Mitos: as a Semiological System

G. Mitos: as a Semiological System

Sedari awal perhatiannya pada budaya massa, Barthes sadar bahwa mitos yang selama ini dibicarakan dan diperdebatkan para ilmuan sosial belum menyentuh mitos yang beredar di zamannya. Mitos sekarang tidak lagi berasal dari cerita orang tua atau buku-buku legenda, mereka tampil dan menyapa kita melalui media yang lebih luas: film, foto, iklan, pakaian, makanan, dan seterusnya. Hal ini karena bahasa sebagai kesadaran kolektif dalam masyarakat tertentu selain menyediakan makna sebenarnya denotatif, juga makna yang melenceng dari makna denotatifnya. Makna bukan sebenarnya senantiasa kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya kita menyebut “singa” bagi laki-laki yang gagah berani. “Lelaki gagah berani” adalah makna konotataif dari makna singa dalam sistem bahasa denotatif. Mitos adalah bagian dari sistem tanda yang mengalami penyelewengan makna yang sudah kita anggap sebagai sesuatu yang common sense dan natural. Dengan demikian, mitos akan tersebar di mana dan kapan saja hingga hari ini. Barthes mengamini kritik Levi-Strauss terhadap teori mitos sebelumnya, bahwa mereka menganggap setiap simbol dalam mitos mesti memiliki makna yang alamiah. Karena adalah bualan belaka ketika membicarakan mitos berangkat dari substansinya. Di sini letak perbedaan dengan teori-teori sebelumnya. Teori alegoris, misalnya, percaya bahwa di balik mitos terdapat ajaran moral yang agung kebenaran sejati yang tertuang dalam bahasa alegoris. Begitu juga Euhemeris percaya bahwa di balik sejarah menyimpan sejarah yang sebenarnya. Penyimpangan sejarahlah penyebab kebenarannya terkubur. Teori idealis pun demikian, menganggap bahwa sejarah adalah perjalanan Roh absolut yang terrepresentasi dalam perubahan- perubahan pada ritual mitos keagamaan. Termasuk juga kalangan positivisme yang menganggap bahwa mitos tidak lebih dari bualan manusia primitif. Di dalamnya tidak ada kebenaran. Mitos dipertentangkan kaum positivis dengan pengetahuan empiris, atau saintisme. Melalui pendekatan semiologi, Barthes menemukan bahwa menganalisis mitos bukan soal ada kebenaran absolut atau tidak di baliknya. Juga bukan persoalan bahwa mitos itu cerita bohong atau bukan. Mitos jusru selalu menghampiri kita dalam keseharian kita. Karena mitos adalah sistem komunikasi manusia. Hanya saja, mitos tidak ditentukan oleh objek komunikasi, melainkan dengan cara apa mitos itu sampai. Itulah sebabnya mitos menurut Barthes adalah tipe wicara. Oleh karenanya, mitos dalam konsepsi Barthes tidak ditentukan berdasarkan substansinya, tapi dari bentuk penandaanya. Analisis mitos akan sampai pada makna, sebagaimana Levi-Strauss, hanya jika memusatkan perhatian pada strukturnya. Bedanya Barthes dari Levi- Strauss adalah Strauss percaya bahwa mitos-mitos kuno menjadi banyak versi karena seringnya diulang-ulang kisah tersebut. Sementara itu, Barthes memandang “sejarah manusialah yang mengubah realitas menjadi wicara, dan wicara itulah yang menentukan hidup matinya bahasa mitis”. 65 Sejarah yang dimaksud Barthes di sini bukan sebagaimana dipersepsi oleh kaum idealis yang menganggap ada Roh Absolut yang menentukan perubahan- perubahan itu. Kaum positivis yang menganggap bahwa mitos merupakan penyimpangan dari sejarah yang sebenarnya. Sejarah yang dimaksud Barthes adalah setiap zaman dan tempat memiliki kode-kode pemaknaan yang menentukan makna apa yang akan muncul dari mitos. Perhatian atas sejarah sebenarnya bukan fokus Barthes yang notabene seorang semiolog. Ia membicarakan sejarah dalam konteks 65 Roland Barthes, Mytholgies, trans. Jonathan Cope, New Yok: Hilland Wang, 1972, h. 110 menunjukkan bahwa perubahan bentuk tanda dalam mitos mengacu pada kode masyarakat di mana mitos dipakai. Pada bagian pendahuluan edisi revisi, Barthes memaklumkan bahwa teori mitos dikembangkannya sebagai kritik ideologi budaya modern. Berikut saya kutip pernyataannya: “This book has a double theoretical framework: on the one hand, an ideological critique bearing on the language of so-called mass-culture; on the other, a first attampt to analyse semiologically the mechanics of this language”. 66 Pernyataan ini dengan jelas menunjukan bahwa teori mitos yang digagas oleh Barthes lebih sebagai kritik ideologi. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya bahwa ketertarikan Barthes terhadap ideologi berbeda dari para pemikir sebelumnya. Ia tidak tertarik untuk memperdebatkan hakikat ideologi. Yang ia persoalkan adalah bagaimana ideologi berfungsi dan dipercayai secara kolektif oleh masyarakat tertentu. Ideologi, menurut Barthes, tersebar memakai jasa mitos. Secara semiologi, mitos adalah ilmu formal yang dianalisis secara sinkronis. Sebagai ideologi, mitos dipelajari secara diakronis atau mengurai sejarah ide-ide dalam bentuk atau historis sifatnya. 67 Sebagaimana kita tahu sistem tanda terdiri dari signifier dan signified. Dua unsur ini sangat menentukan makna terbangun dari suatu tanda. Sekema ini, selain dalam sistem tanda bahasa Saussure, dapat juga kita temui dalam pemikiran Freud tentang mimpi. Makna dari tingkah laku menjadi penanda, dan petandanya adalah makna laten dalam bawah sadar, sebagai tandanya adalah mimpi dalam totalitasnya. 66 Artinya: “buku ini memiliki latar belakang teori ganda: di satu sisi, kritik ideologi atas bahasa budaya massa; dan dari sisi lain, usaha pertama untuk menganalisis secara semiotik cara kerja bahasa budaya massa”. Ibid, h. 9 67 Ibid, h. 112 Begitupun dalam kritik sastra Sartre. Penandanya adalah krisis, penandanya wacana dalam sastra dan yang menjadi tandanya adalah karya sebagai bentuk pemaknaan. 68 Struktur ini juga kita temukan dalam mitos. Mitos adalah sistem tanda tingkat kedua, unsur-unsur dalam mitos form penanda, concept petanda, dan signification tanda. Pembedaan ini memperlihatkan bahwa antara sistem tanda pertama dan kedua ada kesamaan struktur. Meski demikian, ada beberapa perbedaan di antara keduanya. Salah satunya, akan kita bahas lebih jauh nanti, adalah makna tingkat kedua memiliki motif tertentu motivated. Hal ini berbeda pada sistem bahasa, sistem tanda tingkat pertama, yang unmotivated. Dalam sistem mitos, penanda menempati dua posisi: penuh dan kosong. Penanda sistem mitis di kala penuh ia disebut makna meaning, dan di saat kosong, Barthes menyebutnya, bentuk form. Penempatan penanda mitos dalam dua posisi ini sangat menentukan analisis mitos. Sebab penanda mitos diambil dari sistem tanda bahasa yang sebelumnya memiliki makna penuh, kemudian mengalami penguapan makna, yang tersisa hanyalah deretan huruf yang siap diisi oleh konsep sistem mitos. Sementara itu, petandanya tidak mengalami ambigu semacam petanda, Barthes menyebutnya konsep. Kemudian, sign pada sistem mitos disebut dengan pemaknaan signification karena sistem mitos terbangun dari gabungan berbagai macam tanda. Mitos, sebagai sistem tanda tingkat dua, berdiri di atas landasan sistem tanda tingkat pertama atau, selanjutnya kita akan menyebutnya sistem semiotik. Untuk menghasilkan mitos, sistem semiotika mengambil seluruh tanda pada sistem bahasa sebagai tanda global. Artinya, tidak perlu lagi diuraikan unsur-unsurnya, ia sudah berupa makna pada tanda. Penanda sudah melebur dengan petanda menjadi tanda. Misalnya, kata “bunga”. Bunga adalah bunga. Akan tetapi, jika bunga sudah 68 Ibid, h. 114 menandai rasa cinta, maka bunga tersebut harus dilihat sebagai tanda yang sudah penuh antara penanda, petanda sudah menyatu menjadi tanda. Contoh mitos yang dikemukan Barthes adalah gambar serdadu kulit hitam yang memberi hormat pada tricolor bendera Prancis yang memiliki tiga warna di majalah Paris-Match. Sebagai sistem semiotika tingkat pertama, gambar tersebut sebagai sign terdiri dari signifier foto serdadu yang memberi hormat pada bendera Perancis dan signified serdadu “sungguhan” yang memberi hormat pada bendera Perancis. Foto ini bagi Barthes, orang yang memang lahir di Perancis, sudah kosong akan makna denotatifnya. Gambar sedadu itu malah menunjukan kebesaran Perancis. “Kebesaran Perancis” dihasilkan dari sistem semiotika yang berpijak pada sistem tanda tingkat pertama. Rumusannya demikian: form foto serdadu Negro yang menghorat bendera Prancis, concept kebesaran imperium Perancis dan signification kebesaran Perancis yang tidak membeda-bedakan warna kulit. 69 Jadi, gambar tersebut menjadi mitos karena foto tersebut menunjukan makna lain dari “kenyataan”. Sebelum Prancis sebagai penjajah warga kulit hitam, dengan foto ini orang akan lupa seolah Prancis adalah negara yang menyayangi warganya, tanpa membedakan warna kulit. Sikap lupa pembaca gambar ini karena dalam prakteknya, penikmat mitos tidak peduli lagi terhadap biografi serdadudan sejarah Prancis. Yang mereka sadari hanya “kenyataan” bahwa setiap warga Prancis setia kepadanya siapapun dia dan warna apapun kulitnya. Oleh karenannya penjelasan alam bawah sadar ala Freud sudah tidak berguna lagi untuk menjelaskan mitos karena yang bekerja membentuk mitos adalah sruktur tanda. Rumusan Barthes tantang sistem tanda tingkat dua, mitos, lebih sebagai konotasi. Karena sistem tanda tingkat pertama menjadi penanda bagi mitos. Dengan 69 Ibid, h. 116 demikian, mitos berupa konotasi ini sebenanya selalu kita temui. Misalnya, “kursi kepresidenan” sebagai sistem tanda tingkat pertama jelas gambaran mentalnya adalah kursi yang diduduki presiden. Akan tetapi kata itu sudak menjadi mitos secara semiologis di hadapan kita. Kursi kepresidenan memiliki konotasi lain, dalam hal ini, kekuasaan presiden. Mitos berupa konotasi selalu hadir di hadapan kita seolah konotasi dalam bahasa adalah makna yang alamiah, atau common sense. Dua contoh di atas memperlihatkan bahwa penanda mitos berada pada dua posisi. Sebagai sistem semiotik secara total ia adalah makna. Serdadu negro menghormat bendera Prancis, kursi yang didududki presiden. Tapi pada saat menjadi bentuk form untuk mitos tanda tersebut berjarak dari maknanya. Yang tersisa hanyalah tanda kosong yang siap menerima petanda konsep konotatif. Biografi sedadu negro menguap, ia siap diisi oleh konsep tentang kebesaran kerajaan Prancis yang dicintai seluruh rakyatnya. Begitu juga kursi sebagai kursi yang sudah jelas maknannya, tetapi ia menjadi bentuk bagi mitos dan siap menunjukan makna konotasi kekeuasaan. Pembedaan posisi penanda mitos yang penuh kemudian kosong penting karena konsep yang akan mengisi kekosongan makna pada bentuk berasal dari situasi yang melingkupi pembaca penikmat mitos. “Konsep sama sekali tidak abstrak: ia dipenuhi dengan berbagai situasi” demikian Barthes menegaskan. 70 jadi, pada saat menjadi mitos sejarah atau situasi yang mengisi kekosongan itu adalah sejarah dari konsep baru. Situasi yang melingkupi penikmat sangat menentukan suatu tanda menjadi mitos atau tidak. Gambar sedadu negro di majalah Prancis bukan mitos jika dilihat oleh seorang nelayan di Garut sana. Begitu juga jika dikatakan kursi 70 Ibid, h. 119 kepresidenan ke warga di Arab sana, tidak ditemukan makna konotasinya. Mitos akan terungkap melalui kode-kode yang ada pada masyarakat dimana mitos itu dikonsumsi. Barthes menyebut ada empat karakter sistem mitis: deformasi, intensional, statement of fact, motivasional. Ciri pertama sistem mitis adalah deformasi. Hubungan deformasi ini berlangsung melalui distorsi makna oleh konsep. Deformasi biasa terjadi karena penanda mitis memiliki dua aspek. Bersifat penuh, yakni makna sistem semiotik, dan aspek yang bersifat kosong yakni bantuk. Biografi serdadu negro itu maknannya didistorsi oleh kebesaran Prancis. Barangkali, dalam pelajaran sejarah di Prancis sadar bahwa mereka pernah menjajah negara kulit hitam. Konsep mitis foto serdadu yang menghormat bendera Prancis tersebut mendistorsi makna kepenuhannya. Justru foto tersebut menyelewengkan makna atau sejarah Prancis sebagai penjajah menjadi kerajaan yang mengakomodir setiap warganya. Sehingga ketika di lain waktu dan tempat ditemukan gambaran serupa akan dianggap sebagai common sense bahwa begitulah Prancis. Jelaslah bahwa ada pembentukan citra lain konotasi melalui gambaran dalam foto tersebut. Akan tetapi, distorsi ini bukan melenyapkan tanda, ia hanya memiskinkan. Konsep tetap memerlukan tanda ini secara utuh. Foto serdadu sangat jelas, tak ada yang disembunyikan. Konsep tidak dapat hadir kepada kita jika penandanya hilang. Gambar itu harus tetap jelas sehingga distorsi menjadi mungkin. Perlu ditambahkan juga bahwa distorsi konsep atas makna pada sistem mitis berbeda dengan “salah” tafsir pada hermeneutik. Distorsi adalah salah satu karakter mitos yang akan dialami oleh mitos apapun. Sengaja atau tidak. iklan akan melakukan distorsi dengan sengaja sesuai dengan kode sosial calon pemakai produk yang diiklankan. Tapi pada mitos yang sudah jadi common sense, distorsi terlihat sebagai proses yang alamiah. Karena analisis struktur pada sistem bahasa tidak membahas mitos sebagai cerita bohong, melainkan sebagai struktur tanda yang khas sehingga ia dipercaya oleh konsumennya. Kedua, karakter berikutnya adalah bahwa mitos langsung menyapa penikmat. Sifat mitos yang intensional ini diperlihatkan Barthes mengenai mitos Basque 71 . Ketika Barthes berjalan-jalan ke Basque, ia melihat bangunan rumah yang khas. Kemudian di lain waktu, ia berjalan di suatu daerah di Prancis yang konstruksi vila- vila yang memiliki kesamaan dengan bangunan khas Basque. Saat itu saya Barthes disapa oleh kekhasan Basque sehingga saya menandakan bahwa jenis arsitektural itulah “esensi” Basque. Sehingga vila di Prancis itu, detail-detail lainya tidak lagi diperhatikan. Di hadapannya, Basque menyapa setiap kali melihat vila di lain tempat yang memiliki kemiripan. Seolah-oleh masyarakat sekitar vila mengatakan bahwa inilah Basque yang sesungguhnya hadir di sini. 72 Kemudian ciri ketiga, pesan—hasil distorsi tadi—yang sampai kepada kita berpaling dan membuat penilaian generalitas. Konsep dalam mitos tidak lagi sekedar konsep biasa yang partikular, melainkan sudah menjadi bukti konsep yang faktual. Efeknya, konsep terlihat netral dan naif. Hal ini karena “mitos”, bagi Barthes, “adalah wicara yang dicuri dan dikembalikan lagi. Hanya saja wicara yang dikembalikan tidak sepadan dengan wicara yang dicuri. Ketika dicuri, ia tidak dikembalikan ke tempatnya semula”. 73 Konsep yang menyertai bentuk mitis mengeras dan mengklaim dirinya universal. Penanda mitos foto serdadu negro menghormat bendera Prancis menjadi semacam statement of fact, bahwa itulah kebesaran Prancis. Saya, penikmat mitos tersebut, tidak memiliki kesempatan, dan barangkali tidak peduli lagi pada sejarah Prancis yang pernah menjajah negara kulit hitam. Kini, melalui foto tersebut, Prancis 71 Basque adalah daerah di Spanyol yang memiliki rumah dengan arsitektur yang khas, yakni kesatuan arsitektural. 72 Roland Barthes, Mythologies, h. 124 73 Ibid, h. 125 memang menyayangi seluruh warganya, apapun latar belakangnya. Citra ini menjadi universal bagi bentuk gambaran lain. Ciri keempat mitos adalah sifatnya yang selalu motivasional. Inilah beda antara sistem semiotik dengan sistem mitis. Di dalam sistem semiotik, hubungan antara penanda dan petanda sifatnya arbitrer. Artinya, kita tidak tahu kenapa citra akustik pohon menunjukkan konsep pohon. Sementara dalam sistem mitis hubungan keduanya tidak pernah arbitrer. Selalu didorong oleh motivasi tertentu. Oleh karenanya selalu mengandung analogi. Bahkan jika sederetan kata yang tidak jelas, sehingga kita tidak dapat menemukan makna. Ia kosong makna. Situasi ini bisa menjadi mitos bagi konsep “absurditas”. Terlebih yang semula mempunyai makna penuh. Gambar serdadu Negro menghormat bendera Prancis setelah kosong makna didistorsi, gambar itu secara nyata bisa jadi analogi bagi kebesaran Prancis. Motivasi ini ada yang direkayasa oleh kelompok tertentu konspirasi ada juga yang tidak, yang disengaja misalnya iklan. Motivasi di dalamnya diciptakan secara sengaja, direkayasa demi menampilkan citra tertentu pada produk yang diiklankannya. Sementara itu, mitos yang tidak direkayasa tapi tetap mempunyai motivasi analogis misalnya, ketika kita saat ini berbicara tentang kursi kepresidenan. Kita tidak tahu, dan tidak peduli siapa yang pertama kali “menyelewengkan” makna kursi menjadi kekuasaan. Meski tidak direkayasa hubungan konsep kekuasan dengan bentuk kursi, tapi memiliki analogi antara keduanya. Untuk itu, Barthes menegaskan bahwa “motivasi amatlah penting bagi sifat ganda mitos: mitos memainkan analogi antara makna dan bentuk, tak ada satu pun mitos yang tidak memiliki bentuk yang termotivasi”. 74 74 Ibid, h. 126 Seorang analis mitos, karenanya, mesti sadar betul situasi masyarakat di mana mitos berkembang. Konsep dalam mitos mesti mengambil forma yang berlaku di masyarakat. Dengan demikian, kita mengerti definisi Barthes bahwa mitos adalah tipe wicara myth is a type of speech. Artinya, ujaran dalam mitos, sebagai sistem komunikasi, mengacu kepada bahasa di mana mitos itu dipraktekkan. Sistem mitos bukanlah rumusan matematis. Imajinasi forma untuk mitos selalu terkait dengan stok tanda-tanda paradigmatik masyarakat tersebut. Menurut Barthes, ada tiga posisi reader mitos. Pertama, pembuat mitos. Pembuat adalah manakala membangun mitos berangkat dari konsep. Ia membiarkan konsep itu mengisi bentuk yang sudah kosong makna. Atau misalnya, jika foto serdadu dibaca sebagai contoh kebesaran Prancis. Ia mengembalikan makna literalnya juga merupakan pembaca mitos sebagai podusen. Barthes menyebut jurnalis pada posisi ini. Kedua, semiolog, pengurai mitos. Peran ini dilakukan jika pembaca mitos dapat menemukan distorsi di dalamnya. Ia mengenali konsep dan bentuk secara nyata. Foto serdadu Negro menghormat bendera Prancis menjadi alibi bagi kebesaran prancis. Ia bisa membedakan dengan jelas antara bentuk dan konsep yang ada dalam strukltur mitos di hadapannya. Ketiga, penikmat mitos. Posisi ini adalah pembaca yang membiarkan mitos berfungsi melakukan distorsi makna sehingga kita merasakan kehadiran makna mitos. Apa yang disampaikan mitos tentu saja sebagai kebenaran yang secara alamiah, penanda menunjukan petandanya. Reader semacam ini tidak lagi sadar dan mau memerhatikan latar belakang atau problematika antara penanda dan petandanya. Yang ia sadari hanyalah pemaknaan tertentu yang ia yakini kebenarnnya sebagai universal. Dari ketiga kemungkinan itu, Barthes menyebutkan bahwa dua pertama jenis pembaca hanya akan menghancurkan mitos dan membangun mitos baru. Keduanya sinis akan keberadaan mitos. Posisi tigalah mitos menjadi dinamis. Karena mitos menjalankan fungsi strukturalnya. Ia dinikmati pembaca yang sesekali benar, dan di lain waktu tidak realistik. Tapi, mereka menerima dan meyakininya. Oleh karena itu, fokus analisis mitos mesti diarahkan pada mitos yang sudah begitu saja diterima dan ada di masyarakat. Akan tetapi, bagaimanapun pilihan mana yang akan diambil masyarakat, itu bukan urusan semiolog. Pilihan-pilihan tersebut akan sangat bergantung pada situasi masing-masing subjek. Akhirnya, mitos diartikan sebagai tipe berujar menunjukan bahwa mitos merupakan cara masyarakat berkomunikasi. Karenanya tidak mungkin dihilangkan sama sekali. Justru, semakin melawan, semakin ia menjadi makanan empuk mitos. Misalnya, bahasa matematika. Ia adalah bahasa murni yang tidak mungkin mengalami pemitosan. Ia melawan mitos. Justru, kemurnian matematika kemudian menjadi mitos tersendiri bagi metematika. Begitu jug puisi. Puisi kontemporer 75 adalah salah satu bahasa yang berusaha melawan mitos. Mitos mengarah pada ultra-pemaknaan, atau pergeseran makna semiologi tingkat pertama. Puisi berusaha mengembalikan makna bukan pada makna kata, melainkan makna benda itu sendiri. Pada akhirnya berusaha menemukan makna alamiahnya. Sampai pada suatu keyakinan bahwa puisi bisa mengenai sesuatu dalam dirinya the thing is itself. Kesemuanya ini pada akhirnya menjadi penanda bagi mitos puisi kontemporer.

H. Mitos Sebagai Kritik Ideologi