Tujuan Pembahasan Kajian Pustaka

C. Tujuan Pembahasan

Harapan penulis, ada tiga tujuan yang hendak dicapai karya yang berada di tangan Anda ini. Pertama, pembaca sadar akan status bahasa agama dan mitos di tengah masyarakat dewasa ini. Di sini pembaca diajak menyelami kedalaman makna yang terkandung dalam bahasa agama dan mitos. Sehingga apa yang kita yakini sebagai bahasa agama dan mitos mendapat pendasaran yang kuat. Kedua, paparan yang clear mengenai bahasa agama dan mitos dapat menumbuhkan konsepsi baru. Melaluinya, kita bisa lebih adil menghadapi keduanya sebagai fakta sosial, yang mau tidak mau hadir di tengah-tengah kita. Ketiga, akhirnya pemahaman baru dari karya ini tentang mitologisasi bahasa agama dapat menumbuhkan pandangan moral yang jelas. Karena dalam bahasa agama, baik-buruk dipertaruhkan. Pengertian yang buram tentangnya akan melahirkan sistem nilai yang buram pula. Begitu juga sebaliknya.

D. Kajian Pustaka

Dalam penelusuran penulis, Komarudin Hidayat, seorang professor Filsafat di UIN Jakarta yang kini menjabat sebagai Rektor, telah menulis buku yang berjudul Memahami Bahasa Agama dan Menafsir Kehendak Tuhan. Dalam dua bukunya bahasa agama mendapat perhatian khusus. Akan tetapi, bahasa agama didekati dengan menggunakan pendekatan filsafat bahasa Wittgenstein 1889-1951. Ini berbeda dengan apa yang akan saya bahas dalam skripsi ini. Karena Komaruddin menggunakan pendekatan Wittgensteinian, dengan begitu pembahasannya kemudian terfokus pada bagaimana bahasa beroperasi dalam language game tertentu; bagaimana wahyu ditafsir dalam bahasa agama beroperasi dalam budaya tertentu. Bahasa agama hanya dibahas pada level tata bahasa, tidak pada struktur. Konsekuensinya, membincang bahasa agama berarti mencari manfaat pragmatis dari bahasa agama yang ada. Sementara skripsi yang ada di hadapan Anda lebih terfokus pada bahasa agama dalam analisa semiologi. Analisa ini ingin mengurai bahasa pada struktur dengan analisa semiologi yang dikembangkan oleh Roland Barthes, yang dalam buku Komaruddin tidak masuk, bahkan tidak ada dalam daftar indeks. Ini berarti Roland Barthes tidak pernah dikutip sekalipun dalam buku itu. Begitu juga dengan K. Bertens dalam bukunya, Panorama Filsafat Modern memuat satu bab mengenai bahasa religious agama. Akan tetapi, di sana ditulis dalam rangka memaparkan perkembangan filsafat analitik dalam melihat bahasa agama. Di dalamnya tidak menyinggung perbandingan bahasa agama ini dengan mitos. Hanya memaparkan bahasa agama berdasarkan periode dalam perkembangan filsafat analitik di Inggris dan sekitarnya. Meski demikian, dua buku di atas sangat membantu dalam menelusuri kajian skripsi ini. Kemudian pada tahun 1998, Rony Subayu, mahasiswa Tafsir Hadits menyelesaikan S1 dengan judul “al-Quran sebagai Narasi Mitis: Konsep Mitis Roland Barthes sebagai Metode Tafsir”. Hanya saja dalam tulisannya, analisa Barthesia digunakan untuk menafsir al-Quran. Dalam tulisan tersebut saya masih melihat inkonsistensi. Misalnya, ketika dikatakan bahwa tafsir mitis ini hanya berlaku untuk ayat-ayat mu’amalah, tidak untuk ayat-ayat ‘ubudiyyah. Padahal bukankah ayat-ayat ‘ubudiyyah juga tidak lepas dari bahasa? Kemudian, analisa mitis Barthesian bukan untuk mencari makna objektif di balik bahasa tersebut seperti yang dikira Bunyamin, layaknya konsep elan vital Fazlur Rahman. Justru Barthes ingin memperlihatkan, menurut penulis, bahwa mitos akan senantiasa berjalin berkelindan dalam setiap bahasa. Nah, dalam bahasa agama, soal ‘ubudiyyah sekalipun proses mitologisasi ini mungkin terjadi. Kalau sudah terjadi mitologisasi, tidak untuk dicari makna sesungguhnya, melainkan mencipta makna. Skripsi ini lebih menekankan pada penciptaan makna mitos baru yang dilandasi oleh nilai-nilai kemanusiaan. Mengapa Barthes? Karena melalui kajian semiologinya, ia berhasil mengungkap makna baru dalam melihat mitos. Sementara itu, bahasa agama juga mempergunakan bahasa manusia yang dapat terbaca melalui analisa semiologi yang dibangunnya. Jadi, penulis tertarik untuk menganalisa secara kritis mitologisasi bahasa agama dari perspektif Barthesian. Dengan asumsi: jangan-jangan apa yang kita yakini—dalam hal ini agama—selama ini tidak berbeda dari mitos. Apakah itu karena konsep mitos yang kita yakini selama ini juga kurang tepat rumusannya? Ataukah sebaliknya? Inilah signifikansi tulisan ini dibanding tulisan lain yang pernah ada.

E. Metodologi Penelitian