Pengaruh Saussure Semiologi: Upaya Membangun Teori

F. Semiologi: Upaya Membangun Teori

1. Pengaruh Saussure

Pendekatan strukruralisme yang dipraktekkan Levi-Strauss untuk menganalisa mitos menjadi inspirasi intelektual bagi Barthes untuk membaca mitos kontemporer yang bersemayam di dalam budaya massa. Levi-Strauss, sebagai seorang antropolog, tentu ia melibatkan dirinya dalam perdebatan menjelaskan mitos-mitos primitif. Jadi, ia tidak berkepentingan atas, dan bahkan tidak memerhatikan terhadap, mitos-mitos yang dihasilkan oleh “mesin-mesin” teknologi kontemporer. Kemudian, Levi-Strauss juga dalam membaca mitos primitif, dalam kerangka bahasa. Tanda yang diamati masih berbentuk cerita yang sifatnya bahasa simbolik. Hubungan antar tanda bahasa menjadi pusat perhatian Levi-Strauss agar dapat menemukan makna pada mitos. Sementara itu, Barthes memandang mitos sebagai salah satu tipe berujar a type of speech. Speech, seperti akan dibahas lebih lanjut dalam konsep semiologi, bagi Barthes, tidak terbatas dalam bentuk oral saja, melainkan juga gambar, film, seni, olahraga, pertunjukan, dan lain-lain. Mitos akan menyentuh kita melalui media yang tersedia. Apapun, bagi Barthes, di dunia ini bisa jadi mitos, asalkan ia dapat terbahasakan. Oleh karenan itu, mitos merupakan salah satu bidang yang dikaji melalui semiologi. ditambah bahwa bahasa struktur bahasa hanyalah model bagi tanda selain bahasa. 50 Strukturalisme yang digagas oleh seorang pakar linguistik asal Swiss, Ferdinand de Saussure menandai lahirnya ilmu linguistik modern. Karya Saussure, Cours de Linguistique Général, menjadi “kitab suci” ilmu baru ini. Meskipun demikian, “kitab suci” itu tak tahan kritik dan siap dikembangkan para penerusnya. 50 Roland Barthes, Mythologies New York: Hill Wang, 1972 h.109 Buku itu sebenarnya, kumpulan ia mengajar, karena mamuat banyak gagasan baru dalam ilmu bahasa, beberapa muridnya berinisiatif menerbitkannya. Jadilah ia “kitab suci” linguistik modern hingga kini. Melalui buku tersebut, Saussure ingin menjadikan bahasa sebagai objek kajian ilmiah. Pada masanya, para ahli bahasa tidak bisa melampaui pendekatan historis. Pendekatan historis, hanya terfokus pada bagaimana melihat bahasa lebih pada asal usulnya. Pendekatan ini membuat ilmu bahasa sangat bergantung dari data-data sejarah yang spesifik. Saussure membayangkan adanya suatu disiplin ilmu yang stabil untuk mempelajari bahasa sehingga dapat melampaui pendekatan lama. Saussure terinspirasi oleh gagasan Durkheim 1858-1917 mengenai fakta sosial. Masyarakat, menurut Durkheim, dapat diteliti sebagai fakta sosial yang objektif. Fenomena ini terpisah dari kehendak manusia dan memengaruhinya dalam perilaku sosial. Ini adalah kesadaran kolektif yang disebutnya sebagai fakta sosial. 51 Saussure membayangkan kesadaran kolektif ini dalam bahasa. Bahasa menjadi fenomena objektif yang bisa ditelanjangi strukturya terlepas dari konteks dan peristiwa yang membentuknya. Melalui sruktur, individu dan masyarakat mengembangkan bahasa dalam bentuknya yang spesifik. Kesadaran kolektif masyarakat tadi terejawantahkan dalam strukturnya. Karena itulah Saussure disebut sebagai bapak strukturalisme, di mana sruktur menjadi pusat penelitiannya. Seperti sudah dikemukakan sebelumnya bahwa untuk mendekati bahasa dari strukturnya, Saussure membedakan antara langue bahasa dan parole wicara. Parole adalah seluruh ujaran manusia bedasarkan pilihan-pilihan individu, termasuk di dalamnya bentuk pengungkapan secara spesifik. Artinya, parole ini muncul dari penggunaan bahasa yang dilakukan secara individual dilakukan oleh masing-masing 51 Doyle Poul Johnson, Teori Sosiologi Modern I, h. 74 orang atau kelompok. Masing-masing lingkungan memilik parole berbeda-beda. Perhatian Saussure dalam merumuskan ilmu bahasa yang ilmiah justru tertuju pada langue. Langue merupakan kebiasaan pasif si penutur bahasa yang memungkinkan kita saling memahami dan menghasilkan unsur-unsur yang dapat dipahami bersama. Jadi langue ini adalah abstraksi dari keseluruhan akivitas berbahasa manusia. Langue sepenuhnya produk alam bawah sadar manusia, dan inilah yang disebut sebagai kesadaran kolektif. 52 Saussure sadar bahwa ilmu bahasa tidak mungkin meneliti parole saja karena terlalu banyak dan spesifik. Oleh karena itu, ia lebih terfokus pada langue. Bagi Saussure, linguistik bisa didekati melalui jalan diakronis juga sinkronis. Para ahli bahasa sebelumnya, hanya berhenti mendekati bahasa dengan metode diakronis, yaitu meneliti bahasa berdasarkan perkembangannya dalam urutan waktu. Jadi penelitiannya dilakukan dengan mengamati institusi yang meresponnya dalam kurun waktu tertentu. Bahasa juga bisa dilihat melalu cara sinkronis, yaitu kita dapat memperlajari perubahan bunyi dan sistem fonologis di antara berbagai sistem langue, meskipun dalam rentang waktu yang berjauhan. Karena itu, tidak heran jika bahasa, sekalipun abstrak, sangatlah majemuk. Kemajemukan ini memperlihatkan adanya kekerabatan yang secara implisit terdapat di dalam struktur bahasa. Lalu di mana letak tanda dalam strukturalisme Saussure? Seperti sudah disinggung bahwa bahasa yang diperbincangkan Saussure terletak pada langue. Karena langue adalah hasil konvensi anggotanya, konvensi tersebut dihasilkan berdasarkan sistem pemaknaan dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa sistem pemaknaan, tidak mungkin saling memahami. Sistem pemaknaan itulah yang disebut dengan tanda. Menurut Sussure, langue adalah semesta tanda yang masing-masing 52 Harimurti K, Mongin-Ferdinand de Saussure 1857-1913, Bapak Linguistik Modern dan Pelopor Strukturalisme, dalam Ferdinand de Saussure, Pengantar Linguistik Umum, terj. Rahayu S. Hidayat, Yogyakarta: Gadjah Mada Univrsity Press, 1996, h. 5 bersifat arbitrer. Sifat arbitrer yang melekat pada tanda bukan berarti kita boleh seenaknya mengasosiasikan bunyi tertentu untuk konsep tertentu. Karena asosiasi antara bunyi dan konsep yang membentuk tanda terjadi atas konvensi masyarakat. Sehingga kita tidak tahu latar belakang mengapa bunyi “batu” diasosiasikan pada konsep batu bukan air. Akan tetapi, sifat arbitrer ini juga menegaskan bahwa tidak ada hubungan alamiah antara bunyi dengan konsep yang ditunjuknya. Itu semua hasil konvensi anggota masyarakat di ranah bawah sadar manusia. 53 Saussure memandang tanda terdiri atas dua komponen: 1 citra akustik yang disebut penanda signifier dan 2 konsep atau citraan mental yang disebut petanda signified. Penanda adalah kesan citraan bunyi yang dapat dibunyikan dari mulut penutur, sementara petanda adalah konsep yang hanya dapat dirasakan secara mental dalam pikiran penutur. Hubungan keduanya saling menentukan. Citra akustik akan terasa sebagai igauan belaka jika di dalamnya tidak ada konsep yang hendak ditunjuk. Begitu juga konsep tidak akan muncul tanpa penyampaian dalam bentuk bunyi atau citra akustik. Korespondensi terus menerus di atantara keduanya diperlukan untuk menjalin komunikasi para penuturnya. Akan tetapi, cara mereka berhubungan berbeda-beda, bergantung pada konvensi di masyarakat. Tanda tidak pernah lepas dari konteks pembentukannya. 54 Bahasa dalam pandangan Saussure bukan isi, melainkan bentuk. Pandangan ini kemudian dikembangkan oleh Levi-Strauss sebagai relasi. Bahasa merupakan jalinan relasi tanda yang sangat rumit. Relasi ini menjadi jembatan pembentukan makna yang silih berganti disampaikan di antara penutur. Hanya saja, relasi ini hanya mungkin bila tanda memiliki penandaan signification. Penandaan inilah yang menghubungkan, asosiasi antara bunyi dan konsep secara referensial. Misalnya, kata 53 Henry Tudor, Mitos dan Ideologi Politik, h. 53 54 Ferdinand de Saussure, Pengantar Linguistik Umum, terj. Rahayu S. Hidayat, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996, h. 65 gunting mengandung penandaan atas konsep alat memotong benda. Hubungan antara kata gunting dengan alat memotong benda akan gugur manakala kata gunting diganti oleh kata ganteng atau gintung. Tanda-tanda di dalam bahasa bukanlah sitem yang homogen. Hubungan antar satu tanda dengan tanda lainnya memiliki mekanisme hubungan tersendiri. Hubungan tersebut disebut dengan diferensi atau perbedaan. Diferensi ini akan memperjelas apa yang akan ditandakan oleh penutur. Misalnya, “gunting” menjadi jelas maknanya karena berbeda dengan “genting”. Diferensi ini sangat penting dalam pemikiran Saussure. Tanpa diferensi, tanda-tanda dalam sistem langue tidak dapat diketahui. Hubungan antara tanda juga dilihat melalui dua cara: sintagmatik dan paradigmatik. sintagmatik adalah hubungan yang bersifat linier pada tanda. Artinya, hubungan antar tanda bergerak lurus dengan satuan waktu. Hubungan ini mengajak kita memprediksikan apa yang akan terjadi dari hubungan tersebut. Dalam hubungan ini, konsep sangat ditentukan oleh hubungan antara tanda dengan yang lainnya. Misalnya, hubungan antara satu kata dengan kata lain dalam satu kalimat. Sementara, hubungan paradigmatik merupakan hubungan unsur-unsur tanda dalam satu kelas yang membentuk sistem. Tanda-tanda dalam hubungan ini identik satu sama lain, meskipun masing-masing memiliki nilai atau valensi secara unik. Misalnya, antara kata supermarket dalam hubungannya dengan pasar, mall. Atau kata “ketupat” dalam hubungannya dengan “peci”, “sarung” untuk suasan idul fitri. Hubungan tanda-tanda secara paradigmatik merupakan hubungan virtual. Keberadaannya dalam keadaan in absentia, satu kelas namun tidak hadir. Hubungan unsur ini terletak pada pikiran manusia. 55 55 Lihat Fariz Pari, Hermeneutik Paul Ricoeur untuk Penelitian Keagamaan: Metodologi dan Terapan Terhadap Kebudayaan Shalat dan Makam Sunan Rahmat Garut, Seri Disertasi: Pasca Sarjana UIN Jakarta, 2005, h. 26 Melalui pemikiran Saussure tersebut, Barthes menjelajahi dengan tekun segala kemungkinan dari linguistik modern strukturalisme untuk membangun teori mitosnya kelak. Akan tetepi, sejak awal, ia meniatkan penjelajahannya itu ditapakinya ke wilayah yang lebih luas, signification other than language. 56 Apa yang digagas oleh Saussure mengubah model berpikir dalam ilmu-ilmu sosial. Meski demikian, bahasa tetap menjadi pijakan, atau barangkali juga model sistem penandaan di luar bahasa. Cara pandang baru atas bahasa ini membuat Barthes terpesona dalam penelitian-penelitiannya kelak, terutama sebagai kritik ideologi. Dalam bukunya, Mythologies 1957, untuk kepentingan analisa terhadap mitos-mitos yang dipublikasi di berbagai media, sebenarnya Barthes sudah membahas semiologi. Karena mitos, kata Barthes, adalah bagian dari kajian semiologi. Beberapa istilah kunci semiologi telah diurainya secara detail. Namun, penjelasannya masih terbatas pada konsep yang sejauh menunjang analisanya atas mitos. Baru pada tahun 1964, melalui bukunya Elements of Semiology, Barthes memaparkan beberapa konsep kunci teori semiologinya. Tepatnya, buku itu lebih berupa ulasan atas kemungkinan teori semiologi Saussure dan para penerus dengan perkembangannya. Buku ini dipersiapkan sebagai bahan mata kuliah di mana dia mengajar. Akan tetapi, ternyata buku ini juga menjadi momen bagi Barthes untuk membangun teori untuk mendekati persoalan-persoalan kebudayaaan secara luas. Pendek kata, kita akan melihat bagaimana mitos dalam pandangan Barthes dengan memahami landasan teori yang dipakainya. Oleh karenannya, membahas konsep- konsep kunci akan dibicarakan terlebih dahulu.

2. LangueParole