Kemudian tahap berikutnya adalah tahap positivis. Tahapan di mana pengetahuan mencapai puncaknya. Tahap ini tidak lagi mencari sebab-sebab kejadian
di luar fakta-fakta teramati. Pikiran hanya memusatkan pada fakta yang sebenarnya bekerja menurut hukum umum. Ilmu pengetahuan pada masa ini bukan saja ilmu
tentang yang real, melainkan juga ilmu yang pasti dan berguna.
44
Dengan demikian jelas apa pandangan kaum positivis terhadap mitos. Mitos adalah pikiran-pikiran zaman manusia yang masih kekanak-kanakan. Mitos hanyalah
bualan belaka. cerita dalam mitos hanya sebatas kepercayaan zaman primitif, yang saat ini sudah tidak berguna lagi. Meskipun mitos berisi sejarah, kalangan positivis
menganggap bahwa pengetahuan yang didapat bukan berasal dari fakta-fakta yang dapat diamati. Demikian juga, jika ada mitos sejarah seperti cerita kerajaan Prabu
Siliwangi di Jawa Barat, alih alih memercayai maknannya, malah menelusuri jejak sejarahnya secara arkeologis hingga menemukan cerita yang tepat secara ilmiah,
berangkat dari artefak-artefak yang secara faktual bisa menunjukan kebenaran historisnya.
3. Periode Kontemporer: Psikoanalisa dan Strukturalisme.
Periode ini pembahasan mitos sudah terpilah-pilah seiring dengan spesifikasi ilmu pengetahuan. Periode ini paling tidak ada dua pendekatan yang menonjol. Kita
mulai dengan pendekatan psikologi. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa mitos merupakan fenomena psikis. Penafsiran-penafsiran ini umumnya diilhami oleh karya-
karya Sigmund Freud 1856-1939 dan Carl Jung 1875-1961
45
. Sementara metodologi khusus dalam psikologi diinspirasi oleh tafsir mimpinya Freud.
44
F. Budi hardiman, Filsafat Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche, h.205-206
45
Ibid, h. 38
Mimpi, menurut Freud, ditimbulkan oleh angan-angan dan tujuannya menampilkan angan-angan tersebut seolah sudah terpenuhi supaya orang dapat
melanjutkan tidurnya tanpa gangguan. Angan-angan tersebut, lanjut Freud, bersumber dari hasrat seks masa kanak-kanak. Misalnya, pada anak laki-laki tertanam hasrat seks
pada ibunya dan ingin melenyapkan ayahnya. Namun, keinginan ini berhadapan dengan tata nilai dan sopan santun sehingga dilenyapkan dan dibuang dari ingatan.
Akan tetapi tidak hilang sama sekali, hasrat tersebut mengendap di bawah sadar manusia, dan tetap di sana untuk mengganggu orang dewasa tidur.
Freud sendiri tidak memperluas teorinya ke wilayah mitos. Ia hanya mencoba mengamati bahwa simbol-simbol mitos banyak kemiripan dengan simbol-simbol
dalam mimpi. Misalnya, terutama tema seksual masa kanak-kanak. Tema ini dipakai untuk melihat mitos terkenal tentang kisah Oedipus. Freud juga menegaskan bahwa
mitos, seperti halnya mimpi, merupakan produk fantasi.
46
Salah satu murid Freud yang cukup berpengaruh, Carl Jung memperluas pengertian bawah sadar. Tidak seperti Freud yang menegaskan bahwa tipikal bawah
sadar besifat pribadi dan isinya selalu berasal dari pengalaman sadar individu itu sendiri, Jung mebedakan antara lapisan luar bawah sadar dan lapisan dalam. Lapisan
luar inilah yang bersifat pribadi. Sementara, lapisan bawah sadar terdalam disebut dengan bawah sadar kolektif. Istilah kolektif dipilih lebih karena sifatnya yang
universal. Dengan kata lain, ia identik pada semua orang, dan karenanya merupakan suatu lapisan bawah sadar bersama yang bersifat supra-personal dan terdapat pada diri
setiap orang. Alam bawah sadar kolektif ini juga disebut dengan arkhetip-arkhetip.
47
Melalui pembedaan ini, Jung menjelaskan bahwa mitos merupakan representasi simbolik dari bawah sadar kolektif manusia. Ungkapan-ungkapan mitis
46
Henry Tuder, Mitos dan Ideologi Politik, h.35
47
Ibid, h.40
harus dibaca sebagai suatu bayangan-cermin atau simbol dari dirinya. Karena semua mitos dari alam, menurut Jung, merupakan ungkapan simbolik dari drama batin yang
tidak disadari dari psike yang menjadi terbuka bagi kesadaran manusia melalui proyeksi. Artinya, manusia memroyeksikan dirinya kepada dunia apa yang
sebenarnya terjadi jauh di dalam bawah sadarnya sendiri. Proses ini sangat menonjol di kalangan bangsa primitif. Misalnya, bangsa primitif tidak cukup atas
penglihatannya atas matahari terbit dan terbenam; peristiwa lahiriah ini pada saat yang bersamaan merupakan peristiwa psikis; dalam lintasan matahari tergambar nasib
suatu dewa atau seorang pahlawan yang pada tingkatan paling akhir tidak ada di mana-mana kecuali dalam dirinya sendiri.
Jelaslah bahwa teori mitos yang hendak dibangun dengan pendekatan pskiologi ini hendak menyamakan antara apa yang terjadi pada mimpi juga berlaku
pada mitos. Ini jelas bermasalah karena mitos dengan mimpi sama sekali berbeda. Di sinilah letak beberapa keberatan jika teori psikoanalisa diterapkan untuk mitos. mitos
sama sekali berbeda dengan mimpi. Karena, Freud sendiri mengatakan bahwa tujuan mimpi bukan untuk mengomunikasikan sesuatu, melainkan untuk tidak dimengerti.
Sementara, mitos merupakan ungkapan publik bukan pribadi. Mitos juga salah satu cara paling ampuh agar mereka dapat dimengerti.
Ide Jung tentang kesadaran kolektif juga tidak bisa menjelaskan mitos pada dirinya. Karena seandainya kita sudah dapat menjelaskan hakikat ide-ide bawah sadar
kolektif, mitos hanya salah satu efek saja. Selain itu, gagasan alam bawah sadar kolektif merupakan kelanjutan dari teori idealisme. Sementara, hipotesis Roh
supraindividual sebagai “aktor” utama perilaku suatu peradaban tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Bahwa telah terjadi penyebaran mitos adalah hal yang menarik. Akan
tetapi hal itu tidak membuktikan keberadaan alam bawah sadar kolektif. Kesimpulan model ini tidak lebih dari menebak-nebak dengan menggunakan akal.
Kemudian, teori yang belakangan ini mendapat perhatian banyak kalangan adalah strukturalisme. Teori yang memusatkan perhatian pada struktur bahasa ini,
menjadi alternatif dalam memecah persoalan-persoalan kemanusiaan kontemporer. Karena, bahasa, sebagaimana diyakini kalangan strukturalis, adalah struktur dasar
yang memungkinkan manusia berujar dan bertindak. Demikian juga dengan perdebatan mitos. Teori strukturalisme digunakan untuk mendekati mitos pertama kali
dirintis oleh Levi-Strauss 1908- , antropolog yang getol jalan-jalan ke berbagai belahan dunia dalam rangka menganalisa mitos-mitos antrologis. Teori ini, seperti
telah diperlihatkan di muka, dikembangkan atas pemikiran pendirinya, Ferdinand de Saussure.
Menurut Levi-Strauss, studi-studi mitos sebelumnya menghadapi kesulitan- kesulitan seperti beberapa kesulitan yang dihadapi oleh ahli linguistik pra-ilmiah pra-
Saussure. Teori-teori mitos selama ini memegang asumsi bahwa di mana terdapat simbol-simbol dan motif-motif yang sama tentu memiliki makna yang sama pula. Hal
ini sama dengan kesalahan para linguist sebelum Saussure yang berasumsi bahwa ada hubungan alamiah anatara bunyi-bunyi dengan ide-ide yang ditunjukan oleh bunyi
itu. Menurut Levi-Strauss, mitos harus diperlakukan seperti bahasa. Yang perlu dicari adalah struktur keseluruhan dari mitos bukan makna dari masing-masing simbolik
karena makna mitos hanya mungkin jika menggabungkan seluruh bagian-bagainnya.
48
Untuk mengidentifikasi unsur-unsur pada mitos, kita harus menguraikan ceritanya menjadi kalimat-kalimat pendek. Misalnya, mitos tentang Oedipus. Kita
bagi menjadi, “Cadmos membunuh naga”, “Oedipus membunuh Sphing”, “Oedipus
48
Levi-Strauss, Stuctural Anthropology, New York: Pinguin Books, 1963, h.209
mengawini ibunya” dan sebagainya. Kemudian unsur-unsur ini dipilih berdasarkan kalimat-kalimat yang memiliki kesamaan-kesamaan menjadi berkas-berkas yang
terpisah. Menurut Levi-Strauss kesamaan dalam berkas itulah yang merupakan satuan konstituen di dalam mitos. Biasanya, dalam satuan-satuan itu terdapat unsur-unsur
yang saling berlawanan. Oleh karenannya kita dapat mengelompokkannya dalam satuan oposisi biner, seperti, hidupmati, laki-lakiwanita, mentahdimasak, dan lain-
lain. Kemudian oposisi biner ini dapat dikelompokan lagi ke dalam skema konseptual. Bisa jadi, skema itu menyangkut soal-soal kosmologis, sosiologis atau ekonomis.
Akhirnya, skema konseptual itu dan hubungannya satu sama lain dinyatakan sebagai diagram yang menurut Levi-Strauss menjadi struktur global dari mitos yang
dianalisa.
49
Si pembuat mitos dengan sendirinya sedang ingin menyampaikan suatu pesan kepada khalayak pendengar. Akan tetapi pesan itu tidak disadari baik oleh pembuat
cerita maupun oleh pendengarnya. Di sinilah analisa struktur memperlihatkan bahwa apa yang diupayakannya bukan untuk menunjukan bagaimana manusia berpikir di
dalam mitos mereka, melainkan bagaimana mitos itu berpikir dalam sruktur bahasa manusia, dan tidak mereka sadari.
Oleh karena mitos beroperasi di bawah tingkat kesadaran, maka mitos harus sering diulang-ulang dan dalam bentuk yang berbeda-beda agar maknannya dapat
disampaikan. Inilah kenapa suatu mitos seringkali muncul dalam banyak versi. Analisa struktural juga menggiring pada kesimpulan bahwa tidak ada versi mitos yang
paling benar dan paling sah. Karena tujuannya adalah mengumpulkan, menganalisa, dan membandingkan semua versi yang ada sehingga kita dapat menemukan dokrin
yang tersembunyi di dalamnya.
49
Ibid, h.214
F. Semiologi: Upaya Membangun Teori