Shâdiq. Sedangkan dari kalangan ulama fikih ada Imam Abû Hanîfah dan Imam Syafi’î.
46
Masalah yang diperdebatkan oleh kalangan mutakallimûn, antara lain tentang pengetahuan dan cara memperolehnya, tentang kebaharuan alam, keesaan
Tuhan, tanzîh penyucian Tuhan dan tasybîh penyerupaan Tuhan, tentang kalam Tuhan apakah qadîm atau hâdits, tentang kenabian sekaligus kesucian
para nabi dari dosa ma’shûm, tentang al-mî’âd tempat kembali, tentang sifat Tuhan yang berhubungan dengan zat-Nya, perbuatan Tuhan. Di antara aliran-
aliran kalam yang pernah ada, dua di antaranya merupakan yang paling banyak sorotan hingga saat ini, yaitu Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah. Hubungan
ketiga aliran ini sendiri adalah hubungan antagonistik. Hal ini terjadi terutama saat Mu’tazilah dijadikan ideologi negara oleh Khalifah al-Ma’mûn dan al-Mu’tashim
dari dinasti ‘Abbâsiyah. Daktrin Mu’tazilah yang diperkenalkan oleh dua penguasa ‘Abbâsiyah itu memaksa semua umat Islam pada masa itu untuk
meyakini al-Qur’an sebagai ciptaan makhlûq.
47
a. Pandangan Mu’tazilah
Mu’tazilah merupakan aliran dalam teologi yang sangat rasionalis, bahwa meyakini sepenuhnya kemampuan akal merupakan ciri khas paling khusus dari
aliran tersebut. Prinsip itu mereka pergunakan untuk menghukum berbagai hal. Dengan prinsip ini mereka berjalan begitu jauh. Mereka merupakan kelompok
yang paling mirip dengan Deskartes dari kalangan ilmu Rasionalis modern.
46
Noer Iskandar al-Barsany, Pemaknaan Ulang Ahlu Sunnah wal Jama’ah dari Mazhab Aqwâlî ke Mazhab Manhaji ,dalam Imam Baehaqi ed, Kontrofersi Aswaja; Aula Perdebatan dan
Rainterpretasi Yogyakarta: LKiS, 1999 cet. 1, h. 144.
47
Thoha Hamim, Paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah; Proses pembentukan dan Tantangannya, dalam Imam Baehaqi ed, Kontroversi Aswaja, h. 151.
Mereka tidak mengingkari teks al-Qur’an dan hadis, tetapi tanpa keraguan mereka menundukan kedua teks di atas hukum akal. Untuk itu, mereka mentakwilkan
ayat-ayat mutasyabbihât, serta menolak hadis-hadis yang tidak diakui oleh akal. Aliran ini juga mensucikan kemerdekaan berpikir baik ketika menghadapi pihak
lawan maupun sesama mereka sendiri.
48
Pendiri sekaligus pemuka aliran Mu’tazilah adalah Wâshil ibn ‘Atha. Kelima ajaran dasar Mu’tazilah yang tertuang dalam al-Ushûl al-Khasanah
adalah at-Tauhid pengesaan Tuhan dengan meniadakan sifat-sifat Tuhan, al-Adl keadilan Tuhan, al-Wa’ad wa al-Wa’id janji dan ancaman Tuhan, al-Manzilah
bain al-Manzilatain posisi di antara dua posisi, dan al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-
Nahy an al-Munkar menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran.
49
Pada ajaran tauhidnya, Wâshil mengatakan bahwa Tuhan tidak memiliki sifat. Pada umumnya, doktrin ini tidak begitu berkembang dan hanya diterangkan
oleh Wâshil secara ssederhana saja, sebagai berikut: “Secara umum telah sepakat bahwa eksistensi dua Tuhan yang sama-sama kekal adalah mustahil; maka
kalaulah bersitegang mempertahankan pendapat bahwa ada kesatuan sifat Tuhan yang kekal, itu pun berarti ada dua Tuhan yang kekal. Para pengikutnya yang
disebut al-Wâshiliyah, lebih kuat lagi memegang doktrin ini setelah mereka mengkaji buku-buku filsafat karya filosof. Sifat-sifat Tuhan mereka simpulkan
hanya dengan al-‘Ilm dan al-Qudrah saja. Kedua sifat ini merupakan aspek-aspek
48
Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, terj. Yudian Wahyuni Asmin Jakarta: Bumi Aksara, 1995, cet. 1. h. 48.
49
Anwar, Rosihan dan Rozak, Abdul, Ilmu Kalam Bandung: Pustaka Setia, 2006, h. 80.
dari esensi zat Tuhan yang kekal eternal. Abû al-Husayn al-Bishrî di lain pihak, cenderung menyimpulkan sifat-sifat Tuhan itu dengan al-‘Ilm saja.
50
Oleh karena itu, berarti bahwa Wâshil dan pengikut-pengikutnya menolak ayat-ayat yang menggambarkan sifat-sifat Tuhan seperti al-Rahmân, al-Rahîm, al-
Qâdir, al-‘Âlim , dan seterusnya. Mereka menerima kebenaran ayat-ayat tersebut
bersama dengan kebenaran seluruh ayat lainnya. Hanya saja penafsiran tentang ayat-ayat tersebut berlainan dengan penafsiran aliran teologi lain dalam Islam.
Bagi Mu’tazilah khususnya para pengikut Abû Hudzail al-Allâf 135 H- 235 H
51
bahwa al-Rahmân, al-Rahîm, al-Qâdir, al-‘Âlim, dan sebagainya bukanlah sifat Tuhan, tetapi aspek dari zat atau esensi Tuhan itu sendiri. Lafaz-lafaz tersebut
mereka anggap hanya sebagai keadaan atau nama, dan bukanlah sifat. Bagi mereka, Tuhan mengetahui bukan dari sifat pengetahuan, tetapi melalui zat-Nya.
Dengan penafsiran serupa ini, kaum Mu’tazilah memberi gambaran Esa kepada diri Tuhan, diri yang tidak disusun dari lapisan-lapisan sifat, tetapi dari suatu zat
yang mempunyai berbagai aspek.
52
Tuhan menurut Hudzayl, bahwa betul mengetahui itu bukan dengan sifat, melainkan mengetahui dengan pengetahuan-Nya, dan pengetahuan-Nya tersebut
adalah zat atau esensi-Nya.
+,ﺏ .+ 0 , 1 21 23
50
Muhammad ibn ‘Abd al-Karîm al-Syahratani, Sekte-sekte Islam, terj. Karsidi Diningrat Bandung: Pustaka, 1996, h. 60-61.
51
Ia tinggal di Bashsrah dan menjadi pimpinan kedua daru cabang Bashrah setelah Wâshil. Pengetahuannya tentang filsafat melapangkan jalan baginya untuk menyusun dasar-dasar
Mu’tazilah secara teratur. Dan pengetahuannya tentang logika membuat ia menjadi pejabat mahil dalam melawan golongan Majusi, Ateis, dan lain sebagainya. Lihat Harun Nasution, Teologi
Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan Jakarta: UI Prees, 2002, cet. I, h. 47.
52
Harun Nasution, “Kaum Mu’tazilah dan Pandangan Rasionalnya”, dalam Saiful Muzani ed, Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran Prof. DR. Harun Nasution Bandung:
Mizan, 1998, cet. 5, h. 131.
“Sesungguhnya al-Bârî Ta’âlâ Allah mengetahui dengan ilmu. Dan ilmu yang dimiliki-Nya tersebut tidak lain adalah dzat-Nya.”
53
Tuhan Maha Kuasa dengan kekuasaan, dan kekuasaan merupakan zat- Nya. Tuhan Maha Bijaksana dengan kebijaksanaan-Nya, dan kebijksanaan-Nya
adalah zat-Nya. Demikianlah seterusnya dengan sifat-sifat lainnya. Lebih jelasnya, Hudzayl mengatakan, “Kalau aku katakan bahwa Tuhan
itu bersifat tahu, maka artinya pun aku tetapkan bahwa pada-Nya terdapat pengetahuan, sementara pengetahuan itu sendiri adalah Dia. Sehingga dengan
begitu aku tegas-tegas menolak anggapan Tuhan itu bodoh jahl terhadap sesuatu yang sudah ataupun yang akan terjadi. Dan kalau aku tanyakan Tuhan bersifat
kuasa, maka artinya pun aku tegas-tegas menolak anggapa bahwa Tuhan itu lemah ‘ajz dan aku tetapkan bahwa pada-Nya terdapat kekuasaan sendiri adalah Dia,
tetapi kekuasaan-Nya itu terbatas pada apa yang dikuasai-Nya semata. Begitu pun kalau aku katakan, pada-Nya itu terdapat keperihidupan hayâh, maka artinya
pun aku tetapkan bahwa keperihidupan itu sendiri adalah Dia, karena aku tegas- tegas menolak anggapan bahwa Tuhan itu mati.
54
Di antara pemimpin Mu’tazilah lainnya yang kemasyhurannya seperti Wâshil dan Abû Hudzayl adalah Abû ‘Ali Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb al-
Jubâ’î w. 295 H dan anaknya Abû Hâsyim ‘Abd al-Salam w. 321 H. mengenai peniadaan sifat Tuhan, al-Jubâ’î berpendapat bahwa Tuhan mengetahui melalui
esensi-Nya, demikian pula berkuasa dan hidup melalui esensi-Nya. Dengan demikian, untuk mengetahui Tuhan tidak perlu pada sifat mengetahui dan pada
dalam keadaan mengetahui. Adapun bagi anaknya, Abû Hâsyim, bahwa Tuhan
53
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 47-48.
54
Abû al-Hasan al-Asy’ari, Prinsip-prinsip Dasar Aliran Theologi Islam Bandung: Pustaka Setia, 1998, cet. I, h. 230.
mengetahui melalui keadaan mengetahui. Mengetahui bagi Tuhan bukanlah sifat tetapi hâl state, keadaan.
55
Apabila dikatakan Tuhan memiliki sifat, maka dalam diri Tuhan terdapat unsur yang banyak, yaitu unsur zat yang disifati dan unsur-unsur sifat yang
melekat pada zat tersebut. Kalau dikatakan Tuhan memiliki 20 sifat, maka Tuhan akan terdiri dari 21 unsur, jika dikatakan memiliki 99 sifat, maka Tuhan akan
terdiri dari 100 unsur. Pemberian sifat kepada Tuhan membawa kepada banyaknya jumlah yang qadîm terdahulu, sedang dalam teologi, sifat qadîm itu
esa. Secara sederhana arti Iman adalah tiada Tuhan selain Allah, sedangkan iman dalam teologi, mengambil bentuk tiada yang qadîm selain Allah. Oleh karena itu,
paham banyak yang qadîm membawa manusia kepada syirik, dan syirik dalam Islam adalah dosa besar yang tak diampuni Tuhan.
56
Dengan kata lain mereka menegaskan bahwa Tuhan dengan zat dan sifat-Nya adalah Esa, dan tidak ada
pluralitas pada diri-Nya dari sisi manapun. Secara keseluruhan, golongan Mu’tazilah menyatakan bahwa Tuhan tidak
memiliki sifat. Sebab, jika Tuhan memiliki sifat mestilah sifat itu juga kekal seperti Tuhan.
57
Kalau Tuhan dikatakan memiliki sifat, maka dalam diri Tuhan terdapat unsur yang banyak, yaitu unsur zat yang disifati dan unsur-unsur sifat
yang melekat pada zat. Di sana terdapat unsur yang sama-sama kekal. Paham peniadaan sifat Tuhan ini kelihatannya berasal dari Jahm, karena
Jahm menurut al-Syahratani, berpendapat bahwa sifat-sifat yang ada pada manusia tidak dapat diberikan kepada Tuhan, karena itu akan membawa kepada
55
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h.51-52
56
Harun Nasution, “Kaum Mu’tazilah dan Pandangan Rasionalnya”, dalam Saiful muzani ed, Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran Prof. DR. Harun Nasution, h. 130.
57
Muhammad Abû Zahrah, Imam Syâfî’î: Biografi dan Pemikirannya dalam Masalah Aqidah, Politik dan Fikih
Jakarta: Lentera, 2005, cet.I, h. 226.
antropomorfisme penyamaan Tuhan dengan manusia, atau dalam bahasa Arab
disebut Mujassimah dan Hawwâsîyah, yaitu mereka yang percaya pada arti harfiah dan nash-nash Tuhan.
58
Golongan Mu’tazilah mentakwilkan ayat-ayat al-Qur’an yang arti lahirnya menunjukan bahwa Tuhan itu berjisim, seperti surat al-Fath 48 ayat 10: Tangan
Allah di atas tangan mereka; Surat Thâhâ 20 ayat 5:”al-Rahmân ‘alâ al-‘arsy istwâ”
Tuhan Yang Maha Pemurah bersemayam di atas ‘Arasy. Sehingga kata- kata tersebut bermaksud majazî kiasan, bukan bermakna hakiki, sebab yang
hakiki bertentangan dengan ke-Maha-Esa-an Tuhan. Paham seperti ini semata- mata bertujuan untuk men-tanzih-kan mensucikan Tuhan. Dari sinilah, maka
kemudian Mu’tazilah menamakan dirinya ahl al-Tawhîd, dan lawan mereka menyebutnya Mu’aththilah.
Zaman keemasan Mu’tazilah selama lebih dari tiga dekade ini berakhir akibat perbuatan mereka sendiri. Mereka terlalu mengagung-agungkan kebebasan
berpikir, mereka juga memaksa dan membelenggu kebebasan berpikir orang lain untuk mengikuti pahamnya, dengan melakukan al-Mihnah inquisition. Pada
masa itu masyarakat dipaksa untuk mengikuti pendapat aliran tersebut bahwa al- Qur’an adalah makhluk.
59
Aliran Mu’tazilah, sebagai aliran kalam yang bercorak rasional, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan
58
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 46.
59
Bisa dikatakan bahwa hilangnya Mu’tazilah adalah hilangnya pola pikir rasional dalam dunia Islam yang sangat kentara mulai abad kelima. Ditambah dengan situasi politik yang tak
menguntungkan, yakni penyerangan bangsa Mongolia yang membabat dan memporak-porandakan Bagdad. Dan sayangnya umat Islam melarikan diridari kenyataan. Melihat kekalahan-kekalahan,
mereka lari ke “sudut-sudut kehidupan”. Mereka mengasingkan diri ‘uzlah bukan hanya secara fisik tetapi bahkan secara pemikiran. Maka dimulailah masa kemunduran bagi Islam. Lihat
Mastuki HS ed, Kiyai Menggugat: Mengadili Pemikiran Kang Said Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1990, cet. I, h. 189.
baik. Namun, itu tidak berarti bahwa Tuhan tidak mampu melakukan perbuatan buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan buruk karena Dia mengetahui keburukan
dari perbuatan buruk itu. Di dalam al-Qur’an pun dijelaskan bahwa Tuhan tidaklah berbuat zalim.
60
Ayat-ayat al’Qur’an yang dijadikan dalil oleh Mu’tazilah untuk mendukung pendapatnya di atas adalah surat al-AnBiya [21]:23
61
, dan surat
ar-Rum [30]:8.
62
Abd al-Jabbar, tokoh Mu’tazilah mengatakan bahwa ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Tuhan hanya berbuat yang baik dan Mahasuci dari
perbuatan buruk. Dengan demikian, perbuatan Tuhan tidak perlu ditanya. Ia menambahkan bahwa seseorang yang dikenal baik, apabila secara nyata berbuat
baik, maka tidak perlu ditanya mengapa ia melakukan perbuatan baik itu. Adapun ayat kedua, menurut al-Jabbar , mengandung petunjuk bahwa Tuhan tidak pernah
dan tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Andaikata Tuhan melakukan perbuatan buruk, pernyataan bahwa Dia menciptakan langit dan bumi
beserta isinya dengan hak, tentulah tidak benar atau merupakan berita bohong.
63
Dasar pemikiran tersebut serta konsep tentang keadilan Tuhan yang sejajar dengan faham adanya batasan-batasan bagi kekuasaan dan kehendak Tuhan,
mendorong kelompok Mu’tazilah untuk berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban terhadap manusia. Kewajiban-kewajiban itu dapat disimpulkan dalam
satu hal, yaitu kewajiban berbuat baik terhadap manusia.
64
Faham kewajiban Tuhan berbuat baik, bahkan yang terbaik ash-shalah wa al-ashlah
60
M. Yunan Yusuf, Alam Pemikiran Islam: Pemikiran Kalam Jakarta: Perkasa Jakarta, 1990, h. 89.
61
Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai.
62
Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduany, melainkan dengan tujuan yang benar.
63
M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam, h. 89.
64
Rosihan Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam Bandung: Pustaka Setia, 2006, 154.
mengkonsekuensikan aliran Mu’tazilah memunculkan faham kewajiban Tuhan berikut ini:
1. Kewajiban tidak memberikan beban di luar kemampuan manusia
Memberi beban di luar kemampuan manusia adalah bertentangan dengan faham berbuat baik dan terbaik. Hal ini bertentangan dengan faham mereka
tentang keadilan Tuhan. Tuhan akan bersifat adil kalau Dia memberi beban yang terlalu berat terhadap manusia.
65
2. Kewajiban mengirim rasul
Bagi Mu’tazilah, dengan kepercayaan bahwa akal mengetahui hal-hal ghaib,
66
pengiriman rasul tidak begitu penting. Namun, mereka memasukan pengiriman rasul kepada umat manusia menjadi salah satu kewajiban Tuhan.
Argumentasi mereka adalah kondisi akal yang tidak dapat mengetahui setiap apa yang diketahui manusia tentang Tuhan dan alam ghaib. Oleh karena itu, Tuhan
berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia dengan cara mengirim rasul. Tanpa rasul, manusia tidak akan memperoleh hidup baik dan terbaik di dunia dan
akhrat nanti.
67
3. Kewajiban menepati janji dan ancaman
Janji dan ancaman merupakan salah satu dari lima dasar kepercayaan Mu’tazilah. Hal ini erat hubungannya dengan dasar keduanya, yaitu keadilan
65
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 129.
66
Sebagimana telah dilihat pembahasan tentang wahyu, fungsi wahyu bagi aliran Mu’tazilah lebih banyak bersifat memperkuat dan menyempurnakan apa-apa yang telah diketahui
manusia melalui akalnya.
67
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 131.
Tuhan akan bersifat tidak adil jika tidak menepati janji untuk memberi pahal kepada orang yang berbuat baik dan menjalankan ancaman bagi orang yang
berbuat jahat. Selanjutnya keadaan tidak menepati janji dan tidak menjalankan ancaman bertentangan dengan maslahat dan kepentingan mannusia. Oleh karena
itu, menepati janji dan menjalankan ancaman adalah wajib bagi Tuhan.
68
b. Pandangan Asy’ariyah