Periode Pencerahan Teori Mitos dalam Sejarah

Keraguan mereka sebenarnya tidak menyentuh langsung mengenai mitos itu sendiri. Meskipun demikian, keraguan mereka telah membuka jalan bagi teori mitos yang muncul di zaman itu. Ada dua teori besar yang dihasilkan dari spekulasi sebelumnya tentang mitos 40 . Pertama alegoris. Teori ini menyebutkan bahwa mitos harus dibaca sebagai alegori kiasan yang menyembunyikan suatu ajaran moral atau filosofis tertentu. Menurut teori ini, di balik mitos terdapat keluhuran yang jika disampaikan tanpa metafor akan jatuh pada orang salah, dan ini berarti keluhuran makna akan luntur. Tugas kita adalah mengungkap kebenaran atau ajaran moral tertentu yang tersembunyi di baliknya. Kedua Euhemerus. Menurut teori ini, makna harfiah mitos tentu bukan makna yang sebenarnya. Tapi, bagi mereka, mitos sebenarnya lahir dari sejarah tertentu. Jika mitos seringkali tidak masuk akal karena dalam penuturannya terjadi distorsi-distorsi, ditambah lagi dengan ada kecenderungan orang di masa lalu mengagungkan tokoh- tokoh dan membesar-besarkan prestasinya. Mitos terbentuk dalam sejarah. Karena pada awalnya ada kejadian yang sebenarnya. Jadi, Euhemerus juga layaknya alegoris menyimpan kebenaran di balik mitos. Akan tetapi kebenaran itu hanya dapat ditemui melalui penelusuran sejarah.

2. Periode Pencerahan

Periode awal pencerahan, gagasan mengenai mitos tidak ada yang melebihi batasan yang telah ditetapkan oleh aliran Euhemerus. Kalaupun ada, gagasan mereka tidak diterima secara luas. Sebut saja gagasan Bernard De Fontenella 1657-1757, yang berpendapat bahwa mitos merupakan upaya rasional orang primitif untuk menjelaskan dunia. Giambattista Vico 1668-1744, kritikus sastra Itali terkemuka 40 Lih. Bolle, Myth: an Overview, h. 268 pada masa pencerahan, mengemukakan bahwa orang-orang zaman dulu adalah para penyair yang berbicara dalam bahasa puisi, dan mitos adalah apa yang tersisa dari bahasa mereka. Kedua gagasan ini terpinggirkan oleh kecenderungan orang memelihara aliran Euhemerisme 41 . Teori yang mendapat dukungan luas pada masa pencerahan dalam membaca mitos adalah ilmu linguistik filologi, ilmu bahasa yang dijadikan kajian eksak yang berkembang abad sembilan belas. Teori ini dipelopori oleh Max Muller 42 . Muller adalah filolog yang berusaha memahami perbandingan agama dengan penelusuran asal usul etimologis. Muller berpendapat bahwa bahasa asli orang Arya miskin akan istilah-istilah abstrak tapi kaya akan istilah konkrit. Jadi ketika berhadapan dengan fenomena-fenomena abstrak, mereka cenderung menggunakan bahasa puitis. Mitos baginya adalah bentuk ujaran lama sehingga terasa puitis dan terkadang tidak bisa dimengerti di zaman berikutnya. Keberatan atas teori ini adalah bahwa di kalangan filolog sendiri terjadi perbedaan pendapat dalam analisa etimologi dalam penyebutan nama-nama mitis. Ini berarti tidak bisa dipastikan makna etimologi mana yang paling asali? Kritikus pendapat Muller ini dilancarkan oleh Andrew Lang 1844-1912. Menurut Lang, mitos adalah kisah yang diciptakan oleh orang-orang primitif yang bertujuan memberikan penjelasan. Kisah ini penting dibuat untuk menjawab rasa ingin tahu. Seperti sudah disebutkan sebelumnya bahwa pendapat seperti ini telah dikemukakan oleh Fontenelle bahwa mitos tercipta sebagai ilmu pengetahua orang primitif. Bedanya, Fontenelle ini cenderung mengangap sama pola masyarakat primitif dengan masyarakat modern. Bagi Lang, mitos merupakan produk dari mentalitas khas masyarakat primitif yang kekenak-kanakan. Keadaan intelektual ini ditandai dengan 41 Henry Tuder, Mitos dan Ideologi Politik, h. 12 42 Ibid, h,18 mentalitas yang kabur terhadap apapun yang dihadapi pada tingkat hidup, emosi, dan akal budi yang sama 43 . Terakhir, tradisi positivisme. Positivisme menegaskan agar pengetahuan hendaknya tidak melampaui fakta-fakta. Aliran ini bisa dibilang kelanjutan dari empirisme pencerahan. Positivisme meradikalkan gagasan empirisme. Jika kalangan empiris masih menerima adanya pengalaman subjektif. Sementara itu, positivisme menolak sama sekali. Di sini jelas mereka menolak metafisika. The thing in itself yang dirumuskan Immanuel Kant tidak bisa menjadi objek bagi penelitian ilmiah. Filsafat kini harus mengarahkan pada data-data faktual semata. Positivisme digagas oleh Auguste Comte 1798-1857. Dalam pemikirannya, periode pengetahuan dibagi ke dalam tiga tahap. Pertama teologi. Tahap ini manusia mengandalkan pengetahuan pada sesuatu yang supranatural. Periode ditandai oleh sub-periode: masa paling primitif atau kekanak-kanakan, yaitu tahap animisme. Manusia menganggap objek-objek fisik bernyawa. Kemudian masa “remaja”, kepercayaan politeisme, kekuatan alam diproyeksikan dalam rupa dewa-dewa. Kemudian paling akhir dari periode teologi ini adalah monoteisme. Sebuah pemusatan kekuasaan di “tangan” kekuatan yang adimanusiawi. Tahap kedua adalah tahap metafisik. Tahap ini bisa dikatakan sebagai tahap selanjutnya dalam melihat kekuatan-kekuatan adimanusiawi tadi sebagai abstraksi- abstraksi metafisik. Misalnya, konsep “cause”, “ether” dan seterusnya. Tahap ini mengalihkan dari kekuasaan adimanusiawi menjadi abstraksi alam sebagai keseluruhan. Keberadaan Allah dan dewa-dewa sudah tidak perlu lagi; yang tertinggal hanya entitas-entitas abstrak yang metafisik. 43 Ibid, h, 21 Kemudian tahap berikutnya adalah tahap positivis. Tahapan di mana pengetahuan mencapai puncaknya. Tahap ini tidak lagi mencari sebab-sebab kejadian di luar fakta-fakta teramati. Pikiran hanya memusatkan pada fakta yang sebenarnya bekerja menurut hukum umum. Ilmu pengetahuan pada masa ini bukan saja ilmu tentang yang real, melainkan juga ilmu yang pasti dan berguna. 44 Dengan demikian jelas apa pandangan kaum positivis terhadap mitos. Mitos adalah pikiran-pikiran zaman manusia yang masih kekanak-kanakan. Mitos hanyalah bualan belaka. cerita dalam mitos hanya sebatas kepercayaan zaman primitif, yang saat ini sudah tidak berguna lagi. Meskipun mitos berisi sejarah, kalangan positivis menganggap bahwa pengetahuan yang didapat bukan berasal dari fakta-fakta yang dapat diamati. Demikian juga, jika ada mitos sejarah seperti cerita kerajaan Prabu Siliwangi di Jawa Barat, alih alih memercayai maknannya, malah menelusuri jejak sejarahnya secara arkeologis hingga menemukan cerita yang tepat secara ilmiah, berangkat dari artefak-artefak yang secara faktual bisa menunjukan kebenaran historisnya.

3. Periode Kontemporer: Psikoanalisa dan Strukturalisme.