Genealogi Intelektual dan Karya-karyanya

yang dengan baik hati telah berusaha memperkenalkan kursi ini dan orang yang mendudukinya kepada dewan profesor” 24 . Sebuah silaturhmi intelektual yang sangat mengharukan yang kemudian dimuat dalam koran paling bergengsi Le Monde 25 . 1978 adalah tahun yang berat dalam hidup Barthes. Ibu yang paling dicintainya meninggal dunia. Di awal disebutkan bahwa dengan susah payah ibunya membesarkan Barthes. Kasih sayang yang teramat besar sehingga Barthes amat terpukul atas kepergian ibunya ini. Salah satu foto ibunya menjadi inspirasi untuk refleksi fotografi dalam bukunya Camera Lucida 1980. Akhirnya, takdir itu menghampiri. Siang itu, 25 Februari 1980, lepas dari pertemuan di Collége da France, Barthes tertabrak truk. Ia sempat dibawa ke RS. Di sana ini berjuang melawan kematian selama sebulan. Akan tetapi, perjuangannya harus berakhir sebulan berikutnya. Barthes meninggal tanggal 26 Maret 1980. Sosoknya boleh meninggal, karya terus hidup. Sebentuk eksplikasi dari the death of author. Karyanya hidup dalam jejeraing tanda, dan maknanya bertebaran di luar kontrol sang author, pengarang.

D. Genealogi Intelektual dan Karya-karyanya

Dalam jejaring sejarah intelektual Eropa, barangkali juga dunia, Barthes mengambil peran penting dalam menyumbangkan pikirannya untuk melihat gejala 24 Roland Barthes, Inaugural Lacture, College de France, 458 25 Ibid, h. 3 masyarakat pos-industri dewasa ini. Sumbangannya terutama dalam mengkaji budaya massa melalui analisa linguistik. Melalui pendekatan bahasa, Barthes ingin memperlihatkan kepada kita bahwa kita perlu melihat budaya massa secara kritis. Karena di balik budaya yang “diproduksi” secara massal melalui perantara bahasa, tidak kosong ideologi, atau meminjam istilah Habermas, kepentingan tertentu 26 . Barthes membuka kedok ideologi di balik budaya massa tersebut melalui tilikannya atas struktur bahasa. Melihat persoalan sosial dalam tilikan struktur bahasa kala itu merupakan trend di hampir semua bidang ilmu kemanusiaan humaniora. Kegandrungan ini sering kali disebut sebagai linguistic turn pembalikan ke arah bahasa. Bahasa kemudian, meminjam istilah Michel Foucault, menjadi episteme 27 dalam tradisi pemikiran Barat dan bahkan trend ini menular pula di kalangan intelektual “Timur”. Sosiologi, antropologi, psikologi, sastra, dan lain-lain, gaduh dengan pendekatan ini. Meskipun hampir semua intelektual menggunakan pendekatan bahasa untuk menganalisa persoalan-persoalan sosial, Barthes bukan seorang yang terbawa arus tanpa kekhasan tersendiri menghadapi arus deras linguistic turn tadi. Bukan hanya cara penyampaiannya yang jernih, secara teoritis Barthes juga melakukan terobosan- terobosan dalam merekonstruksi konsep dasar para pendahulunya. 26 F. Budi hardiman, Menuju Masyarakat Komunkatif, Yogyakarta: Kanisius, 1996, h.63 27 Episteme adalah wacana yang lahir dari jejaring pengetahuan yang saling berhubungan. Wacana ini pada suatu zaman tetentu tren di semua bidang kajian. Episteme terutama dapat dipakai untuk menunjukan sejarah yang diskontinuitas. Lih. Michel Focault, Archeology of Knowledge, New York: Routledge, 2002, h. 212-2215 Sebagai intelektual yang berpengaruh, Barthes tidak berangkat dari ruang kosong. Sebelumnya, telah hadir tokoh-tokoh intelektual besar yang cukup berpengaruh terhadap pikiran-pikiran Barthes hingga dirinya mendapat pengakuan internasional. Paling tidak, ada lima tokoh terkemuka yang cukup memengaruhi pemikiran Barthes. Yaitu, Jean Paul Sartre, Karl Marx, Ferdinand de Saussure dan inspirator pos-strukturalisme Sigmund Freud dan Nietzsche. Pertama, pengaruh Jean-Paul Sartre 1905-1980, terutama muncul karena ketertarikan Barthes pada dunia sastra. Katertarikannya ini terutama mencuat setelah membaca karya-karya sastrawan Prancis ini. Selain sebagai pencipta seni, dalam hal ini penulis novel, Sartre juga adalah filsuf dan sekaligus kritikus sastra. Sekitar tahun 1948, Sartre terlibat dalam perdebatan panjang dengan para pengkritiknya. Kala itu, ia menerbitkan tulisan dengan judul What is Literature? Tulisan ini merupakan serangan balik dari Sartre terhadap para pengkritik atas karyanya. Suatu perdebatan yang sangat sehat, di mana yang dipersoalkan bukan hujatan atas pribadi pengarang, melainkan lebih pada problematisasi argumen. Sehingga perdebatan mengarah pada proses penciptaan kreasi yang lebih segar. Tulisan itu terdiri dari tiga bagian, What is Writing?, Why Write, dan For Whom Does One Write?. Dengan mengekplorasi tiga bagian ini, Sartre hendak menunjukan fenomenologi menulis, seni menulis tanpa prasangka. Sartre membedakan dua hal yang terkait dengan sastra: bahasa language dan gaya style 28 . Bahasa sebagai komponen penting karena melalui bahasa karya bisa terwujud. Bila tidak punya kemampuan berbahasa dengan baik, karya tidak mungkin lahir. Selain bahasa, menurut Sartre, gaya juga adalah hal yang sangat penting. Kebebasan individu dalam berkreasi tertuang dari gaya. Pembedaan ini juga merupakan kecaman yang cukup keras terhadap para praktisi dan kritikus sastra yang kala itu menstabilkan bentuk sastra yang baik. Di sanalah individualitas diberangus. Apa yang dilakukan Sartre, selain pembelaan atas karya-karyanya, juga merupakan bentuk dari dominasi eksistensialisme dalam tradisi kritik sastra sejak tahun 1940-an. Gagasan Sartre ini menjadi semacam “pedoman” dalam melihat sebuah karya. Dalam suasana seperti itulah buku Writing Degree Zero 1953 lahir. Buku ini adalah karya perdana Barthes, sebagai respon atas hangatnya perdebatan soal tanggung jawab sastra kepada masyarakat. Buku ini, seperti diperlihatkan Sontag sebagai revisi kecil atas buku What is Literature-nya Sartre. Barthes menerima bahasa dan gaya Sartre. Menurut Barthes, bahasa dan gaya adalah dua hal yang secara alamiah harus dimiliki seorang penulis. Dalam hal ini Barthes menambahkan unsur ketiga, yaitu tulisan writing. Tulisan, berbeda dengan bahasa dan gaya, merupakan ungkapan kedirian sang penulis. Di sanalah penulis peduli akan dirinya. Bukan gaya, melainkan tulisan itu sendiri. Ritme, nada, etos suasana haru, kecewa dan sebagainya terlempar begitu saja. Tulisanlah bentuk paling 28 Jean-Poul Sartre, Literatur and Existensialism, New York: Carol, 1994 h. 6 mewakili kedirian seseorang. Di dalamnya seseorang bisa memanipulasi gaya konvensional berdasarkan pada efek-efek hasrat. Tindakan menulis berarti tindakan berkreasi dan unik bagi setiap orang. Di sinilah pengaruh eksistensialisme mengalir dalam diri Barthes. Bagaimana menemukan eksistensi diri dengan menemukan kebebasannya dalam menulis. 29 Di sini kita bisa melihat pengaruh tradisi eksistensialisme dalam pikiran Barthes. Meskipun kemudian dia tidak serta merta diklaim sebagai eksistensialis. Karena buku ini lebih pada kritik sastra. Hanya saja, pengaruh tradisi itu kentara ketika Barthes menyuguhkan gagasan writing sebagai capaian eksistensi manusia. Setralitas keunikan individu dalam writing inilah yang membuka jalan Barthes melakukan kritik terhadap sastra. Minat Barthes akan dunia sastra merupakan minat dasar dalam dirinya. Kecintaannya terhadap sastra, yang dimulai dari buku ini, membuat minatnya berkembang ke bidang-bidang lain. Kritik ideologi, teori sastra, kritik budaya massa, fotografi, mode dan lain-lain. Kedua, Karl Marx 1818-1883. Sebagaimana telah disebutkan di awal bahwa selama di sanatorium, proses penyembuhan dari penyakit TBC, Barthes mempelajari dengan seksama karya-karya Marx. Meskipun ia tidak membuat semacam komentar, atau buku yang secara khusus atas pikiran-pikiran Marx, pengaruh Marx cukup kental dalam karya-karya Barthes berikutnya. Pikiran-pikiran Marx “berjaya” pasca perang dunia kedua di Eropa. Kecemerlangan Marx dalam menganalisa gejala sosial, tidak 29 Sunardi, Semiotika Negativa, h, 7 saja berpengaruh terhadap praktisi politik untuk menjalankan pemerintahannya, tetapi juga intelektual setelahnya. Barthes adalah salah satunya. Minat atas sastra membuka jalan Barthes untuk mengembangkan minatnya atas budaya secara umum. Di sinilah pikiran Marx terlihat. Kata pengantar edisi revisi buku Mythologies misalnya, Barthes mengatakan bahwa bukunya itu dimaksudkan sebagai kritik ideologi. Barthes dalam esainya Myth Today, secara eksplisit mengutip Marx untuk menunjukan ideologi borjuis. Melalui semiologi, ia ingin membongkar mistifikasi budaya borjuis-kecil petit-bourgeois menjadi budaya universal. Kecenderungan Barthes terlibat dalam perdebatan soal kritik ideologi ini tidak lepas dari pengaruh pikiran-pikiran Marx di Prancis kala itu. Para intelektual seperti tersihir dengan gagasan Marx mengenai ideologi. Pendekatan yang diberikannya pun sudah sedemikian berkembang. Selain Sartre, filsuf yang pernah menjadi bagian dari kelompok komunis, orang yang juga mengantarkan gagasan Marx kepada Barthes, adalah Louis Althusser. Barthes adalah salah satu mahasiswa Althusser. Dalam perkembangannya, Barthes yang beda generasi dari Althusser memiliki minat yanag sama: ideologi. Marx memaknai ideologi sebagai gagasan yang mengelabui kesadaran manusia, terutama kelas buruh proletar. Marx melihat ketidak-adilan dalam sistem sosial waktu itu. Output para buruh tidak sesuai dengan keringat yang telah dikeluarkan untuk memproduksi barang berkarya. Para pemilik modal borjuis adalah kelas yang telah mengeksploitasi keringat para buruh. Sebagai pemilik modal, mereka memperlakukan buruh sebagai alat yang akan melipat gandakan modal. Selain menguasai alat, para pemilik modal juga mengendalikan kesadaran proletar. Melalui agama, budaya, negara, gagasan borjuis tersebar bahwa kondisi ini seolah-olah berlangsung kodrati. Ideologi borjuis telah mengelabui keadaan yang sesungguhnya. Para pewaris Marx telah mengembangkan gagasan ideologi. Althusser misalnya, buat dia ideologi merupakan sebentuk panggilan akan kedirian interpellates individual as subject 30 . Gramsci mengartikan ideologi sebagai pandangan dunia. Tidak seperti intelektual lain, Barthes tidak berupaya mencari definisi ideologi. Barthes lebih tertarik untuk menganalisa cara keberadaan ideologi dalam suatu masyarakat dan cara ideologi itu dihasilkan dan dikonsumsi melalui penelitian terhadap bahasa. Buku Mythologies adalah buku paling fundamental yang menelisik ideologi di masyarakat melalui analisa semiologi. Ketiga, Ferdinand de Saussure. Tokoh lain yang memengaruhi karier intelektual Barthes adalah Saussure. Pengaruh Saussure dalam pemikiran Barthes teramat kuat. Bahkan para komentator mengatakan bahwa Barthes adalah one of the leaders of structuralist school 31 . Sebutan ini, Barthes sendiri tidak terlalu suka karena menurut dia momen sebagai seorang strukturalis adalah salah satu momen dari seluruh kariernya. Meski sebutan ini kurang disukai Barthes, tapi wajar saja sebutan 30 Louis Altusser, Ideology Interpellates Indivisuals as Subject dalam Paul Du Gay,ed. Identity: a Reader, London: Sage Publication, 2000 h.31 31 Sunardi, Semiotika Negativa, h, 17 itu melekat pada dirinya. Pasalnya, ia menulis beberapa buku yang sistematis—sistem yang ia ambil dari pendekata semiologi atau strukturalisme—pada fase itu. Ketertarikan Barthes terhadap pikiran-pikiran Saussure bisa dibaca pertama- tama bukan ketertarikan pribadi. Hingga tahun 70-an, strukturalisme yang merupakan output semiologi Saussurean menyelimuti aura intelektual Perancis. Barthes menjadi bagian yang terlelap dalam dekapan selimut semiologi Saussurean. Hampir semua pemikiran yang hidup dalam rentang antara tahun 50-70an terpengaruh oleh semiologi ciptaan Saussure. Semiologi Saussurean pada perkembangannya menggoyahkan makna fenomenologis yang dikembangkan Sastre kala itu. Setelah terlibat dalam diskusi semiologi secara serius, mempelajari semiologi ternyata kemudian menjadi sebuah ketertarikan pribadi. Barthes begitu kagum melihat kemungkinan pengembangkan teoritis yang dijanjikan semiotika untuk mengatasi persoalan hubungan antara bahasa, budaya dan ideologi. Barthes kemudian menyebut momen ini sebagai moment of science atau moment of scientificity. Sejak Saussure sendiri sebenarnya kajian semiologi ingin dijadikan sebagai pendekatan ilmiah. Yakni, dengan mnempatkan bahasa sebagai objek yang dapat dikaji dan dianalisa secara objektif. Bahasa menjadi objektif karena ia lepas dari manusia, mengatasinya. Bahasa adalah semesta tanda yang terstruktur sedemikian rupa sehingga semiologi bisa memperlakukannya sebagai entitas yang objektif. Barthes juga demikian. Bagi dia, ini adalah momen untuk memeriksa seluruh kemungkinan klaim semiologi dalam mengkaji kebudayan ummat manusia sebagai pendekatan ilmiah. Penelusuran Barthes atas semiologi bukan hanya sebatas memperkenalkan pemikiran Saussure bapak semiologi, penerus, dan penafasirnya, melainkan juga membuka ruang imajinsi intelektual dalam sejarah dunia modern. Semiologi menjadi salah satu pendekatan ilmiah di antara pendekatan ilmu kemanusiaan yang sudah ada: sosiologi, antropologi, psikologi dan sebagainya. Melalui semiologi, kajian budaya dapat diteliti secara sistematis, terperinci dan objektif. Buku Elements of Semiology 1964 adalah bentuk konkrit dari momen ini. Buku ini lahir untuk kepentingan ia mengajar semiologi di Ẻcole Pratique des Hautes Ẻtudes. Buku ini semacam textbook semiologi Saussurean karena ditulis secara padat, sistematis, programatis, dan penuh informasi teoritis. Di dalamnya mengulas istilah- istilah semiologi Saussure dan perkembangannya oleh para penerus Saussure. Selain ulasan, juga mengembangkan kemungkinan tanda pada level yang melampaui sistem linguistik: sistem mitologi. Tidak heran bila Gottdiener menyebut Elements sebagai buku paling berpengaruh dalam bidang semiologi sejak perang dunia II 32 . Penilaian ini tidak berlebihan karena di dalamnya memang menyajikan overview ringkas namun menyeluruh tentang semiologi dan prospoknya bagi pngembangan sebuah pendekatan semiologi dalam kajian budaya modern. 32 Ibid, h, 22 Pengaruh Saussure dan upaya scientificity sebenarnya sudah terlihat dari buku sebelumnya, Mythologies 1957. Buku ini bagi karier Barthes adalah the founding text bagi kajian budaya media dengan pendekatan semiologi. Pikiran-pikiran Saussure sudah terlihat jelas pada Myth Today, bagian kedua buku tersebut. Bagian ini semacam teoritisasi analisa tentang mitos dari perspektif semiologi Saussurean. Buku inilah yng akan menjadi landasan tulisan ini. Melalui Mythologies, buku yang lahir sebagai kritik ideologi, kita akan melihat bagaimana mitos beroperasi dalam budaya kontemporer. Lebih spesifik lagi, cara teori Barthes tentang mitos akan membawa penulis pada imajinasi intelektual dalam menganalisa mitologisasi bahasa agama. Keempat, sepuluh tahun terkahir karier intelektual Barthes mengalami peralihan dari analisa struktural ke analisa tekstual. Jika momen sebelumnya analisa Barthes lebih terpusat ingin mengungkap struktur tanda di balik bahasa dan budaya modern, momen selanjutnya lebih ingin menemukan daya nikmat dari pembacaan teks pleasure of the text. Fase ini tentu saja tidak lepas dari aura intelektual Perancis saat ini yang ingin segera lepas dari selimut Saussurean yang terlampau hangat. Foucault, Derrida, Lacan dan juga Barthes termasuk di dalamnya. Situasi ini merupakan satu bagian dari rangkaian sejarah panjang peradaban Barat modern. Para pemikir yang disebut sebagai ponggawa postrukturalis terinspirasi terutama dari dua tokoh besar yang mengubah pola pikir modernisme menuju posmodernisme, dari strukturalisme ke pos-strukturalisme. Mereka adalah Nietzsche dan Sigmund Freud. Melalui Nietzsche, sebagaimana para filsuf pos-strukturalisme lainnya, Barthes terinspirasi soal sikap agnostik terhadap konsep. Nietzsche dengan segala upayanya berupaya mengeluarkan manusia dari jerat metafisika yang dianggap sebagai fondasi kebenaran, yang tidak lebih dari sekedar ilusi. Yang tersisa hanyalah kehendak untuk berkuasa, bukan rasionalitas 33 . Tidak ada konsep yang mapan. Semuanya dalam keadaan khaos, terus berubah tanpa konsep yang pasti. Hal inilah, pada saat peralihan menuju analisis teks, Barthes memaklumatkan bahwa tidak ada konsep signified tunggal yang ajek dalam proses pemaknaan. Bentuk form pada bahasa selalu menyediakan beragam makna polisemi. Freud juga adalah tokoh penting yang merubah cara berpikir masyarakat Barat. Gagasan Freud tentang alam bawah sadar sebagai hal yang dominan dalam bertindak menjadi inspirasi bagi pemikir abad dua puluh untuk tak percaya pada rasionalitas sebagai landasan mencapai kebenaran. Karena yang menggerakan sepenuhnya kehidupan manusia adalah alam bawah sadar, dalam hal ini seks atau hasrat. Melalui perantara Lacan, Barthes berkenalan dengan gagasan Freud tentang ketaksadaran unconciousness sebagai pemicu kehidupan. Di sinilah sumber inspirasi Barthes mengganti epistemologi menjadi pleasure dalam menganalisa teks. Analisis teks bukan lagi mencari keajekan struktur yang dapat diungkap secara sistematis, melainkan bagaimana teks tersebut menggairahkan saya pembaca. Membaca bukan untuk mencari melainkan menunda makna, bukan mencari struktur melainkan 33 Sunardi, Nietzsche, Yogyakarta: LKIS, 2006 cet. IV, h, 54 menstrukturasi, bukan untuk mengonsumsi melainkan untuk memproduksi teks. Teks kemudian harus menjadi bisa membawa alam bawah sadar pembaca merumuskan teks baru atas pembacaannya itu. Seluruh rangkaian momen karir intelektual Barthes sama sekali tidak bisa menunjukan identitas apa yang pantas untuknya. Seorang strukturaliskah? Pos- strukturaliskah? Budayawankah? Kritikus Sastrakah? Yang jelas, seluruh perjalanan hidup Barthes tidak bisa dirumuskan dalam satu kesimpulan utuh. Penggalan setiap momen selalu merupakan kesinambungan dari proyeksi sebelumnya. Identita Barthes sangat banyak, sebanyak minat dan karya yang dilahirkannya. Seperti kita tahu bahwa dalam sejarah intelektual Barthes tidak ada satu buku utuh yang dia tulis secara sistematis, lengkap dan tuntas, kecuali serpihan-serpihan artikel yang dibukukan. Meskipun begitu, karya-karyanya menjadi rujukan dan textbook bagi penikmat dan pemerhati kebudayaan. Meskipun begitu, originalitas dalam menganalisis budaya massa lebih luas melalui semiologi telah mengantarkannya menjadi seorang pemikir cemerlang dan menjadi rujukan utama dalam kajian budaya kontemporer. Berikut adalah karya-karya Roland Barthes yang telah dipublikasi sebelum dan sesudah meninggal. 1 L’Adventure Semiologique Seuil, 1985. The Semiotic Challenge, terjemahan Richard Howard Hill and Wang, 1988. 2 La Chambre Ckire: no sur la Photographie Gallimard and Suil, 1980. Camera Lucida: Reflection on photography, terjemahan Richar Howard hilland Wang, 1981. 3 Critique et verite Seuil,1966. Critisism and Truth, terjemahan Katrine Kueneman University of Minnesota Press, 1987. 4 La Degré Zéro de l’écriture Seuil, 1953, terjemahan Annete Lovrs dan Collin Smith Hill and Wang, 1980. 5 Ẻléments de Sémiologie Seuil, 1964, Elements of Semiology, terjemahan Annate Lovers dan Collin Smith Jonathan Cape Ltd, 1967. 6 L’Empire des Signes Skira, 1970, Empire of Signs, terjemahan Richard Howard Hill and Wang, 1972. 7 Fragment d’un discours amoureux Seuil, 1977, A Lover’s Discourse” Fragments, terjmahan Ricahd Howard Hill and Wang, 1978. 8 Le Grain de la Voic: Entretiens 1962-1980 Seuil, 1981, The Grain of the Voice: Interviews 1962-1980, terjemahan Linda Converdale Hill dan Wang, 1985. 9 Image-Music-Text, esai yang diseleksi dan diterjemahka oleh Stephen Heath Hill and Wang, 1977. 10 Incidents Seuil, 1987. Incidents, terjemahan Richard Howard Univrsity of California Press, 1992. 11 Lécon: Lécon Inaugurale de la Chaire de Semiologie Litteraire du Collége da France, Pronencee le 7 janvier 1977 Seuil, 1978. Inaugural Lecture, terjemahan Richar Howard, dalam A Barthes Reader, Ed. Susan Sontag Hill and Wang, 1982. 12 Michlet par lui meme Seuil,1954. Michelet, terjemahan Richar Howard Black Well, 1987. 13 Mythologies 1957. Mythologies, terjemahan Annate Lover’s Hill and Wang, 1973. 14 New Critical Essays, terjemahan Richar Howard Hill and Wang, 1986. 15 L’Obvie et l’Obtus Seuil, 1982. The Rasponsibility of Forms, terjemahan Richar Howard Hill and Wang, 1975.

BAB III PEMIKIRAN ROLAND BARTHES TENTANG MITOS