Riwayat Hidup BIOGRAFI ROLAND BARTHES

BAB II BIOGRAFI ROLAND BARTHES

C. Riwayat Hidup

Dalam sejarah pemikiran, khususnya kajian budaya culture studies, Roland Barthes adalah salah seorang intelektual terpenting. Sumbangan pemikirannya mengenai budaya massa sangat besar. Analisa budaya yang dikembangkan Barthes, utamanya teori mitos, menjadi kunci mengkaji kebudayaan lebih luas. Dengan gayanya yang ngepop, Barthes berhasil merumuskan teori mitos yang bisa menelisik budaya yang sudah seolah terlihat natural atau alamiah. Meskipun, Barthes sendiri mengatakan bahwa teks adalah ruang multidimensi yang di dalamnya tidak ada yang orisinal, saling berbenturan dan melebur 13 . Barthes pun menyadari bahwa karyanya adalah bagian dari peleburan ini. Roland Barthes lahir di Charboug pada tanggl 12 November 1915 14 . Ia terlahir dari pasangan Louis Barthes, seorang perwira angkatan laut, dan Henriette Barthes, seorang Protestan yang taat 15 . Dalam sejarah hidupnya, ia tidak pernah mengenal langsung sang ayah. Belum lagi usianya setahun, Barthes sudah ditinggalkan ayahnya ke medan pertampuran di laut Utara, dan meninggal di sana. Sepeninggal ayahnya, 13 Roland Barthes, Image, Music, Text, Glasgow: Fontona, 1977 h. 146 14 David Herman, Roland Barthes, dalam Hans Berens and Joseph Natoli, Postmodernism: The Key Figure, Massachusetts: Blackwell, 2002, h. 38 15 Jonathan Culler, Seri Pengantar Singkat: Barthes Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2003 cet. I, h. 16 Barthes hijrah bersama ibu, bibi dan neneknya ke Bayonne. Di sana, Barthes mendapatkan kasih sayang yang sangat besar dari keluarganya, dan menghabiskan masa kanak-kanak sebelum diajak ibunya tinggal di Paris. Selama di Bayonne, Barthes mendapat pelajaran musik dari bibinya. Di sanalah ia pertama kalinya bersentuhan dengan budaya. 16 Pada usia ke 9, Barthes dibawa ibunya ke Paris. Di Paris, ia tumbuh dewasa. Pendidikan formal ia tempuh di Lycée Montaigne 1924-30 dan Lycée louis-le-grand 1930-34. Ia mengaku bahwa saat itu ia merasakan sangat bahagia karena kasih sayang ibunya yang melimpah, meskipun dalam kondisi kesepian tanpa ayah asli dan ekonomi yang minim. Tahun 1927, ibunya melahirkan adik tirinya, Michel Salzado 17 . Sejak itu nenek Barthes mengehetikan bantuan finansial karena Salzado adalah anak yang tidak mendapat restu keluarga. Ibunya kemudian bekerja sebagai tukang jilid buku untuk menghidupi keluarga. Barthes adalah seorang aktivis tulen. Di usianya yang ke-19, ia sudah terlibat dengan kelompok DRAF, sebuah organisasi politik anti-fasisme Jerman. Dalam organisasi itu ia mendapatkan pelajaran berharga tentang bagaimana kejamnya fasis Jerman. Jiwa aktivisnya berlanjut pada saat Barthes terbebas dari wajib militer karena ia mengidap penyakit TBC, ia berpastisipasi kembali dalam protes melawan fasisme. Keterlibatan ini tidak lepas dari semangat yang kuat dalam diri Barthes untuk 16 Roland Barthes, www.Semiotict.com 17 Roland Barthes, www.mediamatic.com menentang kekejaman fasis Jerman. Setahun sebelumnya, ia membuat tulisan pertamanya tentang Plato 18 . Pendidikan sarjananya, ia tempuh di Sorbonne. Ia mendapatkan gelar sarjana di bidang sastra klasik tahun 1939. Semasa kuliah, sekitar tahun 1937, ia sudah menjadi pemandu bahasa asing di Hungaria. Setahun kemudian ia melakukan penjelajahan ke Yunani bersama grup teater yang didirikannya, Théâtre Antiqua. Perjalanan ini sangat mendukung studi sastra klasik yang sedang ditempuhnya. Setelah menyelesaikan kesarjanaannya di bidang sastra klasik, Barthes kemudian mengajar di Lycée in Biarritz selama setahun 1939-1940. Tahun berikutnya ia menjadi asisten dan pengajar di Lycée Voltaire dan Lycée Carnot, Paris. Mengajar di sana juga hanya setahun. Bersamaan dengan mengajar di Paris ini, Barthes mendapat gelar kesarjanaan lagi dalam studi Tragedi Yunani. Bulan oktober 1941, Barthes harus bergulat dengan penyakit tubercolosis 19 . Penyakit inilah yang senantiasa “menemani” perjalanan karier akademisnya. Tahun berikutnya, ia mendapatkan perawatan intensif di Sanatorium des Ẻtudiants, Saint Hilaire-du- Touvet, Isére. Pergulatan yang cukup melelahkan bagi seorang Barthes. Setelah dinyatakan bebas dari penyakitnya, kemudian Barthes menyelesaikan studinya dalam bidang grammer dan philology di usianya yang ke-28. Akan tetapi, pernyataan bahwa ia bebas dari tuberculosis tidak berlangsung lama. Persinggahan 18 David Herman, Roland Barthes, h. 38 19 Roland Barthes, The Grain of the Voice, Interview 1962-1980, trans. By Linda Coverdale, New York: Hill and Wang, 1985. h. 368 keduanya di Sanatorium cukup lama, sekitar 3 tahun. Selama di balai pengobatan itu, Barthes sempat mempelajari ilmu pra-medis the madical preliminary examination, yang konsentrasinya psikiatri. Diduga banyak kalangan bahwa di sanalah ia berkenalan dengan pemikiran Freud secara intensif. Selama itu pula ia sangat berhasrat untuk melahap seluruh karya J. P. Sartre dan Karl Marx. Sehingga pada gilirannya, Barthes menjadi sangat Sartrean dan Marxian. Meskipun, ia tidak mau berlama-lama dan terjebak dalam kubangan dua pemikir itu. Akhirnya, tahap penyembuhan pun ia jalani di Leysin, klinik Alexandre, Sanatorium Universitaire Suisse. Setelah benar-benar dinyatakan sembuh, Barthes kemudian menerima tawaran sebagai asisten pustakawan di Institute of Bucharest. Berkat ketekunannya, ia kemudian menjadi pengajar di institut tersebut dan menjadi professor di sana. Tidak saja itu, Barthes juga menjadi Reader 20 di University of Bucharest 21 . Selain itu juga dia menjadi dosen di Universitas Alexandria, Mesir 1949-50. Di sana ia sempat resmi menjadi warga negara Mesir. Keberadaannya di Mesir itu merupakan momen penting bagi Barthes. Untuk pertama kalinya ia berkenalan dengan ilmu linguistik modern dari salah seorang professor di sana, A.J. Greimas. Ini adalah momen penting sebagai intelektual yang di kemudian hari sangat berpengaruh dalam jagat pemikiran 20 Reader adalah setingkat di atas lecture di kampus-kampus Inggris dan setingkat di bawah professor. Lih. Microsoft Encarta Dictionory tools. 21 Roland Barthes, The Grain of the Voice, h. 368 budaya. Di sana pula, ia menjadi kontributor untuk jurnal Combat, jurnal terkemuka sayap kiri left-wing di Paris. Sepulangnya ke Paris, tepatnya pada tahun 1950, Bartes menjadi direktur pada Générale des Affaires Culturelles, organisasi pemerintah yang berkonsentrasi dalam bidang pengajaran bahasa Prancis di luar negeri. Jabatan ini ia emban hingga dua tahun berikutnya. Setelah itu, ia kemudian terlibat dengan Center National de la Recherche Scientifique 1952-1954. Di sana, Barthes sibuk melakukan penelitian dalam bidang leksikologi, terutama mengenai kosakata dalam perdebatan sosial di awal abad 19. Barthes juga sempat menjadi penasehat sastra di sebuah penerbitan buku Ẻditions de l’Arche selama setahun 22 . Rentang 1955-59, Barthes bergabung kembali dengan Center National de la Recherche Scientifique untuk melakukan penelitian dalam bidang sosiologi. Selama keterlibatannya pada lembaga penelitian tersebut, Barthes memublikasikan buku pertamanya Writing Degree Zero 1953. Buku ini merupakan kumpulan artikel yang semula ditulis untuk jurnal Combat. Buku lain yang dipublikasi Barthes setahuan kemudian adalah Michelet par lui-meme 1954. Buku ini juga masih seputar pemikiran awal Barthes dalam bidang sastra. Saat-saat itu, ia pernah mendirikan kolompok studi tentang kebudayaan kontemporer yang kemudian melahirkan karya paling cemerlang dalam sejarah karier intelektualnya, Mythologies 1957. 22 Ibid, h, 368 Mengantongi kesarjanaan di bidang sosiologi, Barthes kemudian bekerja sebagi direktur di Ẻcole Pratique des Hautes Ẻtudes 1960. Saat itu ia mengepalai bagian VI, yakni bidang ilmu sisiologi-ekonomi. Dua tahun berikutnya, 1962, ia dipercaya menangani bidang sosiologi tanda, simbol dan representasi sosiology of signs, symbols and representations. Jabatannya ini kelak manghasilkan karya yang sangat mendalam mengenai budaya, lebih khusus kritik sastra. Di tahun 1963, Barthes menerbitkan karya yang cukup cemerlang dan kontroversial, Sur Racine. Pada tahun berikutnya, Barthes yang dikenal sebagai penulis produktif menerbitkan kumpulan esai yang ditulisnya selama menjabat direktur sosiologi-tanda dengan judul Critical Essays 1964. Pada tahun yang sama, Barthes juga menerbitkan buku Elements of Semiology. Ini adalah karya Barthes yang mengukuhkannya sebagai ahli linguistik. Di dalamnya tidak hanya mengungkapkan dengan gaya tulisan yang jernih, melainkan juga mengembangkan teori bahasa para pendahulunya. Jabatan dalam bidang sosiologi tanda, ia emban hingga tahun 1967. Di tahun ini, Barthes kemudian mengajar di Universitas Johns Hopkins di Beltimore. Dalam kesibukannya ini, ia tetap menulis sejumlah esai dalam bidang mode. The Fashion System 1967 adalah karya penting Barthes yang membicarakan mode dalam analisa struktural. Karya ini juga sangat penting dalam perjalanan karier intelektual Barthes sebagai budayawan. Karya ini menjadi sumber pemikiran yang diperhitungkan dalam analisa mode. Bukan hanya bagian dari concern pribadi, kota Paris, sebagai kota mode dunia, juga sangat mendukung kajiannya ini. Momen penting lainnya adalah manakala Barthes melamar menjadi professor di Collége da France 23 . Ia diterima di sana sebagai professor di bidang semiologi sastra. Posisinya ini menjadi penting karena di sanalah ia bisa menegaskan peran semiologi sebagai pendekatan ilmiah, ilmu yang sejak tahun 50-an telah ditekuninya. Di samping itu, Collége da France adalah kampus paling bergengsi di Prancis, tempat para intelektual besar dalam ilmu sosial. Sebut saja Paul Valery, Merleau-Ponty, Althusser, Michel Foucault, dan lain-lain. Meskipun sebelumnya pemikiran Barthes selalu menjadi pusat perhatian intelektual di Prancis, posisi professornya semakin menegaskan bahwa gagasan yang diusung Barthes terbukti orisinal dan patut diapresiasi. Hingga kini Barthes memang menjadi ikon intelektual modis dalam berbagai bidang yang berkaitan dengan budaya. Mulai dari sastra, kajian media, film, fotografi, fesyen, dan lain-lain. Proses menjadi professor di Collége da France merupakan sebagai momen paling membanggakan sekaligus mengharukan dalam kehidupan Barthes. Saat itu, banyak kalangan meragukan bahwa Barthes bisa menjadi Professor di Collége da France. Pasalnya, Barthes adalah intelektaul yang dikenal sebagai intelektual yang fashionable, modis. Ia tidak pernah menulis buku setebal Derrida, atau Foucault. Di 23 Sunardi, Semiotika Negativa Yogyakarta: Buku Baik, 2004, h. 2 samping itu, Barthes juga tidak menulis tema yang serius seperti mereka. Ia lebih banyak memusatkan perhatian pada budaya pop, mode misalnya. Di tengah keraguan banyak pihak atas jabatan yang akan ia emban, ia berhasil memperlihatkan kepada banyak kalangan di Prancis, barangkali juga dunia, bahwa apa yang menjadi minatnya selama ini adalah problem akademis. Di samping itu, mungkin juga ini memperlihatkan keseriusan perguruan tinggi di Eropa, bahwa professor tidak diukur dari tebal-tidaknya buku yang dihasilkan, melainkan dari orisinalitas pemikiran. Adalah Michel Foucault, filsuf sekaligus teman lama Barthes yang paling dilematis. Peran Foucault bagi “lamaran” Barthes adalah orang yang akan mewawancarai dan memberikan penilaian apakah ia layak atau tidak menjadi professor di sana. Di sisi lain, seluruh intelektual di Prancis tahu bahwa antara Foucault dan Barthes terlibat perseteruan intlektual yang serius. Sejak perkanalannya di tahun 50-an, kemudian hubungan mereka berubah menjadi perang dingin. Akhirnya, Foucault meminta seorang teman mendampingi—karena ia tidak cukup berani dengan situasi ini. Sepuluh menit kemudian “pengawal” Foucault itu keluar karena dia sudah merasa berani berhadapan dengan Barthes. Hasilnya, Foucault memuluskan lamaran Barthes dan membawa dia untuk pidato di hadapan dewan professor dengan judul Leçon. Barthes bukan seorang yang kacang lupa akan kulitnya, dalam pidato tersebut, ia meyebut Foucault sebagai “dia yang dengan baik hati telah berusaha memperkenalkan kursi ini dan orang yang mendudukinya kepada dewan profesor” 24 . Sebuah silaturhmi intelektual yang sangat mengharukan yang kemudian dimuat dalam koran paling bergengsi Le Monde 25 . 1978 adalah tahun yang berat dalam hidup Barthes. Ibu yang paling dicintainya meninggal dunia. Di awal disebutkan bahwa dengan susah payah ibunya membesarkan Barthes. Kasih sayang yang teramat besar sehingga Barthes amat terpukul atas kepergian ibunya ini. Salah satu foto ibunya menjadi inspirasi untuk refleksi fotografi dalam bukunya Camera Lucida 1980. Akhirnya, takdir itu menghampiri. Siang itu, 25 Februari 1980, lepas dari pertemuan di Collége da France, Barthes tertabrak truk. Ia sempat dibawa ke RS. Di sana ini berjuang melawan kematian selama sebulan. Akan tetapi, perjuangannya harus berakhir sebulan berikutnya. Barthes meninggal tanggal 26 Maret 1980. Sosoknya boleh meninggal, karya terus hidup. Sebentuk eksplikasi dari the death of author. Karyanya hidup dalam jejeraing tanda, dan maknanya bertebaran di luar kontrol sang author, pengarang.

D. Genealogi Intelektual dan Karya-karyanya