Mitologisasi bahasa agama analisis kritis dari semiologi roland bather

(1)

Mitologisasi Bahasa Agama:

Analisis Kritis dari Semiologi Roland Barthes

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I)

Oleh: Husni Mubarak

NIM: 101033121744

Jurusan Aqidah Filsafat

Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta


(2)

Mitologisasi Bahasa Agama:

Analisis Kritis dari Semiologi Roland Barthes

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I)

Oleh:

Husni Mubarak

NIM: 101033121744

Di Bawah Bimbingan

Dr. Fariz Pari, M.Fils. NIP: 150262447

Jurusan Aqidah Filsafat

Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi yang berjudul Mitologisasi Bahasa Agama: Analisis Kritis dari Semiologi

Roland Barthes telah diujikan dalam sidang munaqasah Fakultas Ushuluddin dan

Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 04 Juni 2007. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Filsafat Islam Program Strata I (SI) pada jurusan Aqidah Filsafat.

Jakarta, 4 Juni 2007 Sidang Munaqasah

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Dra. Hj. Hermawati, M.A. Drs. Ramlan A. Gani, M.Ag.

NIP. 150227408 NIP. 150254185

Anggota,

Penguji I Penguji II

Drs. Agus Darmaji, M.Fils. Dra. Ida Rosyidah, M.A.

NIP. 150262447 NIP. 150243267

Pembimbing,

Dr. Fariz Pari, M.Fils.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur pada Tuhan yang telah menciptakan Akal Budi manusia, dan memerintahkan agar mempergunakannya. Karya ini hasilnya. Bentuk karya ini memang kecil dan tipis, tapi di balik kelahirannya, menyimpan sejarah. Sejarah yang, bagi penulis, begitu berharga hingga dapat berkenalan dengan pemikiran Roland Barthes yang sudah bersemayam di peristirahatan di Prancis sana. Karya ini tentu bukan karya monumental. Tapi penulis berharap karya ini bisa menjadi titik inspirasi pemikiran kemanusiaan secara keseluruhan di masa mendatang. Sebagai karya akhir perkuliahan di UIN Jakarta, karya ini akan menjadi langkah awal perjalanan studi penulis di masa yang akan datang.

Karya ini tidak mungkin lahir jika tanpa dukungan banyak pihak selama penulis menempuh studi di UIN Jakarta ini. Penulis pertama-tama ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Rektor (lama dan baru) UIN bersama seluruh jajaran pelaksana kampus UIN Jakarta yang telah memberi kesempatan bagi penulis menempuh perkuliahan di sini. Tanpa itu, penulis tidak yakin dapat mengenal tradisi filsafat khususnya, dan tradisi Islam secara keseluruhan. Akibatnya, karya ini pun tidak mungkin lahir.

Saya haturkan terima kasih juga atas kebaikan Dekan Ushuluddin dan Filsafat yang lama, Prof. Dr. Amsal Bachtiar, maupun yang baru Dr. M. Amin Nurdin, beserta jajarannya yang telah membantu penulis sehingga dapat menyelesaikan perkuliahan di UIN Jakarta. Tak lupa juga kepada Ketua Jurusan, Drs. Agus Darmaji, M.Fils, dan Sekretaris Jurusan pak Drs. Ramlan A. Gani M.Ag., yang tak pernah mengeluh,


(5)

setidaknya itu yang penulis mendengar, dalam membantu kelancaran administrasi akademik penulis.

Pembimbing penulis, Dr. Fariz Pari, yang telah membimbing dalam pengerjaan karya ini. Penulis haturkan terima kasih yang setinggi-tingginya. Ia sudah sebagaimana pembimbing seharusnya, keras jika bangunan teori masih lemah, tapi disertai ketulusan. Penulis rasakan itu. Meskipun penulis sadar Ia hanya satu bagian dari poliseminya makna “Roland Barthes” di hadapan kita. Juga penulis tidak lupa kepada seluruh dosen Ushuluddin yang juga telah turut ambil bagian terpenting dalam memperkanalkan penulis pada dunia pemikiran.

Tempat lain yang juga menjadi sejarah penting karya ini adalah FORMACI (Forum Mahasiswa Ciputat). Di tempat itu, penulis merasakan atmosfir penjelajahan pemikiran yang sesungguhnya. Ridwan MT (“alumni” FORMACI yang tak pernah lelah menjadi “google” berjalan, penulis berhutang atas kebaikannya, Allah saja yang membalasmu Wan), Thowiq AB, Salbiah, A. Zaim Rafiqi, Agus Khatibul Umam, Sulaiman Cimong Jaya, Zezen ZM (semoga tercapai cita-citamu ke Harvard), Iqbal, Seif (yang tengah studi di Australia), Hafni, Nanang Sunandar, Mamad Ja’far, Herman Heizer, nengnya Herman, Apriadi beserta keluarga, Linda, Tati Castia, Adri (sang Imam besar FORMACI), Akib, Lilis, Saidiman, Indri, Ayi Tairi, Didi, Arif, Puji (Alfan juga), Mahmuddin, Sahal jr, Khaerul, Reza, Agus Bre (kele!), Tiyar, Evi Rahmawati, Testriono, Ia Nurseha, de’ Gyn, Acun, Hanif, Sholeh tingggi, soleh stf, Kusnandar (partisipasi Anda sangat besar untuk skripsi ini), Mustafa, Daraj (kawan di Wisma Sakinah) dan kalian semua yang tak disebut namanya karena (mungkin) lupa. Kalian semua penguasa mitos masa depan Indonesia, terima kasih.


(6)

Kewan-kawan Aqidah Filsafat angkatan manapun yang pernah penulis kenal, terima kasih. Khususnya angkatan 2001, kalian lucu-lucu. Semoga perkawanan kita abadi.

Kedua orang tuaku, Bapak Deden, Mah Nena, terimakasih atas semua kasih sayangnya. Semangat studi penulis berasal dari mereka. A Anas bersama keluarga, Teh Susan dan keluarga, adikku Ulum, Eva, terima kasih atas dukungan kalian. Tidak lupa juga Mang Asep Ahmad Mujahid dan keluarga yang telah membantu penulis selama kuliah lahir-batin. Semoga Allah membalas kalian dengan balasan yang setimpal.

Terakhir, teman “istimewaku”, yang selalu menemani penulis dalam detik. Ide brilian muncul dari hati yang tenang. Ketenangan telah penulis dapatkan untuk karya ini darinya. Terima kasih.

Kepada sobat ataupun kawan yang tidak sempat disebut, penulis ucapkan terima kasih. Semoga Tuhan membalas jasa kalian. Kini karya ini telah hadir.

Ciputat, 22 Mei 2007


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……… DAFTAR ISI………..……

BAB I PENDAHULUAN………...……. A. Latar Belakang Masalah………. B. Perumusan dan Pembatasan Masalah……….…… C. Tujuan Penelitian……… D. Kajian Pustaka……….…... E. Metodologi Penelitian……… F. Sistematika Penulisan……….…

BAB II BIOGRAFI ROLAND BARTHES……….

A. Riwayat Hidup……….…….

B. Genealogi Intelektual dan Karya-karyanya………..…....

BAB III MITOS DALAM PENDEKATAN TEORITIS………..….. A. Mengurai Teori Mitos dalam Sejarah………..….

1. Periode Klasik……….……….………..… 2. Periode Pencerahan: Mencari Asal Usul……….………….….. 3. Periode Kontemporer: Psikoanalisis dan Strukturalisme...…. B. Semiologi: Upaya Membangun Teori………..

1. Pengaruh Saussure……….……

i iv 1 1 7 9 9 11 13 15 15 24 37 37 39 40 43 48 48


(8)

2. Langue/Parole……….………….…….... 3. Tanda (sign), Penanda (signifier) dan Petanda (Signfied)………. 4. Pemaknaan (Signification)……….………...… C. Mitos: as a Semiological System……….…….… D. Mitos: Kritik Ideologi……….……….…...

BAB IV MITOLOGISASI BAHASA AGAMA DARI KACA MATA

SEMIOLOGI ROLAND BARTHES……..………..…. A. Bahasa Agama sebagai Sistem Semiologi………..…… B. Sistem Mitis dalam Bahasa Agama………..….. C. Ideologi dalam Sistem Mitis Bahasa Agama...

BAB V PENUTUP………

A. Kesimpulan……….…

B. Saran-saran………..

DAFTAR PUSTAKA………...… 54 56 58 60 71

76 76 83 89

98 98 101


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kenapa agama mencerahkan sekaligus melahirkan kekerasan? Secara normatif, semua agama mengajarkan kasih sayang, perdamaian, keselamatan dan ajaran kebaikan lainnya. Tidak bisa dilupakan bahwa dalam sejarah umat manusia, Islam pernah melahirkan peradaban yang luar biasa. Begitu juga, etika Protestan, menurut Max Weber (1864-1920), telah membangkitkan kemajuan ekonomi para penganutnya1. Begitu juga dengan kenyataan-kenyataan lainnya yang membuktikan bahwa agama memberi inspirasi kemajuan peradaban.

Di sisi lain, agama juga sekaligus inspirasi kekerasan. Dalam sejarahnya, penyebaran agama selalu mengalami peperangan. Sejarah yang tidak mungkin terlupakan sepanjang zaman adalah perang salib (agama). Belakangan juga muncul kekerasan di sejumlah negara Muslim karena ada kelompok yang “menghina” Nabi Muhammad melalui karikatur. Serangan WTC di Amerika enam tahun lalu, salah satu alasannya, agama. Di negara kita, masih segar dalam ingatan, Ahmadiyah diserang dan ditutup, Lia Eden diteror, warga Syi’ah di Madura tidak bisa tenang beribadah karena diganggu oleh warga NU.

Beberapa studi mengatakan bahwa lahirnya kekerasan dalam agama lebih karena faktor eksternal2. Di dalam agama secara internal diyakini tidak ada ajaran kekerasan. Kondisi sosial budaya atau ekonomi politiklah yang menyebabkan agama

1

Max Weber, Essays in Sociology, Trans. H. Gerth and C. Wright (New York: A Galaxy Book, 1985), h. 314-322

2

Wawancara Syafi’i Maarif dalam Buletin Islam & Good Governance, edisi kesebelas, (PPIM, UIN Jakarta, 2006), h. 5


(10)

menjelma menjadi sumber lahirnya kekerasan dalam agama. Misalnya, perang di Ambon menurut beberapa sumber lebih karena perebutan lahan pertambangan beberapa elit.

Di lain pihak, justru penyebab kekerasan memang doktrin keagamaan mengajarkan kekerasan3. Mengalirkan darah musuh tidak apa untuk kebangkitan ajaran Tuhan. Kenyataan bahwa Nabi Muhammad pernah berperang dengan kaum “kafir” Quraisy menjadi inspirasi untuk melegitimasi perang mempertahankan Yarussalem dalam perang Salib, cukup menjadi bukti.

Padahal temuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, diprediksi Comte (1798-1857), sosiolog asal Prancis, sebagai akhir dari fase agama dan metafisika untuk menyongsong masyarakat positivistik. Yakni, suatu masyarakat yang dapat menjalankan kehidupannya sendiri dengan langkah yang terukur, efektif, efisien dan terprediksi. Agama tidak lagi penting karena pada masyarakat positivistik semua masalah umat manusia dapat dijawab secara empiris dan sistematis. Tidak lagi diperlukan argumen teologis untuk menghadapinya4.

Prediksi Comte ini tidak terbukti. Justru wacana dan gerakan keagamaan semakin kuat. Di zaman media informasi begitu deras dan capaian ilmu pengetahuan mencapai titik kulminasi, agama justru mewarnai perjalanan sejarah peradaban bumi. Terorisme, upaya menerjemahkan agama dengan jalan kekerasan dalam konteks global, mendapat dukungan sangat kuat dari teknologi. Pertukaran informasi yang semakin sesak, di dalamnya agama selalu hadir. Tidak jarang kita temui saat ini pemuka agama “berdakwah” melalui teknologi. Oleh karenanya, agama bisa tersebar sampai ke seluruh pelosok; entah ajaran kebaikan ataupun ajaran kekerasan tersebar luas menyapa para penganutnya.

3

Tim PPIM, Mengukur Pengaruh Islam dalam Kekerasan Keagamaan, dalam buletin Islam & Good Governance edisi keduabelas, (PPIM, UIN Jakarta, 2006), h.3

4


(11)

Pertukaran gagasan keagaman dalam design teknologi informasi yang semakin canggih, selalu menggunakan sistem tanda. Sistem tanda inilah yang memungkinkan komunikasi. Karenanya, hubungan antar tanda melahirkan sistem yang memungkinkan pertukaran gagasan antar manusia. Sistem itu menjelma menjadi struktur tanda atau bahasa. Bahasa juga berarti sistem nilai yang melingkupi seluruh tindak gerak manusia5. Tradisi, budaya, adat, cara berfikir dan sebagainya termuat dalam bahasa. Sementara, bahasa sebagai alat komunikasi kita sebut, meminjam istilah Saussure, speech (selanjutnya kita sebut wicara atau ujaran).

Dalam hal ini, bahasa berperan sangat penting. Bahasa adalah satu-satunya entitas di mana ajaran-ajaran agama dikomunikasikan. Tanpanya, agama tidak akan ada. Bahkan dunia sekalipun nihil tanpanya. Melalui bahasa, agama hadir di tengah-tengah, bahkan di jantung kehidupan umat manusia. Tidak kita pungkiri juga bahwa dalam bahasa, agama diperebutkan demi kekuasaan. Karenanya, agama dapat direduksi pada bahasa. Eksistensi agama terletak pada bahasanya.

Bahasa agama yang hadir di tengah-tengah kita, baik dalam bentuk jargon atau pun hasil dari pemikiran mendalam, selalu diyakini kebenarannya. Diyakini pula bahwa bahasa yang digunakan untuk pengetahuan agama memiliki referensi objektif. Misalnya mengenai Tuhan. Ketika kitab suci berbicara Tuhan, berarti Tuhan ada secara objektif “di sana”. Bahkan aturan yang dibuat berdasarkan bahasa agama benar-benar disabdakan Tuhan. Tidak ada yang membantah hal ini6.

Meski demikian, bahasa agama tetap saja tidak memiliki referensi indrawi. Karena panca indra manusia, dan bahkan rasio sekali pun terbatas ketika berbicara

5

Roland Barthes, Element of Semiology, (New York: Hill & Wang, 1973) p.14 6

Memang dalam sejarah ada kelompok atheis yang menentang habis-habisan keberadaan Tuhan. Termasuk ajarannya. Misalnya, F. Nietzsche, filsuf Jerman yang terkenal dengan jargon “Tuhan telah mati dan kita adalah pembunuhnya”. Akan tetapi justru dengan menolak Tuhan, dan bergelut terus menerus dengan persoalan metafisika, berarati sedang berpegang pada sistem metafisika tertentu: tidak ada Tuhan, dan dipegang secara teguh. Bukankah itu “Tuhan” dalam bentuk lain? Lih. Sunardi,


(12)

tentang metafisika (termasuk juga tentang Tuhan). Indra dan rasio manusia hanya dapat bersentuhan dengan fenomena (benda sebagaimana tampakannya), tidak dengan nomena (benda pada dirinya)7. Apa yang selama ini dirumuskan sebagai pengetahuan, didasarkan pada fenomena, atau apa yang tampak, tidak bersentuhan dengan benda pada dirinya (thing in its self). Begitupun dengan metafisika, dalam hal ini Tuhan, yang kita lihat bukan Tuhan pada dirinya. Melainkan dari fenomena alam lah manusia bisa menyimpulkan adanya Tuhan. Hanya iman yang menjamin objektivitas informasi dalam agama8.

Bahasa agama dalam bentuk wahyu dan interpretasi atas wahyu, selanjutnya dipandang sebagai ajaran universal. Kategori universal bahasa agama berarti apa yang diajarkan dalam teks suci berlaku bagi seluruh umat manusia. Ajaran abadi yang tak tergerus oleh ruang dan waktu. Pada saat kitab suci itu turun barangkali memang ajaran kitab suci tersebut sifatnya partikular. Karena ia hadir untuk menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi saat itu. Akan tetapi, ketika zaman sudah berubah, dengan persoalan yang berubah pula, ajaran dari kitab suci tersebut menjadi normatif. Artinya, apa yang terjadi secara historis pada saat turunnya kitab suci, dengan kategori universalnya, menjadi hilang. Bahasa agama yang digunakan pada periode berikutnya sudah menjadi prinsip umum yang universal.

Lain agama, lain mitos. Meskipun sama dengan agama ketika bicara tentang yang sakral serta soal ketiadaan referensi objektif akan yang sakral tersebut, mitos adalah barang haram. Ia selalu dihindari keberadaannya. Karena mitos adalah cerita yang sudah pasti bohong. Memercayainya sama dengan bertindak konyol. Mitos selalu dipertentangkan dengan ilmu pengetahuan. Jika ilmu pengetahuan sebagai yang

7

Dua istilah yang diambil dari filsuf modern asal Jerman, Immanuel Kant. Lebih jauh lih. F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), h. 141

8

Dalam al-Quran dikatakan bahwa nabi Musa perrnah bercakap-cakap dengan Tuhan. Akan tetapi tidak sedikit yang mengartikan itu sebagai proses percakapan batin atau ruhani.


(13)

benar, maka mitos sebagai yang salah. Karenanya, sebisa mungkin kita menghindarinya, dan beralih pada ilmu pengetahuan karena pasti benar, empirik dan terukur.

Roland Barthes (1915-1980), pemikir Prancis yang ikut andil dalam perdebatan teori mitos dengan pendekatan semiologi Saussurean, dengan lantang menyerukan agar kita tidak perlu menghindari mitos. Mitos menurutnya bukan seperti dipandang orang awam, cerita “bohong” sekaligus ditakuti. Juga bukan seperti kalangan positivis yang menganggap itu sebagai tahayul yang harus dibuktikan secara empiris, jika ingin dianggap sebagai kebenaran. Bagi Barthes, mitos adalah “a type of speech”9, satu model berujar. Ia hadir dalam keseharian kita. Bukan hanya dari kisah-kisah nenek moyang saja, melainkan hadir lewat televisi, radio, koran, film, musik, majalah makanan, kendaraan dan sebagainya. Setiap kita, entah orang awam atau ilmuan selalu bersentuhan dengan mitos. Karena mitos ada dalam sistem bahasa. Sementara setiap kita juga hanya dapat berujar melalui sistem bahasa tersebut. Sistem bahasa dibangun atas pertukaran tanda secara terus menerus.

Mitos yang diidentifikasi oleh Barthes ini adalah mitos dalam pendekatan bahasa struktural10. Mitos dilihat dari unsur terkecil dalam struktur bahasa: penanda

(signifier) dan petanda (signified). Anggur sebagai “minuman yang memabukan”

adalah bahasa objektif. Karena penandanya anggur dan tinandanya “minuman yang memabukan”. Akan tetapi, ketika penandanya anggur dan tinandanya sudah dirubah menjadi “minuman kelas atas yang menyehatkan” telah terjadi peningkatan makna. Inilah yang disebut dengan mitos.

9

Roland Barthes, Mythologies (London : Paladin Book, 1976) p.34 10

Pendekatan ini digunakan tidaka lepas dari pengaruh strukturalisme yang digagas oleh Ferdinand de Saussure. Istilah kunci dalam bukunyaThe Element of Semiology, Barthes tidak pernah keluar dari istilah-istilah kunci Saussure. Misalnya soal langue dan Parole. Atau soal signifier (citra akustik bahasa) dan signified (konsep) sebagai pembentuk sign (tanda atau bahasa). Lih.. Barthes,


(14)

Setiap hari, mitos dalam pengertian tersebut diinternalisasi ke dalam ingatan kita. Penjejalan mitos ini terutama melalui media. Media tanpa henti menjejalkan mitos-mitos berupa iklan, feshion, style, dan lain sebagainya. Kita tidak bisa menghindarinya. Setiap detik media massa, terutama media elektronik, menampilkan image, kesan-kesan, kata-kata, gambar-gambar yang kemudian membentuk makna-makna. Kita tidak menyadari perubahan makna sedemikian cepatnya dan menganggap hasil perubahan itu sebagai makna natural atau makna asali. Contohnya, televisi setiap hari, bahkan mungkin setiap jam, menyuguhkan iklan pasta gigi, mereknya “Pepsodent”. Karena setiap jam kita melihat iklan itu, tanpa kita sadar Pepsodent itu kemudian kita anggap bermakna “pasta gigi” itu sendiri. “Pasta gigi” kini menjadi makna natural bagi “Pepsodent”.

Jika demikian, apakah bahasa dalam agama luput dari mitologisasi? Roland Barthes tidak membahas soal ini. Akan tetapi, menurut penulis, meskipun Roland Barthes tidak membicarakannya, bahasa dalam agama memiliki struktur bahasa yang serupa dengan bahasa lain, yakni tanda (sign) yang juga terdiri dari penanda (signifier) dan petanda (signifed). Pemitosan pada ajaran agama sangat mungkin terjadi pada level bahasanya. Bahkan ajaran agama sekalipun barangkali adalah bentukan mitologisasi pada zamannya. Karena wahyu, atau informasi dari Tuhan, sebagai sumber bahasa agama, senantiasa menggunakan bahasa metafor. Artinya makna dalam setiap kalimat merupakan bentukan dari makna dasar.

Misalnya, nama “al-Quran” untuk kitab suci umat Islam. “Al-Quran” sebagai penanda, maka tinandanya adalah “bacaan”. Kini tinandanya adalah “kitab suci”. Peralihan kesan ini berarti mitologisasi. Bahkan kalau kata “al-Quran” keluar dari mulut teman kita, kesan yang muncul bukan “bacaan biasa” melainkan “kitab suci yang tidak boleh menyentuhnya kecuali dalam keadaan suci, tidak boleh


(15)

menginjaknya, membakarnya dan sebagainya”. Makna pada tingkat kedua sudah sedemikian naturalnya, sehingga kita menganggapnya demikian.

Barthes juga mengatakan bahwa mitos sebagai sistem bahasa selalu sudah mengandung ideologi. Konsep pada sistem mitis merupakan ide-ide atau gagasan kelompok tertentu yang menyelewengkan sistem bahasa dalam sisem mitis tadi demi kepentingan kode yang ada dalam kelompok tersebut. Artinya, gagasan tidak berangkat dari ruang kosong. Ia muncul karena ada persoalan yang mesti diatasi olehnya. Akan tetapi, untuk mendapat legitimasi mesti menggunakan sistem bahasa yang ada. Mitos yang sudah sedemikian mapan menjelma menjadi ideologi.

Jika dalam bahasa agama terjadi semacam mitologisasi, berarti di dalamnya sudah melekat ideologi. Oleh kerenanya, bahasa agama sangat mungkin didiami oleh ideologi apapun yang ada di dunia ini. Termasuk ideologi yang mengusung jalan kekerasan dalam cara beragama. Di sanalah kekerasan agama mendapat legitimasi. Apakah demikian? Bagaimana menjelaskan secara teknis mitologisasi bahasa agama berlangsung? Bagaimana ideologi merasuk kedalam sistem mitis bahasa agama? Persolan inilah yang kemudian menginspitrasi penulis untuk menelusuri persoalan tersebut secara kebahasaan melalui kaca mata Barthesian.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Mitologisasi berarti proses pembentukan dari bahasa objektif atau denotatif ke bahasa konotatif sehingga menghasilkan sistem penandaan baru yang kemudian disebut sebagai mitos. Mitologisasi ini berlaku untuk bahasa apapun, selagi itu bahasa manusia. Tidak untuk bahasa lain, misalnya bahasa binatang atau tumbuh-tumbuhan.


(16)

bisa berupa tafsir atasnya atau pembicaraan sehari-hari yang terkait dengan Tuhan dan kitab suci.

Analisa Kritis berarti telisik atas objek kajian secara kritis. Kritis berarti mengungkap secara jelas jika memang dalam objek kajian terdapat krisis. Kritis di sini jangan diartikan sebagai sikap nyeleneh. Mengungkap krisis dalam objek kajian didasari keinginan merekonstruksi kajian agama dari sisi bahasa sekuat mungkin. Kata dari dalam judul di atas tidak lain memaksudkan bahwa analisa kristis tersebut dilihat dari kacamata metodologi tertentu, dalam hal ini semiologi Roland Barthes.

Semiologi adalah salah satu ilmu yang dicetuskan oleh Ferdinand de Saussure. Dikatakan sebagai ilmu karena objek kajiannya, yakni bahasa diperlakukan sebagai sesuatu yang objektif. Bahasa dapat dikuliti dan dibedah karena di tangan Saussure bahasa adalah struktur yang terdiri dari penanda (signifier) dan petanda (signified), atau dalam istilah Barthes, bentuk (form) dan konsep (concept). Semiologi ini diadopsi Barthes seraya mengembangkan kedua unsur bahasa ini menjadi makna awal (denotatif) dan makna tingkat II (konotatif).

Roland Barthes, seperti akan kita lihat kemudian adalah filsuf Prancis yang secara khusus menulis tentang mitos modern dalam bukunya Mythologies. Karya-karyanya sangat berpengaruh terutama bagi sarjana yang ingin meneliti dan mengkritisi budaya massa.

Beberapa masalah yang ingin dijelaskan dalan skripsi ini adalah sebagai berikut:

• Bagaimana bahasa agama menjadi mitos?

• Jika dalam sistem mistis sudah menjadi ideologi, bagaimana ideologi tersebut bekerja dalam bahasa agama?


(17)

C. Tujuan Pembahasan

Harapan penulis, ada tiga tujuan yang hendak dicapai karya yang berada di tangan Anda ini. Pertama, pembaca sadar akan status bahasa agama dan mitos di tengah masyarakat dewasa ini. Di sini pembaca diajak menyelami kedalaman makna yang terkandung dalam bahasa agama dan mitos. Sehingga apa yang kita yakini sebagai bahasa agama dan mitos mendapat pendasaran yang kuat.

Kedua, paparan yang clear mengenai bahasa agama dan mitos dapat

menumbuhkan konsepsi baru. Melaluinya, kita bisa lebih adil menghadapi keduanya sebagai fakta sosial, yang mau tidak mau hadir di tengah-tengah kita.

Ketiga, akhirnya pemahaman baru dari karya ini tentang mitologisasi bahasa agama dapat menumbuhkan pandangan moral yang jelas. Karena dalam bahasa agama, baik-buruk dipertaruhkan. Pengertian yang buram tentangnya akan melahirkan sistem nilai yang buram pula. Begitu juga sebaliknya.

D. Kajian Pustaka

Dalam penelusuran penulis, Komarudin Hidayat, seorang professor Filsafat di UIN Jakarta yang kini menjabat sebagai Rektor, telah menulis buku yang berjudul

Memahami Bahasa Agama dan Menafsir Kehendak Tuhan. Dalam dua bukunya

bahasa agama mendapat perhatian khusus. Akan tetapi, bahasa agama didekati dengan menggunakan pendekatan filsafat bahasa Wittgenstein (1889-1951). Ini berbeda dengan apa yang akan saya bahas dalam skripsi ini. Karena Komaruddin menggunakan pendekatan Wittgensteinian, dengan begitu pembahasannya kemudian terfokus pada bagaimana bahasa beroperasi dalam language game tertentu; bagaimana wahyu ditafsir dalam bahasa agama beroperasi dalam budaya tertentu. Bahasa agama hanya dibahas pada level tata bahasa, tidak pada struktur.


(18)

Konsekuensinya, membincang bahasa agama berarti mencari manfaat pragmatis dari bahasa agama yang ada. Sementara skripsi yang ada di hadapan Anda lebih terfokus pada bahasa agama dalam analisa semiologi. Analisa ini ingin mengurai bahasa pada struktur dengan analisa semiologi yang dikembangkan oleh Roland Barthes, yang dalam buku Komaruddin tidak masuk, bahkan tidak ada dalam daftar indeks. Ini berarti Roland Barthes tidak pernah dikutip sekalipun dalam buku itu.

Begitu juga dengan K. Bertens dalam bukunya, Panorama Filsafat Modern

memuat satu bab mengenai bahasa religious (agama). Akan tetapi, di sana ditulis dalam rangka memaparkan perkembangan filsafat analitik dalam melihat bahasa agama. Di dalamnya tidak menyinggung perbandingan bahasa agama ini dengan mitos. Hanya memaparkan bahasa agama berdasarkan periode dalam perkembangan filsafat analitik di Inggris dan sekitarnya. Meski demikian, dua buku di atas sangat membantu dalam menelusuri kajian skripsi ini.

Kemudian pada tahun 1998, Rony Subayu, mahasiswa Tafsir Hadits menyelesaikan S1 dengan judul “al-Quran sebagai Narasi Mitis: Konsep Mitis

Roland Barthes sebagai Metode Tafsir”. Hanya saja dalam tulisannya, analisa

Barthesia digunakan untuk menafsir al-Quran. Dalam tulisan tersebut saya masih melihat inkonsistensi. Misalnya, ketika dikatakan bahwa tafsir mitis ini hanya berlaku untuk ayat-ayat mu’amalah, tidak untuk ayat-ayat ‘ubudiyyah. Padahal bukankah ayat-ayat ‘ubudiyyah juga tidak lepas dari bahasa?

Kemudian, analisa mitis Barthesian bukan untuk mencari makna objektif di balik bahasa tersebut seperti yang dikira Bunyamin, layaknya konsep elan vital Fazlur Rahman. Justru Barthes ingin memperlihatkan, menurut penulis, bahwa mitos akan senantiasa berjalin berkelindan dalam setiap bahasa. Nah, dalam bahasa agama, soal ‘ubudiyyah sekalipun proses mitologisasi ini mungkin terjadi. Kalau sudah terjadi


(19)

mitologisasi, tidak untuk dicari makna sesungguhnya, melainkan mencipta makna. Skripsi ini lebih menekankan pada penciptaan makna (mitos) baru yang dilandasi oleh nilai-nilai kemanusiaan.

Mengapa Barthes? Karena melalui kajian semiologinya, ia berhasil mengungkap makna baru dalam melihat mitos. Sementara itu, bahasa agama juga mempergunakan bahasa manusia yang dapat terbaca melalui analisa semiologi yang dibangunnya. Jadi, penulis tertarik untuk menganalisa secara kritis mitologisasi bahasa agama dari perspektif Barthesian. Dengan asumsi: jangan-jangan apa yang kita yakini—dalam hal ini agama—selama ini tidak berbeda dari mitos. Apakah itu karena konsep mitos yang kita yakini selama ini juga kurang tepat rumusannya? Ataukah sebaliknya? Inilah signifikansi tulisan ini dibanding tulisan lain yang pernah ada.

E. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah kajian tokoh, yaitu kajian yang objek kajiannya adalah salah satu tokoh semiologi yang bernama Roland Barthes. Sebagai kajian tokoh, studi ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriftif-analitis, yaitu penulis menggambarkan permasalahan dengan didasari pada data-data yang besumber pada buku, baik data primer maupun data sekunder. Kemudian menganalisisnya secara proporsional. Digunakannya pendekatan kualitatif ini merupakan upaya untuk memperkaya perolehan data guna dapat lebih mempertajam analisa.11

2. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan datanya dengan menggali informasi sebanyak-banyaknya tentang mitos dari sumber primer. Adapun sumber primer skripsi ini

11

Robert Bogdan and Steven J. Taylor, Introduction to Qualitative Research Methods, (New York: Jhon Wiley & Son, 1975), h. 4; lihat juga, Masri Singarimbun dan Soffian Efendi, Metode Penelitian Survey, (Jakarta: LP3ES, 1995), cet. I, h. 9


(20)

adalah dua buku Rolad Barthes: Elements of Semiology dan Mythologies. Dua buku ini sangat penting melihat konsep dasar semiologi yang dibangun Barthes, sekaligus juga konsepnya tentang mitos. Adapun buku lain seperti, The Pleasure of the Text dan

Image, Music and Text, akan melengkapi dua buku sebelumnya.

Selain data primer, skripsi ini juga akan mencari data pendukung bagi data primer tadi. Dalam hal ini mengumpulkan gagasan yang terkait atau komentar terhadap pemikiran Roland Barthes. Data ini akan diperoleh dari misalnya Jurnal Filsafat, majalah yang banyak bermain dengan iklan, koran, dan lain sebagainya. Kemudian juga saya akan menambahkan data yang bisa mendukung, yakni data survei yang pernah dilakukan Lembaga Survey Indonesia (LSI) mengenai Radikalisme Agama.

Sedangkan teknik penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada Lampiran 2:

Teknik Penulisan Makalah dan Skripsi dalam buku Pedoman Akademik yang

diterbitkan oleh Fakultas Ushuluddin dan filsafat UIN Jakarta Press, tahun 2006-2007.12

F. Sistematika Penulisan

Mengacu kepada metode penelitian di atas, pembahasan skripsi ini terdiri dari empat bab dan masing-masing bab terdiri dari sub-bab. Adapun secara sistematis bab-bab tersebut adalah sebagai berikut:

Bab pertama diawali dengan pendahuluan yang menguraikan argumentasi seputar signifikansi studi ini. Di dalamnya, terdiri dari latar belakang masalah,

12

Tim Penyusun UIN Jakarta, Pedoman Akademik (Jakarta: FUF UIN Jakarta Press 2006-2007), cet. II, h. 87-105.


(21)

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan, kajian pustaka, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

Bab kedua mengungkap biografi dan perjalana intelektual Roland Barthes hingga gagasan-gagasannya diakui dan dikenal publik hingga kini. Tentu saja, Barthes tidak berdiri di ruang kosong. Artinya, ada pemikir yang memengaruhinya dalam menentukan sikap pikirnya. Sehingga kita tahu kenapa rumusan semiologinya demikian? Juga kenapa konsep mitosnya dimengerti dalam kerangka yang sama sekali baru?

Bab ketiga akan dibahas bagaimana Roland Barthes memahami mitos dalam kerangka semiologi. Namun, sebelumnya akan diperlihatkan sejenak teori-teori mitos yang sudah sejak zaman Yunani kuno ada. Hal ini penting untuk melihat di mana letak signifikansi dan menariknya gagasan Barthes. Kemudian kita juga akan melihat bagaimana kritik Barthes terhadap para pendahulunya dalam membicarakan mitos.

Bab keempat merupakan inti persoalan yang diangkat dalam skripsi ini, yaitu membincang bahasa agama dengan pendekatan semiologi. Sehingga diharapkan terbongkar hakikat bahasa yang dipegang oleh setiap agamawan. Apakah mitologisasi memang batul-betul telah, tengah dan akan terus berlangsung? Jika demikian adanya, apakah bahasa agama adalah mitos. Bab inilah inti dari seluruh penelitian ini.

Akhirnya, penelitian (skripsi) ini ditutup dengan bab kelima yang berisi kesimpulan dan saran-saran. Hal ini penting untuk menjelaskan sekaligus menjawab beberapa pertanyaan yang termuat dalam rumusan masalah.


(22)

BAB II

BIOGRAFI ROLAND BARTHES

C. Riwayat Hidup

Dalam sejarah pemikiran, khususnya kajian budaya (culture studies), Roland Barthes adalah salah seorang intelektual terpenting. Sumbangan pemikirannya mengenai budaya massa sangat besar. Analisa budaya yang dikembangkan Barthes, utamanya teori mitos, menjadi kunci mengkaji kebudayaan lebih luas. Dengan gayanya yang ngepop, Barthes berhasil merumuskan teori mitos yang bisa menelisik budaya yang sudah seolah terlihat natural atau alamiah. Meskipun, Barthes sendiri mengatakan bahwa teks adalah ruang multidimensi yang di dalamnya tidak ada yang orisinal, saling berbenturan dan melebur13. Barthes pun menyadari bahwa karyanya adalah bagian dari peleburan ini.

Roland Barthes lahir di Charboug pada tanggl 12 November 191514. Ia terlahir dari pasangan Louis Barthes, seorang perwira angkatan laut, dan Henriette Barthes, seorang Protestan yang taat15. Dalam sejarah hidupnya, ia tidak pernah mengenal langsung sang ayah. Belum lagi usianya setahun, Barthes sudah ditinggalkan ayahnya ke medan pertampuran di laut Utara, dan meninggal di sana. Sepeninggal ayahnya,

13

Roland Barthes, Image, Music, Text, (Glasgow: Fontona, 1977) h. 146 14

David Herman, Roland Barthes, dalam Hans Berens and Joseph Natoli, Postmodernism: The Key Figure, (Massachusetts: Blackwell, 2002), h. 38

15

Jonathan Culler, Seri Pengantar Singkat: Barthes (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2003) cet. I, h. 16


(23)

Barthes hijrah bersama ibu, bibi dan neneknya ke Bayonne. Di sana, Barthes mendapatkan kasih sayang yang sangat besar dari keluarganya, dan menghabiskan masa kanak-kanak sebelum diajak ibunya tinggal di Paris. Selama di Bayonne, Barthes mendapat pelajaran musik dari bibinya. Di sanalah ia pertama kalinya bersentuhan dengan budaya.16

Pada usia ke 9, Barthes dibawa ibunya ke Paris. Di Paris, ia tumbuh dewasa. Pendidikan formal ia tempuh di Lycée Montaigne (1924-30) dan Lycée louis-le-grand (1930-34). Ia mengaku bahwa saat itu ia merasakan sangat bahagia karena kasih sayang ibunya yang melimpah, meskipun dalam kondisi kesepian (tanpa ayah asli) dan ekonomi yang minim. Tahun 1927, ibunya melahirkan adik tirinya, Michel Salzado17. Sejak itu nenek Barthes mengehetikan bantuan finansial karena Salzado adalah anak yang tidak mendapat restu keluarga. Ibunya kemudian bekerja sebagai tukang jilid buku untuk menghidupi keluarga.

Barthes adalah seorang aktivis tulen. Di usianya yang ke-19, ia sudah terlibat dengan kelompok DRAF, sebuah organisasi politik anti-fasisme Jerman. Dalam organisasi itu ia mendapatkan pelajaran berharga tentang bagaimana kejamnya fasis Jerman. Jiwa aktivisnya berlanjut pada saat Barthes terbebas dari wajib militer karena ia mengidap penyakit TBC, ia berpastisipasi kembali dalam protes melawan fasisme. Keterlibatan ini tidak lepas dari semangat yang kuat dalam diri Barthes untuk

16

Roland Barthes, www.Semiotict.com 17


(24)

menentang kekejaman fasis Jerman. Setahun sebelumnya, ia membuat tulisan pertamanya tentang Plato18.

Pendidikan sarjananya, ia tempuh di Sorbonne. Ia mendapatkan gelar sarjana di bidang sastra klasik tahun 1939. Semasa kuliah, sekitar tahun 1937, ia sudah menjadi pemandu bahasa asing di Hungaria. Setahun kemudian ia melakukan penjelajahan ke Yunani bersama grup teater yang didirikannya, Théâtre Antiqua. Perjalanan ini sangat mendukung studi sastra klasik yang sedang ditempuhnya.

Setelah menyelesaikan kesarjanaannya di bidang sastra klasik, Barthes kemudian mengajar di Lycée in Biarritz selama setahun (1939-1940). Tahun berikutnya ia menjadi asisten dan pengajar di Lycée Voltaire dan Lycée Carnot, Paris. Mengajar di sana juga hanya setahun. Bersamaan dengan mengajar di Paris ini, Barthes mendapat gelar kesarjanaan lagi dalam studi Tragedi Yunani. Bulan oktober 1941, Barthes harus bergulat dengan penyakit tubercolosis19. Penyakit inilah yang senantiasa “menemani” perjalanan karier akademisnya. Tahun berikutnya, ia mendapatkan perawatan intensif di Sanatorium des Ẻtudiants, Saint Hilaire-du-Touvet, Isére. Pergulatan yang cukup melelahkan bagi seorang Barthes.

Setelah dinyatakan bebas dari penyakitnya, kemudian Barthes menyelesaikan studinya dalam bidang grammer dan philology di usianya yang ke-28. Akan tetapi, pernyataan bahwa ia bebas dari tuberculosis tidak berlangsung lama. Persinggahan

18

David Herman, Roland Barthes, h. 38 19

Roland Barthes, The Grain of the Voice, Interview 1962-1980, trans. By Linda Coverdale, New York: Hill and Wang, 1985. h. 368


(25)

keduanya di Sanatorium cukup lama, sekitar 3 tahun. Selama di balai pengobatan itu, Barthes sempat mempelajari ilmu pra-medis (the madical preliminary examination), yang konsentrasinya psikiatri. Diduga banyak kalangan bahwa di sanalah ia berkenalan dengan pemikiran Freud secara intensif. Selama itu pula ia sangat berhasrat untuk melahap seluruh karya J. P. Sartre dan Karl Marx. Sehingga pada gilirannya, Barthes menjadi sangat Sartrean dan Marxian. Meskipun, ia tidak mau berlama-lama dan terjebak dalam kubangan dua pemikir itu. Akhirnya, tahap penyembuhan pun ia jalani di Leysin, klinik Alexandre, Sanatorium Universitaire Suisse.

Setelah benar-benar dinyatakan sembuh, Barthes kemudian menerima tawaran sebagai asisten pustakawan di Institute of Bucharest. Berkat ketekunannya, ia kemudian menjadi pengajar di institut tersebut dan menjadi professor di sana. Tidak saja itu, Barthes juga menjadi Reader20 di University of Bucharest21. Selain itu juga dia menjadi dosen di Universitas Alexandria, Mesir (1949-50). Di sana ia sempat resmi menjadi warga negara Mesir. Keberadaannya di Mesir itu merupakan momen penting bagi Barthes. Untuk pertama kalinya ia berkenalan dengan ilmu linguistik modern dari salah seorang professor di sana, A.J. Greimas. Ini adalah momen penting sebagai intelektual yang di kemudian hari sangat berpengaruh dalam jagat pemikiran

20

Reader adalah setingkat di atas lecture di kampus-kampus Inggris dan setingkat di bawah

professor. Lih. MicrosoftEncarta Dictionory tools. 21


(26)

budaya. Di sana pula, ia menjadi kontributor untuk jurnal Combat, jurnal terkemuka sayap kiri (left-wing) di Paris.

Sepulangnya ke Paris, tepatnya pada tahun 1950, Bartes menjadi direktur pada Générale des Affaires Culturelles, organisasi pemerintah yang berkonsentrasi dalam bidang pengajaran bahasa Prancis di luar negeri. Jabatan ini ia emban hingga dua tahun berikutnya. Setelah itu, ia kemudian terlibat dengan Center National de la Recherche Scientifique (1952-1954). Di sana, Barthes sibuk melakukan penelitian dalam bidang leksikologi, terutama mengenai kosakata dalam perdebatan sosial di awal abad 19. Barthes juga sempat menjadi penasehat sastra di sebuah penerbitan buku Ẻditions de l’Arche selama setahun22.

Rentang 1955-59, Barthes bergabung kembali dengan Center National de la Recherche Scientifique untuk melakukan penelitian dalam bidang sosiologi. Selama keterlibatannya pada lembaga penelitian tersebut, Barthes memublikasikan buku pertamanya Writing Degree Zero (1953). Buku ini merupakan kumpulan artikel yang semula ditulis untuk jurnal Combat. Buku lain yang dipublikasi Barthes setahuan kemudian adalah Michelet par lui-meme (1954). Buku ini juga masih seputar pemikiran awal Barthes dalam bidang sastra. Saat-saat itu, ia pernah mendirikan kolompok studi tentang kebudayaan kontemporer yang kemudian melahirkan karya paling cemerlang dalam sejarah karier intelektualnya, Mythologies (1957).

22


(27)

Mengantongi kesarjanaan di bidang sosiologi, Barthes kemudian bekerja sebagi direktur di Ẻcole Pratique des Hautes Ẻtudes (1960). Saat itu ia mengepalai bagian VI, yakni bidang ilmu sisiologi-ekonomi. Dua tahun berikutnya, 1962, ia dipercaya menangani bidang sosiologi tanda, simbol dan representasi (sosiology of signs, symbols and representations). Jabatannya ini kelak manghasilkan karya yang sangat mendalam mengenai budaya, lebih khusus kritik sastra. Di tahun 1963, Barthes menerbitkan karya yang cukup cemerlang dan kontroversial, Sur Racine.

Pada tahun berikutnya, Barthes yang dikenal sebagai penulis produktif menerbitkan kumpulan esai yang ditulisnya selama menjabat direktur sosiologi-tanda dengan judul Critical Essays (1964). Pada tahun yang sama, Barthes juga menerbitkan buku Elements of Semiology. Ini adalah karya Barthes yang mengukuhkannya sebagai ahli linguistik. Di dalamnya tidak hanya mengungkapkan dengan gaya tulisan yang jernih, melainkan juga mengembangkan teori bahasa para pendahulunya.

Jabatan dalam bidang sosiologi tanda, ia emban hingga tahun 1967. Di tahun ini, Barthes kemudian mengajar di Universitas Johns Hopkins di Beltimore. Dalam kesibukannya ini, ia tetap menulis sejumlah esai dalam bidang mode. The Fashion

System (1967) adalah karya penting Barthes yang membicarakan mode dalam analisa

struktural. Karya ini juga sangat penting dalam perjalanan karier intelektual Barthes sebagai budayawan. Karya ini menjadi sumber pemikiran yang diperhitungkan dalam


(28)

analisa mode. Bukan hanya bagian dari concern pribadi, kota Paris, sebagai kota mode dunia, juga sangat mendukung kajiannya ini.

Momen penting lainnya adalah manakala Barthes melamar menjadi professor di Collége da France23. Ia diterima di sana sebagai professor di bidang semiologi sastra. Posisinya ini menjadi penting karena di sanalah ia bisa menegaskan peran semiologi sebagai pendekatan ilmiah, ilmu yang sejak tahun 50-an telah ditekuninya. Di samping itu, Collége da France adalah kampus paling bergengsi di Prancis, tempat para intelektual besar dalam ilmu sosial. Sebut saja Paul Valery, Merleau-Ponty, Althusser, Michel Foucault, dan lain-lain. Meskipun sebelumnya pemikiran Barthes selalu menjadi pusat perhatian intelektual di Prancis, posisi professornya semakin menegaskan bahwa gagasan yang diusung Barthes terbukti orisinal dan patut diapresiasi. Hingga kini Barthes memang menjadi ikon intelektual modis dalam berbagai bidang yang berkaitan dengan budaya. Mulai dari sastra, kajian media, film, fotografi, fesyen, dan lain-lain.

Proses menjadi professor di Collége da France merupakan sebagai momen paling membanggakan sekaligus mengharukan dalam kehidupan Barthes. Saat itu, banyak kalangan meragukan bahwa Barthes bisa menjadi Professor di Collége da France. Pasalnya, Barthes adalah intelektaul yang dikenal sebagai intelektual yang

fashionable, modis. Ia tidak pernah menulis buku setebal Derrida, atau Foucault. Di

23


(29)

samping itu, Barthes juga tidak menulis tema yang serius seperti mereka. Ia lebih banyak memusatkan perhatian pada budaya pop, mode misalnya.

Di tengah keraguan banyak pihak atas jabatan yang akan ia emban, ia berhasil memperlihatkan kepada banyak kalangan di Prancis, barangkali juga dunia, bahwa apa yang menjadi minatnya selama ini adalah problem akademis. Di samping itu, mungkin juga ini memperlihatkan keseriusan perguruan tinggi di Eropa, bahwa professor tidak diukur dari tebal-tidaknya buku yang dihasilkan, melainkan dari orisinalitas pemikiran.

Adalah Michel Foucault, filsuf sekaligus teman lama Barthes yang paling dilematis. Peran Foucault bagi “lamaran” Barthes adalah orang yang akan mewawancarai dan memberikan penilaian apakah ia layak atau tidak menjadi professor di sana. Di sisi lain, seluruh intelektual di Prancis tahu bahwa antara Foucault dan Barthes terlibat perseteruan intlektual yang serius. Sejak perkanalannya di tahun 50-an, kemudian hubungan mereka berubah menjadi perang dingin. Akhirnya, Foucault meminta seorang teman mendampingi—karena ia tidak cukup berani dengan situasi ini. Sepuluh menit kemudian “pengawal” Foucault itu keluar karena dia sudah merasa berani berhadapan dengan Barthes.

Hasilnya, Foucault memuluskan lamaran Barthes dan membawa dia untuk pidato di hadapan dewan professor dengan judul Leçon. Barthes bukan seorang yang kacang lupa akan kulitnya, dalam pidato tersebut, ia meyebut Foucault sebagai “dia


(30)

yang dengan baik hati telah berusaha memperkenalkan kursi ini dan orang yang mendudukinya kepada dewan profesor”24. Sebuah silaturhmi intelektual yang sangat mengharukan yang kemudian dimuat dalam koran paling bergengsi Le Monde25.

1978 adalah tahun yang berat dalam hidup Barthes. Ibu yang paling dicintainya meninggal dunia. Di awal disebutkan bahwa dengan susah payah ibunya membesarkan Barthes. Kasih sayang yang teramat besar sehingga Barthes amat terpukul atas kepergian ibunya ini. Salah satu foto ibunya menjadi inspirasi untuk refleksi fotografi dalam bukunya Camera Lucida (1980).

Akhirnya, takdir itu menghampiri. Siang itu, 25 Februari 1980, lepas dari pertemuan di Collége da France, Barthes tertabrak truk. Ia sempat dibawa ke RS. Di sana ini berjuang melawan kematian selama sebulan. Akan tetapi, perjuangannya harus berakhir sebulan berikutnya. Barthes meninggal tanggal 26 Maret 1980. Sosoknya boleh meninggal, karya terus hidup. Sebentuk eksplikasi dari the death of

author. Karyanya hidup dalam jejeraing tanda, dan maknanya bertebaran di luar

kontrol sang author, pengarang.

D. Genealogi Intelektual dan Karya-karyanya

Dalam jejaring sejarah intelektual Eropa, barangkali juga dunia, Barthes mengambil peran penting dalam menyumbangkan pikirannya untuk melihat gejala

24

Roland Barthes, Inaugural Lacture, College de France, 458 25


(31)

masyarakat pos-industri dewasa ini. Sumbangannya terutama dalam mengkaji budaya massa melalui analisa linguistik. Melalui pendekatan bahasa, Barthes ingin memperlihatkan kepada kita bahwa kita perlu melihat budaya massa secara kritis. Karena di balik budaya yang “diproduksi” secara massal melalui perantara bahasa, tidak kosong ideologi, atau meminjam istilah Habermas, kepentingan tertentu26. Barthes membuka kedok ideologi di balik budaya massa tersebut melalui tilikannya atas struktur bahasa.

Melihat persoalan sosial dalam tilikan (struktur) bahasa kala itu merupakan

trend di hampir semua bidang ilmu kemanusiaan (humaniora). Kegandrungan ini

sering kali disebut sebagai linguistic turn (pembalikan ke arah bahasa). Bahasa kemudian, meminjam istilah Michel Foucault, menjadi episteme27 dalam tradisi pemikiran Barat (dan bahkan trend ini menular pula di kalangan intelektual “Timur”). Sosiologi, antropologi, psikologi, sastra, dan lain-lain, gaduh dengan pendekatan ini. Meskipun hampir semua intelektual menggunakan pendekatan bahasa untuk menganalisa persoalan-persoalan sosial, Barthes bukan seorang yang terbawa arus tanpa kekhasan tersendiri menghadapi arus deras linguistic turn tadi. Bukan hanya cara penyampaiannya yang jernih, secara teoritis Barthes juga melakukan terobosan-terobosan dalam merekonstruksi konsep dasar para pendahulunya.

26

F. Budi hardiman, Menuju Masyarakat Komunkatif, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), h.63 27

Episteme adalah wacana yang lahir dari jejaring pengetahuan yang saling berhubungan. Wacana ini pada suatu zaman tetentu tren di semua bidang kajian. Episteme terutama dapat dipakai untuk menunjukan sejarah yang diskontinuitas. Lih. Michel Focault, Archeology of Knowledge, (New York: Routledge, 2002), h. 212-2215


(32)

Sebagai intelektual yang berpengaruh, Barthes tidak berangkat dari ruang kosong. Sebelumnya, telah hadir tokoh-tokoh intelektual besar yang cukup berpengaruh terhadap pikiran-pikiran Barthes hingga dirinya mendapat pengakuan internasional. Paling tidak, ada lima tokoh terkemuka yang cukup memengaruhi pemikiran Barthes. Yaitu, Jean Paul Sartre, Karl Marx, Ferdinand de Saussure dan inspirator pos-strukturalisme (Sigmund Freud dan Nietzsche). Pertama, pengaruh Jean-Paul Sartre (1905-1980), terutama muncul karena ketertarikan Barthes pada dunia sastra. Katertarikannya ini terutama mencuat setelah membaca karya-karya sastrawan Prancis ini. Selain sebagai pencipta seni, dalam hal ini penulis novel, Sartre juga adalah filsuf dan sekaligus kritikus sastra. Sekitar tahun 1948, Sartre terlibat dalam perdebatan panjang dengan para pengkritiknya. Kala itu, ia menerbitkan tulisan dengan judul What is Literature?

Tulisan ini merupakan serangan balik dari Sartre terhadap para pengkritik atas karyanya. Suatu perdebatan yang sangat sehat, di mana yang dipersoalkan bukan hujatan atas pribadi pengarang, melainkan lebih pada problematisasi argumen. Sehingga perdebatan mengarah pada proses penciptaan kreasi yang lebih segar. Tulisan itu terdiri dari tiga bagian, What is Writing?, Why Write, dan For Whom Does

One Write?. Dengan mengekplorasi tiga bagian ini, Sartre hendak menunjukan


(33)

Sartre membedakan dua hal yang terkait dengan sastra: bahasa (language) dan gaya (style)28. Bahasa sebagai komponen penting karena melalui bahasa karya bisa terwujud. Bila tidak punya kemampuan berbahasa dengan baik, karya tidak mungkin lahir. Selain bahasa, menurut Sartre, gaya juga adalah hal yang sangat penting. Kebebasan individu dalam berkreasi tertuang dari gaya. Pembedaan ini juga merupakan kecaman yang cukup keras terhadap para praktisi dan kritikus sastra yang kala itu menstabilkan bentuk sastra yang baik. Di sanalah individualitas diberangus.

Apa yang dilakukan Sartre, selain pembelaan atas karya-karyanya, juga merupakan bentuk dari dominasi eksistensialisme dalam tradisi kritik sastra sejak tahun 1940-an. Gagasan Sartre ini menjadi semacam “pedoman” dalam melihat sebuah karya. Dalam suasana seperti itulah buku Writing Degree Zero (1953) lahir. Buku ini adalah karya perdana Barthes, sebagai respon atas hangatnya perdebatan soal tanggung jawab sastra kepada masyarakat. Buku ini, seperti diperlihatkan Sontag sebagai revisi kecil atas buku What is Literature-nya Sartre.

Barthes menerima bahasa dan gaya Sartre. Menurut Barthes, bahasa dan gaya adalah dua hal yang secara alamiah harus dimiliki seorang penulis. Dalam hal ini Barthes menambahkan unsur ketiga, yaitu tulisan (writing). Tulisan, berbeda dengan bahasa dan gaya, merupakan ungkapan kedirian sang penulis. Di sanalah penulis peduli akan dirinya. Bukan gaya, melainkan tulisan itu sendiri. Ritme, nada, etos suasana haru, kecewa dan sebagainya terlempar begitu saja. Tulisanlah bentuk paling

28


(34)

mewakili kedirian seseorang. Di dalamnya seseorang bisa memanipulasi gaya konvensional berdasarkan pada efek-efek hasrat. Tindakan menulis berarti tindakan berkreasi dan unik bagi setiap orang. Di sinilah pengaruh eksistensialisme mengalir dalam diri Barthes. Bagaimana menemukan eksistensi diri dengan menemukan kebebasannya dalam menulis.29

Di sini kita bisa melihat pengaruh tradisi eksistensialisme dalam pikiran Barthes. Meskipun kemudian dia tidak serta merta diklaim sebagai eksistensialis. Karena buku ini lebih pada kritik sastra. Hanya saja, pengaruh tradisi itu kentara ketika Barthes menyuguhkan gagasan writing sebagai capaian eksistensi manusia. Setralitas keunikan individu dalam writing inilah yang membuka jalan Barthes melakukan kritik terhadap sastra. Minat Barthes akan dunia sastra merupakan minat dasar dalam dirinya. Kecintaannya terhadap sastra, yang dimulai dari buku ini, membuat minatnya berkembang ke bidang-bidang lain. Kritik ideologi, teori sastra, kritik budaya massa, fotografi, mode dan lain-lain.

Kedua, Karl Marx (1818-1883). Sebagaimana telah disebutkan di awal bahwa

selama di sanatorium, proses penyembuhan dari penyakit TBC, Barthes mempelajari dengan seksama karya-karya Marx. Meskipun ia tidak membuat semacam komentar, atau buku yang secara khusus atas pikiran-pikiran Marx, pengaruh Marx cukup kental dalam karya-karya Barthes berikutnya. Pikiran-pikiran Marx “berjaya” pasca perang dunia kedua di Eropa. Kecemerlangan Marx dalam menganalisa gejala sosial, tidak

29


(35)

saja berpengaruh terhadap praktisi politik untuk menjalankan pemerintahannya, tetapi juga intelektual setelahnya. Barthes adalah salah satunya.

Minat atas sastra membuka jalan Barthes untuk mengembangkan minatnya atas budaya secara umum. Di sinilah pikiran Marx terlihat. Kata pengantar edisi revisi buku Mythologies misalnya, Barthes mengatakan bahwa bukunya itu dimaksudkan sebagai kritik ideologi. Barthes dalam esainya Myth Today, secara eksplisit mengutip Marx untuk menunjukan ideologi borjuis. Melalui semiologi, ia ingin membongkar mistifikasi budaya borjuis-kecil (petit-bourgeois) menjadi budaya universal.

Kecenderungan Barthes terlibat dalam perdebatan soal kritik ideologi ini tidak lepas dari pengaruh pikiran-pikiran Marx di Prancis kala itu. Para intelektual seperti tersihir dengan gagasan Marx mengenai ideologi. Pendekatan yang diberikannya pun sudah sedemikian berkembang. Selain Sartre, filsuf yang pernah menjadi bagian dari kelompok komunis, orang yang juga mengantarkan gagasan Marx kepada Barthes, adalah Louis Althusser. Barthes adalah salah satu mahasiswa Althusser. Dalam perkembangannya, Barthes yang beda generasi dari Althusser memiliki minat yanag sama: ideologi.

Marx memaknai ideologi sebagai gagasan yang mengelabui kesadaran manusia, terutama kelas buruh (proletar). Marx melihat ketidak-adilan dalam sistem sosial waktu itu. Output para buruh tidak sesuai dengan keringat yang telah dikeluarkan untuk memproduksi barang (berkarya). Para pemilik modal (borjuis)


(36)

adalah kelas yang telah mengeksploitasi keringat para buruh. Sebagai pemilik modal, mereka memperlakukan buruh sebagai alat yang akan melipat gandakan modal. Selain menguasai alat, para pemilik modal juga mengendalikan kesadaran proletar. Melalui agama, budaya, negara, gagasan borjuis tersebar bahwa kondisi ini seolah-olah berlangsung kodrati. Ideologi borjuis telah mengelabui keadaan yang sesungguhnya.

Para pewaris Marx telah mengembangkan gagasan ideologi. Althusser misalnya, buat dia ideologi merupakan sebentuk panggilan akan kedirian

(interpellates individual as subject)30. Gramsci mengartikan ideologi sebagai

pandangan dunia. Tidak seperti intelektual lain, Barthes tidak berupaya mencari definisi ideologi. Barthes lebih tertarik untuk menganalisa cara keberadaan ideologi dalam suatu masyarakat dan cara ideologi itu dihasilkan dan dikonsumsi melalui penelitian terhadap bahasa. Buku Mythologies adalah buku paling fundamental yang menelisik ideologi di masyarakat melalui analisa semiologi.

Ketiga, Ferdinand de Saussure. Tokoh lain yang memengaruhi karier

intelektual Barthes adalah Saussure. Pengaruh Saussure dalam pemikiran Barthes teramat kuat. Bahkan para komentator mengatakan bahwa Barthes adalah one of the leaders of structuralist school31. Sebutan ini, Barthes sendiri tidak terlalu suka karena menurut dia momen sebagai seorang strukturalis adalah salah satu momen dari seluruh kariernya. Meski sebutan ini kurang disukai Barthes, tapi wajar saja sebutan

30

Louis Altusser, Ideology Interpellates Indivisuals as Subject dalam Paul Du Gay,ed.

Identity: a Reader, (London: Sage Publication, 2000) h.31 31


(37)

itu melekat pada dirinya. Pasalnya, ia menulis beberapa buku yang sistematis—sistem yang ia ambil dari pendekata semiologi atau strukturalisme—pada fase itu.

Ketertarikan Barthes terhadap pikiran-pikiran Saussure bisa dibaca pertama-tama bukan ketertarikan pribadi. Hingga tahun 70-an, strukturalisme yang merupakan

output semiologi Saussurean menyelimuti aura intelektual Perancis. Barthes menjadi bagian yang terlelap dalam dekapan selimut semiologi Saussurean. Hampir semua pemikiran yang hidup dalam rentang antara tahun 50-70an terpengaruh oleh semiologi ciptaan Saussure. Semiologi Saussurean pada perkembangannya menggoyahkan makna fenomenologis yang dikembangkan Sastre kala itu. Setelah terlibat dalam diskusi semiologi secara serius, mempelajari semiologi ternyata kemudian menjadi sebuah ketertarikan pribadi. Barthes begitu kagum melihat kemungkinan pengembangkan teoritis yang dijanjikan semiotika untuk mengatasi persoalan hubungan antara bahasa, budaya dan ideologi.

Barthes kemudian menyebut momen ini sebagai moment of science atau

moment of scientificity. Sejak Saussure sendiri sebenarnya kajian semiologi ingin dijadikan sebagai pendekatan ilmiah. Yakni, dengan mnempatkan bahasa sebagai objek yang dapat dikaji dan dianalisa secara objektif. Bahasa menjadi objektif karena ia lepas dari manusia, mengatasinya. Bahasa adalah semesta tanda yang terstruktur sedemikian rupa sehingga semiologi bisa memperlakukannya sebagai entitas yang objektif. Barthes juga demikian. Bagi dia, ini adalah momen untuk memeriksa


(38)

seluruh kemungkinan klaim semiologi dalam mengkaji kebudayan ummat manusia sebagai pendekatan ilmiah. Penelusuran Barthes atas semiologi bukan hanya sebatas memperkenalkan pemikiran Saussure (bapak semiologi), penerus, dan penafasirnya, melainkan juga membuka ruang imajinsi intelektual dalam sejarah dunia modern. Semiologi menjadi salah satu pendekatan ilmiah di antara pendekatan ilmu kemanusiaan yang sudah ada: sosiologi, antropologi, psikologi dan sebagainya. Melalui semiologi, kajian budaya dapat diteliti secara sistematis, terperinci dan objektif.

Buku Elements of Semiology (1964) adalah bentuk konkrit dari momen ini. Buku ini lahir untuk kepentingan ia mengajar semiologi di Ẻcole Pratique des Hautes

Ẻtudes. Buku ini semacam textbook semiologi Saussurean karena ditulis secara padat, sistematis, programatis, dan penuh informasi teoritis. Di dalamnya mengulas istilah-istilah semiologi Saussure dan perkembangannya oleh para penerus Saussure. Selain ulasan, juga mengembangkan kemungkinan tanda pada level yang melampaui sistem linguistik: sistem mitologi. Tidak heran bila Gottdiener menyebut Elements sebagai buku paling berpengaruh dalam bidang semiologi sejak perang dunia II32. Penilaian ini tidak berlebihan karena di dalamnya memang menyajikan overview ringkas namun menyeluruh tentang semiologi dan prospoknya bagi pngembangan sebuah pendekatan semiologi dalam kajian budaya modern.

32


(39)

Pengaruh Saussure dan upaya scientificity sebenarnya sudah terlihat dari buku sebelumnya, Mythologies (1957). Buku ini bagi karier Barthes adalah the founding text bagi kajian budaya media dengan pendekatan semiologi. Pikiran-pikiran Saussure sudah terlihat jelas pada Myth Today, bagian kedua buku tersebut. Bagian ini semacam teoritisasi analisa tentang mitos dari perspektif semiologi Saussurean. Buku inilah yng akan menjadi landasan tulisan ini. Melalui Mythologies, buku yang lahir sebagai kritik ideologi, kita akan melihat bagaimana mitos beroperasi dalam budaya kontemporer. Lebih spesifik lagi, cara teori Barthes tentang mitos akan membawa penulis pada imajinasi intelektual dalam menganalisa mitologisasi bahasa agama.

Keempat, sepuluh tahun terkahir karier intelektual Barthes mengalami

peralihan dari analisa struktural ke analisa tekstual. Jika momen sebelumnya analisa Barthes lebih terpusat ingin mengungkap struktur tanda di balik bahasa dan budaya modern, momen selanjutnya lebih ingin menemukan daya nikmat dari (pembacaan) teks (pleasure of the text). Fase ini tentu saja tidak lepas dari aura intelektual Perancis saat ini yang ingin segera lepas dari selimut Saussurean yang terlampau hangat. Foucault, Derrida, Lacan dan juga Barthes termasuk di dalamnya. Situasi ini merupakan satu bagian dari rangkaian sejarah panjang peradaban Barat modern. Para pemikir yang disebut sebagai ponggawa postrukturalis terinspirasi terutama dari dua tokoh besar yang mengubah pola pikir modernisme menuju posmodernisme, dari strukturalisme ke pos-strukturalisme. Mereka adalah Nietzsche dan Sigmund Freud.


(40)

Melalui Nietzsche, sebagaimana para filsuf pos-strukturalisme lainnya, Barthes terinspirasi soal sikap agnostik terhadap konsep. Nietzsche dengan segala upayanya berupaya mengeluarkan manusia dari jerat metafisika yang dianggap sebagai fondasi kebenaran, yang tidak lebih dari sekedar ilusi. Yang tersisa hanyalah kehendak untuk berkuasa, bukan rasionalitas33. Tidak ada konsep yang mapan. Semuanya dalam keadaan khaos, terus berubah tanpa konsep yang pasti. Hal inilah, pada saat peralihan menuju analisis teks, Barthes memaklumatkan bahwa tidak ada konsep (signified) tunggal yang ajek dalam proses pemaknaan. Bentuk (form) pada bahasa selalu menyediakan beragam makna (polisemi).

Freud juga adalah tokoh penting yang merubah cara berpikir masyarakat Barat. Gagasan Freud tentang alam bawah sadar sebagai hal yang dominan dalam bertindak menjadi inspirasi bagi pemikir abad dua puluh untuk tak percaya pada rasionalitas sebagai landasan mencapai kebenaran. Karena yang menggerakan sepenuhnya kehidupan manusia adalah alam bawah sadar, dalam hal ini seks atau hasrat. Melalui perantara Lacan, Barthes berkenalan dengan gagasan Freud tentang ketaksadaran (unconciousness) sebagai pemicu kehidupan. Di sinilah sumber inspirasi Barthes mengganti epistemologi menjadi pleasure dalam menganalisa teks. Analisis teks bukan lagi mencari keajekan struktur yang dapat diungkap secara sistematis, melainkan bagaimana teks tersebut menggairahkan saya (pembaca). Membaca bukan untuk mencari melainkan menunda makna, bukan mencari struktur melainkan

33


(41)

menstrukturasi, bukan untuk mengonsumsi melainkan untuk memproduksi teks. Teks kemudian harus menjadi bisa membawa alam bawah sadar pembaca merumuskan teks baru atas pembacaannya itu.

Seluruh rangkaian momen karir intelektual Barthes sama sekali tidak bisa menunjukan identitas apa yang pantas untuknya. Seorang strukturaliskah? Pos-strukturaliskah? Budayawankah? Kritikus Sastrakah? Yang jelas, seluruh perjalanan hidup Barthes tidak bisa dirumuskan dalam satu kesimpulan utuh. Penggalan setiap momen selalu merupakan kesinambungan dari proyeksi sebelumnya. Identita Barthes sangat banyak, sebanyak minat dan karya yang dilahirkannya.

Seperti kita tahu bahwa dalam sejarah intelektual Barthes tidak ada satu buku utuh yang dia tulis secara sistematis, lengkap dan tuntas, kecuali serpihan-serpihan artikel yang dibukukan. Meskipun begitu, karya-karyanya menjadi rujukan dan

textbook bagi penikmat dan pemerhati kebudayaan. Meskipun begitu, originalitas

dalam menganalisis budaya massa lebih luas melalui semiologi telah mengantarkannya menjadi seorang pemikir cemerlang dan menjadi rujukan utama dalam kajian budaya kontemporer.

Berikut adalah karya-karya Roland Barthes yang telah dipublikasi sebelum dan sesudah meninggal.

1) L’Adventure Semiologique (Seuil, 1985). The Semiotic Challenge, terjemahan Richard Howard (Hill and Wang, 1988).


(42)

2) La Chambre Ckire: no sur la Photographie (Gallimard and Suil, 1980). Camera Lucida: Reflection on photography, terjemahan Richar Howard (hilland Wang, 1981).

3) Critique et verite (Seuil,1966). Critisism and Truth, terjemahan Katrine Kueneman(University of Minnesota Press, 1987).

4) La Degré Zéro de l’écriture (Seuil, 1953), terjemahan Annete Lovrs dan

Collin Smith (Hill and Wang, 1980).

5) Ẻléments de Sémiologie (Seuil, 1964), Elements of Semiology, terjemahan Annate Lovers dan Collin Smith (Jonathan Cape Ltd, 1967).

6) L’Empire des Signes (Skira, 1970), Empire of Signs, terjemahan Richard

Howard (Hill and Wang, 1972).

7) Fragment d’un discours amoureux (Seuil, 1977), A Lover’s Discourse”

Fragments, terjmahan Ricahd Howard (Hill and Wang, 1978).

8) Le Grain de la Voic: Entretiens 1962-1980 (Seuil, 1981), The Grain of the

Voice: Interviews 1962-1980, terjemahan Linda Converdale (Hill dan Wang,

1985).

9) Image-Music-Text, esai yang diseleksi dan diterjemahka oleh Stephen Heath (Hill and Wang, 1977).

10)Incidents (Seuil, 1987). Incidents, terjemahan Richard Howard (Univrsity of California Press, 1992).


(43)

11)Lécon: Lécon Inaugurale de la Chaire de Semiologie Litteraire du Collége da

France, Pronencee le 7 janvier 1977 (Seuil, 1978). Inaugural Lecture,

terjemahan Richar Howard, dalam A Barthes Reader, Ed. Susan Sontag (Hill and Wang, 1982).

12)Michlet par lui meme (Seuil,1954). Michelet, terjemahan Richar Howard (Black Well, 1987).

13)Mythologies (1957). Mythologies, terjemahan Annate Lover’s (Hill and Wang, 1973).

14)New Critical Essays, terjemahan Richar Howard (Hill and Wang, 1986).

15)L’Obvie et l’Obtus (Seuil, 1982). The Rasponsibility of Forms, terjemahan Richar Howard (Hill and Wang, 1975).


(44)

BAB III

PEMIKIRAN ROLAND BARTHES TENTANG MITOS

E. Teori Mitos dalam Sejarah

Untuk sampai pada mitos model apa yang diteliti oleh Barthes, terlebih dahulu penulis uraikan teori-teori mitos sebelumnya. Barthes terlibat dalam perdebatan seputar mitos ketika teori mitos sudah dirumuskan dan diperdebatkan dua puluh abad lebih. Sejak zaman Yunani kuno, teori mitos sudah mendapat perhatian di kalangan intelektual. Fakta ini bukan sedang menilai betapa sumbangan Barthes hanya sejumput dari sejarah panjang teorisasi mitos, melainkan menunjukan bahwa ketertarikan orang untuk memahami mitos sudah sejak lama ada. Ini berarti keberadaan mitos dalam perjalanan sejarah ummat manusia tidak pernah absen. Mitos di setiap zaman selalu mewarnai bagaimana realitas dipahami. Karenanya, perlu ditekankan di sini bahwa kepustakaan mengenai mitos teramat beragam dan sulit untuk dievaluasi. Akan tetapi, di sini kita akan melihat teori-teori mitos dalam sejarahnya untuk kemudian melihat di mana posisi Barthes dalam khazanah perjalanan teori mitos hingga kini.

Secara kebahasaan, mitos berasal dari bahasa Yunani yaitu, muthos. Dalam bahasa Inggris padanan katanya adalah word (bahasa Indonsia: kata) atau speech (B.I. wicara atau ujaran). Kata muthos dibedakan dari logos. Anehnya, logos juga sebenarnya memiliki padanan kata dalam bahasa Inggris word. Menurut Kees W, Bello, dalam artikelnya Myth: on Overview, keduanya dibedakan berdasarkan cita rasa, word bagi logos berupa kata yang akan menimbulkan diskusi, berarti sebuah


(45)

argumen. Sementara pada muthos atau myth, word dimengerti sebagai kata untuk menceritakan Tuhan atau manusia superhero34.

Pada perkembangannya, pengertian mitos di atas dipahami oleh masyarakat umum dalam bahasa sehari-hari sebagai cerita fiktif, ilusi, angan-angan atau, pendeknya, kepercayaan yang tidak berlandaskan pada kenyataan, bukan sebagai upaya sungguh-sungguh manusia dalam menggumuli dunia. Kecuali para pemikir yang intens mendalami teoi-teori mitos, pada umumnya, termasuk di dalamnya para akademisi, pengusaha, orang awam, dan lain-lain, menerima definisi di atas. Padahal definisi ini sangat menyesatkan. Untuk penelitian akademis, dan tentunya bisa juga “mengingatkan” masyarakat luas, bahwa jika mitos dianggap sinonim dengan ilusi hanya akan membuat tugas meneliti mitos menjadi kabur karena akan sulit menentukan mana kepercayaan berdasarkan ilusi dan bukan. Percaya berarti sudah mengandaikan begitu saja keberadaan objek yang dipercayai. Ditambah dengan kenyataan bahwa tugas peneliti adalah memastikan jenis kepercayaan, mempelajari struktur logisnya, dan menjelaskan apa sebab orang mempercayainya sebagai benar.

Sejak zaman Plato tepatnya, mitos-mitos zaman purba klasik dijadikan bahan penelitian. Akan tetapi, baru pada abad 19 karya-karya ahli etnografi yang pertama memperluas kajian sampai mencakup mitos-mitos yang hidup di kalangan bangsa primitif. Perkambangan ini memungkinkan banyak bidang kajian yang menjadikan analisa mitos menjadi bagian dari bidang mereka. Kaum positivisme membincangkan jenis kepercayaan masa lalu ini masuk dalam daftar kajian mereka. Namun, harus diakui bahwa kajian mitos dalam positivisme lebih sebagai kajian pinggiran di mana mitos menjadi model dari kepercayaan yang tidak benar. Begitu juga aliran lain

34

Keen W. Bolle, Myth: an Overview, dalam Encyclopedy of Religion, jil. 10, ed. Mircea Eliade, h. 261


(46)

menganggap mitos bagian dari kajian psikoanalisa, Sigmund Freud35 (1856-1939) dan Carl Jung36 (1875-1961) misalnya; Cassirer37 (1874-1945) memberi bentuk simbolik yang penting kepada mitos; Levi-Strauss38 (1908), telah menggunakan mitos sebagai alat untuk meguji dan menjelaskan kepercayaan masyarakat primitif dengan pendekatan structural anthropology.

1. Periode Klasik

Pada tahap paling awal, sekitar 6 abad sebelum masehi, spekulasi mitologi lebih pada keraguan atas cerita akan dewa-dewa. Mereka inilah yang mengaggap bahwa mitos tentang dewa tidak lebih dari sekedar khayalan atau, lebih jauh lagi, sebagai rekayasa penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Demokritos misalnya, mengatakan bahwa dewa-dewa diciptakan tidak lebih dari sekedar untuk menjelaskan fenomena alam yang menakutkan atau tidak normal. Begitu juga dengan kalangan Epikuris yang mengatakan bahwa pengertian dewa-dewa muncul dari gambaran dalam mimpi dan visi mereka39.

35

Freud adalah psikolog asal Austria yang menggagas pendekatan baru dalam psikologi: psikoanalisa. Melalui psikoanalisa, ia memusatkan perhatian bukan pada kesadaran, melainkan pada alam bawah sadar. Alam bawah sadarlah yang sebenarnya menggerakan kejiwaan manusia. Gagasannya ini juga membalik tradisi filsafat Cartesian soal kesadaran. Meskipun ia tidak membicarakan mitos, tidak sedikit para pengikut Freud berusaha menjelaskan mitos dengan psikoanalisa. Pengaruhnya sangat luas dalam ilmu sosial secara luas, juga dalam teori mitos. Misalnya, psikoanalisa dikembangkan dalam tradisi poststrukturalisme oleh J. Lacan, dan juga Barthes. lebih lanjut lih. Henry Tudor, Mitos dan Ideologi Politik, Terj. Hasan Basari (Jakarta: Sangkala Pulsar, 1984), h.35-37

36

Carl Jung adalah murid langsung Freud. Ia mengembangkan alam bawah sadar, bukan hanya individual melainkan kolektif. Pada sisi inilah Jung menjelaskan mitos. Ibid, h.40

37

Ernest Cassirer adalah filsuf Jerman yang memimpin tradisi neo-Kantian. Bisa dikatakan bahwa dia adalah penerus Kant dalam memandang pengetahuan. Melalui cara berpikir Kantian, ia merumuskan mitos sebagai pengetahuan khas masyarakat primitif. Lih. Ernest Cassirer, dalam

Microsoft ® Encarta ® 2006.

38

Levi-Strauss adalah antropolog Prancis yang sangat terpengaruh oleh Saussure. Ia mendekati mitos primitif dari struktur bahasanya. Makna mitos akan dapat ditangkap jika struktur bahasanya sudah dirumuskan. Dalam teori mitos, Levi-Strauss sudah menjelajahi hampir kesemua benua. Dia menemukan bahwa ada hubungan kekerabatan mitos antar benua dalam struktur bahasanya. Lih. Levi-Strauss, Struktural Anthropology, (New York: Penguin Book, 1963), h. 31-50

39


(47)

Keraguan mereka sebenarnya tidak menyentuh langsung mengenai mitos itu sendiri. Meskipun demikian, keraguan mereka telah membuka jalan bagi teori mitos yang muncul di zaman itu. Ada dua teori besar yang dihasilkan dari spekulasi sebelumnya tentang mitos40. Pertama alegoris. Teori ini menyebutkan bahwa mitos harus dibaca sebagai alegori (kiasan) yang menyembunyikan suatu ajaran moral atau filosofis tertentu. Menurut teori ini, di balik mitos terdapat keluhuran yang jika disampaikan tanpa metafor akan jatuh pada orang salah, dan ini berarti keluhuran makna akan luntur. Tugas kita adalah mengungkap kebenaran atau ajaran moral tertentu yang tersembunyi di baliknya.

Kedua Euhemerus. Menurut teori ini, makna harfiah mitos tentu bukan makna yang sebenarnya. Tapi, bagi mereka, mitos sebenarnya lahir dari sejarah tertentu. Jika mitos seringkali tidak masuk akal karena dalam penuturannya terjadi distorsi-distorsi, ditambah lagi dengan ada kecenderungan orang di masa lalu mengagungkan tokoh-tokoh dan membesar-besarkan prestasinya. Mitos terbentuk dalam sejarah. Karena pada awalnya ada kejadian yang sebenarnya. Jadi, Euhemerus juga layaknya alegoris menyimpan kebenaran di balik mitos. Akan tetapi kebenaran itu hanya dapat ditemui melalui penelusuran sejarah.

2. Periode Pencerahan

Periode awal pencerahan, gagasan mengenai mitos tidak ada yang melebihi batasan yang telah ditetapkan oleh aliran Euhemerus. Kalaupun ada, gagasan mereka tidak diterima secara luas. Sebut saja gagasan Bernard De Fontenella (1657-1757), yang berpendapat bahwa mitos merupakan upaya rasional orang primitif untuk menjelaskan dunia. Giambattista Vico (1668-1744), kritikus sastra Itali terkemuka

40


(48)

pada masa pencerahan, mengemukakan bahwa orang-orang zaman dulu adalah para penyair yang berbicara dalam bahasa puisi, dan mitos adalah apa yang tersisa dari bahasa mereka. Kedua gagasan ini terpinggirkan oleh kecenderungan orang memelihara aliran Euhemerisme41.

Teori yang mendapat dukungan luas pada masa pencerahan dalam membaca mitos adalah ilmu linguistik (filologi), ilmu bahasa yang dijadikan kajian eksak yang berkembang abad sembilan belas. Teori ini dipelopori oleh Max Muller42. Muller adalah filolog yang berusaha memahami perbandingan agama dengan penelusuran asal usul etimologis. Muller berpendapat bahwa bahasa asli orang Arya miskin akan istilah-istilah abstrak tapi kaya akan istilah konkrit. Jadi ketika berhadapan dengan fenomena-fenomena abstrak, mereka cenderung menggunakan bahasa puitis. Mitos baginya adalah bentuk ujaran lama sehingga terasa puitis dan terkadang tidak bisa dimengerti di zaman berikutnya.

Keberatan atas teori ini adalah bahwa di kalangan filolog sendiri terjadi perbedaan pendapat dalam analisa etimologi dalam penyebutan nama-nama mitis. Ini berarti tidak bisa dipastikan makna etimologi mana yang paling asali? Kritikus pendapat Muller ini dilancarkan oleh Andrew Lang (1844-1912). Menurut Lang, mitos adalah kisah yang diciptakan oleh orang-orang primitif yang bertujuan memberikan penjelasan. Kisah ini penting dibuat untuk menjawab rasa ingin tahu. Seperti sudah disebutkan sebelumnya bahwa pendapat seperti ini telah dikemukakan oleh Fontenelle bahwa mitos tercipta sebagai ilmu pengetahua orang primitif. Bedanya, Fontenelle ini cenderung mengangap sama pola masyarakat primitif dengan masyarakat modern. Bagi Lang, mitos merupakan produk dari mentalitas khas masyarakat primitif yang kekenak-kanakan. Keadaan intelektual ini ditandai dengan

41

Henry Tuder, Mitos dan Ideologi Politik, h. 12 42


(49)

mentalitas yang kabur terhadap apapun yang dihadapi pada tingkat hidup, emosi, dan akal budi yang sama43.

Terakhir, tradisi positivisme. Positivisme menegaskan agar pengetahuan hendaknya tidak melampaui fakta-fakta. Aliran ini bisa dibilang kelanjutan dari empirisme pencerahan. Positivisme meradikalkan gagasan empirisme. Jika kalangan empiris masih menerima adanya pengalaman subjektif. Sementara itu, positivisme menolak sama sekali. Di sini jelas mereka menolak metafisika. The thing in itself

yang dirumuskan Immanuel Kant tidak bisa menjadi objek bagi penelitian ilmiah. Filsafat kini harus mengarahkan pada data-data faktual semata.

Positivisme digagas oleh Auguste Comte (1798-1857). Dalam pemikirannya, periode pengetahuan dibagi ke dalam tiga tahap. Pertama teologi. Tahap ini manusia mengandalkan pengetahuan pada sesuatu yang supranatural. Periode ditandai oleh sub-periode: masa paling primitif atau kekanak-kanakan, yaitu tahap animisme. Manusia menganggap objek-objek fisik bernyawa. Kemudian masa “remaja”, kepercayaan politeisme, kekuatan alam diproyeksikan dalam rupa dewa-dewa. Kemudian paling akhir dari periode teologi ini adalah monoteisme. Sebuah pemusatan kekuasaan di “tangan” kekuatan yang adimanusiawi.

Tahap kedua adalah tahap metafisik. Tahap ini bisa dikatakan sebagai tahap selanjutnya dalam melihat kekuatan-kekuatan adimanusiawi tadi sebagai abstraksi-abstraksi metafisik. Misalnya, konsep “cause”, “ether” dan seterusnya. Tahap ini mengalihkan dari kekuasaan adimanusiawi menjadi abstraksi alam sebagai keseluruhan. Keberadaan Allah dan dewa-dewa sudah tidak perlu lagi; yang tertinggal hanya entitas-entitas abstrak yang metafisik.

43


(50)

Kemudian tahap berikutnya adalah tahap positivis. Tahapan di mana pengetahuan mencapai puncaknya. Tahap ini tidak lagi mencari sebab-sebab kejadian di luar fakta-fakta teramati. Pikiran hanya memusatkan pada fakta yang sebenarnya bekerja menurut hukum umum. Ilmu pengetahuan pada masa ini bukan saja ilmu tentang yang real, melainkan juga ilmu yang pasti dan berguna. 44

Dengan demikian jelas apa pandangan kaum positivis terhadap mitos. Mitos adalah pikiran-pikiran zaman manusia yang masih kekanak-kanakan. Mitos hanyalah bualan belaka. cerita dalam mitos hanya sebatas kepercayaan zaman primitif, yang saat ini sudah tidak berguna lagi. Meskipun mitos berisi sejarah, kalangan positivis menganggap bahwa pengetahuan yang didapat bukan berasal dari fakta-fakta yang dapat diamati. Demikian juga, jika ada mitos sejarah seperti cerita kerajaan Prabu Siliwangi di Jawa Barat, alih alih memercayai maknannya, malah menelusuri jejak sejarahnya secara arkeologis hingga menemukan cerita yang tepat secara ilmiah, berangkat dari artefak-artefak yang secara faktual bisa menunjukan kebenaran historisnya.

3. Periode Kontemporer: Psikoanalisa dan Strukturalisme.

Periode ini pembahasan mitos sudah terpilah-pilah seiring dengan spesifikasi ilmu pengetahuan. Periode ini paling tidak ada dua pendekatan yang menonjol. Kita mulai dengan pendekatan psikologi. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa mitos merupakan fenomena psikis. Penafsiran-penafsiran ini umumnya diilhami oleh karya-karya Sigmund Freud (1856-1939) dan Carl Jung (1875-1961)45. Sementara metodologi khusus dalam psikologi diinspirasi oleh tafsir mimpinya Freud.

44

F. Budi hardiman, Filsafat Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche, h.205-206 45


(51)

Mimpi, menurut Freud, ditimbulkan oleh angan-angan dan tujuannya menampilkan angan-angan tersebut seolah sudah terpenuhi supaya orang dapat melanjutkan tidurnya tanpa gangguan. Angan-angan tersebut, lanjut Freud, bersumber dari hasrat seks masa kanak-kanak. Misalnya, pada anak laki-laki tertanam hasrat seks pada ibunya dan ingin melenyapkan ayahnya. Namun, keinginan ini berhadapan dengan tata nilai dan sopan santun sehingga dilenyapkan dan dibuang dari ingatan. Akan tetapi tidak hilang sama sekali, hasrat tersebut mengendap di bawah sadar manusia, dan tetap di sana untuk mengganggu orang dewasa tidur.

Freud sendiri tidak memperluas teorinya ke wilayah mitos. Ia hanya mencoba mengamati bahwa simbol-simbol mitos banyak kemiripan dengan simbol-simbol dalam mimpi. Misalnya, terutama tema seksual masa kanak-kanak. Tema ini dipakai untuk melihat mitos terkenal tentang kisah Oedipus. Freud juga menegaskan bahwa mitos, seperti halnya mimpi, merupakan produk fantasi.46

Salah satu murid Freud yang cukup berpengaruh, Carl Jung memperluas pengertian bawah sadar. Tidak seperti Freud yang menegaskan bahwa tipikal bawah sadar besifat pribadi dan isinya selalu berasal dari pengalaman sadar individu itu sendiri, Jung mebedakan antara lapisan luar bawah sadar dan lapisan dalam. Lapisan luar inilah yang bersifat pribadi. Sementara, lapisan bawah sadar terdalam disebut dengan bawah sadar kolektif. Istilah kolektif dipilih lebih karena sifatnya yang universal. Dengan kata lain, ia identik pada semua orang, dan karenanya merupakan suatu lapisan bawah sadar bersama yang bersifat supra-personal dan terdapat pada diri setiap orang. Alam bawah sadar kolektif ini juga disebut dengan arkhetip-arkhetip.47

Melalui pembedaan ini, Jung menjelaskan bahwa mitos merupakan representasi simbolik dari bawah sadar kolektif manusia. Ungkapan-ungkapan mitis

46

Henry Tuder, Mitos dan Ideologi Politik, h.35 47


(1)

Mitologisasi bahasa agama terjadi bertingkat-tingkat. Bahasa agama pada dirinya lebih adalah sudah berupa sistem mitis. Bahasa agama selalu mengambil istilah yang untuk pentingan konsep yang hedak disampaikannya terjadi distorsi. Memapankan bahasa agama yang diterima oleh para nabi merupakan bentuk mitologisasi yang berkarkter esensialis. Bukan soal esensinya seperti apa, melainkan membunuh sejarah. Apa yang telah menjadi mitos, aspek sejarahnya kita lupakan. Demikian juga bahasa agama yang mengisahkan tentang sejarah masa lalu, kesejarahannya akan diabaikan karena kitab suci berkepentingan bukan sebagai buku biografi tokoh masa lalu, melainkan menghadirkan konsep. Konsep yang dimaksud di sini adalah gagasan yang ingi disampaikan pada saat kisah tersebut diceritakan. Misalnya, kisah-kisah di dalam al-Qur’an tentang nabi Musa. Al-Qur’a tidak berpretensi sebagai buku biogafi nabi Musa, melainkan, lewat cerita tersebut, ingin menyampaikan gagasan keesaan Tuhan pada zaman nabi Muhammad.

Kemudian siste mitis dalam bahasa agama juga akan menjadi kendaraan untuk ideologi tertentu untuk menyampaikan gagasan-gagaannya ke masyarakat banyak. Lewat mitos yang selalu menaturalkan apa yang hitoris memungkinkan ideologi menjadi seustu yang natural. Apa yang semula historis, karena ide tidak muncul dalam ruang kosong, menjadi seolah melenggang di ruang kosong. Dengan demikian, ideologi akan dapat membatalkan pembaca mitos sebagai konseumen. Kesadaran akah historisitas konsep,ide ata gagasan menjadi kunci apakah kita akan terjebat pada ideologi tertentu atau tidak. melah, kita jug akan bisa melepas mitos meski harus menghidupkan mitos debngan mengembalikan ke makna dasar.

Kekerasan dalam agama tentu didukung oleh keyakinan yang kuat atas doktrin yang dipelajarinya. Agama melalui semiologi Barthesian dilihat sebagai sistema tanda yang terus menerus mengalami distorsi sesusi dengan zaman di mana agama tersebut


(2)

menjadi wacana. Sebagai doktrin yang sudah mengalami distorsi dan mitologisasi, bahasa agama sangat mungkin memengaruhi tindak tanduk. Terlebih legitimasi mitisnya adalah konsep yang gaib (dalam hal ini Tuhan). Bahwa menyerang warga muslim di India oleh penganut agama Sikh diyakini sebagai perang suci, membela Tuhan. Di negara kita bom di Bali juga dilandasi oleh keyakinan bahwa itu adalah jihad di jalan Allah. Jihad atau perang suci dinaturalkan dari historisitasnya dan juga mengupkan historisitas konsepo yang dibawanya. Apa yang dikategorikan sebagai musuh juga tidak dilihat sebagai historis. Dalam konteks inilah kekerasan dalam agama bisa dimengerti. Bahwa selalain kodisi sosial, ekonomi, pilitik yang menandai historisitas konsep, juga dari dalam doktrin keagamaan dengan beragam distorsi dengan ideologi yang menyertainya memungkinkan bahasa agama melahirkan kekerasan.

B. Saran-Saran

Gagasan Barthes tentu saja sekilas sangat menggoda. Apa yang digagasnya mendapat perhatian dari punlik intelektual Perancis terutaa dalam kajian badaya massa. Melalui tilikan semiologis yang diwarisi dari Saussure, Barthes berhasil mengidentifikasi bahwa budaya massa tidak lepas dari mitos yang diproduksi oleh media, alat canggih temuan masyarakat modern. Tentu saja di dalamnya bahasa agama. Agama kini juga bagian dari peradaban yang di dalamnya terjadi relasi penanadaan yang luar biasa cepat dan rumit. Maka tak heran bila bahasa agama bisa diperlakukan sebagaimana Bartes memperlakukan budaya massa.

Bagi Anda yang tertarik mempelajari kajianini lebih serius apa yang diagagas oleh Barthes tentu bukan satu-satunya pendekatan. Sebagai intelektual yang selalu ingin lepas dri pendahulunya, Barthes merevisi gagasannya tentang sistem tanda dan


(3)

mitos. Revisi ini bukan membatalkan tentunya, tapi melampaui. Apa yang dilihatnya melalui semiologi belumlah cukup. Ia mengambangakn gagasannya dari tanda ke teks. Memalui teori teksnya, Barthes merasa tidak puas dengan teoria penandaan yang hanya mengurai makna. Menurtnya, sebuah teks tidak ckup hanya diurai, justru teks haruis dapat menggairahkan pembaca hingga dapat mempoduksi teks baru.

Sekalipun demikian, apa yang sudah digagas Barthes masih televan dalam menganalisa fenomena sosial kita saat ini. Media yang semakin canggih, membuat kita buta dibuatnya. Media memproduksi tanda terus menerus. Akibatnya kita hidup dalam lingkaran tanda yang maknannya tidak pernah jelas karena muncul sebagai bentukan ideologi kapitalisme. Bagitupun dengan bahasa agama. Bahasa agama enjadis emakin tak jelas mana yang benar-benar doktrin dalam arti denotatif dan mana tanda yang diciptkan sengaja oleh media untuk kepentingannya. Bahwa selalu terjadi distorsi dlam memaknai bahasa agama tak terelakan lagi. Paling tidak melalui gagasan semiologi Barthesian ini kita dapat menjadi pembaca mitos yang ktiris. Menjadi konseumen mitso sembari mengurai strukturnya. Sehingga kita dapat memperlihatkan krisi ideologi di dalamnya. Dan kita tidak terjebat dalam esensialisme semu; sepertinya esensi, padahal historis.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Primer

Barthes, Roland. Camera Lucida, London: Flamingo, 1977.

Elements of Semiology, New York: Hill & Wang, 1973.

Image-Music-Text, London: Fontana Press, 1977.

______ Inaugurl Lacture, College de France, 458

Mitologies, London: Paladin Book, 1976.

S/Z, New York: Hill & Wang, 1974.

The Pleasur of the Text, London: Jonathan Cape, 1976.

______ The Grain of the Voice, Interview 1962-1980, trans. By Linda Coverdale, New York: Hill and Wang, 1985

B. Sekunder

Allen, Graham. Intertextuality, London and New York: Rourledge, 2000.

Altusser, Louis, Ideology Interpellates Indivisuals as Subject dalam paul du gay,ed. Identity: a Reader, London: Sage Publication, 2000.

Amstrong, Karen, Berperang Demi Tuhan, terj. Satrio Wahono, Bandung: Serambi, 2001.

Bertens, K. Panorama Filsafat Modern, Bandung: Teraju, 1995.

Bolle, Keen W., Myth: an Overview, dalam Encyclopedy of Religion, jil. 10, ed. Mircea Eliade, NewYork: Pinguin Books, 1985.

Bogdan, Robert and Steven J. Taylor. Introduction to Qualitative Research Methods, New York: Jhon Wiley & Son, 1975.

Budi Hardiman, Franki. Filsafat Modern, Yogyakarta: Kanisius, 2004. ---, Menuju Masyarakat Komunkatif, Yogyakarta: Kanisius, 1996.

Culler, Jonathan, Seri Pengantar Singkat: Barthes, Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2003.


(5)

Deparatemen Pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar bahasa indonesia, Jakarta: Bali Pustaka, 1988.

Focault, Michel, Archeology of Knowledge, New York: Routledge, 2002.

Herman, David, Roland Barthes, dalam Hans Berens and Joseph Natoli, Postmodernism: The Key Figure, Massachusetts: Blackwell, 2002.

Hidayat, Komaruddin. Menafsir Kehendak Tuhan, Bandung: Teraju, 1999.

K., Harimurti, Mongin-Ferdinand de Saussure (1857-1913), Bapak Linguistik Modern dan Pelopor Strukturalisme, dalam Ferdinand de Saussure, Pengantar Linguistik Umum, terj. Rahayu S. Hidayat, Yogyakarta: Gadjah Mada Univrsity Press, 1996.

Kruzman, Charles ed., Wacana Islam Liberal, terj. Bahrul Ulum dkk., Jakarta: Paramadina, 2001.

Khalafullah, Muhammad, Al-Quran Bukan Kitab Sejarah, terj. Juhairi Misrowi, Jakarta: Paramadina, 2002.

Levi-Strauss, Cloude, Struktural Anthropology, New York: Penguin Book, 1963. Madjid, Nurcholish. Islam, Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 2005. Microsoft® Encarta® 2006. © 1993-2005 Microsoft Corporation. All rights reserved. P. Jonshon, Doyle. Sosiologi Klasik dan Modern I, Jakarta: Gramedia, 1986.

Pari, Fariz, Hermeneutik Paul Ricoeur untuk Penelitian Keagamaan: Metodologi dan Terapan Terhadap Kebudayaan Shalat dan Makam Sunan Rahmat Garut, Seri Disertasi: Pasca Sarjana UIN Jakarta, 2005.

Piliang, Yasraf A. Hipersemiotika, Yogyakarta: Jalasutra, 2003.

Rahman, Fazlur, Islam, terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Putaka, 2000. Sartre, Jean-Poul, Literatur and Existensialism, New York: Carol, 1994.

Saussure, Ferdinand de, Pengantar Linguistik Umum, terj. Rahayu S. Hidayat, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996.

Singarimbun, Masri dan Soffian Efendi. Metode Penelitian Survey, Jakarta: LP3ES, 1995.

Sunardi. Nietzsche, Yogyakarta: LKIS, 1996.


(6)

Tim Penyusun UIN Jakarta. Pedoman Akademik, Jakarta: FUF UIN Jakarta Press, 2006/2007.

Tim PPIM, Mengukur Pengaruh Islam dalam Kekerasan Keagamaan, dalam buletin Islam & Good Governance edisi keduabelas, PPIM, UIN Jakarta, 2006. Tudor, Henry, Mitos dan Ideologi Politik, Terj., Jakarta: Sangkala Pulsar, 1984. Wawancara Syafi’i Maarif dalam Buletin Islam & Good Governance, edisi kesebelas,

PPIM, UIN Jakarta, 2006.

Weber, Max, Essays in Sociology, Trans. H. Gerth and C. Wright, New York: A Galaxy Book, 1985.

C. Website

www.laskarjihad.org/galleryphoto www.LSI.org