan antar tanda melalui paradigmatik dan sintagmatik. Hubungan paradigmatik adalah hubungan dengan tanda di luar dirinya yang sekelas. Hubungan semacam ini terjadi karena tanda yang kita ungkapkan memiliki padanannya secara virtua. Misalnya, kata infaq, ada hubungan dengan tanda lain yang sekelas namun virtual atau absen, 87 Masuk akal di sini mengacu pada pandangan orang awam yang sudah didominasi oleh logika positivisme. Masuk akal artinya, hal yang tidak dapat dicerap oleh akal positivisme, dianggap tidak mungkin bermakna. Sementara penelusuran bahasa, memungkinkan kebermaknaanapapun asalkan masih dalam sistem bahasa atau langue yang ada. shadaqah. Sintagmatik adalah hubungan yang bisa terjadi bila berkaitan dengan tanda yang mendahului atau di belakangnya. Model ini memungkinkan pemaknaan dengan menghubungkan kata infaq dengan kata lainnya dalam kalimat. Misalnya, “infaq dapat mengurangi kemiskinan di indonesia”. Hubungan “infaq” dengan kata “mengurangi”, “jumlah”, “kemiskinan”, dst., adalah hubungan sintagmatik. Rumusannya: Sintagmatik Infaq dapat mengurangi kemiskinan di Inonesia Zakat Paradigmatik Shadaqah Oleh karenanya, bahasa agama pada akhirnya tidak selalu netral. Ia berpihak pada konsep di mana bahasa agama dipakai. Konsep ini adalah hasil abstraksi dalam bahasa dalam sistem masayarakat tertentu. Hanya saja kita harus jeli dalam menangkap konsep tersebut. Karena pertukaran konsep terjadi, terutama di zaman kita sekarang begitu cepat dengan bantuan teknologi informasi yang canggih. Oleh sebab itu, menangkap kode atau konsep bahasa agama yang sudah berubah mengandaikan pengetahuan peneliti kode potensial dalam kelompok masyarakat tertentu. Di sanalah mitos dan ideologi merasuki bahasa agama dan membuat ideologi sebagai esensi abstrak. Tanda dalam bahasa agama memang tidak pernah tunggal. Buktinya, Muhammad Khalafullah, dalam bukunya al-Qur’an Bukan Kitab Sejarah 2002, mengatakan bahwa teks kitab suci berupa cerita masa lalu tidak bisa dipahami sebagai sejarah karena al-Quran tidak pernah menunjukan waktu dan tempat secara terperinci. Makna yang harus diambil dari kisah-kisah dalam al-Quran menurut Khalafullah adalah teks-teks tersebut mengandung makna psikologis di mana cerita itu turun 88 . 88 M. Khalafullah, Al-Quran Bukan Kitab Sejarah, terj. Juhairi Misrowi, Jakarta: Paramadina, 2002, h. 15-16 Contoh ini hanya untuk menunjukan bahwa makna teks kitab suci agama tidak bisa dibaca secara literal semata karena ia meruapakan tanda yang polisemi.

B. Sistem mitis dalam Bahasa Agama