Tuhan akan bersifat tidak adil jika tidak menepati janji untuk memberi pahal kepada orang yang berbuat baik dan menjalankan ancaman bagi orang yang
berbuat jahat. Selanjutnya keadaan tidak menepati janji dan tidak menjalankan ancaman bertentangan dengan maslahat dan kepentingan mannusia. Oleh karena
itu, menepati janji dan menjalankan ancaman adalah wajib bagi Tuhan.
68
b. Pandangan Asy’ariyah
Sebagai reaksi dari timbulnya berbagai firqah Qadariyâh, Khawârij, Mu’tazilah, dsb, maka lahirlah aliran baru yang dipelopri oleh Abû Hasan al-
Asy‘arî.
69
Beliau dilahirkan di Bashrah tahun 260 H dan di sana pula beliau meninggal dunia pada tahun 324 H. Pada mulanya berpegang pada paham
Mu’tazilah sebagaimana diajarkan oleh gurunya al-Jubba’î. Setelah 40 tahun menjadi pengikut Mu’tazilah, akhirnya ia merasa kecewa. Paham yang diikutinya
terlampau mengagungkan akal dan sering mengabaikan teks-teks hadis. Di lain pihak, ia juga tidak menyukai kaum tekstualis, yang hanya percaya pada bunyi
teks dan mengindahkan spiritnya. Kitab-kitab yang pernah dihasilkannya antara lain al-Ibanâh fi Ushul al-Diyânah, Maqâlât al-Islâmîyîn, dan al-Mujâz.
Di antara ulama besar yang menyebarkan aliran Asy’ariyah ini yaitu Abû Bakr al-Qaffâl w. 365 H, Imam al-Bâqillânî, dengan kitab al-Tamhîd-nya yang
terkenal w. 403 H, Imam Abû Ishâq al-Isfahânî w. 411 H, Imam Hâfizh al- Bayhaqî w. 458 H, Imam al-Juwaynî atau dikenal dengan sebutan Imam al-
Harâymayn, guru Imam al-Ghazâlî w. 460 H, Imam al-Qusyayrî w. 465 H,
68
Ibid., h. 132-133.
69
Beliau dan Maturidi adalah ahli teologi yang mengambil jalan tengah antara pemikiran Mu’tasilah yang lebih liberal dengan faham ahl al-hadîts yang terlalu tekstual. Para pengikut
kedua tokoh ini biasa disebut Sunni, Asy ‘ariyah, atau Asyâ’irah. Lihat Mastuki HS ed, Kiyai Menggugat Pemikiran Kang Said
, h. 13.
Imam al-Ghazâlî w. 505 H, Imam Fakhr al-Râzî w. 606 H, dan Imam ‘Izz al- Din ibn ‘Abd al-Salâm w. 606 H. dalam masa-masa kemudian, para ulama yang
mendukung paham Asy’ariyah ini di antaranya seperti Syekh al-Islâm ‘Abd Allâh al-Syarqâwî w. 1227 H, Syekh Ibrâhîm al-Bâjûrî w. 1272 H, Syekh Nawawî
al-Bantanî w. 1315 H, Syekh Zayn al-‘Âbidîn ibn Muhammad al-Fathanî dengan kitab ‘Aqîdat al-Nâjîn-nya, Syekh Husayn al-Tarabalâsî dengan kitab al-Hushûn
alHamîdîyah -nya yang terkenal itu.
70
Dalam doktrin Asy’ariyah, bahawa Tuhan merupakan zat yang mutlak mempunyai sifat. Sifat inilah yang ada relasinya dengan alam semesta ini. Tuhan
memiliki sifat-sifat seperti Qudrah, Irâdah, ‘Ilm, dan Sam’, dan lain sebagainya. Dengan adanya qudrah maka ada maqdûr; dengan adanya irâdah maka ada
murâd ; ada ‘ilm ada ma’lûm; dan ada sam’ maka ada masmû’. Semua itu adalah
relasi sifat Tuhan dengan makhluk. Hanya saja dalam Islam, sifat-sifat itu tidak menjelma, sifat tidak bisa dipisah dengan Tuhan. Maka dalam ilmu kalam
dikatakan, misalnya al-‘Ilm shifah qadimah azaliyah laysat hiya dzatan wa lâ ghayrahâ
ilmu itu merupakan sifat azali yang berbeda dengan zat Tuhan, dan bukan pula zat-Nya.
71
Dalam memperkuaat pendapatnya itu, ia mengemukakan ayat-ayat al- Qur’an, di antaranya:
23,ﺏ 2 45 6
Artinya: “Allah menurunkan dengan ilmu-Nya” QS. an-Nisâ [4] : 166
70
Muslim, Asy’ariyah
, artikel
diakses pada
27 Mai
2008 dari
http:.bicaramuslim.combicara6viewtopic.php?p=145248sid=bf82a5c9b123e6d26ab120be5b5 4dfc
71
Mastuki HS ed, Kiyai Menggugat Pemikiran Kang Said, h. 180.
ﻡ 23,ﺏ 8 9 : 1 0 ;56 ﻡ =3 1
Artinya: “Dan tidak seorang perempuan pun mengandung dan tidak pula melahirkan melainkan dengan pengetahuan-Nya”.
QS. al-Fâthir [35] : 11 Menurut Asy’ari, kedua ayat di atas menunjukan bahwa Tuhan
mengetahui dengan ilmu. Oleh karena itu, mustahil ilmu Tuhan itu adalah zat- Nya, maka zat-Nya itu merupakan pengetahuan. Mustahil al-‘Ilm pengetahuan
merupakan al-‘Alim Yang Mengngetahui, atau sebaliknya al-‘Alim Yang Mengetahui merupakan al-‘Ilm pengetahuan, atau zat Tuhan diartikan sebagai
sifat-sifat. Oleh karena mustahil Tuhan merupakan pengetahuan, maka mustahil pula Tuhan mengetahui zat-Nya sendiri. Dengan demikian, menurut al-Asy’ari
Tuhan mengetahui dengan ilmu. Ilmu Tuhan tersebut bukan merupakan zat-Nya. Demikian pula sifat-sifat lainnya. Bagi Asy’ari, seluruh sifat Tuhan itu qâ’imah bi
dzâtih berdiri sendiri.
72
Dalam al-Qur’an terdapat ayat mutasyâbihât seperti:
?A B CDﺏ 2E F G H
Artinya: “Dan tetap kekal wajh Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemulilaan.”
QS. al-Rahmân [55] :27
IJﺡ IJIJ Lﺏ CM 9 IN
Artinya: “Dan buatlah bahtera itu dengan ‘ayn dan petunjuk kami.”
72
Ilhamuddin, Pemikiran Kalam al-Bâqillânî: Studi tentang Persamaan dan Perbedaan dengan al-Asy’ari
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997, cet. I, h. 43.
QS. Hûd [11] :37
+OHPH 6 Q R S P H
Artinya:“Yad Allah di atas tangan mereka.” QS. al-Fath [48] : 10
Dalam persoalan ayat-ayat di atas, al-Asy’ari dapat dianggap mengambil jalan tengah dengan mengemukakan bahwa Tuhan mempunyai wajah, mata dan
tangan
73
yang tidak akan hancur seperti yang telah disebut dalam al-Qur’an, tetapi dengan tidak diketahui bagaimana bentuknya bi lâ kayf.
74
Sifat Tuhan bukan esensi Tuhan itu sendiri, sifat Tuhan dan zat Tuhan adalah berbeda.
Proposisi “sifat itu bukan zat” laysat hiya dzâtan digunakan untuk menjawab argumentasi Mu’tazilah yang mengaitkan sifat itu adalah zat. Dan
proposisi “sifat itu bukan selain zat” wa lâ ghayrahâ digunakan untuk menyanggah orang-orang Nasrani yang meyakini bahwa sifat Tuhan itu dapat
dipisahkan dari zat-Nya. Sifat “kalam” berfirman, misalnya, dapat dipisahkan karena “kalam” tersebut telah menjelma dalam bentuk Yesus.
Kalau mengikuti lebih lanjut, paham Asy’ariyah ini sebenarnya sudah jauh berkembang. Al-Râzî, misalnya itu sudah jauh sekali dari Asy’ari. Sebab dia
mengatakan bahwa sifat Tuhan itu hanya al-‘Ilm ilmu. Pendapat itu justru lebih mengarah ke paham Mu’tazilah.
75
Bahkan al-Juwaynî, pengikut golongan Asy’ariyah, juga condong kepada paham Mu’tazilah, menurutnya Allah Swt., suci dari pengkhudusan dengan arah,
dengan sifat-sifat beharu serta bebas pula dari adanya betasan dan ukuran.
73
Ibid., h. 44.
74
Maksud dari tidak bisa ditentukan bagaimana bi lâ kayf adalah dengan tidak mempunyai bentuk dan batasan lâ yukayyaf wa lâ yuhadd. Lihat Harun Nasution, Teologi Islam,
h. 71.
75
Mastuki HS ed, Kiyai Menggugat Pemikiran Kang Said, h. 13
Baginya, setiap yang menempati arah mestilah terbatas, setiap yang terbatas mestilah terdiri dari jawhar yang dapat berkumpul dan bercerai. Sedangkan Allah
Maha Suci dari bertempat al-Tahayyuz dan lepas dari arah tertentu, dan juga tidak terdiri dari tubuh jism tertentu. Oleh karenanya, ayat 5 surat Thâhâ di atas
harus ditakwilkan al-qahr keperkasaan, al-ghalabah kekuasaan, atau al-uluww keluhuran.
76
Al-Bâgillanî, sebagaimana disebut oleh al-Syahrastânî, setuju jika hâl digunakan untuk menyebut dan menetapkan sifat Tuhan seperti pandangan Abû
Hâsyim dari kalangan Mu’tazilah. Tampaknya ia setuju karena umumnya kaum Mu’tazilah mengunakan pendapat Abû Hâsyim tersebut dalam rangka untuk
menetapkan ke-Esaan dan ke-qadîm-an Tuhan. Al-Bâqillânî mengatakan bahwa sifat terdapat pada zat. Gerak dan warna
misalnya, keduanya terdapat zat yang bergerak dan berwarna. Sifat adalah sesuatu yang tampak pada perbuatan, seperti corak atau bentuk. Ada yang hitam, putih,
panjang, atau pendek. Sifat juga bisa merupakan pekerjaan, seperti katîb penulis, bisa juga berdasarkan agama, seperti mukmin atau kafir. Selain itu, bisa juga
berdasarkan kebangsaan, seperti ‘Arabi yang berkebangsaan Arab, ‘Ajami yang berkebangsaan non-Arab, atau Hâsyimî yang berasal dari keturunan Hâsyim.
Tidak ada perbedaan pendapat di antara ahli bahasa bahwa sifat adalah sesuatu yang menempel pada nama-nama.
77
Tetapi kecenderungan tokoh-tokoh aliran Asy’ariyah terhadap pemikiran Mu’tazilah ini dianggap oleh Said Aqiel Siradj
sebagai usaha adaptasi Sunni yang menurutnya sangat fleksibel.
76
Sjechul Hadi Purmono “Aswaja: Aqidah dan Syari’ah”, dalam Imam Baehaqi ed Kontroversi Aswaja
, h. 49.
77
Ilhamuddin, Pemikiran Kalam al-Bâqillânî: Studi tentang Persamaan dan Perbedaan dengan al-Asy’ari
, h. 50.
Sedangkan Abû Hâmid al-Ghazâlî 1058-1111 M, salah seorang pengikut al-Asy’ari yang terpenting dan terbesar pengaruhnya dalam umat Islam, ternyata
berlainan pendapat dengan gurunya yakni al-Juwaynî dan al-Bâqillânî. Paham teologi yang diajukannya boleh dikatakan tidak berbeda dengan paham-paham
Asy’ari. Al-Ghazâlî, seperti al-Asy’ari, tetap mengakui bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat qadîm yang tidak identik dengan zat Tuhan itu sendiri, dan mempunyai
wujud di luar zat-Nya.
78
Menurut aliran Asy’ariyah tentang perbuatan Tuhan, bahwa kewajiban Tuhan berbuat baik danterbaik bagi manusia ash-shalah wa al-ashlah,
sebagaimana dikatakan Mu’tazilah, tidak dapat diterima karena bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Hal ini ditegaskan al-
Ghazâlî ketika mengatakan bahwa Tuhantidak berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia. Dengan demikian, Asy’ari tidak menerima bahwa Tuhan
mempunyai kewajiban. Tuhan dapat berbuat sekehendak hati-Nya terhadap makhluk-Nya. Sebagaimana dikatakan al-Ghazâlî, perbuatan-perbuatan Tuhan
bersifat tidak wajib ja’iz dan tidak satu pun dari-Nya yang mempunyai sifat wajib.
79
Karena percaya pada kekuasaan mutlak Tuhan dan berpendapat bahwa Tuhan tidak memepunyai kewajiban apa-apa, aliran Asy’ari menerima faham
pemberian beban di luar kemampuan manusia. Asy’ari sendiri dengan tegas mengatakan dalam bukunya al-Lamâ, bahwa Tuhan dapat meletakan beban yang
78
Said Aqiel Siradj, “Ahlussunnah wal Jama’ah di awal Abad XXI” dalam Imam Baehaqi ed., Kontroversi Aswaja, h. 140.
79
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 129- 130.
tidak dapat dipikul pada manusia. Al-Ghazâlî pun mengatakan hal ini dalam karyannya al-Iqtisad.
80
Walupun pengiriman rasul mempunyai arti penting dalam teologi, aliran Asy’ari menolaknya sebagai kewajiban Tuhan. Hal ini bertentangan dengan
keyakinan mereka bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap manusia. Faham ini dapat membawa akibat yang tidak baik. Sekiranya Tuhan
tidak mengutus rasul kepada manusia, hidup manusia akan mengalami kekacauan. Tanpa wahyu, manusia tidak dapat membedakan perbuatan baik dan buruk. Dia
akan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya. Namun, sesuai dengan faham Asy’ari tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, hal ini tidak menjadi
masalah bagi eologi mereka. Kalau Tuhan menghendaki manusia hidup dalam masyarakat kacau. Tuhan dalam hal ini tidak berbuat untuk kepentingan
manusia.
81
Karena tidak mengakui kewajiban Tuhan, Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban menepati janji dan menjalankan ancaman. Di
sini timbul persoalan bagi Asy’ari karena dalam al-Qur’an dikatakan dengan tegas bahwa siapa yang berbuat jahat akan masuk neraka. Untuk mengatasi ini, kata-
kata Arab “man alladzîna” dan sebagainya yang menggambarkan arti siapa, diberi interpretasi oleh Asy’ari, “bukan semua orang tetapi sebagian”. Dengan demikian
kata siapa dalam ayat “Barang siapa menelan harta anak yatim piatu dengan cara tidak adil, maka sebenarnya ia menelan api masuk ke dalam perutnya,
” mengandung arti bukan seluruh, tetapi sebagian orang yang berbuat demikian.
Dengan kata lain, yang diancam akan mendapat hukuman bukanlah semua orang,
80
Ibid., h. 129. menurut faham Asy’ari, perbuatan manusia pada hakikatnya adalah perbuatan Tuhan dan diwujudkan dengan daya Tuhan dan bukan daya manusia.
81
Ibid., h.131-132.
tetapi sebagian orang yang menelan harta anak yatim piatu. Adapaun sebagian lagi akan terlepas dari ancaman atas dasar kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
Dengan interpretasi demikianlah Asy’ari mengatasi persoalan wajibnya Tuhan menepati janji dan ancaman.
82
c. Pandangan Maturidiyah