Contoh ini hanya untuk menunjukan bahwa makna teks kitab suci agama tidak bisa dibaca secara literal semata karena ia meruapakan tanda yang polisemi.
B. Sistem mitis dalam Bahasa Agama
Lalu bagaimana mitologisasi bahasa agama itu berlangsung secara semiologis? Seperti sudah dibahas pada bab sebelumnya, sumbangan teoritis Barthes terhadap
semiologi yang telah dirintis oleh Saussure terdapat dalam dua hal: pertama, sistem tanda bukan hanya dapat mengidentifikasi sistem bahasa saja, melainkan sistem tanda
lebih luas. Semiologi bisa meneliti sistem makanan di restoran, sistem tanda pada pakaian, foto, film dan sebagainya
89
. Sumbangan kedua dari Barthes adalah membelah sistem tanda menjadi bertingkat. Tingkat pertama dan tingkat kedua, di
mana tingkat kedua berpijak pada tanda tingkat pertama. Masing-masing memiliki struktur tanda yang sama terdiri dari penanda, petanda, dan tanda. Sistem konotasi
berpijak pada sistem denotatif. Bahasa agama yang juga tidak bisa lepas dari logika formal semiologi, juga
sangat potensial menjadi mitos, memiliki makna konotasi. Terlebih, bahasa agama memang selalu menggunakan metafor yang selalu polisemi. Pada makna yang
polisemi itu, mitos memastikan salah satu makna, menaturalkannya, dan mengubur kemungkinan makna lain. Proses ini tentu ridak disadari dan tidak diperdulikan lagi
oleh penganutnya. Ia sudah berjalan sebagai common sense. Misalnya, suatu hari saya melintas di daerah Kemang dan melihat kelompok berjubah putih konvoy motor dan
meneriakkan “Allahu Akbar”. Konotasi dalam pikiran saya adalah penyerangan. Makna konotasi ini sudah menjadi common sense. Mitos model ini merupakan
semiologi konotatif.
89
Barthes, Element of Semiology, h. 26-29
Berbeda dari konotasi, mitos sebagai metabahasa menjadikan sistem bahasa menjadi petanda concept yang siap dibubuhi penanda form baru. Sistem bahasa
yang dijadikan petandannya disebut dengan bahasa-objek object-language. Bahasa dibicarakan sebagai objek. Ribuan buku yang pernah ditulis pemikir atau ulama
tentang doktrin keagamaan adalah bentuk konkret metabahasa. Doktrin keagamaan seputar hubungan manusia dengan Tuhan telah melahirkan beragam wacana.
Konsepnya berpijak pada sistem bahasa, dan melahirkan penanda-penanda yang beragam.
Berbicara mitos bukan berarti sedang mengidentifikasi makna yang salah. Misalnya, makna konotasi “teriakan Allahu Akbar”, makna yang melenceng dari
makna literalnya, menjadi “penyerangan”, bukan berarti makna itu salah karena sudah menjadi mitos. Analisis mitis lepas dari justitifikasi benar-salah ala positivisme.
Semiologi hanya bertugas mengurai distorsi tersebut agar terlihat pemaknaan model apa yang sedang berlangsung. Karena konsep yang mendistorsinya berangkat dari
situasi yang melingkupi konsumen mitos tersebut. Seperti juga Barthes tegaskan bahwa makna konotasi ini ibarat pagar putar
yang tidak pernah berhenti. Jadi penelusurannya bukan pada makna objektif atau bukan, malainkan pada bentuk, atau dengan cara apa makna muncul. Bahasa agama
yang sudah berjalan sejak keberadaannya hingga kini tentu sama seperti pagar putar itu. Ia tidak akan berhenti melahirkan mitos-mitos baru. Ia hanya akan mati sebagai
mitos hanya jika tipe ujaran tersebut sudah tidak dipilih lagi. Jika memandang bahwa makna konotasi sebagai cerita bohong yang sudah
tidak ada gunanya, berarti mengandung asumsi ada esensi yang “benar” di balik makna suatau wacana keagamaan. Logika ini adalah logika positivisme. Cara
pandang semacam ini menurut Barthes, dan seluruh tradisi strukturalis, menganggap
bahwa positivisme telah salah dalam memandang bahasa. Seolah dalam bahasa terdapat makna objektif secara indrawi dan karenanya terverifikasi. Dalam tradisi
struktural, sekali lagi, bukan soal ada esensi objektif secara indrawi atau tidak, melainkan melihatnya dalam struktur tandanya. Yaitu, pola struktur bahasa yang
memungkinkan esensialisasi dan mitologisasi. Dalam konteks itulah, positivisme menjadi mitos tersendiri secara semiologis.
Dalam bahasa agama, sulit membedakan mana tanda tingkat pertama dan mana tanda tingkat kedua. Jika kita kita imajinasikan, bahasa paling awal muncul
bahasa agama dalam masyarakat merupakan produk dari sistem mitis. Karena bahasa yang digunakan untuk mengungkapkan apa yang diyakini sudah menggunakan prinsip
analogi. Prinsip analogi terpaksa dilakukan karena fenomena alam di luar jangkauan pikiran manusia primitif. Misalnya masyarakat primitif untuk pertama kalinya
mengidentifikasi makhluk gaib dengan api. Api sebagai bahasa yang nampak, sudah dicuri maknanya, diuapkan makna literalnya, dan siap diisi oleh konsep “makhluk
gaib” yang diyakini kehadirannya. Api, sebagai entitas yang membakar memiliki nilai analogis dengan kekuatan supranatural. Sistem mitis yang dipercaya oleh masyarakat
primitif mengalami perkembangan seiring dengan sejarah. Sebagaimana Barthes katakan bahwa “mitos-mitos kuno tidak ada yang abadi; sebab sejarah manusailah
yang mengubah realitas menjadi wicara, dan sejarah ini mengatur hidup matinya bahasa mitis”.
90
Berikut contoh bahasa agama yang sudah menjadi mitos dalam kerangka Barthesian. Laskar Jihad, dalam websitenya, menampilkan galeri foto-foto kekejaman
orang Kristen di Maluku. Penempatan foto-foto kekejaman di website laskar jihad adalah sistem mitis di mana foto-foto itu bukan sekedar tampilan tanpa distorsi
90
Barthes, Mythologies, h.110
makna.
91
Tampil sebagai galeri website laskar jihad, foto tersebut mengandung konotasi ajakan berperang melawa Kristen. Foto-foto itu menegaskan peperangan
melawan kedzaliman Kristen sebagai jihad di jalan Allah. Maka wajar bila tidak sedikit waktu itu, banyak yang mendaftar sebagai relawan untuk berperang ke
Ambon. Ini adalah contoh mitologisasi yang disengaja oleh pemuatnya. Tapi, para konsumen wesite ini tidak lagi peduli kenapa dan siapa pembuat mitos ini. Yang
muncul dibenak adalah kedzaliman yang harus dilawan. Skemanya demikian:
Contoh Mitos Makna Denotatif
Makna Konotatif Foto kekejaman orang
Kristen terhadap warga Muslim dalam website
Laskar Jihad Gambar orang Kristen
melukai warga Muslim Perang melawan orang
Kristen adalah keharusan karena orang Kristen
sangat kejam
Empat karakteristik mitos sebagaimana Barthes ungkapkan, deformasi, intensional, statement of fact, dan motivasional, dapat kita lihat pada contoh mitos
keagamaan yang sudah penulis sebut tadi. Pertama, deformasi. Deformasi ini mangandaikan bahwa penanda mitos berada pada dua posisi: penuh sebagai makna
tanda tingak pertama secara general, dan kosong, pada bentuk form. Deformasi bekerja berkat distorsi makna menjadi bentuk oleh konsep. Foto kekejaman Kristen di
websitenya Laskar jihar, sebagai makna penuh ia adalah gambar bermakna kekejaman Krisen terhadap Islam. Ketika dipakai untuk mengisi galeri Laskar Jihad,
foto itu menjadi bentuk untuk konsep lain jihad atau berperang melawan mereka wajib hukumnya. Jika foto ini dilihat di luar website, maka foto ini akan dibaca
dengan beragam makna. Karena Laskar jihad memiliki konsep jihad perang, maka maknannya menjadi seperti apa yang diharapkan oleh pembuat.
91
www.laskarjihad.orggalleryphoto
Kedua, intensional. Foto ini bagi konsumennya yang muslim langsung menyentuh sasaran, terlebih korbannya adalah orang muslim. Apa yang dikehendaki
oleh mitos terasa oleh konsumen muslim. Foto dalam website tersebut memaksa pembaca untuk mengkategorikan Kristen sebagai kejam yang mendzalimi umat Islam.
Kemudian, mitos pada saat itu juga menjauh dari pembaca seolah menunjukkan bahwa memang faktanya Kristen secara universal memang kejam. Foto itu enjadi
statement of fact yang tak terbantahkan lagi. Pembaca sudah tidak lagi peduli terhadap kenapa foto itu dicetak, untuk tujuan apa peristiwa itu diabadikan. Kini foto melalaui
website itu telah menampilkan kekejaman Kristen di manapun. Oleh karea itu jihad adalah tindakan yang wajib hukumnya.
Terakhir, motivasional. Tidak seperti bahasa biasa yang arbitrer, sistem mitis mengandung motif. Pada foto ini motifnya jelas untuk mengajak jihad, foto itu sanagt
mewakili sebagai penanda kekejaman Kristen. Nilai analogis foto dengan kosep yang disisipkan oleh pembuat website Laskar Jihad. Sementara, dalam mitos Muamar, dia
mana letak motivasinya? Dalam contoh mitos itu, motivasinya tidak disadari. Pendengar begitu saja menganalogikan keindahan dengan meliak liuknya suara
Muamar saat membaca al-Quran. Barangkali jika Muammar melantunkannya di hadapan non-muslim, konsep dalam mitosnya lain. Analisis itu lebih pada konsep
yang akan masuk mendiami bentuk pada mitos. Keempat karakter tersebut akan senantiasa memenuhi sebuah mitos. Hanya
saja, dari pihak penikmat mitos, tantu saja, tidak akan disadari keempat karakter tadi.keempat karakter ini dirinci olah Barthes hanya untuk dapat mengidentifikasi
status pada mitos tertentu. Berikut skema keempat karakter tersebut:
Contoh Mitos Foto kekejaman orang Kristen terhadap warga Muslim dalam
website Laskar Jihad
Deformasi makna penuh: gambar orang kristen melukai warga Muslim.
Makna kosong: deretan gambar semata. Oleh Laskar Jihad makna penuhnya didistorsi oleh konsep
perang jihad melawan Kristen.
Intensional Gambar ini secara intensional menyapa penganut muslim.
Seolah gambar ini menunjukan bahwa saya pembaca website Laskar Jihad bagian dari kedzaliman Kristen.
Statement of Fact
Melalui gambar yang dipasang di website Laskar Jihad itu seolah menunjukan secara universal bahwa faktanya orang
Kristen memang dzalim, memusuhi warga Muslim secara Universal.
motivasional Gambar itu ada kesamaan analogis dengan konsep jihad yang
ditawarkan pemilik website tersebut.
Perlu juga disadari bahwa apa yang dibicarakan lewat sistem semiologi dalam pembentukan mitos lebih menekankan pada kode dan bukan realitas yang ditunjuk
oleh sistem bahasa. Perhatian semiolog adalah kode-kode potensial dalam kelompok msyarakat tertentu. Karena konsep datangnya dalam situasi tertentu. Dalam konteks
inilah bahwa sistem tanda yang sudah termitologisasi akan seolah masih menunjukan realitas, padahal dia sudah selalu merupakan abstraksi dari realitas untuk melayani
konsep barunya yang adalah kode-kode. Bahasa agama, tentu saja, tidak dapat memberikan bukti bahwa di dalamnya memiliki rujuan realitasnya atau tidak. Karena
sistem penandaannya lebih merupakan mata rantai sistem mitis yang tak berhenti. Oleh karena itu, mitologisasi bahasa agama, sebagai sistem tanda tingkat
kedua secara formal semiologis, dapat dimengerti kini. Tidak ada aspek dalam bahasa agama yang bukan sistem tanda bertingkat. Selalu saja doktrin keagamaan
merupakan sistem ganda. Mitologisasi dalam bahasa agama terjadi di setiap zaman secara terus menerus. Apa yang saat ini menjadi mitos, di lain waktu makna mitis itu
akan dicuri oleh konsep lain dan dijadikan mitos baru. Demikian seterusnya. Sampai di sini kita baru mengurai mitos bahasa agama dari sisi bentuk formal. Begitulah
bahasa agama secara teknis menjadi mitos bagi pemeluknya.
C. Ideologi dalam Sistem Mitis Bahasa Agama