Mitos Sebagai Kritik Ideologi

Dari ketiga kemungkinan itu, Barthes menyebutkan bahwa dua pertama jenis pembaca hanya akan menghancurkan mitos dan membangun mitos baru. Keduanya sinis akan keberadaan mitos. Posisi tigalah mitos menjadi dinamis. Karena mitos menjalankan fungsi strukturalnya. Ia dinikmati pembaca yang sesekali benar, dan di lain waktu tidak realistik. Tapi, mereka menerima dan meyakininya. Oleh karena itu, fokus analisis mitos mesti diarahkan pada mitos yang sudah begitu saja diterima dan ada di masyarakat. Akan tetapi, bagaimanapun pilihan mana yang akan diambil masyarakat, itu bukan urusan semiolog. Pilihan-pilihan tersebut akan sangat bergantung pada situasi masing-masing subjek. Akhirnya, mitos diartikan sebagai tipe berujar menunjukan bahwa mitos merupakan cara masyarakat berkomunikasi. Karenanya tidak mungkin dihilangkan sama sekali. Justru, semakin melawan, semakin ia menjadi makanan empuk mitos. Misalnya, bahasa matematika. Ia adalah bahasa murni yang tidak mungkin mengalami pemitosan. Ia melawan mitos. Justru, kemurnian matematika kemudian menjadi mitos tersendiri bagi metematika. Begitu jug puisi. Puisi kontemporer 75 adalah salah satu bahasa yang berusaha melawan mitos. Mitos mengarah pada ultra-pemaknaan, atau pergeseran makna semiologi tingkat pertama. Puisi berusaha mengembalikan makna bukan pada makna kata, melainkan makna benda itu sendiri. Pada akhirnya berusaha menemukan makna alamiahnya. Sampai pada suatu keyakinan bahwa puisi bisa mengenai sesuatu dalam dirinya the thing is itself. Kesemuanya ini pada akhirnya menjadi penanda bagi mitos puisi kontemporer.

H. Mitos Sebagai Kritik Ideologi

Seperti sudah penulis kemukakan di muka bahwa salah satu tujuan Barthes menulis buku Mythologies adalah kritik ideologi. Ideologi yang dimaksud Barthes 75 Barthes menyebutnya puisi modern karena puisi klasik murni mitos karena puisi klsik menekankan ekstra petanda yang adalah regularitas. Lih. Ibid, h. 133 adalah ide-ide yang melekat dalam skema bahasa. Karenanya, ideologi dikaji dalam kerangka bahasa. Ideologi menyebar melalui sistem tanda tingkat kedua, yakni mitos. Jadi, Ideologi dikonsumsi oleh masyarakat seiring dengan penyebaran mitos. Barthes mengatakan bahwa mitos menjadi bagian dari semiologi karena ia adalah ilmu formal, juga menjadi bagian dari ideologi karena ia adalah ilmu sejarah: ia mengkaji ide-ide dalam bentuk ideas-in-form. 76 Pandangan Barthes ini sekaligus menekankan bahwa mitos bagaimanapun tidak bisa dilepaskan dari konsumennya. Konsep yang ada pada mitos dalam proses pemaknaannya tidaklah abstrak, melainkan dipenuhi oleh situasi di mana mitos itu bekerja. Pada posisi itulah mitos dibaca sebagai ideologi. Aspek historis dalam mitos di sini berbeda dengan tradisi positivisme. Positivisme memandang mitos sebagai cerita bohong. Adapaun kisah-kisah kuno, di hadapan mereka bisa menjadi objek kajian. Mereka berusaha mencari bukti-bukti arkeologis untuk mengkonstruksi cerita yang sesungguhnya. Misalnya, kisah Prabu Kiansantang, apa yang beredar di masyarakat menurut kaum postivis adalah cerita bohong karena tidak ada bukti. Mereka berusaha mencari bukti-bukti yang dapat mengkonstruksi cerita yang “sesungguhnya”. Jika ternyata tidak ada bukti, maka kisah tentang prabu Kiansantang dianggap bualan belaka. Tentu saja dengan standar yang mereka miliki. Sementara itu, aspek historis sistem mitis dalam pandangan Barthes adalah bahwa pemaknaan mitos selalu berangkat dari situasi tertentu dan terjadi terus menerus. Berarti sifatnya historis. Pemaknaan yang historis ini kemudian dianggap dipercaya sebagai makna abadi dan natural. Dengan cara ini, ideologi melekat pada 76 Ibid, h.112 benak bahasa masyarakat, sementara historisitas ideologi tersebut dilupakan atau diendapkan. 77 Citra pada sistem mitis yang akan mengalami naturalisasi berasal dari kode budaya tertentu. Artinya, makna pada sistem tanda tingkat kedua, mengacu pada stok stereotip kultur tertentu. Mitos yang bertahan secara historis—diulang-ulang dan menjadi acuan dalam proses pemaknaan—akan mengisi kode-kode budaya pada masyarakatnya. Pada situasi semacam inilah ideologi terbentuk pada masyarakat tertentu. Petanda pada sistem mitis merupakan fragmen ideologi di mana penandanya adalah konotator-konotataor 78 . Oleh sebab itu, ideologi yang dianalisis Barthes kemudian memiliki kemiripan dengan konsep hegemoni menurut Gramsci. Ideologi yang dianalisis oleh Barthes, yakni ideologi borjuis 79 , telah menjadi sistem bahasa yang mendominsi masyarakat Prancis. Ideologi borjuis bertahan sebagai mitos dan telah menjadi kode masyarakat Prancis secara mental. Barthes mengakui bahwa borjuis telah mengalami perubahan dalam bentuknya. Meskipun demikian, sebagai ide dalam bahasa, ideologi borjuis melekat dan menjadi kode kultural dalam memaknai hidup. Bahkan kelompok “kiri” sekalipun, pada level bahasanya, menggunakan istilah-istilah yang dihasilkan oleh ideologi borjuis. Namun, ideologi ini melekat pada cara pandang masyarakat tanpa nama, ia lebih bersifat mental. Dalam buku Mythologies, Barthes memilih masyarakat Prancis sebagai objek penelitiannya. Barhes menilai kebudayaan Perancis masih didominasi oleh ideologi 77 Ibid, h. 130 78 Barthes, Elements of Semiology, h. 91 79 Ideologi borjusi seperti diakui Barthes memang telah mengalami perubahan-perubahan. Borjuis sebagai pemilik moda, memang masih ada dan bahkan terus menciptakan borjuis kecil. Sebagai fata politik memang borjuis telah hilang karena tidak ada partai yang mengatasnamakan borjuis. Terakhir, borjusi sebagai ideologi yang menyelimuti “tradisi” Eropa secara keseluruhan telah menyebar dan mendominasi peta penanadaan masyarakatnya. Secara mental ia sudah melekat dengan kehidupan masyarakat Eropa tanpa nama borjuis. Nama boleh banyak, bojuis, semi-borjuis,borjuis kecil, kapitalis, tapi cara pandang secara mental borjuis trrepresentasi secara menyeluruh. Lih. Barthes, Mythologies, h. 138 borjuis 80 . Artikel-artikel di awal tulisan buku Mythologies merupakan hasil pembacaan Barthes atas mitos di Prancis yang membawa ideologi borjuis melalui berbagai media; film, iklan, koran, majalah, pertunjukan dan sebagaianya. Ideologi borjuis menjalankan fungsinya dengan berbagai retorika yang telah menjadi semacam perangkat pemaknaan masyarakat Prancis. Forma retorika borjuis, tanpa menyebut nama mereka kelompok borjuis, kelas borjuis sudah mempersiapkan masyarakat dengan perangkat pemaknaan kelas mereka. Forma retorik borjuis ini pada akhirnya mengerucut pada dua hal: esensi dan skala. Berdasarkan ideologi borjuis, kemanusiaan didekati sebagai esensi dan diukur dengan skala. Skala yang dimaksud di sini adalah bahwa ukuran kemanusiaan berada dalam kerangka ideologi borjuis. Esensi dan skala ini menjadi model landasan berpikir masyarakat modern. Esensi dan skala yang ditimbulkannya kadangkala mengeksklusi konsep yang lain the other. Kecenderungan ini misalnya Barthes perlihatkan pada esensi penulis wanita di Prancis. Meskipun mereka telah melahirkan karya-karya yang banyak, mengenai jumlah anak yang dilahirkan mereka tetap menjadi perhatian utama. Bahwa esensi perempuan pada hakikatnya melahirkan anak merupakan bukti ideologi borjuis beroperasi dalam kehidupan masyarakat Prancis. Esensialisme dalam retorika borjuis bukan sekitar apakah seseorang melukiskan esensi dengan tepat atau tidak, benar atau salah, melainkan esensialisasi pada dasarnya adalah membunuh sejarah. Sejarah yang menguap pada mitos benar- benar membuat konsumennya tidak lagi peduli akan sejarah konsep yang dinaturalisasi oleh masyarakat borjuis. Sekali lagi kalimat pasif ini bukan berarti 80 Barthes tidak memberi definisi secara khusus apa itu borjuis. Dilihat dari penjelasan- penjelasan yang ia berikan, borjuis masih dalam kerangka marxian. Borjuis diperesepsi sebagai representasi kelas pemilik modal secara ekonomi. Tapi, tak diingkari pula bahwa telah muncul kelas borjuis kecil, yang dilahirkan oleh kapitalisme. Namun, kini borjuis bukan lagi sosok manusia, ia kini, sebagai ideologi, hanyalah mental. Ia hadir di keseharian masyarakat Prancis lewat media, tapi disadari dan tanpa bernama. Ibid, h. 138 pembuatan mitos ini disadari. Analisis mitis Barthes tidak terfokus pada pembuat mitos melainkan bagaimana mitos ini dikonsumsi. Dalam masyarakat Prancis kala itu, media massa sudah merajai sebagai kepanjangan tangan kelompok borjuis dan menjejalkan makna mitis pada masyarakatnya. Oleh karenannya, distorsi pada mitos bisa jadi secara sadar bisa terjadi, bisa juga tidak. Yang jelas, ideologi berjuis sudah melekat dalam wacana Prancis saat itu. Dengan demikian sebenarnya hubungan antara budaya dan ideologi merupakan hubungan yang politis. Artinya, ada tawar menawar ideologi pada ranah budaya. Budaya dalam hal ini dimengerti sebagai konstruk sosial. Mitos dan ideologi yang sudah dianggap sebagai common sense juga adalah konstruk, tapi konsumennya tidak lagi memerhatikannya karena karakter mitos yang akan selalu dehistorisasi konsep mitos. Apa yang diperebutkan adalah ideologi mana yang akan dominan. Tentu sebenarnya banyak ideologi, tapi kenyataanya selalu ada ideologi yang dominan. Mitos boleh banyak, tapi ideologi mesti ada yang dominan. Budaya yang sesungguhnya tidak statis, dihentikan kesejarahannya menjadi ideologi tertentu. Dalam masyarakat kapitalisme lanjut yang ditandai dengan ekonomi konsumtif, tidak ada retorik yang paling tangguh kecuali dalam iklan. Barthes menyebut sistem semiotik sebagaimana ditemukan dalam iklan disebut sebagai logo- technique. Istilah ini mengacu pada memproduksi konsep atau logo secara sepihak, sebagaimana dikehendaki oleh produsen. Di hadapan mitos, untuk kepentingan iklan, apapun bisa menjadi mangsanya, yang pada akhirnya didistorsi sesuai dengan konsep dan maksud pembuat iklan. Mitos berfungsi menaturalisasi apa yang sebetulnya tidak natural. Yang natural ini adalah konsep yang muncul dalam zaman dan tempat tertentu. lewat mitos, konsep ini seolah alamiah. Itulah ideologi. Jadi, ideologi, membuat konsep menjadi seolah tidak terkait dengan kekuasaan. Padahal, melaluinya kekuasaan tengah berlangsung, masuk pada level kesadaran kolektif masyarakat. Untuk menghadapi mitos borjuis, bagi Barthes tidak bisa dilawan secara frontal, melainkan dengan membuat mitos tandingan. Yakni dengan menjadikan ideologi borjuis sebagai tanda tingkat pertama untuk membuat mitos tingkat dua di atasnya. Di sinilah pertarungan dan perebutan makna terjadi dalam komunikasi sehari-hari. Pandangan Barthes mengenai mitos ini secara teoritik menampilkan “metode” mengupas mitos yang berlangsung di hadapan kita. Pandangannya tentang ideologi borjuis merupakan contoh untuk mempraktekan mitos pada kasus masyarakat Prancis. Ini artinya, persoalan kemanusiaan lainnya pun bisa menjadi objek kajian analisis mitis Barthesian. Kemudian, distingsi pemikir sebelum Barthes antara mitos dengan logos menajadi cair. Karena yang logos bisa menjadi mitos dengan mengendarai sistem semiotika ganda. Mitos, bukan soal benar atau salahnya cerita di dalamnya, melainkan soal struktur tanda yang mengabsolutkan makna tertentu melalui motif atau ideologi tertentu.

BAB IV MITOLOGISASI BAHASA AGAMA

DARI KACA MATA SEMIOLOGI ROLAND BARTHES

A. Bahasa Agama sebagai Sistem Semiologi

Pada bab ini, penulis akan mencoba menerapkan analsis mitis Barthesian pada bahasa agama. Bahasa agama, sebagaimana bahasa lain, merupakan mangsa paling empuk bagi sistem mitis. Karena tanda pada bahasa agama menggunakan metafor yang selalu polisemi. Tentu teori mitos yang akan dipakai di sini adalah mitos Barthesian yang mengurainya melalui jalur analisis sinkronis 81 formal sekaligus diakronis historical. Secara semiologis, bahasa agama dikupas dalam bentuk, dan secara ideologis mengungkap ide-ide. Sebelum kita mengurai lebih lanjut mitologisasi bahasa agama melalui kaca mata semiologi Barthesian, ada baiknya kita tengok sejenak definisi umum bahasa agama. Bahasa didefinisikan sebagai 1 sistem lambang bunyi berartikulasi yang dihasilkan oleh alat-alat ucap yang bersifat sewenang-wenang dan konvensional yang dipakai sebagai alat kemunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran; 2 perkataan-perkataan yang dipakai oleh suatu bangsa suatu bangsa, daerah, negara, dst 82 . Definisi pertama akan digunakan karena ada kemiripan dengan gagasan Saussure tentang langue yang adalah khazanah tanda. Tanda itu terdiri dari penanda dan petanda, yang ditandai dengan sifatnya yang arbitrer dan konvensional. 81 Diakronis adalah pola penelitian bahasa berdasarkan urutan waktu, atau dalam sejarahnya. Sementara sinkronis lebih pada struktur kebahasaanya, lepas dari sejarahnya. 82 Deparatemen Pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar bahasa indonesia, jakarta: bali Pustaka, 1988 h, 66-67