Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Konsep adalah abstrak, entitas 1 mental yang universal yang menunjuk pada kategori atau kelas dari suatu entitas, kejadian atau hubungan. Suatu konsep adalah elemen dari proposisi seperti kata adalah elemen dari kalimat. Konsep adalah abstrak di mana mereka menghilangkan perbedaan dari segala sesuatu dalam ekstensi, memperlakukan seolah-olah mereka identik. Konsep adalah universal di mana mereka bisa diterapkan secara merata untuk setiap ekstensinya. Konsep adalah pembawa arti. Suatu konsep tunggal bisa dinyatakan dengan bahasa apa pun. 2 Contohnya, “Konsep Tuhan” bisa dinyatakan dengan “God” dalam bahawa Inggris, “Allah” dalam bahasa Arab, “Hyang” dalam bahasa Cina. Sedangkan kata Tuhan merujuk kepada suatu zat abadi dan supranatural, biasanya dikatakan mengawasi dan memerintah manusia dan alam semesta atau jagat raya. Hal ini bisa juga digunakan untuk merujuk kepada beberapa konsep- konsep yang mirip dengan ini misalkan sebuah bentuk energi atau kesadaran yang merasuki seluruh alam semesta, di mana keberadaan-Nya membuat alam semesta ada, sumber segala yang ada, kebajikan yang terbaik dan tertinggi dalam semua makhluk hidup atau apapun yang tak bisa dimengerti atau dijelaskan. 3 1 Entitas adalah sesuatu yang memiliki keberadaan yang unik dan berbeda, walaupun tidak harus dalam bentuk fisik. Abstraksi, misalnya, biasanya dianggap juga sebagai suatu entitas. Dalam pengembangan sistem, entitas digunakan sebagai model yang menggambarkan komunikasi dan pemrosesan internal seperti misalnya membedakan dokumen dengan pemrosesan pesanan. 2 Ensiklopedia Bebas, Konsep, artikel diakses pada 20 Februari 2009 dari http:id.wikipedia.orgwikiKonsep 3 Ensiklopedia Bebas, Tuhan, artikel diakses pada 20 Februari 2009 dari http:id.wikipedia.orgwikiTuhan Tuhan merupakan satu entiti kewujudan yang Maha Berkuasa, Maha Mengetahui, dan Maha Penyanyang yang biasanya disembah oleh manusia. Tanggapan mengenai Tuhan sebenarnya adalah berbeda-beda dari satu agama ke satu agama yang lain, contohnya aliran utama agama Kristian manganggap imej Tuhan adalah seperti manusia, tetapi ada agama lain yang menganggap bahawa imej Tuhan tidak dapat ditanggapi. Tetapi walaupun demikian, Tuhan merupakan satu konsep yang boleh dijumpai secara universial di setiap bangsa. 4 Dalam konsep Islam, Tuhan diyakini sebagai Zat Maha Tinggi Yang Nyata dan Esa, Pencipta Yang Maha Kuat dan Maha Tahu, Yang Abadi, Penentu Takdir, dan Hakim bagi semesta alam. Islam menitik-beratkan konseptualisasi Tuhan sebagai Yang Tunggal dan Maha Kuasa tauhid. Dia itu wahid dan Esa ahad, Maha Pengasih dan Maha Kuasa. Menurut al-Quran terdapat 99 Nama Allah asmaul husna artinya: nama-nama yang paling baik yang mengingatkan setiap sifat-sifat Tuhan yang berbeda. Semua nama tersebut mengacu pada Allah, nama Tuhan Maha Tinggi dan Maha Luas. Diantara 99 nama Allah tersebut, yang paling terkenal dan paling sering digunakan adalah Maha Pengasih ar-rahmân dan Maha Penyayang ar-rahîm. Penciptaan dan penguasaan alam semesta dideskripsikan sebagai suatu tindakan kemurahhatian-Nya yang paling utama untuk semua ciptaan yang memuji keagungan-Nya dan menjadi saksi atas keesan- Nya dan kuasa-Nya. 5 Dan juga dalam Islam dikatakan bahwa Tuhan adalah satu-satunya ma’bûd yang ditujukan ibadah kepada-Nya. Tidak ada ma’bûd selain-Nya, dan sama sekali tidak dibolehkan adanya ibadah kepada sesuatu apapun selain-Nya. 4 Ibid., 5 Ibid., Pengertian seperti itu semuanya dilandaskan oleh al-Qur’an, Sunnah, akal dan ijmâ’ . Konsep Tuhan menurut Muhammad Abduh adalah bahwa Tuhan merupakan Zat Yang Wajib Ada, Dia qadîm tidak bermula, dan pula azali ada sebelum sesuatu tiada menjadi ada, karena apabila tidak demikian, maka Tuhan menjadi baharu di mana sesuatu wujud-Nya didahului oleh tiada ‘Adam. Sekiranya Zat Yang Wajib Ada itu tidak qadîm, maka tentulah Tuhan dalam wujud-Nya itu diperoleh dengan adanya yang lain yang mewujudkan-Nya. Bahwa sesungguhnya Zat Yang Wajib Ada itu mempunyai wujud-Nya sendiri. Dan apabila yang Zat Yang Wajib Ada itu masih didahului oleh tiada, maka bukanlah dinamakan “Wajib Ada”, melainkan “Mustahil Ada”, karena apabila demikian sifatnya paradoks. 6 Adapun ilmu yang membahas tentang wujud dan sifat-sifat Tuhan disebut ilmu tauhid. Secara teologis pembahasan tauhid didasarkan pada pengetahuan tentang ke-Tuhanan. Asal makna tauhid yaitu meyakinkan bahwa Tuhan adalah satu, tidak ada syârikat bagi-Nya. Tauhid juga merupakan pokok ajaran yang sangat krusial dalam paham agama monoteisme. Hal yang terpenting yaitu menetapkan sifat “wahdâh” satu bagi Tuhan dalam zat-Nya dan dalam perbuatan-Nya. Dan juga keyakinan tentang Tuhan sebagai pencipta alam seluruhnya dan bahwa Tuhan sendiri-Nya pula tempat kembali segala alam ini dan penghabisan segala tujuan. 7 Surat al-Ikhlâs, yakni surat Qul huwallâhu ahad, memuat aspek terpenting dari aspek-aspek ajaran Islam yang dibawa Nabi, yang pada garis besarnya 6 Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid Cairo: Dar al-Manar, 1366 H, h. 39. 7 Ibid., h.17. meliputi tiga aspek, yaitu tauhid, syari’ah, wa’ad janji Tuhan dan wa’id ancaman Tuhan aspek pertama tauhid yang dibawa surat ini dimaksudkan untuk membebaskan bangsa Arab dan yang lainnya dari kemusyrikan, dan merupakan ajaran keimanan yang paling pertama ditekankan. Maka sudah barang tentu, apa yang terkandung dalam surat tersebut adalah bersumber dari Tuhan demi merealisir misi risalah Nabi-Nya dan mengarahkan manusia terhadap apa yang mereka percayai mengenai Tuhan. 8 Semua yang disebut satu selain Tuhan adalah sedikit. Semua yang mulia selain Dia adalah hina. Semua pemilik selain Dia adalah termiliki. Semua yang berilmu selain Dia adalah pencari ilmu. Semua yang kuasa selain Dia, adalah seorang hamba. Semua yang mendengar selain Dia adalah tuli terhadap suara- suara yang amat lembut, amat keras ataupun amat jauh dari tempatnya. Semua yang melihat selain Dia adalah buta terhadap warna-warna yang amat lemah ataupun benda-benda yang amat lembut. Semua yang zhâhir dan yang bâthin selain Dia tidak mungkin bersifat zhâhir. 9 Sering pula “Ilmu Tauhid” dinamakan sebagai “Ilmu Kalâm” yaitu karena adakalanya masalah yang paling terkenal dan banyak menimbulkan perbedaan pendapat di antara para sarjana abad-abad pertama, yaitu; apakah “Kalâm Allah” wahyu yang dibacakan itu baru atau qadîm? Dan adakalanya pula, ilmu tauhid itu dilandaskan dari dalil ‘aqli rasio, di mana akibatnya nyata terlihat dari perkataan setiap para ahli yamg turut berbicara tentang ilmu itu. Namun sedikit sekali orang yang berbicara dengan dasar dalil naqli al-Qur’an dan Sunnah Rasul, 8 Rifat Syauqi Nawawi, Rasional Tafsir Muhammad Abduh; Kajian Masalah Aqidah dan Ibadat Jakarta: Paramadina, 2002, cet. 1, h. 117. 9 Muhammad Abduh, Mutiara Mahjul Balaghah Bandung: Mizan, 1995, cet. Ke-4, h. 24. kecuali setelah ada ketetapan pokok pertama ilmu itu. Di samping itu ada pula suatu sebab lain yang menyebabkan “Ilmu Tauhid” itu dinamakan orang “Ilmu Kalâm ” karena dalam memberikan dalil tentang pokok agama, ia tauhid lebih menyerupai logika manthîq, yang digunakan untuk menjelaskan liku-liku argumentasi dalam ilmu-ilmu para ahli teori ilmu-ilmu rasional. Kemudian istilah manthîq diganti dengan kalâm untuk membedakan antara kedua ilmu itu. 10 Setelah berlalunya zaman nabi Muhammad, di mana beliau telah melenyapkan segala kebingungan dan menjadi pelita dalam kegelapan syubhât. Maka yang memegang khalifah setelahnya adalah sahabat-sahabatnya, dua orang khalifah sesudah beliau berjuang sepanjang umurnya melawan musuh-musuh Islam, sehingga tidak ada sedikitpun bagi orang banyak untuk memperdayakan dan mengutak-utik dasar kepercayaan aqîdah yang telah berkembang baik di masa itu. Bila timbul sedikit saja pertentangan masalah apapun, maka cepat-cepat persoalan itu di bawa kehadapan khalifah yang dengan putusannya, persoalan menjadi terselesaikan, yang sebelumnya terlebih dahulu dimusyawarahkan oleh para ahli agama yang selalu mendampingi khalifah tersebut. 11 Biasanya permasalahan yang menimbulkan perdebatan tersebut muncul dalam bidang hukum furû’, bukan mengenai masalah yang pokok atau di luar masalah itu, yakni mengenai kepercayaan aqîdah. Keadaan rakyat pada masa kedua khalifah setelah nabi Muhammad, cukup mengerti akan isyarat-isyarat al- Qur’an dan nash-nashnya. Mereka menganutnya dengan penuh kesadaran dan diliputi kesucian. Ayat-ayat yang mutasyâbihat mereka serahkan kepada Tuhan. Keadaan seperti itu berjalan dengan baik hingga terjadinya peristiwa yang 10 Nurchalis Madjid, ed., Khasanah Intelektual Islam Jakarta: Bintang, 1994, h. 366. 11 Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid, h. 21. menimpa khalifah yang ketiga Utsman bin Affan, yaitu peristiwa terbunuhnya khalifah tersebut. Sejak itulah awal umat Islam menjadi terpecah-belah menjadi beberapa bagian 12 . Namun demikian, al-Qur’an tetap utuh dan terpelihara menurut aslinya sampai sekarang dan akhir zaman, seperti yang terkandung dalam al- Qur’an Surah al-Hijr ayat 9. Namun setelah berselangnya beberapa periode, maka bermunculan aliran- aliran kalam yang memiliki nama besar seperti, Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah. Di mana golongan Mu’tazilah menetapkan kekuasaan akal untuk mengetahui segala hukum-hukum agama, menentukan mana yang sifatnya furu’ dan yang mana sifatnya ibadat karena khawatir berlebihan menarik garis al- Qur’an, maka golongan Mu’tazilah mengkhususkan dalam menentukan kekuasaan akal tentang pokok-pokok yang sifatnya furû’ saja. Sedangkan golongan Asy’ariyah dan Maturidiyah berpendapat bahwa pokok kepercayaan aqidah menurut pokok-pokok yang sesuai dengan tujuan akal, dan dengan adanya dalil menunjukan kepada tidak adanya barang yang dibuktikan. Artinya golongan ini lebih mengedepankan wahyu dibanding akal. Persoalan yang menjadi bahan perdebatan dikalangan aliran-aliran kalam tersebut di antaranya adalah masalah sifat-sifat Tuhan. Tarik-menarik di antara aliran-aliran kalam dalam menyelesaikan persoalan ini, tampaknya dipicu oleh truth claim mengaku pendapatnya yang paling benar yang dibangun atas dasar kerangka berpikir masing-masing dalam klaim terhadap pentauhidan Tuhan. Tiap- tiap aliran kalam mengaku bahwa fahamnya dapat mensucikan dan memelihara ke-Esaan Tuhan. 12 Ibid., Perdebatan antar aliran kalam mengenai sifat-sifat Tuhan tidak terbatas pada persoalan apakah Tuhan memiliki sifat ataukah tidak? Tetapi juga pada persoalan-persoalan cabang sifat-sifat Tuhan, seperti antropomorphisme melihat Tuhan, dan esensi al-Qur’an. namun penulis sendiri di sini hanya membahas dan membatasi pada persoalan sifat-sifat Tuhan saja. Persoalan lain yang menjadi perdebatan di antara aliran kalam adalah masalah perbuatan Tuhan. Masalah ini muncul sebagai buntut dari perdebatan ulama kalam mengenai iman. Ketika sibuk menyoroti siapa yang masih dianggap beriman dan siapa yang kafir di antara pelaku tahkim, para ulama kalam kemudian mencari jawaban atas pertanyaan siapa sebenarnya yang mengeluarkan perbuatan manusia, apakah Tuhan ataukah manusia sendiri? Atau kerja sama antara keduanya. Masalah ini kemudian memunculkan aliran kalam free will yang diwakili oleh Mu’tazilah, sedangkan aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah mengambil sikap pertengahan. Persoalan ini kemudian memperluas lagi dengan mempermasalahkan apakah Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu atau tidak? Apakah perbuatan Tuhan itu tidak terbatas pada hal-hal yang baik-baik saja, ataukah perbuatan Tuhan terbatas pada hal-hal yang baik-baik saja, tetapi juga mencakup kepada hal-hal yang buruk? Di masa sekarang pun terdapat pertentangan dikalangan umat Muslim mengenai masalah sifat dan perbuatan Tuhan, seperti MUI memberikan fatwa sesat kepada sebagian aliran yang ajarannya bertentangan dengan ajaran Islam, misalnya tidak megerjakan dan mewajibkan sebagian rukun Islam. Bagi sebagian aliran yang dianggap sesat, menurutnya cukup dengan hati untuk mengimani Tuhan meskipun tanpa syariahnya dikerjakan, karena dengan sifat mengetahui Tuhan, Dia mampu mengetahui segala apapun termasuk isi hati seseorang. Dan apakah dalam setiap perbuatan manusia Tuhan ikut andil untuk mengeluarkan perbuatan manusia tersebut, baik yang bersifat negatif maupun positif? Ataukah perbuatan tersebut bentuk kerja sama antara Tuhan dan manusia? Dalam sejarah pembaharuan Islam, Muhammad Abduh adalah salah seorang tokoh pemikir yang besar. Corak pemikirannya adalah rasional, di mana pemikirannya sejalan dengan pemikiran golongan Mu’tazilah, yakni mengedepankan akal dalam menentukan segala persoalan. Dalam pandangannya mengenai konsep Tuhan di antaranya yaitu permasalahan sifat dan perbuatan Tuhan yang sampai sekarang masih dalam perdebatan di antara para ulama kalam. Mengenai sifat Tuhan menurut Abduh adalah sifat Tuhan sama dengan esensi Tuhan, meskipun ia tidak tegas mengatakannya. Menurutnya, Sifat-sifat Tuhan atau Zat Yang Wajib Ada di antaranya ‘Ilm, Hayat, Qudrat, Iradah, Ikhtiar dan Wahdah. 13 Sedangkan tentang perbuatan Tuhan menurut Abduh adalah kewajiban Tuhan untuk berbuat baik kepada manusia dengan tidak memberikan beban atau tugas di luar kemampuan manusia, mengirimkan para rasul untuk memberikan contoh teladan, dan menepati janji-Nya memasukan orang Mukmin ke dalam surga, dan memasukan orang yang berbuat dosa besar ke dalam neraka. 14 Berdasarkan pemikiran di atas, maka penulis merasa tertarik untuk mengkaji lebih dalam lagi mengenai konsep Tuhan yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh. Oleh karena itu, penulis ingin mencoba menulis skripsi ini dengan judul Konsep Tuhan menurut Persfektif Muhammad Abduh. 13 Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid, h. 67. 14 Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah Jakarta: UI Press, 1987, h. 85.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah