Konsep Tuhan menurut perspektif Muhammad Abduh

(1)

KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF

MUHAMMAD ABDUH

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat Islam (S. Fil. I)

Oleh:

Josep Iskandar

NIM: 101033121751

JURUSAN AQIDAH FILSAFAT

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF

MUHAMMAD ABDUH

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai syarat akademisi untuk memenuhi

Gelar Sarjana Filsafat Islam (S. Fil. I)

Oleh

Josep Iskandar

NIM: 1010 3312 1751

DI bawah Bimbingan

Prof. Dr. H. Zainun Kamaluddin Fakih, M.A.

NIP: 150 228 520

JURUSAN AQIDAH FILSAFAT

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

PEGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF

MUHAMMAD ABDUH telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas

Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 16 Februari 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I) pada Program Studi Aqidah Filsafat.

Jakarta, 16 Februari 2009

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Dra. Ida Rosyidah, M.A. Drs. Maulana, M.A.

NIP: 150 243 267 NIP: 150 293 221

Anggota,

Dr. Syamsuri, M.A. Aktobi Gozali, M.A.

NIP: 150 240 089 NIP: 150 368 753

Prof. Dr. H. Zainun Kamaluddin Fakih, M.A. NIP: 150 228 520


(4)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah swt., Dia-lah Zat Yang Wajib Ada, puncak segala eksistensi, dan atas segala karunia-Nya yang telah memberikan kekuatan jasmani, rohani, dan aqli. Hanya karena-Nya penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini.

Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada sosok yang tidak aman sebelum umat-Nya merasa nyaman, dan mendedikasikan hidupnya untuk membawa umat manusia keluar dari jurang kebiadaban menuju umat yang dihiasi oleh peradaban, yaitu nabi Muhammad saw., keluarganya, sahabatnya, serta para pengikutnya yang selalu mendukung terhadap ajaran yang dibawa beliau.

Sebagai catatan kecil pembuka ini, sebenarnya belum bisa mewakili curahan rasa hati penulis. Bahkan dengan jujur seraya tertunduk malu, penulis berharap tulisan kecil ini dapat mewakili isi kalbu. Dengan penuh hormat, penulis persembahkan penghargaan yang paling khusus kepada:

1. Bapak Dr. M. Amin Nurdin, M.A selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filasafat beserta para pembantu dekan.

2. Bapak Drs. Agus Darmaji, M.Fils. dan Drs. Ramlan Abdul Gani, M.Ag. selaku ketua dan sekertaris jurusan Aqidah-Filsafat.

3. Bapak Prof. Dr Zainun Kamaluddin K, M.A, selaku Dosen Pembimbing yang telah memberi pengarahan dalam proses penulisan skripsi ini.

4. Seluruh dosen, staf akademik dan staf Perpustakaan Utama UIN, Fakultas Ushuluddin maupun Perpustakaan Iman Jama.


(5)

5. Kepada kedua orang tuaku, Bapak U. Sukandi dan Ibu Mimin Mintarsih. Terima kasih atas segala kasih sayang dan dukungannya selama ini, baik berupa moril, spirituil, maupun materil, yang tanpa dukungan keduanya mustahil penulis dapat menyelesaikan studi hingga keperguruan tinggi. Tiada ungkapan dan hadiah yang dapat diberikan untuk menggambarkan betapa berharganya dan berartinya beliau dihatiku. Aku hanya bisa berdo’a kepada Allah swt., semoga kesehatan dan keberkahan selalu bersamanya.

Amîn. Terima kasih kepada adik-adikku tersayang (Nur dan Ani) atas curahan kasih sayang dan perhatian yang diberikan kepadaku.

6. Teman seperjuangan Aqidah-Filsafat angkatan 2001, Sahal, Faruq, Daus, Cecep, Ivan, Dahlan, Ikay, Surachman (Dede), Anwar, Ipeh, Ika, dan semua yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.

7. Untuk sahabat-sahabatku Aji, Supri, Ijang, Cumank, Egy, Ali, Yudi, Risti, Naya, Lilis, Yayi, Sherly, Ia, Sahrul ”TH”, terima kasih atas segala perhatian, do’a, dan dukungannya selama ini. Untuk terkasih yakni dinda ”Tyan” yang selalu memberi semangat dalam penulisan skripsi ini. Terima kasih atas segala do’a dan dukungannya.

Akhirnya, segala kebenaran hanya milik-Nya, dan semoga skripsi ini membawa manfaat bagi khalayak ramai dan akademisi, dan semoga Allah membalas jasa kebaikan mereka di atas dengan balasan yang setimpal. Âmîn yâ Rabb al-‘âlamîn.

Jakarta, Februari 2009.


(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... i

KATA PENGANTAR………. iii

DAFTAR ISI………. v

PEDOMAN TRANSLITERASI………... vii

BAB I PENDAHULUAN………... 1

A. Latar Belakang Masalah………. 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah………. 9

C. Tinjauan Kepustakaan……… 9

D. Tujuan Penelitian...………... 10

E. Metode Penelitian…..………... 11

F. Sistematika Penulisan………... 12

BAB II BIOGRAFI MUHAMMAD ABDUH……….. 13

A. Riwayat Hidup Muhammad Abduh………. 13

B. Karya-karya Muhammad Abduh……….. 20

C. Pengaruh Muhammad Abduh dalam Pemikiran Islam………… 22

BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG SIFAT DAN PERBUATAN TUHAN... 27

A. Pengertian Sifat dan Perbuatan……… 27

B. Pandangan tentang Sifat dan Perbuatan Tuhan Menurut Aliran Kalam………... 28

a. Mu’tazilah……….. 30

b. Asy’ariyah……….. 37


(7)

BAB IV SIFAT DAN PERBUATAN TUHAN MENURUT PERSPEKTIF

MUHAMMAD ABDUH……….. 51

A. Sifat-sifat Tuhan………... 51

B. Sifat-sifat Tuhan Yang Wajib Ada…...……… 56

1. Hayah………... 56

2. ‘Ilm………... 57

3. Iradah………... 58

4. Qudrat……….. 59

5. Ikhtiar………... 60

6. Wahdah……… 61

C. Perbuatan-perbuatan Tuhan………. 66

D. Analisis Ke-Tuhanan dalam Pemikiran Muhammad Abduh…... 75

BAB V PENUTUP……….. 79

A. Kesimpulan……….. 79

B. Saran-saran………... 82


(8)

PEDOMAN TRANSLITRASI

Padanan Aksara

:tidak

dilambangkan

: b

: t

: ts

: j

: h

: kh

: d

: dz

: r

: z

: s

: sy

: s

: d

: t

: z

:

: gh

: f

: q

: k

: l

: m

: n

: w

: h

: ,

: y

Vokal Panjang Vokal Tunggal

: â

!!

: a

"

: î

"

: i

#

: û

!!#

: u

Vokal Rangkap

: ai

: au


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Konsep adalah abstrak, entitas1 mental yang universal yang menunjuk pada kategori atau kelas dari suatu entitas, kejadian atau hubungan. Suatu konsep adalah elemen dari proposisi seperti kata adalah elemen dari kalimat. Konsep adalah abstrak di mana mereka menghilangkan perbedaan dari segala sesuatu dalam ekstensi, memperlakukan seolah-olah mereka identik. Konsep adalah universal di mana mereka bisa diterapkan secara merata untuk setiap ekstensinya. Konsep adalah pembawa arti. Suatu konsep tunggal bisa dinyatakan dengan bahasa apa pun.2 Contohnya, “Konsep Tuhan” bisa dinyatakan dengan “God” dalam bahawa Inggris, “Allah” dalam bahasa Arab, “Hyang” dalam bahasa Cina.

Sedangkan kata Tuhan merujuk kepada suatu zat abadi dan supranatural, biasanya dikatakan mengawasi dan memerintah manusia dan alam semesta atau jagat raya. Hal ini bisa juga digunakan untuk merujuk kepada beberapa konsep-konsep yang mirip dengan ini misalkan sebuah bentuk energi atau kesadaran yang merasuki seluruh alam semesta, di mana keberadaan-Nya membuat alam semesta ada, sumber segala yang ada, kebajikan yang terbaik dan tertinggi dalam semua makhluk hidup atau apapun yang tak bisa dimengerti atau dijelaskan.3

1 Entitas adalah sesuatu yang memiliki keberadaan yang unik dan berbeda, walaupun

tidak harus dalam bentuk fisik. Abstraksi, misalnya, biasanya dianggap juga sebagai suatu entitas. Dalam pengembangan sistem, entitas digunakan sebagai model yang menggambarkan komunikasi dan pemrosesan internal seperti misalnya membedakan dokumen dengan pemrosesan pesanan.

2 Ensiklopedia Bebas, Konsep, artikel diakses pada 20 Februari 2009 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Konsep

3 Ensiklopedia Bebas, Tuhan, artikel diakses pada 20 Februari 2009 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Tuhan


(10)

Tuhan merupakan satu entiti kewujudan yang Maha Berkuasa, Maha Mengetahui, dan Maha Penyanyang yang biasanya disembah oleh manusia. Tanggapan mengenai Tuhan sebenarnya adalah berbeda-beda dari satu agama ke satu agama yang lain, contohnya aliran utama agama Kristian manganggap imej Tuhan adalah seperti manusia, tetapi ada agama lain yang menganggap bahawa imej Tuhan tidak dapat ditanggapi. Tetapi walaupun demikian, Tuhan merupakan satu konsep yang boleh dijumpai secara universial di setiap bangsa.4

Dalam konsep Islam, Tuhan diyakini sebagai Zat Maha Tinggi Yang Nyata dan Esa, Pencipta Yang Maha Kuat dan Maha Tahu, Yang Abadi, Penentu Takdir, dan Hakim bagi semesta alam. Islam menitik-beratkan konseptualisasi Tuhan sebagai Yang Tunggal dan Maha Kuasa (tauhid). Dia itu wahid dan Esa (ahad), Maha Pengasih dan Maha Kuasa. Menurut al-Qur'an terdapat 99 Nama Allah (asma'ul husna artinya: "nama-nama yang paling baik") yang mengingatkan setiap sifat-sifat Tuhan yang berbeda. Semua nama tersebut mengacu pada Allah, nama Tuhan Maha Tinggi dan Maha Luas. Diantara 99 nama Allah tersebut, yang paling terkenal dan paling sering digunakan adalah "Maha Pengasih" (ar-rahmân) dan "Maha Penyayang" (ar-rahîm). Penciptaan dan penguasaan alam semesta dideskripsikan sebagai suatu tindakan kemurahhatian-Nya yang paling utama untuk semua ciptaan yang memuji keagungan-Nya dan menjadi saksi atas keesan-Nya dan kuasa-keesan-Nya.5

Dan juga dalam Islam dikatakan bahwa Tuhan adalah satu-satunya ma’bûd

(yang ditujukan ibadah kepada-Nya). Tidak ada ma’bûd selain-Nya, dan sama sekali tidak dibolehkan adanya ibadah kepada sesuatu apapun selain-Nya.

4Ibid., 5Ibid.,


(11)

Pengertian seperti itu semuanya dilandaskan oleh al-Qur’an, Sunnah, akal dan

ijmâ’.

Konsep Tuhan menurut Muhammad Abduh adalah bahwa Tuhan merupakan Zat Yang Wajib Ada, Dia qadîm (tidak bermula), dan pula azali (ada sebelum sesuatu tiada menjadi ada), karena apabila tidak demikian, maka Tuhan menjadi baharu di mana sesuatu wujud-Nya didahului oleh tiada (‘Adam). Sekiranya Zat Yang Wajib Ada itu tidak qadîm, maka tentulah Tuhan dalam wujud-Nya itu diperoleh dengan adanya yang lain yang mewujudkan-Nya. Bahwa sesungguhnya Zat Yang Wajib Ada itu mempunyai wujud-Nya sendiri. Dan apabila yang Zat Yang Wajib Ada itu masih didahului oleh tiada, maka bukanlah dinamakan “Wajib Ada”, melainkan “Mustahil Ada”, karena apabila demikian sifatnya paradoks.6

Adapun ilmu yang membahas tentang wujud dan sifat-sifat Tuhan disebut ilmu tauhid. Secara teologis pembahasan tauhid didasarkan pada pengetahuan tentang ke-Tuhanan. Asal makna tauhid yaitu meyakinkan bahwa Tuhan adalah satu, tidak ada syârikat bagi-Nya. Tauhid juga merupakan pokok ajaran yang sangat krusial dalam paham agama monoteisme. Hal yang terpenting yaitu menetapkan sifat “wahdâh” (satu) bagi Tuhan dalam zat-Nya dan dalam perbuatan-Nya. Dan juga keyakinan tentang Tuhan sebagai pencipta alam seluruhnya dan bahwa Tuhan sendiri-Nya pula tempat kembali segala alam ini dan penghabisan segala tujuan.7

Surat al-Ikhlâs, yakni surat Qul huwallâhu ahad, memuat aspek terpenting dari aspek-aspek ajaran Islam yang dibawa Nabi, yang pada garis besarnya

6 Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid (Cairo: Dar al-Manar, 1366 H), h. 39. 7Ibid., h.17.


(12)

meliputi tiga aspek, yaitu tauhid, syari’ah, wa’ad (janji Tuhan) dan wa’id

(ancaman Tuhan) aspek pertama tauhid yang dibawa surat ini dimaksudkan untuk membebaskan bangsa Arab dan yang lainnya dari kemusyrikan, dan merupakan ajaran keimanan yang paling pertama ditekankan. Maka sudah barang tentu, apa yang terkandung dalam surat tersebut adalah bersumber dari Tuhan demi merealisir misi risalah Nabi-Nya dan mengarahkan manusia terhadap apa yang mereka percayai mengenai Tuhan.8

Semua yang disebut satu selain Tuhan adalah sedikit. Semua yang mulia selain Dia adalah hina. Semua pemilik selain Dia adalah termiliki. Semua yang berilmu selain Dia adalah pencari ilmu. Semua yang kuasa selain Dia, adalah seorang hamba. Semua yang mendengar selain Dia adalah tuli terhadap suara-suara yang amat lembut, amat keras ataupun amat jauh dari tempatnya. Semua yang melihat selain Dia adalah buta terhadap warna-warna yang amat lemah ataupun benda-benda yang amat lembut. Semua yang zhâhir dan yang bâthin

selain Dia tidak mungkin bersifat zhâhir.9

Sering pula “Ilmu Tauhid” dinamakan sebagai “Ilmu Kalâm” yaitu karena adakalanya masalah yang paling terkenal dan banyak menimbulkan perbedaan pendapat di antara para sarjana abad-abad pertama, yaitu; apakah “Kalâm Allah” (wahyu) yang dibacakan itu baru atau qadîm? Dan adakalanya pula, ilmu tauhid itu dilandaskan dari dalil ‘aqli (rasio), di mana akibatnya nyata terlihat dari perkataan setiap para ahli yamg turut berbicara tentang ilmu itu. Namun sedikit sekali orang yang berbicara dengan dasar dalil naqli al-Qur’an dan Sunnah Rasul,

8 Rifat Syauqi Nawawi, Rasional Tafsir Muhammad Abduh; Kajian Masalah Aqidah dan

Ibadat (Jakarta: Paramadina, 2002), cet. 1, h. 117.

9 Muhammad Abduh, Mutiara Mahjul Balaghah (Bandung: Mizan, 1995), cet. Ke-4,h.


(13)

kecuali setelah ada ketetapan pokok pertama ilmu itu. Di samping itu ada pula suatu sebab lain yang menyebabkan “Ilmu Tauhid” itu dinamakan orang “Ilmu

Kalâm” karena dalam memberikan dalil tentang pokok agama, ia (tauhid) lebih menyerupai logika (manthîq), yang digunakan untuk menjelaskan liku-liku argumentasi dalam ilmu-ilmu para ahli teori (ilmu-ilmu rasional). Kemudian istilah manthîq diganti dengan kalâm untuk membedakan antara kedua ilmu itu.10

Setelah berlalunya zaman nabi Muhammad, di mana beliau telah melenyapkan segala kebingungan dan menjadi pelita dalam kegelapan syubhât. Maka yang memegang khalifah setelahnya adalah sahabat-sahabatnya, dua orang khalifah sesudah beliau berjuang sepanjang umurnya melawan musuh-musuh Islam, sehingga tidak ada sedikitpun bagi orang banyak untuk memperdayakan dan mengutak-utik dasar kepercayaan (aqîdah) yang telah berkembang baik di masa itu. Bila timbul sedikit saja pertentangan masalah apapun, maka cepat-cepat persoalan itu di bawa kehadapan khalifah yang dengan putusannya, persoalan menjadi terselesaikan, yang sebelumnya terlebih dahulu dimusyawarahkan oleh para ahli agama yang selalu mendampingi khalifah tersebut.11

Biasanya permasalahan yang menimbulkan perdebatan tersebut muncul dalam bidang hukum (furû’), bukan mengenai masalah yang pokok atau di luar masalah itu, yakni mengenai kepercayaan (aqîdah). Keadaan rakyat pada masa kedua khalifah setelah nabi Muhammad, cukup mengerti akan isyarat-isyarat al-Qur’an dan nash-nashnya. Mereka menganutnya dengan penuh kesadaran dan diliputi kesucian. Ayat-ayat yang mutasyâbihat mereka serahkan kepada Tuhan. Keadaan seperti itu berjalan dengan baik hingga terjadinya peristiwa yang

10 Nurchalis Madjid, ed., Khasanah Intelektual Islam (Jakarta: Bintang, 1994), h. 366. 11 Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid, h. 21.


(14)

menimpa khalifah yang ketiga (Utsman bin Affan), yaitu peristiwa terbunuhnya khalifah tersebut. Sejak itulah awal umat Islam menjadi terpecah-belah menjadi beberapa bagian12. Namun demikian, al-Qur’an tetap utuh dan terpelihara menurut aslinya sampai sekarang dan akhir zaman, seperti yang terkandung dalam al-Qur’an Surah al-Hijr ayat 9.

Namun setelah berselangnya beberapa periode, maka bermunculan aliran-aliran kalam yang memiliki nama besar seperti, Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah. Di mana golongan Mu’tazilah menetapkan kekuasaan akal untuk mengetahui segala hukum-hukum agama, menentukan mana yang sifatnya furu’ dan yang mana sifatnya ibadat (karena khawatir berlebihan menarik garis al-Qur’an), maka golongan Mu’tazilah mengkhususkan dalam menentukan kekuasaan akal tentang pokok-pokok yang sifatnya furû’ saja. Sedangkan golongan Asy’ariyah dan Maturidiyah berpendapat bahwa pokok kepercayaan (aqidah) menurut pokok-pokok yang sesuai dengan tujuan akal, dan dengan adanya dalil menunjukan kepada tidak adanya barang yang dibuktikan. Artinya golongan ini lebih mengedepankan wahyu dibanding akal.

Persoalan yang menjadi bahan perdebatan dikalangan aliran-aliran kalam tersebut di antaranya adalah masalah sifat-sifat Tuhan. Tarik-menarik di antara aliran-aliran kalam dalam menyelesaikan persoalan ini, tampaknya dipicu oleh

truth claim (mengaku pendapatnya yang paling benar) yang dibangun atas dasar kerangka berpikir masing-masing dalam klaim terhadap pentauhidan Tuhan. Tiap-tiap aliran kalam mengaku bahwa fahamnya dapat mensucikan dan memelihara ke-Esaan Tuhan.

12 Ibid.,


(15)

Perdebatan antar aliran kalam mengenai sifat-sifat Tuhan tidak terbatas pada persoalan apakah Tuhan memiliki sifat ataukah tidak? Tetapi juga pada persoalan-persoalan cabang sifat-sifat Tuhan, seperti antropomorphisme melihat Tuhan, dan esensi al-Qur’an. namun penulis sendiri di sini hanya membahas dan membatasi pada persoalan sifat-sifat Tuhan saja.

Persoalan lain yang menjadi perdebatan di antara aliran kalam adalah masalah perbuatan Tuhan. Masalah ini muncul sebagai buntut dari perdebatan ulama kalam mengenai iman. Ketika sibuk menyoroti siapa yang masih dianggap beriman dan siapa yang kafir di antara pelaku tahkim, para ulama kalam kemudian mencari jawaban atas pertanyaan siapa sebenarnya yang mengeluarkan perbuatan manusia, apakah Tuhan ataukah manusia sendiri? Atau kerja sama antara keduanya. Masalah ini kemudian memunculkan aliran kalam free will yang diwakili oleh Mu’tazilah, sedangkan aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah mengambil sikap pertengahan. Persoalan ini kemudian memperluas lagi dengan mempermasalahkan apakah Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu atau tidak? Apakah perbuatan Tuhan itu tidak terbatas pada hal-hal yang baik-baik saja, ataukah perbuatan Tuhan terbatas pada hal-hal yang baik-baik saja, tetapi juga mencakup kepada hal-hal yang buruk?

Di masa sekarang pun terdapat pertentangan dikalangan umat Muslim mengenai masalah sifat dan perbuatan Tuhan, seperti MUI memberikan fatwa sesat kepada sebagian aliran yang ajarannya bertentangan dengan ajaran Islam, misalnya tidak megerjakan dan mewajibkan sebagian rukun Islam. Bagi sebagian aliran yang dianggap sesat, menurutnya cukup dengan hati untuk mengimani Tuhan meskipun tanpa syariahnya dikerjakan, karena dengan sifat mengetahui


(16)

Tuhan, Dia mampu mengetahui segala apapun termasuk isi hati seseorang. Dan apakah dalam setiap perbuatan manusia Tuhan ikut andil untuk mengeluarkan perbuatan manusia tersebut, baik yang bersifat negatif maupun positif? Ataukah perbuatan tersebut bentuk kerja sama antara Tuhan dan manusia?

Dalam sejarah pembaharuan Islam, Muhammad Abduh adalah salah seorang tokoh pemikir yang besar. Corak pemikirannya adalah rasional, di mana pemikirannya sejalan dengan pemikiran golongan Mu’tazilah, yakni mengedepankan akal dalam menentukan segala persoalan. Dalam pandangannya mengenai konsep Tuhan di antaranya yaitu permasalahan sifat dan perbuatan Tuhan yang sampai sekarang masih dalam perdebatan di antara para ulama kalam. Mengenai sifat Tuhan menurut Abduh adalah sifat Tuhan sama dengan esensi Tuhan, meskipun ia tidak tegas mengatakannya. Menurutnya, Sifat-sifat Tuhan atau Zat Yang Wajib Ada di antaranya ‘Ilm, Hayat, Qudrat, Iradah, Ikhtiar dan

Wahdah.13 Sedangkan tentang perbuatan Tuhan menurut Abduh adalah kewajiban

Tuhan untuk berbuat baik kepada manusia dengan tidak memberikan beban atau tugas di luar kemampuan manusia, mengirimkan para rasul untuk memberikan contoh teladan, dan menepati janji-Nya memasukan orang Mukmin ke dalam surga, dan memasukan orang yang berbuat dosa besar ke dalam neraka.14

Berdasarkan pemikiran di atas, maka penulis merasa tertarik untuk mengkaji lebih dalam lagi mengenai konsep Tuhan yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh. Oleh karena itu, penulis ingin mencoba menulis skripsi ini dengan judul Konsep Tuhan menurut Persfektif Muhammad Abduh.

13 Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid, h. 67.

14 Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (Jakarta: UI


(17)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Pada dasarnya banyak yang menarik untuk dibahas mengenai Muhammad Abduh dilihat dari corak pemikirannya. Dengan latar belakang masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dalam kesempatan ini menurut penulis perlu membatasi objek kajian penelitian untuk menghidari pelebaran masalah. Untuk itu penulis membatasi pembahasan pada permasalahan Sifat-sifat dan Perbuatan-perbuatan Tuhan dalam pandangan Muhammad Abduh.

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka rumusannya adalah bagaimana Muhammad Abduh menjelaskan dan memaparkan pendapatnya mengenai sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan Tuhan? Dan apakah sifat dan perbuatan Tuhan mempunyai hubungan dengan makhluk-Nya, khususnya manusia?

C. Tinjauan Kepustakaan

Penelitian pemikiran Muhammad Abduh bukanlah hal yang baru. Kajian dan eksplorasi terhadap figur ulama ini telah berlangsung sejak lama. Apalagi penelitian dengan mengambil sebagian pemikiran darinya, beberapa tema yang mempunyai intensitas rasional dengan karakteristik pemikirannya sudah banyak dilakukan. Adanya kecendrungan untuk mengungkap sisi lain dari pemikiran Muhammad Abduh, yaitu dalam bidang teologi adalah hal yang jarang dilakukan mengingat ia juga dikenal sebagai ahli fiqh, tasawuf, bahasa, dan tafsir.

Dalam dunia akademis ditemukan juga beberapa karya ilmiyah yang mengkaji pemikirannya baik dalam bentuk makalah, laporan penelitian, skripsi, maupun disertasi. Terdapat beberapa nama yang berhasil menyumbangkan karyanya yang membahas tokoh ini Harun Nasution dengan bukunya yang


(18)

berjudul Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, yang membahas tentang filsafat wujud, kekuatan akal, fungsi wahyu, permasalahan Tuhan secara umum, dan konsep iman.

Di samping itu, Muhammad Abduh tidak asing lagi dikalangan mahasiswa di antaranya adalah skripsi yang ditulis oleh H. Ansoriyah dalam skripsinya,

Konsep Tauhid dalam Al-Quran: Telaah atas Penafsiran Muhammad Abduh terhadap surat Al-Ikhlas ayat 1-4, yang membicarakan mengenai tauhid secara umum dan implikasinya dalam kehidupan serta menafsirkan dalam surat al-Ikhlas ayat 1-4. Sedangkan Khairuddin dalam skripsinya, Pemikiran Teologi Muhammad Abduh: Kehendak serta Kekuasaan Mutlak Ilmiah dan Kebebasan Manusia, dalam skripsi ini hanya menekankan pada akal manusia sebagai kebebasan yang mutlak dalam berpikir.

Dari buku dan judul skripsi yang telah disebutkan di atas, ternyata yang membahas tentang Konsep tauhid pemikiran Muhammad Abduh secara khusus belum ada, Oleh karena itu sudah pasti berbeda dengan skripsi yang telah ada. Dengan itu, penulis tidak ragu lagi dalam menulis skripsi ini.

D. Tujuan Penelitian

Secara formal skripsi ini dibuat dalam rangka memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana strata satu (S-1) pada jurusan Aqidah Filasafat, fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun tujuan non formal penulis skripsi ini adalah untuk menambah literatur tentang pemikiran Pemikiran Muhammad Abduh dengan harapan dapat merangsang kajian-kajian berikutnya.


(19)

Tujuan penelitian skripsi ini adalah di antaranya:

7. Guna mengetahui lebih jauh lagi mengenai Muhammad Abduh dalam bidang yang sedang dikaji.

8. Untuk mendapatkan sesuatu yang berharga dalam pemikiran Muhammad Abduh, yakni ilmu dalam bidang yang dikaji.

9. Mengungkap sesuatu dari pemikiran Muhammad Abduh yang sedang dikaji sehingga membuka ruang kritik terhadapnya.

E. Metode Penelitian

Metode pengumpulan data skripsi ini menggunakan kajian kepustakaan (library research) yaitu menghimpun buku atau tulisan yang ada kaitannya dengan tema skripsi ini. Data-data tersebut diambil dari tulisan Muhammad Abduh sendiri yang terdokumentasikan dalam bentuk kitab, baik yang berbahasa Arab maupun yang sudah diterjemahkan. Risalah at-Tauhid merupakan salah satu sumber primer yang dijadikan rujukan utama dalam penulisan skripsi ini. Sedangkan tulisan-tulisan tentang Muhammad Abduh baik yang terdokumentasikan dalam buku, makalah, artikel, jurnal, dan majalah yang mempunyai relevansi dengan maksud uraian skripsi ini, merupakan sumber sekunder yang menjadi penunjang sumber primer.

Metode pembahasan yang digunakan adalah metode deskriptif analisis. Metode ini digunakan untuk menjelaskan segala persoalan teologi Muhammad Abduh, serta untuk mengangkat pemikiran Muhammad Abduh dalam menggambarkan tentang Tuhan.

Teknik penulisan ini mengacu pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, Skripsi, Tesis, dan Disertasi edisi tahun 2007, yang dikeluarkan oleh UIN


(20)

Syarif Hidayatullah Jakarta. Tentang transliterasi, penulis juga menggunakan pedoman transliterasi yang dikeluarkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pedoman transliterasi tersebut dilampirkan sebelum bab ini.

F. Sistematika Penulisan

Agar penulisan skripsi ini menjadi terarah dan lebih sistematis dan menjadi standar penulisan skripsi S-1, maka penulisan ini disusun dalam lima bab yang masing-masing memiliki sub-sub bab diantaranya yaitu:

Bab pertama, pendahuluan yang mencakup, latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tinjauan kepustakaan, tujuan penulisan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab kedua, membahas tentang biografi Muhammad Abduh mencakup riwayat hidup Muhammad Abduh, karya-karya Muhammad Abduh, dan pengaruh Muhammad Abduh dalam pemikiran Islam.

Bab ketiga, yang menjelaskan gambaran umum tentang sifat dan perbuatan Tuhan yang meliputi pengertian sifat dan perbuatan Tuhan, pandangan tentang sifat dan perbuatan Tuhan menurut aliran kalam seperti Mu’tazilah, dan Asy’ariyah, Maturidiyah.

Bab keempat, membahas tentang sifat dan perbuatan Tuhan menurut perspektif Muhammad Abduh yang berisikan sifat-sifat Tuhan, perbuatan-perbuatan Tuhan, serta analisis ke-Tuhanan dalam pemikiran Muhammad Abduh.

Sedangkan pada bab kelima adalah penutup yang terdiri atas kesimpulan dan saran-saran serta diakhiri dengan daftar pustaka.


(21)

BAB II

BIOGRAFI MUHAMMAD ABDUH

A. Riwayat Hidup Muhammad Abduh

Muhammad Abduh lahir pada tahun 1849 di desa Mahallat Nasr, kabupaten al-Buhairah Mesir dan wafat tahun 1905. Nama panjangnya adalah


(22)

Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah.15 Ayahnya bernama Abduh bin Hasan Kharullah, dan ibunya menurut riwayat dari bangsa Arab yang silsilahnya menurun dari suku bangsa Umar bin Khattab.16 Muhammad Abduh mengawali pendidikan dalam lingkungan petani di Pedesaan. Di bawah asuhan ibu-bapak yang tidak ada hubungannya dengan pendidikan sekolah, namun memiliki jiwa religius yang kuat.

Pendidikannya

Muhammad Abduh mengawali pendidikannya belajar pelajaran pada umumnya, seperti membaca, menulis, dan menghafal al-Qur’an pada ayahnya di rumah. Berkat otaknya yang cemerlang, hanya dalam jangka waktu dua tahun ia mampu menghafal al-Qur’an seluruhnya, ketika itu ia berusia 12 tahun.17 Kemudian diusianya yang ke 14 tahun, ia dikirim ayahnya ke Thanta untuk belajar di Masjid al-Ahmâdi (al-Jami’ al-Ahmâdi). Di sini, di samping melancarkan hafalan al-Qur’annya, ia juga belajar bahasa Arab dan fikih.18

Setelah belajar selama satu setengah tahun, metode hafalan yang dipakai sebagai sistem pengajaran di tempat ini membuat Abduh yang sedari kecil sudah terlihat nalar kritisnya menjadi kecewa. Dalam riwayatnya ia menulis, “aku menghabiskan satu setengah tahun tanpa mengerti sesuatu apa pun”, karena metode dan sistem belajar yang buruk, guru-guru mengajar dengan menghafal istilah-istilah tentang nahwu dan fikih yang tidak dimengerti. Guru-guru bahkan

15 M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1994), h.

11.

16 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta:

Bulan Bintang, 1992), cet. IX, h. 59.

17 Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Mu’tazilah (Jakarta: UI Press, 1987,

cet. I, h, 11.


(23)

tidak merasa penting apa kita mengerti atau tidak mengerti arti istilah-istilah tersebut”.19 Dengan rasa kecewa Abduh pun kembali ke Mahallat Nasr.20

Kemudian ayahnya tetap memaksakan agar ia meneruskan belajar di Thanta, dan akhirnya ia terpaksa pergi, namun bukan ke Thanta melainkan ke rumah paman ayahnya yang bernama Syeikh Darwisy Khadr untuk bersembunyi. Darwisy kemudian mendidik Abduh untuk belajar dan mencintai ilmu dan buku. Darwisy juga memberikan imbauan dan dorongan serta nasihat kepada Abduh agar kembali bersamangat dan bergairah dalam menuntut ilmu. Didikan Darwisy ternyata berhasil dan akhirnya Abduh mau meneruskan studinya di Thanta.21

Karir awalnya berangkat dari studi-studi ilmu tradisional di Universitas al-Azhar, dan komitmen awalnya berdasarkan sufisme tarekat Syâdziliyah, praktik zikir dan ta’wîdz. Studi-studi universitasnya mengukuhkan tidak hanya seorang

‘âlim yang disegani, tetapi juga menyadarkan diri terhadap belenggu taqlîd

(keterikatan pada tradisi), yang kemudian menjadi sumber energi pembaharuannya. Meskipun secara intelektual meninggalkan latar belakang sufinya, dia menanamkan kualitas keshalehan dalam kehidupan akademisnya untuk membebaskan dari dampak taqlîd yang merusak.22

Berguru dengan Said Jamaluddin al-Afghani

Pada tahun 1871 adalah awal pertemuan dan interaksi intelektual Abduh dengan salah satu pembaharu Islam, yaitu sorang ‘âlim besar bernama Said Jamaluddin al-Afghani yang sudah terkenal dalam dunia Islam sebagai Mujâhid

19 Sami Abdullah Kaloti, The Reformation of Islam and The Impact of Jamaluddin

al-Afghani and Muhammad Abduh On Islamic Education (Marquette: University, 1974), h. 96.

20 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, h. 59. 21 M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, h. 12-13.


(24)

(pejuang), Mujaddîd (pembaharu/ reformer) dan ulama yang sangat ‘âlim, yang pada saat itu datang ke Mesir. Muhammad Abduh bertemu dengan al-Afghani untuk pertama kalinya, ketika Abduh datang ke rumahnya bersama-sama dengan Hasan at-Tawîl, di mana dalam pertemuan itu mereka berdiskusi tentang ilmu tasawuf dan tafsir.23

Al-Afghanilah yang menempa Abduh dengan ilmu pengetahuan, walaupun sebelumnya telah didapatkan dari luar al-Azhar, namun menancapkan kesan dan pandangan berbeda bagi Abduh, karena metode yang dipakai al-Afghani adalah studi kritis seperti berdiskusi dan yang lainnya, metode pengajaran yang diterapkan al-Afghani membuat Abduh tertarik dan termotivasi untuk tetap kritis, al-Afghani juga memberikan penjelasan yang luas, mendalam dan mengagumkan pada setiap kajiannya.24

Dalam tatanan dunia ilmiah dan wawasan pengetahuan umum, al-Afghani mungkin bisa dikatakan yang paling berjasa dalam hidup Abduh dan mempengaruhinya dalam banyak hal, tidak hanya pengetahuan teoritis, al-Afghani juga mengajarkan Abduh pengetahuan praktis, politik, berpidato, menulis artikel, dan sebagainya. Kecakapan yang membawanya tampil di depan publik dan jeli melihat situasi sosial politik di negerinya.25

Sejak itulah abduh tertarik kepada al-Afghani oleh ilmunya yang dalam dan cara berfikirnya yang modern, sehingga akhirnya Abduh benar-benar dan selalu di sampingnya. Selain Abduh, bayak pula mahasiswa-mahasiswa al-Azhar

23 Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, terj. Cet-V (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 17. 24 M Rasyid Ridha, Tarikh al-Ustazd al-Imam al-Syaikh Muhammad Abduh (Kairo:

al-Manar, 1931), h. 20.

25 Arbiah Lubis, Pemikiran dan Muhammad Abduh (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h.


(25)

yang ditarik Abduh untuk ikut datang kepada al-Afghani untuk belajar.26 Di samping diskusi-diskusi ilmu-ilmu agama, mereka belajar pula pengetahuan-pengetahuan modern, filsafat, sejarah, hukum dan ke-tata-negaraan dan lain-lain. Pelajaran yang diberikan kepada mereka oleh al-Afghani yaitu semangat berbakti kepada masyarakat dan berjihad memutus rantai-rantai kekolotan dan cara berfikir yang fanatik serta merombaknya dengan cara berfikir yang lebih maju.

Abduh telah memiliki cara berfikir yang lebih maju, karena telah banyak membaca buku-buku filsafat dan banyak mempelajari perkembangan jalan berfikir kaum Rasionalis Islam (Mu’tazilah), maka para guru al-Azhar pernah menuduhnya telah meninggalkan mazhab Asy’ari. Terhadap tuduhan itu Abduh menjawab; “sudah jelas saya telah meninggalkan taklid Asy’ari, maka kenapa saya harus bertaklid pula kepada Mu’tazilah? Saya akan meninggalkan taklid kepada siapapun juga, dan hanya berpegang kepada dalil yang dikemukakan”.27

Menjadi Dosen Darul Ulum dan Al-Azhar

Setelah Abduh menamatkan kuliahnya pada tahun 1877, atas nama usaha Perdana Menteri Mesir Riadl Pasya, ia diangkat menjadi dosen pada Universitas “Darul Ulûm”, di samping itu pula ia menjadi dosen pada di al-Azhar. Di saat memangku jabatannya, ia terus mengadakan perubahan-perubahan yang radikal sesuai dengan cita-citanya, yaitu memasukan udara segar ke dalam Perguruan-perguruan Tinggi Islam itu, dengan cara menghidupkan Islam dengan metode-metode baru yang sesuai dengan kemajuan zaman, memperkembangkan

26 Abduh, Risalah Tauhid, h. 17. 27Ibid., h.18.


(26)

kesusastraan Arab, sehingga menjadi bahasa yang hidup dan kaya-raya, serta melenyapkan cara-cara lama yang kolot dan fanatik.28

Dibuang ke Syria (Beirut)

Pada tahun 1882 terjadi di Mesir suatu pemberontakan, Abduh dituduh terlibat di dalamnya yang kemudian diusir.. Pemberontakan itu di awali oleh suatu gerakan yang dipimpin oleh Arabia Pasya, di mana Abduh dipilih sebagai penasihatnya. Setelah pemberontakan itu dapat dipadamkan, maka Abduh di buang ke Syiria (Beirut). Di sana ia mendapat kesempatan mengajar pada Perguruan Tinggi Sulthaniyah selama kurang lebih satu tahun. Kemudian pada permulaan tahun 1884 ia pergi ke Paris atas panggilan al-Afghani yang waktu itu berada di Paris.29

Gerakan Al-Urwâtul Wutsqâ

Bersama-sama dengan al-Afghani, disusunlah sebuah gerakan yang bernama “al-Urwâtul Wutsqâ”, di Paris, yakni gerakan kesadaran umat Islam sedunia. Untuk mencapai cita-cita gerakan ini diterbitkannya sebuah majalah dengan nama yang sama pula dengan gerakan itu yaitu majalah “al-Urwâtul Wutsqâ”. Dengan perantara majalah itulah ditiupkannya suara keinsyafan ke seluruh dunia Islam, supaya mereka bangkit dari tidurnya, melepaskan cara berfikir fanatik dan kolot dan bersatu membangun kebudayaan Islam di dunia. Suara itu lantang sekali terdengar yang kemudian memperlihatkan pengaruhnya dikalangan umat Islam sehingga dalam waktu singkat, kaum imperialis menjadi gempar dan cemas karenanya. Akhirnya Inggris melarang majalah itu masuk ke

28Ibid., h. 19. 29Ibid., h. 19.


(27)

Mesir dan India. Kemudian pada tahun 1884, setelah majalah itu terbit baru 18 halaman, pemerintah Perancis melarangnya terbit dan beredar.Karena mendapat tekanan dari pihak Barat, Jamaluddin dan Abduh meninggalkan Paris. Keduanya lalu berpisah, dan Abduh diperbolehkan kembali ke Beirut via Tunis pada tahun 1885.30

Menjadi Mufti Mesir

Setelah kepulangannya ke Mesir, ia diberi jabatan penting oleh pemerintah Mesir sebagai “Mufti” pada tahun 1899, yakni suatu jabatan yang paling tinggi dipandang oleh kaum Muslimin. Berbeda dengan Mufti-mufti sebelumnya, Abduh tidak mau membatasi dirinya sebagai alat penjawab pertanyaan-pertanyaan pemerintah saja melainkan ia memperluas tugas jabatan itu untuk kepentingan kaum Muslimin. Di samping itu ia pun diangkat sebagai anggota Majlis Perwakilan. Dalam badan ini Abduh banyak memberikan jasa-jasanya dan karena itu pula ia sering ditunjuk sebagai ketua penghubung dengan pemerintah. Abduh pernah juga diserahi jabatan sebagai Hakim Mahkamah dan dalam tugas ini ia dikenal sebagai seorang Hakim yang adil.31

Demikian jabatan tersebut dijabatnya sampai beliau meninggal dunia akibat menderita kangker hati. Abduh meningal dunia di Iskandaria tanggal 11 Juli 1905 dan jenazahnya dimakamkan dikawasan Qurafat al-Mujâwirîn, ia hanya meniggalkan empat orang putri saja.32

Pembela Islam yang Gagah Berani

30 Ensiklopedi Islam. (Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 256. 31 Abduh, Risalah Tauhid, h. 20.


(28)

Karena Ghîrâh dan Ghairâhnya terhadap Islam, maka Abduh sering tampil ke depan untuk membela Islam dari segala serangan dan penghinaan yang datang. Pernah ditantangnya G. Hanotaux, seorang menteri luar negeri Perancis, karena tulisannya tentang Islam yang menurut Abduh tidak benar dan merupakan suatu penghinaan. Ternyata kemudian G. Hanataux seolah-olah minta maaf dalam sebuah tulisannya yang dimuat dalam majalah “al-Muayyâd”. Kemudian diasah penanya untuk menghadapi Farah Anton, seorang Kristen, pemimpin umum majalah “al-Jamî’ah”, yaitu sebuah majalah dari orang Kristen yang terbit di Kairo, karena Anton menulis dalam majalah tersebut mengenai hal-hal yang menyinggung Islam dan menghinannya. Banyak lagi peristiwa-peristiwa lain yang menunjukan keberanian Abduh dalam membela Islam.33

B. Karya-karya Muhammad Abduh

Sebenarnya Abduh tidak terlalu tertarik menerangkan pemikiran-pemikirannya dalam buku. Abduh lebih memilih metode pidato dalam menyampaikan ide dan pandangannya. Menurutnya, pemikiran yang disampaikan lewat ucapan lebih menyentuh hati sanubari pendengar, ketimbang menerangkan dalam bentuk tulisan. Hal tersebut dapat dimaklumi karena waktu yang ia miliki habis terpakai untuk mengajar ketimbang untuk menulis. Abduh pernah mengajar di al-Azhar, Masjid Raya Beirut, Masjid Raya al-Basyrah, Dâr al-‘Ulûm, dan masih banyak lagi. Pada umumnya materi yang diajarkan di Masjid-masjid tersebut adalah tafsir al-Qur’an. Berikut ini beberapa bentuk buku dan majalah yang pernah ia tulis, di antaranya:34

33 Abduh, Risalah Tauhid, h. 21.


(29)

a. Al-Wâridâh, sebuah karya dalam ilmu kalam atau ilmu tauhid dengan metode dan pendekatan tasawuf. Inilah karya pertama Muhammad Abduh. b. Risâlah fi wahdâti al-Wûjûd. Karya ini memang tidak terbit, namun karya

ini merupakan karya Muhammad Abduh yang kedua sebagaimana diinformasikannya kepada Rasyid Ridha. Akan tetapi karya ini bukan merupakan karya Abdul Karim al-Jilli dan semisalnya yang mendekati mazhab hulul. Karya ini dengan pendekatan dan metode yang berbeda dengan yang lainnya.

c. Târîkh Ismail Basyâ. Karya ini diberitahukan salah satu murid Muhammad Abduh yang pertama-tama belajar bersamanya. Dikatakan bahwa Abdullah an-Nadzim telah banyak mengutip buku ini ketika terjadi pemberontakan orang-orang Arab dan ia telah mempublikasikan sebagian isinya di media massa menurut sistematika aslinya atau tidak. Rasyid Ridha tidak pernah mendengar isi buku tersebut dari Abdullah an-Nadzim, hanya saja an-Nadzim memberitahu Ridha sejarah buku ini dengan rinci dan an-Nadzim menulis kembali secara global isi buku ini kepada Ridha sebagaimana an-Nadzim membacanya.

d. Falsafatul al-Ijtimâ’iyyah wa at-Târîkh. Buku ini adalah karya Muhammad Abduh yang dikarang ketika ia mengajar Muqaddimah Ibnu Khaldun di Madrasah Darul Ulum. Buku ini telah hilang ketika Sayyid Jamaluddin dibuang dan Rasyid mengambil lembaran-lembarannya. Thaibullah menganjurkan Rasyid Ridha untuk menyempurnakan buku itu agar berguna bagi pembaca yang ingin mengetahuinya.


(30)

e. Hâsyiyah ‘Aqâidi al-Jalâli ad-Dawwânî li al-Adûdiyah. Buku ini adalah karya terbaik Muhammad abduh dalam ilmu kalam. Sayyid Umi al-Khasyab berencana mencetaknya, dan semoga ia mampu mencetaknya dalam waktu dekat.

f. Syarh Nahjul Balâghah. Buku ini sangat terkenal dan telah diterbitkan di Beirut dua kali, di Tharabulis sekali dan di Mesir sekali.

g. Syarh Maqâmat Badî’ al-Zamân al-Hamdânî. Buku ini terbit di Beirut, buku ini berisikan tentang maqamat.

h. Syarh al-Bashâri al-Hamdânî al-Nâshiriyyah fi al-Manthiq. Ini adalah buku mantiq dengan pendekatan logika yang tinggi.

i. Nizhâmu al-Tarbîyah wa al-Ta’lim bi Mishr. Buku ini berisikan tentang pendidikan dengan metode praktis yang dilaksanakan di Mesir. Ini adalah buku pendidikan terbaik karya Muhammad Abduh.

j. Risalâh at-Taûhîd. Yang berisikan tentang sistem teologi. Buku ini diajarkan Muhammad Abduh di Universitas al-Azhar dan kepada Rasyid Ridha.

k. Taqrîru al-Mahâkim al-Syarîyyah. Buku ini sangat khusus, tema-temanya berguna bukan saja bagi para hakim, tetapi juga bagi semua pencinta ilmu dan budaya, apalagi bagi para pelajar fiqih.

l. Al-Islâm wa al-Nashrâniyah ma’a al-‘Ilmi wa al-Madaniyyah. Berisikan tentang semangat kaum muslimin. Buku ini adalah kumpulan makalah-makalah dari majalah al-Manar yang diedit dan diterbitkan oleh Rasyid Ridha.


(31)

m. Tafsir Surat al-‘Ashr. Buku ini dipublikasikan di majalah al-Manar atas permintaan muridnya dan lainnya di kota-kota.

n. Tafsir Juz ‘Amma

o. Tafsir al-Manâr

Sebenarnya karya Abduh cukup sedikit untuk ukuran pemikir yang cukup berpengaruh dalam dunia intelektual keislaman. Meskipun demikian, ide-ide pembaharuanya baik dalam bidang syariat, aqidah maupun pendidikan begitu berpengaruh di dunia Islam. Ide-ide Abduh menyebar ke dunia Islam melalui karya-karya Abduh sendiri maupun melalui murid dan pengikutnya.

C. Pengaruh Muhammad Abduh dalam Pemikiran Islam

Muhammad Abduh adalah seorang pelopor reformasi dan pembaharuan dalam pemikiran Islam. Ide-idenya yang cemerlang, meninggalkan dampak yang besar dalam tubuh pemikiran umat islam. Beliaulah pendiri sekaligus peletak dasar-dasar sekolah pemikiran pada zaman modern juga menyebarkannya kepada manusia. Walau guru beliau Jamaluddin Al-Afghani adalah sebagai orang pertama yang mengobarkan percikan pemikiran dalam jiwanya, akan tetapi Muhammad Abduh sebagaimana diungkapkan DR. Mohammad Imarah, bahwa Abduh adalah seorang arsitektur terbesar dalam gerakan pembaharuan dan reformasi atau sekolah pemikiran modern, bisa dikatakan melebihi guru beliau sendiri yaitu Jamaluddin Al-Afghani.


(32)

Muhammad Abduh memiliki andil besar dalam perbaikan dan pembaharuan pemikiran islam kontemporer. Telah banyak pembaharuan yang beliau lakukan di antaranya:35

1. Reformasi Pendidikan

Muhammad Abduh memulai perbaikannya melalui pendidikan. Menjadikan pendidikan sebagai sektor utama guna menyelamatkan masyarakat mesir. Menjadikan perbaikan sistem pendidikan sebagai asas dalam mencetak muslim yang shaleh.

2. Mendirikan Lembaga dan Yayasan Sosial

Sepak terjang dalam perbaikan yang dilakukan Muhammad Abduh tidak hanya terbatas pada aspek pemerintahan saja seperti halnya perbaikan pendidikan dan Al-Azhar. Akan tetapi lebih dari itu hingga mendirikan beberapa lembaga-lembaga sosial. Di antaranya, Jami’ah Khairîyah Islamîyah, Jamî’ah Ihyâ al-Ulûm al-Arabîyah, dan juga Jamî’ah at-Taqorrûb bainâ al-Adyan.

3. Mendirikan Sekolah Pemikiran

Muhammad Abduh adalah orang pertama yang mendirikan sekolah pemikiran kontemporer. Yang memiliki dampak besar dalam pembaharuan pemikiran islam dan kebangkitan akal umat muslim dalam menghadapi musuh-musuh Islam yang sedang dengan gencar menyerang umat muslim saat ini.

Bahwa pusat perhatiannya adalah pengajaran dan pendidikan dan bukan politik ternyata juga dari tujuan hidupnya. Ia menulis bahwa tujuan hidupnya adalah dua, yakni:36

35 Istiqamah Kapu, Imam Muhammad Abduh Dan Pembaharuan, artikel diakses pada 30

Mai 2008 dari http://istiqomahkapu.multiply.com/journal/item/3

36 Tahir Tanahi, ed. Muzakkirat al-Imam Muhammad Abduh (Cairo: Dar Al-Hilal, t.t), h.


(33)

1. Membebaskan pemikiran dari ikatan taklid dan memahami ajaran agama sesuai jalan yang ditempuh ulama zaman klasik (salaf), zaman sebelum timbulnya perbedaan-perbedaan paham, yaitu dengan kembali kepada sumber-sumber utamanya.

2. Memperbaiki bahasa Arab yang dipakai baik oleh instansi-instansi pemerintah maupun surat-surat kabar dan masyarakat pada umumnya dalam surat-menyurat mereka.

Usaha Abduh yang gigih untuk merekontruksi Syari’at dari bangunan yang sudah mapan bertahun-tahun, karena dijaga oleh ulama-ulama, tapi tak ideal,

rigid dan jumud menuju tatatan teologi yang lebih berdimensi humanis dan dinamis. Untuk menggapai tujuan tersebut, hemat Abduh, diperlukan dua syarat yang mutlak ada. Pertama, memberi kebebasan mutlak pada akal. Dan kedua,

membuang jauh-jauh sikap taqlid dalam berfikir dan berkreasi. Karena taqlid hanya menganggurkan seseorang dari peran sejarah yang harus ia isi. Dua dasar itu mengindikasikan kita akan konsepsi teologi Abduh yang menyandarkan ruh Syari’at tak hanya pada dalil naqlian sich yang berkecenderungan “sami’nâ wa `atha’nâ” namun lebih mengkristal pada hubungan sinergis antara dalil naqli dan akal manusia.37

Secara hirarki, ada delapan dasar (ushûl) yang pertama kali dikreasikan Abduh untuk membentuk konsep teologinya,38 yaitu:

1. Perspektif akal dalam menuntun jalan menuju keimanan.

2. Mendahulukan akal daripada maksud dzhahir nash apabila terjadi kontradiksi.

37 Asyraf Abdul Wahab, Al-Tasâmuh al-Ijtimâi baina al-Turâts wa al-Taghayur (Kairo:

Maktabah Usrah, 2006) cet. 1, h. 115.


(34)

3. Menjunjung toleransi dan mengubur pentakfiran (klaim kebenaran sepihak). Seperti larangan Abduh untuk mengkafirkan seseorang yang ucapannya mengandung seratus kesalahan dan satu kebenaran di satu sisi saja.

4. Merenungi “sunnah-sunnah” Tuhan yang terpendam di setiap makhluk-Nya.

5. Mengeliminasi segala bentuk kekuasaan yang berlandaskan pada agama tertentu. Otomatis, “undang-undang” ini melarang segala bentuk intervensi dari peroangan atau golongan tertentu untuk mencampuri keimanan setiap pemeluk agama.

6. Ajakan untuk mengakhiri fitnâh (perpecahan dan pertikaian).

7. Menumbuhkan sikap tenggang rasa pada siapapun yang berbeda pikiran dan keyakinan.

8. Mempertemukan kemashlahatan duniawi dan ukhrawi.

Peran dan kiprah Muhammad Abduh dalam mengangkat citra Islam dan kualitas umatnya dari keterpurukan memang tak kecil. Dialah seorang mujaddid dan mujtahid sekaligus, yang pada masanya, bukan saja mengalami tentangan internal maupun eksternal. Berkat upayanya, meski belum begitu maksimal, modernisme pemikirannya mulai kelihatan. Dalam amatan cendekiawan Muslim Dr Nurcholish Madjid (Islam Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan, Mizan : 1987), 'modernisme' Abduh, antara lain, tercermin dalam sikapnya yang apresiatif terhadap filsafat. Ia peroleh wawasan itu dari gurunya, Jamaluddin Al-Afghani, seorang penganjur gigih Pan-Islamisme dan orator politik yang memukau. Di Indonesia, pemikiran Abduh banyak mempengaruhi perjalanan dan patron ormas


(35)

Islam, Muhammadiyah, di mana banyak persamaan antara keduanya. Di antara warisan intelektualnya adalah Risalah al-Tauhid. Sedangkan Tafsir al-Manar merupakan kumpulan pidato-pidato, pikiran-pikiran, dan ceramah-ceramahnya yang ditulis oleh muridnya, Muhammad Rasyid Ridha.[Republika.co.id]39

39 Kotasantri, Muhammad Abduh, artikel diakses pada 29 Oktober 2008 dari


(36)

http://www.kotasantri.com/mobile/Artikel/galeria-Bab III

GAMBARAN UMUM TENTANG SIFAT DAN PERBUATAN TUHAN

A. Pengertian Sifat dan Perbuatan

Secara etimologi, kata sifat berasal dari bahasa Arab yakni al-shifah. Kata tersebut merupakan derivasi dari kata kerja washafa-yashifu-wasfhan-wa shifatan

yang artinya “mensifati”. Dalam kamus al-Munjid karangan Louis ma’louf mengartikan bahwa sifat (al-shifah) sebagai sesuatu yang berdiri dan melekat pada suatu benda yang disifati (al-mawshûf),40 seperti sifat bagus, baik, tinggi, besar dan lain sebagainya, yang melekat pada sebuah kursi, misalnya.

Dalam sebuah kamus besar bahasa Indonesia, kata sifat memiliki beberapa pengertian sebagai berikut:41

1. Rupa dan keadaan yang tampak pada suatu benda, tanda lahiriah

2. Perikeadaan yang menurut kodratnya ada pada sesuatu (benda, orang, dsb) 3. Ciri khas pada suatu benda (untuk membedakan diri dengan yang lain) 4. Dasar watak (dibawa sejak lahir)

Dengan pengertian di atas, maka dapat dikatakan bahwa sifat adalah sesuatu yang menjadi ciri khas yang tampak pada suatu benda yang disifati untuk membedakan benda tersebut dari benda yang lain.

40 Louis Ma’louf, Al- Manjid fi al-Lughah wa al-A’lâm (Bairut: Dar el-Mashreq Sari,

1984), h. 903.

41 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indoneisa (Jakarta:


(37)

Sedangkan perbuatan berasal dari kata “buat” yang artinya berbuat, membuat, untuk, bagi. Berbuat artinya melakukan (suatu pekerjaan), sedang mengadakan. Membuat artinya mengadakan, melakukan, mengerjakan, memakai untuk, menyebabkan, mendatangkan, menjadikan. Perbuatan artinya sesuatu yang dilakukan, kelakuan, tingkah laku. Jadi, perbuatan merupakan sesuatu yang dilakukan dan dikerjakan yang dilekati oleh sifat, khususnya makhluk hidup yang berhubungan dengan nilai, seperti perbuatan baik, buruk, adil, dan lain sebagainya, yang dilakukan manusia misalnya.42

Memang sifat dan perbuatan tidak bisa dipisahkan satu sama lain, karena keduanya saling terkait, misalnya seorang memiliki sifat pemaaf, maka perbuatannya adalah memaafkan. Ada juga yang mengatakan sifat dan perbuatan itu tidak berbeda, dengan kata lain bahwa sifat dan perbuatan adalah sama, seperti halnya api, sifatnya adalah panas dan membakar, sedang perbuatan api adalah membuat panas dan membakar.

B. Pandangan tentang Sifat dan Perbuatan Tuhan Menurut Aliran Kalam

Islam telah mengantarkan lahirnya sebuah peradaban manusia yang dapat diketahui melalui kekayaan aneka ragam seni, budaya, dan pemikiran para pemikir Muslim, baik tentang hukum, politik, sosial maupun ketuhanan atau dikenal dengan sebutan ilmu tauhid atau ilmu kalam, dan orang yang ahli dalam ilmu ini disebut mutakallim.

Karena yang dibahas adalah kalam Tuhan dan kalam manusia, maka ilmu ini disebut Ilmu kalam. Kalau yang dimaksud dengan kalam Tuhan adalah firman-Nya (al-Qur’an), maka kalam Tuhan pernah menimbulkan perdebatan sengit


(38)

dikalangan umat Islam pada abad kedua dan ketiga Hijriah. Perdebatan yang muncul adalah mengenai apakah kalam Tuhan itu qadîm atau hadits. Karena firman Tuhan pernah diperdebatkan, maka ilmu ini dinamakan ilmu kalam. Kalau yang dimaksud kalam manusia adalah kata-kata manusia, maka kaum teolog dalam Islam selalu menggunakan dalil-dalil logika untuk mempertahankan pendapat dan pendirian masing-masing. Kaum teolog dalam Islam memang dinamakan mutakallimûn karena mereka ahli debat yang mahir memainkan kata-kata.43

Ilmu tersebut juga bisa dinamakan ushuluddin, karena membahas pokok-pokok ajaran agama, seperti masalah dan keesaaan Tuhan. Selain itu, ilmu ini juga bisa disebut ilmu tauhid, karena ajaran pokok Islam adalah tentang tauhid. Kata tauhid mengandung arti satu atau Esa, dan keesaan dalam pandangan Islam merupakan sifat yang terpenting di antara sifat-sifat Tuhan.44

Asal ilmu tauhid sendiri, baik ‘aqlî maupun naqlî, masih bersifat spekulasi. Ini merupakan konsekuensi dari ketidakjelasan batasan akal dan adanya kontaminasi antara qath’î dengan zhannî dalam naqlî, baik dalam konteks sumber (tsubût) maupun makna (dalâlah)-nya.45 Dari kalangan tâbi’în, ahli kalam pertama adalah ‘Umar ibn ‘Abd ‘Aziz, Zayd ibn ‘Ali Zayn Âbidîn, Hasan al-Bashrî, dan lain-lain. Sesudah masa tâbi’în adalah Ja’far ibn Muhammad

43 Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama (Ciputat:Logos, 1999), cet. Ke 2, h, 17. 44Ibid., h. 17.

45 M. Maghfur W, Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam, (Bangil: al-Izzah, 2002)


(39)

Shâdiq. Sedangkan dari kalangan ulama fikih ada Imam Abû Hanîfah dan Imam Syafi’î.46

Masalah yang diperdebatkan oleh kalangan mutakallimûn, antara lain tentang pengetahuan dan cara memperolehnya, tentang kebaharuan alam, keesaan Tuhan, tanzîh (penyucian Tuhan) dan tasybîh (penyerupaan Tuhan), tentang kalam Tuhan (apakah qadîm atau hâdits), tentang kenabian sekaligus kesucian para nabi dari dosa (ma’shûm), tentang al-mî’âd (tempat kembali), tentang sifat Tuhan yang berhubungan dengan zat-Nya, perbuatan Tuhan. Di antara aliran-aliran kalam yang pernah ada, dua di antaranya merupakan yang paling banyak sorotan hingga saat ini, yaitu Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah. Hubungan ketiga aliran ini sendiri adalah hubungan antagonistik. Hal ini terjadi terutama saat Mu’tazilah dijadikan ideologi negara oleh Khalifah al-Ma’mûn dan al-Mu’tashim dari dinasti ‘Abbâsiyah. Daktrin Mu’tazilah yang diperkenalkan oleh dua penguasa ‘Abbâsiyah itu memaksa semua umat Islam pada masa itu untuk meyakini al-Qur’an sebagai ciptaan (makhlûq).47

a. Pandangan Mu’tazilah

Mu’tazilah merupakan aliran dalam teologi yang sangat rasionalis, bahwa meyakini sepenuhnya kemampuan akal merupakan ciri khas paling khusus dari aliran tersebut. Prinsip itu mereka pergunakan untuk menghukum berbagai hal. Dengan prinsip ini mereka berjalan begitu jauh. Mereka merupakan kelompok yang paling mirip dengan Deskartes dari kalangan ilmu Rasionalis modern.

46 Noer Iskandar al-Barsany, Pemaknaan Ulang Ahlu Sunnah wal Jama’ah dari Mazhab

Aqwâlî ke Mazhab Manhaji ,dalam Imam Baehaqi (ed), Kontrofersi Aswaja; Aula Perdebatan dan

Rainterpretasi (Yogyakarta: LKiS, 1999) cet. 1, h. 144.

47 Thoha Hamim, Paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah; Proses pembentukan dan


(40)

Mereka tidak mengingkari teks al-Qur’an dan hadis, tetapi tanpa keraguan mereka menundukan kedua teks di atas hukum akal. Untuk itu, mereka mentakwilkan ayat-ayat mutasyabbihât, serta menolak hadis-hadis yang tidak diakui oleh akal. Aliran ini juga mensucikan kemerdekaan berpikir baik ketika menghadapi pihak lawan maupun sesama mereka sendiri.48

Pendiri sekaligus pemuka aliran Mu’tazilah adalah Wâshil ibn ‘Atha. Kelima ajaran dasar Mu’tazilah yang tertuang dalam al-Ushûl al-Khasanah

adalah at-Tauhid (pengesaan Tuhan dengan meniadakan sifat-sifat Tuhan), al-Adl

(keadilan Tuhan), al-Wa’ad wa al-Wa’id (janji dan ancaman Tuhan), al-Manzilah bain al-Manzilatain (posisi di antara dua posisi), dan Amr bi Ma’ruf wa al-Nahy an al-Munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran).49

Pada ajaran tauhidnya, Wâshil mengatakan bahwa Tuhan tidak memiliki sifat. Pada umumnya, doktrin ini tidak begitu berkembang dan hanya diterangkan oleh Wâshil secara ssederhana saja, sebagai berikut: “Secara umum telah sepakat bahwa eksistensi dua Tuhan yang sama-sama kekal adalah mustahil; maka kalaulah bersitegang mempertahankan pendapat bahwa ada kesatuan sifat Tuhan yang kekal, itu pun berarti ada dua Tuhan (yang kekal). Para pengikutnya yang disebut al-Wâshiliyah, lebih kuat lagi memegang doktrin ini setelah mereka mengkaji buku-buku filsafat karya filosof. Sifat-sifat Tuhan mereka simpulkan hanya dengan al-‘Ilm dan al-Qudrah saja. Kedua sifat ini merupakan aspek-aspek

48 Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, terj. Yudian Wahyuni Asmin

(Jakarta: Bumi Aksara, 1995), cet. 1. h. 48.


(41)

dari esensi zat Tuhan yang kekal (eternal). Abû al-Husayn al-Bishrî di lain pihak, cenderung menyimpulkan sifat-sifat Tuhan itu dengan al-‘Ilm saja.50

Oleh karena itu, berarti bahwa Wâshil dan pengikut-pengikutnya menolak ayat-ayat yang menggambarkan sifat-sifat Tuhan seperti Rahmân, Rahîm, al-Qâdir, al-‘Âlim, dan seterusnya. Mereka menerima kebenaran ayat-ayat tersebut bersama dengan kebenaran seluruh ayat lainnya. Hanya saja penafsiran tentang ayat-ayat tersebut berlainan dengan penafsiran aliran teologi lain dalam Islam. Bagi Mu’tazilah khususnya para pengikut Abû Hudzail al-Allâf (135 H- 235 H)51 bahwa al-Rahmân, al-Rahîm, al-Qâdir, al-‘Âlim, dan sebagainya bukanlah sifat Tuhan, tetapi aspek dari zat atau esensi Tuhan itu sendiri. Lafaz-lafaz tersebut mereka anggap hanya sebagai keadaan atau nama, dan bukanlah sifat. Bagi mereka, Tuhan mengetahui bukan dari sifat pengetahuan, tetapi melalui zat-Nya. Dengan penafsiran serupa ini, kaum Mu’tazilah memberi gambaran Esa kepada diri Tuhan, diri yang tidak disusun dari lapisan-lapisan sifat, tetapi dari suatu zat yang mempunyai berbagai aspek.52

Tuhan menurut Hudzayl, bahwa betul mengetahui itu bukan dengan sifat, melainkan mengetahui dengan pengetahuan-Nya, dan pengetahuan-Nya tersebut adalah zat atau esensi-Nya.

$% & "

'

$(") *+$(","ﺏ .+"%/ ) 0 %/ , 1 " /

#2#1 #2#3

50 Muhammad ibn ‘Abd al-Karîm al-Syahratani, Sekte-sekte Islam, terj. Karsidi Diningrat

(Bandung: Pustaka, 1996), h. 60-61.

51 Ia tinggal di Bashsrah dan menjadi pimpinan kedua daru cabang Bashrah setelah

Wâshil. Pengetahuannya tentang filsafat melapangkan jalan baginya untuk menyusun dasar-dasar Mu’tazilah secara teratur. Dan pengetahuannya tentang logika membuat ia menjadi pejabat mahil dalam melawan golongan Majusi, Ateis, dan lain sebagainya. Lihat Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Prees, 2002), cet. I, h. 47.

52 Harun Nasution, “Kaum Mu’tazilah dan Pandangan Rasionalnya”, dalam Saiful

Muzani (ed), Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran Prof. DR. Harun Nasution (Bandung: Mizan, 1998), cet. 5, h. 131.


(42)

“Sesungguhnya al-BârîTa’âlâ (Allah) mengetahui dengan ilmu. Dan ilmu yang dimiliki-Nya tersebut tidak lain adalah dzat-Nya.”53

Tuhan Maha Kuasa dengan kekuasaan, dan kekuasaan merupakan zat-Nya. Tuhan Maha Bijaksana dengan kebijaksanaan-Nya, dan kebijksanaan-Nya adalah zat-Nya. Demikianlah seterusnya dengan sifat-sifat lainnya.

Lebih jelasnya, Hudzayl mengatakan, “Kalau aku katakan bahwa Tuhan itu bersifat tahu, maka artinya pun aku tetapkan bahwa pada-Nya terdapat pengetahuan, sementara pengetahuan itu sendiri adalah Dia. Sehingga dengan begitu aku tegas-tegas menolak anggapan Tuhan itu bodoh (jahl) terhadap sesuatu yang sudah ataupun yang akan terjadi. Dan kalau aku tanyakan Tuhan bersifat kuasa, maka artinya pun aku tegas-tegas menolak anggapa bahwa Tuhan itu lemah (‘ajz) dan aku tetapkan bahwa pada-Nya terdapat kekuasaan sendiri adalah Dia, tetapi kekuasaan-Nya itu terbatas pada apa yang dikuasai-Nya semata. Begitu pun kalau aku katakan, pada-Nya itu terdapat keperihidupan (hayâh), maka artinya pun aku tetapkan bahwa keperihidupan itu sendiri adalah Dia, karena aku tegas-tegas menolak anggapan bahwa Tuhan itu mati.54

Di antara pemimpin Mu’tazilah lainnya yang kemasyhurannya seperti Wâshil dan Abû Hudzayl adalah Abû ‘Ali Muhammad ibn ‘Abd Wahhâb al-Jubâ’î (w. 295 H) dan anaknya Abû Hâsyim ‘Abd al-Salam (w. 321 H). mengenai peniadaan sifat Tuhan, al-Jubâ’î berpendapat bahwa Tuhan mengetahui melalui esensi-Nya, demikian pula berkuasa dan hidup melalui esensi-Nya. Dengan demikian, untuk mengetahui Tuhan tidak perlu pada sifat mengetahui dan pada dalam keadaan mengetahui. Adapun bagi anaknya, Abû Hâsyim, bahwa Tuhan

53 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 47-48. 54 Abû al-Hasan al-Asy’ari, Prinsip-prinsip Dasar Aliran Theologi Islam (Bandung:


(43)

mengetahui melalui keadaan mengetahui. Mengetahui bagi Tuhan bukanlah sifat tetapi hâl (state, keadaan).55

Apabila dikatakan Tuhan memiliki sifat, maka dalam diri Tuhan terdapat unsur yang banyak, yaitu unsur zat yang disifati dan unsur-unsur sifat yang melekat pada zat tersebut. Kalau dikatakan Tuhan memiliki 20 sifat, maka Tuhan akan terdiri dari 21 unsur, jika dikatakan memiliki 99 sifat, maka Tuhan akan terdiri dari 100 unsur. Pemberian sifat kepada Tuhan membawa kepada banyaknya jumlah yang qadîm (terdahulu), sedang dalam teologi, sifat qadîm itu esa. Secara sederhana arti Iman adalah tiada Tuhan selain Allah, sedangkan iman dalam teologi, mengambil bentuk tiada yang qadîm selain Allah. Oleh karena itu, paham banyak yang qadîm membawa manusia kepada syirik, dan syirik dalam Islam adalah dosa besar yang tak diampuni Tuhan.56 Dengan kata lain mereka menegaskan bahwa Tuhan dengan zat dan sifat-Nya adalah Esa, dan tidak ada pluralitas pada diri-Nya dari sisi manapun.

Secara keseluruhan, golongan Mu’tazilah menyatakan bahwa Tuhan tidak memiliki sifat. Sebab, jika Tuhan memiliki sifat mestilah sifat itu juga kekal seperti Tuhan.57 Kalau Tuhan dikatakan memiliki sifat, maka dalam diri Tuhan terdapat unsur yang banyak, yaitu unsur zat yang disifati dan unsur-unsur sifat yang melekat pada zat. Di sana terdapat unsur yang sama-sama kekal.

Paham peniadaan sifat Tuhan ini kelihatannya berasal dari Jahm, karena Jahm menurut al-Syahratani, berpendapat bahwa sifat-sifat yang ada pada manusia tidak dapat diberikan kepada Tuhan, karena itu akan membawa kepada

55 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h.51-52 56 Harun Nasution, “Kaum Mu’tazilah dan Pandangan Rasionalnya”, dalam Saiful muzani

(ed), Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran Prof. DR. Harun Nasution, h. 130.

57 Muhammad Abû Zahrah, Imam Syâfî’î: Biografi dan Pemikirannya dalam Masalah


(44)

antropomorfisme (penyamaan Tuhan dengan manusia), atau dalam bahasa Arab disebut Mujassimah dan Hawwâsîyah, yaitu mereka yang percaya pada arti harfiah dan nash-nash Tuhan.58

Golongan Mu’tazilah mentakwilkan ayat-ayat al-Qur’an yang arti lahirnya menunjukan bahwa Tuhan itu berjisim, seperti surat al-Fath (48) ayat 10: (Tangan Allah di atas tangan mereka); Surat Thâhâ (20) ayat 5:”al-Rahmân ‘alâ al-‘arsy istwâ” (Tuhan Yang Maha Pemurah bersemayam di atas ‘Arasy). Sehingga kata-kata tersebut bermaksud majazî (kiasan), bukan bermakna hakiki, sebab yang hakiki bertentangan dengan ke-Maha-Esa-an Tuhan. Paham seperti ini semata-mata bertujuan untuk men-tanzih-kan (mensucikan) Tuhan. Dari sinilah, maka kemudian Mu’tazilah menamakan dirinya ahl al-Tawhîd, dan lawan mereka menyebutnya Mu’aththilah.

Zaman keemasan Mu’tazilah selama lebih dari tiga dekade ini berakhir akibat perbuatan mereka sendiri. Mereka terlalu mengagung-agungkan kebebasan berpikir, mereka juga memaksa dan membelenggu kebebasan berpikir orang lain untuk mengikuti pahamnya, dengan melakukan al-Mihnah (inquisition). Pada masa itu masyarakat dipaksa untuk mengikuti pendapat aliran tersebut bahwa al-Qur’an adalah makhluk.59

Aliran Mu’tazilah, sebagai aliran kalam yang bercorak rasional, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan

58 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 46. 59 Bisa dikatakan bahwa hilangnya Mu’tazilah adalah hilangnya pola pikir rasional dalam

dunia Islam yang sangat kentara mulai abad kelima. Ditambah dengan situasi politik yang tak menguntungkan, yakni penyerangan bangsa Mongolia yang membabat dan memporak-porandakan Bagdad. Dan sayangnya umat Islam melarikan diridari kenyataan. Melihat kekalahan-kekalahan, mereka lari ke “sudut-sudut kehidupan”. Mereka mengasingkan diri (‘uzlah) bukan hanya secara fisik tetapi bahkan secara pemikiran. Maka dimulailah masa kemunduran bagi Islam. Lihat Mastuki HS (ed), Kiyai Menggugat: Mengadili Pemikiran Kang Said (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1990), cet. I, h. 189.


(45)

baik. Namun, itu tidak berarti bahwa Tuhan tidak mampu melakukan perbuatan buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan buruk karena Dia mengetahui keburukan dari perbuatan buruk itu. Di dalam al-Qur’an pun dijelaskan bahwa Tuhan tidaklah berbuat zalim.60 Ayat-ayat al’Qur’an yang dijadikan dalil oleh Mu’tazilah untuk mendukung pendapatnya di atas adalah surat al-AnBiya [21]:2361, dan surat

ar-Rum [30]:8.62

Abd al-Jabbar, tokoh Mu’tazilah mengatakan bahwa ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Tuhan hanya berbuat yang baik dan Mahasuci dari perbuatan buruk. Dengan demikian, perbuatan Tuhan tidak perlu ditanya. Ia menambahkan bahwa seseorang yang dikenal baik, apabila secara nyata berbuat baik, maka tidak perlu ditanya mengapa ia melakukan perbuatan baik itu. Adapun ayat kedua, menurut al-Jabbar , mengandung petunjuk bahwa Tuhan tidak pernah dan tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Andaikata Tuhan melakukan perbuatan buruk, pernyataan bahwa Dia menciptakan langit dan bumi beserta isinya dengan hak, tentulah tidak benar atau merupakan berita bohong.63

Dasar pemikiran tersebut serta konsep tentang keadilan Tuhan yang sejajar dengan faham adanya batasan-batasan bagi kekuasaan dan kehendak Tuhan, mendorong kelompok Mu’tazilah untuk berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban terhadap manusia. Kewajiban-kewajiban itu dapat disimpulkan dalam satu hal, yaitu kewajiban berbuat baik terhadap manusia.64 Faham kewajiban Tuhan berbuat baik, bahkan yang terbaik (ash-shalah wa al-ashlah)

60 M. Yunan Yusuf, Alam Pemikiran Islam: Pemikiran Kalam (Jakarta: Perkasa Jakarta,

1990), h. 89.

61Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai.

62 Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduany,

melainkan dengan (tujuan) yang benar.

63 M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam, h. 89.


(46)

mengkonsekuensikan aliran Mu’tazilah memunculkan faham kewajiban Tuhan berikut ini:

1. Kewajiban tidak memberikan beban di luar kemampuan manusia

Memberi beban di luar kemampuan manusia adalah bertentangan dengan faham berbuat baik dan terbaik. Hal ini bertentangan dengan faham mereka tentang keadilan Tuhan. Tuhan akan bersifat adil kalau Dia memberi beban yang terlalu berat terhadap manusia.65

2. Kewajiban mengirim rasul

Bagi Mu’tazilah, dengan kepercayaan bahwa akal mengetahui hal-hal ghaib,66 pengiriman rasul tidak begitu penting. Namun, mereka memasukan pengiriman rasul kepada umat manusia menjadi salah satu kewajiban Tuhan. Argumentasi mereka adalah kondisi akal yang tidak dapat mengetahui setiap apa yang diketahui manusia tentang Tuhan dan alam ghaib. Oleh karena itu, Tuhan berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia dengan cara mengirim rasul. Tanpa rasul, manusia tidak akan memperoleh hidup baik dan terbaik di dunia dan akhrat nanti.67

3. Kewajiban menepati janji dan ancaman

Janji dan ancaman merupakan salah satu dari lima dasar kepercayaan Mu’tazilah. Hal ini erat hubungannya dengan dasar keduanya, yaitu keadilan

65 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 129. 66 Sebagimana telah dilihat pembahasan tentang wahyu, fungsi wahyu bagi aliran

Mu’tazilah lebih banyak bersifat memperkuat dan menyempurnakan apa-apa yang telah diketahui manusia melalui akalnya.


(47)

Tuhan akan bersifat tidak adil jika tidak menepati janji untuk memberi pahal kepada orang yang berbuat baik dan menjalankan ancaman bagi orang yang berbuat jahat. Selanjutnya keadaan tidak menepati janji dan tidak menjalankan ancaman bertentangan dengan maslahat dan kepentingan mannusia. Oleh karena itu, menepati janji dan menjalankan ancaman adalah wajib bagi Tuhan.68

b. Pandangan Asy’ariyah

Sebagai reaksi dari timbulnya berbagai firqah (Qadariyâh, Khawârij, Mu’tazilah, dsb), maka lahirlah aliran baru yang dipelopri oleh Abû Hasan al-Asy‘arî.69 Beliau dilahirkan di Bashrah tahun 260 H dan di sana pula beliau meninggal dunia pada tahun 324 H. Pada mulanya berpegang pada paham Mu’tazilah sebagaimana diajarkan oleh gurunya al-Jubba’î. Setelah 40 tahun menjadi pengikut Mu’tazilah, akhirnya ia merasa kecewa. Paham yang diikutinya terlampau mengagungkan akal dan sering mengabaikan teks-teks hadis. Di lain pihak, ia juga tidak menyukai kaum tekstualis, yang hanya percaya pada bunyi teks dan mengindahkan spiritnya. Kitab-kitab yang pernah dihasilkannya antara lain al-Ibanâh fi Ushul al-Diyânah, Maqâlât al-Islâmîyîn, dan al-Mujâz.

Di antara ulama besar yang menyebarkan aliran Asy’ariyah ini yaitu Abû Bakr al-Qaffâl (w. 365 H), Imam al-Bâqillânî, dengan kitab al-Tamhîd-nya yang terkenal (w. 403 H), Imam Abû Ishâq Isfahânî (w. 411 H), Imam Hâfizh Bayhaqî (w. 458 H), Imam Juwaynî atau dikenal dengan sebutan Imam al-Harâymayn, guru Imam al-Ghazâlî (w. 460 H), Imam al-Qusyayrî (w. 465 H),

68Ibid., h. 132-133.

69 Beliau dan Maturidi adalah ahli teologi yang mengambil jalan tengah antara pemikiran

Mu’tasilah yang lebih liberal dengan faham ahl al-hadîts yang terlalu tekstual. Para pengikut kedua tokoh ini biasa disebut Sunni, Asy ‘ariyah, atau Asyâ’irah. Lihat Mastuki HS (ed), Kiyai


(48)

Imam Ghazâlî (w. 505 H), Imam Fakhr Râzî (w. 606 H), dan Imam ‘Izz al-Din ibn ‘Abd al-Salâm (w. 606 H). dalam masa-masa kemudian, para ulama yang mendukung paham Asy’ariyah ini di antaranya seperti Syekh al-Islâm ‘Abd Allâh al-Syarqâwî (w. 1227 H), Syekh Ibrâhîm al-Bâjûrî (w. 1272 H), Syekh Nawawî al-Bantanî (w. 1315 H), Syekh Zayn al-‘Âbidîn ibn Muhammad al-Fathanî dengan kitab ‘Aqîdat al-Nâjîn-nya, Syekh Husayn al-Tarabalâsî dengan kitab al-Hushûn alHamîdîyah-nya yang terkenal itu.70

Dalam doktrin Asy’ariyah, bahawa Tuhan merupakan zat yang mutlak mempunyai sifat. Sifat inilah yang ada relasinya dengan alam semesta ini. Tuhan memiliki sifat-sifat seperti Qudrah, Irâdah, ‘Ilm, dan Sam’, dan lain sebagainya. Dengan adanya qudrah maka ada maqdûr; dengan adanya irâdah maka ada

murâd; ada ‘ilm ada ma’lûm; dan ada sam’ maka ada masmû’. Semua itu adalah relasi sifat Tuhan dengan makhluk. Hanya saja dalam Islam, sifat-sifat itu tidak menjelma, sifat tidak bisa dipisah dengan Tuhan. Maka dalam ilmu kalam dikatakan, misalnya al-‘Ilm shifah qadimah azaliyah laysat hiya dzatan wa lâ ghayrahâ (ilmu itu merupakan sifat azali yang berbeda dengan zat Tuhan, dan bukan pula zat-Nya).71

Dalam memperkuaat pendapatnya itu, ia mengemukakan ayat-ayat al-Qur’an, di antaranya:

"2"3$$(","ﺏ #2 % 4$5 6

Artinya: “Allah menurunkan dengan ilmu-Nya” (QS. an-Nisâ [4] : 166)

70 Muslim, Asy’ariyah, artikel diakses pada 27 Mai 2008 dari http://.bicaramuslim.com/bicara6/viewtopic.php?p=145248&sid=bf82a5c9b123e6d26ab120be5b5 4dfc


(49)

/ ﻡ

"2"3$(","ﺏ /&%"8 $9 : 1 / % 0 ;$5#6 $<"ﻡ #="3$> 1

Artinya: “Dan tidak seorang perempuan pun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan pengetahuan-Nya”.

(QS. al-Fâthir [35] : 11)

Menurut Asy’ari, kedua ayat di atas menunjukan bahwa Tuhan mengetahui dengan ilmu. Oleh karena itu, mustahil ilmu Tuhan itu adalah zat-Nya, maka zat-Nya itu merupakan pengetahuan. Mustahil al-‘Ilm (pengetahuan) merupakan al-‘Alim (Yang Mengngetahui), atau sebaliknya al-‘Alim (Yang Mengetahui) merupakan al-‘Ilm (pengetahuan), atau zat Tuhan diartikan sebagai sifat-sifat. Oleh karena mustahil Tuhan merupakan pengetahuan, maka mustahil pula Tuhan mengetahui zat-Nya sendiri. Dengan demikian, menurut al-Asy’ari Tuhan mengetahui dengan ilmu. Ilmu Tuhan tersebut bukan merupakan zat-Nya. Demikian pula sifat-sifat lainnya. Bagi Asy’ari, seluruh sifat Tuhan itu qâ’imah bi dzâtih (berdiri sendiri).72

Dalam al-Qur’an terdapat ayat mutasyâbihât seperti:

" ?$@"A$ " / ( B$% $ # CDﺏ #2$E F G$' H

Artinya: “Dan tetap kekal wajh Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemulilaan.”

(QS. al-Rahmân [55] :27)

/ I"J$ﺡ / I$J"I#J$) L"ﺏ C$(#M%$ "9 I$N

Artinya: “Dan buatlah bahtera itu dengan ‘ayn dan petunjuk kami.”

72 Ilhamuddin, Pemikiran Kalam al-Bâqillânî: Studi tentang Persamaan dan Perbedaan


(1)

yaitu dengan tidak memberikan beban di luar kemampuan manusia, mengirimkan rasul dan menepati janji dan ancaman.

- Mengenai hikmah dalam perbuatan Tuhan, Abduh berpendapat bahwa alam ini diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia, dan bahwa tidak satu pun yang datang dari Tuhan yang tidak membawa manfaat atau sia-sia bagi manusia-sia. Ini berarti bahwa semua perbuatan Tuhan adalah untuk kepentingan manusia.

- Sifat dan perbuatan Tuhan ternyata sangat berhubungan dengan makhluk-Nya, khususnya manusia. Karena dengan mengetahui sifat atau zat Tuhan itu, manusia menjadi tahu lebih jauh tentang Sang Penciptanya, meskipun sifat pegetahuan manusia tentang Tuhannya terbatas, dengan begitu manusia dapat lebih mensyukuri atas apa yang telah diberikan-Nya. Dan dengan perbuatan Tuhan yang syarat akan hikmah, dengan begitu manusia dapat memilih mana yang baik dan mana yang buruk, karena manusia diciptakan dengan diberi akal dan nafsu untuk memilih, maka manusia pula yang akan bertanggung-jawab atas perbuatannya.

- Mengenai sifat dan perbuatan Tuhan, Abduh lebih cenderung kepada pemikiran Mu’tazilah, namun bukan berarti Abduh adalah seorang Mu’tazilah. Karena Abduh hanya melandaskan pemikirannya berdasarkan hukum akal sebagaimana yang digunakan dalam paham Asy’ariyah. - Pada hakikatnya Muhammad Abduh dan semua aliran tersebut tidaklah

keluar atau pun melenceng dari Islam, namun tetap dalam Islam Walaupun di antaranya berbeda pendapat dalam memberikan pandangan tentang sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan Tuhan berbeda-beda.


(2)

B. Saran-saran

Penulis mengakui bahwa skripsi ini belumlah sempurna dalam mengeksplorasi dan memetakan pemikiran Muhammad Abduh dalam bidang yang sedang dikaji yakni teologi secara komprehensif, mengenai sifat dan perbuatan Tuhan. Untuk itu, masih perlu membutuhkan beberapa penelitian lagi guna lebih menyempurnakan dalam memetakan wilayah pemikiran Muhammad Abduh, dengan melakukan analisa kritis-komparatif.

Dan masih banyak pula persoalan-persoalan teologi dalam pemikiran Muhammad Abduh yang belum sempat terangkat dan terungkap di dalam tulisan ini. Misalkan, metode apa yang dipakai oleh Muhammad Abduh dalam menjelaskan mengenai sifat dan perbuatan Tuhan? Dan apakah pemikiran teologi Muhammad Abduh mempengaruhi pemikirannya dalam bidang lain yang ia kuasai, seperti fikh, tasawuf dan tafsir? Serta, mengapa di Indonesia Muhammad Abduh lebih dikenal sebagai ahli fikh dan mufassir dibanding ahli teologi, padahal dalam pemikiran teologinya, dia pun telah menulis dan mengkaji lebih mendalam, dan seorang Harun Nasution pun tertarik pada teologi yang Abduh kaji, dengan tulisan dalam disertasinya? Yang tidak kalah pentingnya adalah penelitian tentang pengaruh sifat dan perbuatan Tuhan serta relevansinya terhadap kehidupan masa sekarang? Dan masih banyak lagi. Semua ini menjadi pekerjaan rumah buat kita, yang mau tidak mau harus kita pikirkan guna memperluas cakrawala pemikiran kita dalam bidang ini. Semoga skripsi ini sedikit banyaknya membantu dan mempermudah kita semua dalam menjawabnya. Âmîn yâ Rabb al-‘âlamîn.


(3)

Abduh, Muhammad. Hasyiyah ‘alâ Syarh al-Dawwânî li al-Aqaid al-Adûdiah, ed. Dr. Sulaiman Dunia dalam Al-Syaikh Muhammad Abduh bain Al-Falsâfi wa al-Kalâmîyîn. Cairo: Isa Al-Babi Al-Halabi, 1958.

_____. Mutiara Mahjul Balaghâh. Bandung: Mizan, 1995. Cet. IV _____. Risalah al-Tauhid. Cairo: Dar al-Manar, 1366 H.

_____. Risalah Tauhid. Terj. Cet ke-V . Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

_____. Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm Juz ’Ammâ. Al-Azhar: Muhammad Subaih, 1986.

Abdullah Kaloti, Sami. The Reformation of Islam and The Impact of Jamaluddin al-Afghani and Muhammad Abduh On Islamic Education. Marquette: University, 1974.

______. Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah. Kairo: Dar al-Fikr, t.t.

Adams, Charles C. Islam and Modernism in Egypt. London: Oxford University Perss, 1933.

Asy’ari, Abû al-Hasan. al-Ibanah an-Ushul ad- Dîyanâh: Prinsip-prinsip Dasar Aliran Theologi Islam. Bandung: Pustaka Setia, 1998.

Amin, Ahmad. Muhammad Abduh. Cairo: Muassasah al-Khanji, 1960. ______. Dzuhr al-Islam. Beirut: Dar al-Fikr, 1969.

Amin, Usman. Muhammad Abduh, Essai sur ses Idees Philosophiques et Religieuses. Cairo, Imprimerie Misr SAE, 1944.

Asmuni, M Yusran. Ilmu Tauhid. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.

Anwar, Rosihan dan Rozak, Abdul. Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, 2006. Bakhtiar, Amsal. Filsafat Agama. Ciputat: Logos, 1999.

Baehaqi, Imam, ed. Kontrofersi Aswaja; Aula Perdebatan dan Rainterpretasi. Yogyakarta: LKiS, 1999.

Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994. Ensiklopedi Oxford. Dunia Islam Modern. Bandung Mizan, 2001.

Ensiklopedia Bebas. Konsep. Artikel diakses pada 20 Februari 2009 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Konsep


(4)

Ensiklopedia Bebas. Tuhan. Artikel diakses pada 20 Februari 2009 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Tuhan

Hadi W.M, Abdul. Tasawuf yang tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri. Jakarta: Paramadina, 2001.

Hanafi, A. Teologi Islam. Jakarta: al-Husna Zikra, 1996.

Ilhamuddin. Pemikiran Kalam al-Bâqillânî: Studi tentang Persamaan dan Perbedaan dengan al-Asy’ari. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997. Isyraq. Perspektif Umum Perbuatan Tuhan. Artikel diakses pada 30 Mai 2008

dari http://isyraq.wordpress.com/2008/01/27/ada-tujuan-di-balik-perbuatan-tuhan-11/

Kamisa. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Kartika, 1997.

Kapu, Istiqamah. Imam Muhammad Abduh Dan Pembaharuan. Artikel diakses pada 30 Mai 2008 dari http://istiqomahkapu.multiply.com/journal/item/3 Kotasantri. Muhammad Abduh. Artikel diakses pada 29 Oktober 2008 dari

http://www.kotasantri.com/mobile/Artikel/galeria-detail.php?id2=177. Lubis, Arbiah. Pemikiran dan Muhammad Abduh. Jakarta: Bulan Bintang, 1993. Madjid, Nurchalis, ed. Khasanah Intelektual Islam. Jakarta: Bintang, 1994.

Madkour, Ibrahim. Aliran dan Teori Filsafat Islam, terj. Yudian Wahyuni Asmin. Jakarta: Bumi Aksara, 1995.

Majid, Abdul. Abduh dan Ilmu Kalam. Artikel diakses pada 27 Mai 2008 dari http://bp1.blogger.com/_ypRoTdOrLiY/RhP7awcJyoI/AAAAAAAAABE/ zGs4RFC1KA8/s1600-h/abduh

Majid, Abduh, Al-Muhtasib. Abduh al-Salam. Ijtihad al-Tafsir fi al-Asr al-Rahim. Oman-Ordon: Maktabah an-Nahdha al-Salamiyyah, 1982, cet. II.

Ma’louf, Louis. Al- Manjid fi al-Lughah wa al-A’lâm. Bairut: Dar el-Mashreq Sari, 1984.

Musa’ad, Ishaq dan Kenneth Cragg. The Theology of Unity. London: G. Allen and Unwin Ltd., 1966.

Mastuki HS, ed. Kiyai Menggugat: Mengadili Pemikiran Kang Said. Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1990.

Muslim. Asy’ariyah. Artikel diakses pada 27 Mai 2008 dari http://.bicaramuslim.com/bicara6/viewtopic.php?p=145248&sid=bf82a5c9 b123e6d26ab120be5b54dfc


(5)

Muzani, Saiful, ed. Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran Prof. DR. Harun Nasution. Bandung: Mizan, 1998.

Nadawi Abul Hasan. Rijalul Fikr wa al-Da’wah fi al-Islam. Kuwait: Darul Kalam,1969.

Nasution, Harun. Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisis Perbandingan. Jakarta: UI Press, 1983.

_____. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah. Jakarta: UI Press, 1987.

_____. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

_____. Tasawuf. Artikel diakses pada 5 November 2008 dari http://haizam.tripod.com/tasauf/tasawuf.htm

_____. Theologi Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1974.

Pejiarah. Maturidiyah. Artikel diakses pada 30 Mai 2008 dari http://peziarah.wordpress.com/2007/03/07/maturidiyah/

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indoneisa. Jakarta: Balai Pustaka, 1988.

Qadir, C. A.,. Filsafat dan Ilmu pengetahuan dalam Islam. Jakarta: Yayasan Obor, 1991.

Ridha, M Rasyid. Tafsir al-Qur’an al-Karim, al-Syahir bi Tafsir al-Manar, Kairo: Dar al-Manar, 1931. jilid. I-VIII.

_____. Tarikh al-Ustaz al-Imam al-Syaikh Muhammad Abduh. Cairo: al-Manar, 1931

Sheikh, M Saeed. a Dictionary of Muslim Philosophy. Lahore, Pakistan: Institute on Islamic culture, 1976.

Shihab, M Quraish. Studi Kritis Tafsir al-Manar. Jakarta: Pustaka Hidayah, 1994. Susiyanto. Melacak Pemahaman Asy’ariyah dalam Pemikiran

Muhammad Abduh. Artikel diakses pada 5 November 2008 dari

http://susiyanto.wordpress.com/2008/03/30/melacak-pemahaman-asyariyah-dalam-pemikiran-muhammad-abduh/

Syahratani, Muhammad ibn ‘Abd al-Karîm. Sekte-sekte Islam, terj. Karsidi Diningrat. Bandung: Pustaka, 1996.


(6)

Syauqi Nawawi, Rifat. Rasional Tafsir Muhammad Abduh; Kajian Masalah Aqidah dan Ibadat. Jakarta: Paramadina, 2002.

Tanahi, Tahir, ed. Muzakkirat al-Imam Muhammad Abduh. Cairo: Dar Al-Hilal, t.t.

W, M. Maghfur. Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam. Bangil: al-Izzah, 2002.

Wahab, Abdul Asyraf. Al-Tasâmuh al-Ijtimâi baina al-Turâts wa al-Taghayur, Kairo: Maktabah Usrah, 2006.

Yunan, M Yusuf. Alam Pikiran Islam: Pemikiran Kalam, Perkasa Jakarta, 1990 Zahrah, Muhammad Abû. Imam Syâfî’î: Biografi dan Pemikirannya dalam

Masalah Aqidah, Politik dan Fikih. Jakarta: Lentera, 2005. _____. Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah. Kairo: Dar al-Fikr, t.t