BAB II BIOGRAFI MUHAMMAD ABDUH
A. Riwayat Hidup Muhammad Abduh
Muhammad Abduh lahir pada tahun 1849 di desa Mahallat Nasr, kabupaten al-Buhairah Mesir dan wafat tahun 1905. Nama panjangnya adalah
Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah.
15
Ayahnya bernama Abduh bin Hasan Kharullah, dan ibunya menurut riwayat dari bangsa Arab yang silsilahnya
menurun dari suku bangsa Umar bin Khattab.
16
Muhammad Abduh mengawali pendidikan dalam lingkungan petani di Pedesaan. Di bawah asuhan ibu-bapak
yang tidak ada hubungannya dengan pendidikan sekolah, namun memiliki jiwa religius yang kuat.
Pendidikannya
Muhammad Abduh mengawali pendidikannya belajar pelajaran pada umumnya, seperti membaca, menulis, dan menghafal al-Qur’an pada ayahnya di
rumah. Berkat otaknya yang cemerlang, hanya dalam jangka waktu dua tahun ia mampu menghafal al-Qur’an seluruhnya, ketika itu ia berusia 12 tahun.
17
Kemudian diusianya yang ke 14 tahun, ia dikirim ayahnya ke Thanta untuk belajar di Masjid al-Ahmâdi al-Jami’ al-Ahmâdi. Di sini, di samping
melancarkan hafalan al-Qur’annya, ia juga belajar bahasa Arab dan fikih.
18
Setelah belajar selama satu setengah tahun, metode hafalan yang dipakai sebagai sistem pengajaran di tempat ini membuat Abduh yang sedari kecil sudah
terlihat nalar kritisnya menjadi kecewa. Dalam riwayatnya ia menulis, “aku menghabiskan satu setengah tahun tanpa mengerti sesuatu apa pun”, karena
metode dan sistem belajar yang buruk, guru-guru mengajar dengan menghafal istilah-istilah tentang nahwu dan fikih yang tidak dimengerti. Guru-guru bahkan
15
M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar Jakarta: Pustaka Hidayah, 1994, h. 11.
16
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan Jakarta: Bulan Bintang, 1992, cet. IX, h. 59.
17
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Mu’tazilah Jakarta: UI Press, 1987, cet. I, h, 11.
18
Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994, h. 255.
tidak merasa penting apa kita mengerti atau tidak mengerti arti istilah-istilah tersebut”.
19
Dengan rasa kecewa Abduh pun kembali ke Mahallat Nasr.
20
Kemudian ayahnya tetap memaksakan agar ia meneruskan belajar di Thanta, dan akhirnya ia terpaksa pergi, namun bukan ke Thanta melainkan ke
rumah paman ayahnya yang bernama Syeikh Darwisy Khadr untuk bersembunyi. Darwisy kemudian mendidik Abduh untuk belajar dan mencintai ilmu dan buku.
Darwisy juga memberikan imbauan dan dorongan serta nasihat kepada Abduh agar kembali bersamangat dan bergairah dalam menuntut ilmu. Didikan Darwisy
ternyata berhasil dan akhirnya Abduh mau meneruskan studinya di Thanta.
21
Karir awalnya berangkat dari studi-studi ilmu tradisional di Universitas al- Azhar, dan komitmen awalnya berdasarkan sufisme tarekat Syâdziliyah, praktik
zikir dan ta’wîdz. Studi-studi universitasnya mengukuhkan tidak hanya seorang ‘âlim
yang disegani, tetapi juga menyadarkan diri terhadap belenggu taqlîd keterikatan pada tradisi, yang kemudian menjadi sumber energi
pembaharuannya. Meskipun secara intelektual meninggalkan latar belakang sufinya, dia menanamkan kualitas keshalehan dalam kehidupan akademisnya
untuk membebaskan dari dampak taqlîd yang merusak.
22
Berguru dengan Said Jamaluddin al-Afghani
Pada tahun 1871 adalah awal pertemuan dan interaksi intelektual Abduh dengan salah satu pembaharu Islam, yaitu sorang ‘âlim besar bernama Said
Jamaluddin al-Afghani yang sudah terkenal dalam dunia Islam sebagai Mujâhid
19
Sami Abdullah Kaloti, The Reformation of Islam and The Impact of Jamaluddin al- Afghani and Muhammad Abduh On Islamic Education
Marquette: University, 1974, h. 96.
20
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, h. 59.
21
M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, h. 12-13.
22
Ensiklopedi Oxford. Dunia Islam Modern Bandung : Mizan, 2001, h. 12.
pejuang, Mujaddîd pembaharu reformer dan ulama yang sangat ‘âlim, yang pada saat itu datang ke Mesir. Muhammad Abduh bertemu dengan al-Afghani
untuk pertama kalinya, ketika Abduh datang ke rumahnya bersama-sama dengan Hasan at-Tawîl, di mana dalam pertemuan itu mereka berdiskusi tentang ilmu
tasawuf dan tafsir.
23
Al-Afghanilah yang menempa Abduh dengan ilmu pengetahuan, walaupun sebelumnya telah didapatkan dari luar al-Azhar, namun menancapkan kesan dan
pandangan berbeda bagi Abduh, karena metode yang dipakai al-Afghani adalah studi kritis seperti berdiskusi dan yang lainnya, metode pengajaran yang
diterapkan al-Afghani membuat Abduh tertarik dan termotivasi untuk tetap kritis, al-Afghani juga memberikan penjelasan yang luas, mendalam dan mengagumkan
pada setiap kajiannya.
24
Dalam tatanan dunia ilmiah dan wawasan pengetahuan umum, al-Afghani mungkin bisa dikatakan yang paling berjasa dalam hidup Abduh dan
mempengaruhinya dalam banyak hal, tidak hanya pengetahuan teoritis, al-Afghani juga mengajarkan Abduh pengetahuan praktis, politik, berpidato, menulis artikel,
dan sebagainya. Kecakapan yang membawanya tampil di depan publik dan jeli melihat situasi sosial politik di negerinya.
25
Sejak itulah abduh tertarik kepada al-Afghani oleh ilmunya yang dalam dan cara berfikirnya yang modern, sehingga akhirnya Abduh benar-benar dan
selalu di sampingnya. Selain Abduh, bayak pula mahasiswa-mahasiswa al-Azhar
23
Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, terj. Cet-V Jakarta: Bulan Bintang, 1975, h. 17.
24
M Rasyid Ridha, Tarikh al-Ustazd al-Imam al-Syaikh Muhammad Abduh Kairo: al- Manar, 1931, h. 20.
25
Arbiah Lubis, Pemikiran dan Muhammad Abduh Jakarta: Bulan Bintang, 1993, h. 114.
yang ditarik Abduh untuk ikut datang kepada al-Afghani untuk belajar.
26
Di samping diskusi-diskusi ilmu-ilmu agama, mereka belajar pula pengetahuan-
pengetahuan modern, filsafat, sejarah, hukum dan ke-tata-negaraan dan lain-lain. Pelajaran yang diberikan kepada mereka oleh al-Afghani yaitu semangat berbakti
kepada masyarakat dan berjihad memutus rantai-rantai kekolotan dan cara berfikir yang fanatik serta merombaknya dengan cara berfikir yang lebih maju.
Abduh telah memiliki cara berfikir yang lebih maju, karena telah banyak membaca buku-buku filsafat dan banyak mempelajari perkembangan jalan
berfikir kaum Rasionalis Islam Mu’tazilah, maka para guru al-Azhar pernah menuduhnya telah meninggalkan mazhab Asy’ari. Terhadap tuduhan itu Abduh
menjawab; “sudah jelas saya telah meninggalkan taklid Asy’ari, maka kenapa saya harus bertaklid pula kepada Mu’tazilah? Saya akan meninggalkan taklid
kepada siapapun juga, dan hanya berpegang kepada dalil yang dikemukakan”.
27
Menjadi Dosen Darul Ulum dan Al-Azhar
Setelah Abduh menamatkan kuliahnya pada tahun 1877, atas nama usaha Perdana Menteri Mesir Riadl Pasya, ia diangkat menjadi dosen pada Universitas
“Darul Ulûm”, di samping itu pula ia menjadi dosen pada di al-Azhar. Di saat memangku jabatannya, ia terus mengadakan perubahan-perubahan yang radikal
sesuai dengan cita-citanya, yaitu memasukan udara segar ke dalam Perguruan- perguruan Tinggi Islam itu, dengan cara menghidupkan Islam dengan metode-
metode baru yang sesuai dengan kemajuan zaman, memperkembangkan
26
Abduh, Risalah Tauhid, h. 17.
27
Ibid., h.18.
kesusastraan Arab, sehingga menjadi bahasa yang hidup dan kaya-raya, serta melenyapkan cara-cara lama yang kolot dan fanatik.
28
Dibuang ke Syria Beirut
Pada tahun 1882 terjadi di Mesir suatu pemberontakan, Abduh dituduh terlibat di dalamnya yang kemudian diusir.. Pemberontakan itu di awali oleh suatu
gerakan yang dipimpin oleh Arabia Pasya, di mana Abduh dipilih sebagai penasihatnya. Setelah pemberontakan itu dapat dipadamkan, maka Abduh di
buang ke Syiria Beirut. Di sana ia mendapat kesempatan mengajar pada Perguruan Tinggi Sulthaniyah selama kurang lebih satu tahun. Kemudian pada
permulaan tahun 1884 ia pergi ke Paris atas panggilan al-Afghani yang waktu itu berada di Paris.
29
Gerakan Al-Urwâtul Wutsqâ
Bersama-sama dengan al-Afghani, disusunlah sebuah gerakan yang bernama “al-Urwâtul Wutsqâ”, di Paris, yakni gerakan kesadaran umat Islam
sedunia. Untuk mencapai cita-cita gerakan ini diterbitkannya sebuah majalah dengan nama yang sama pula dengan gerakan itu yaitu majalah “al-Urwâtul
Wutsqâ”. Dengan perantara majalah itulah ditiupkannya suara keinsyafan ke seluruh dunia Islam, supaya mereka bangkit dari tidurnya, melepaskan cara
berfikir fanatik dan kolot dan bersatu membangun kebudayaan Islam di dunia. Suara itu lantang sekali terdengar yang kemudian memperlihatkan pengaruhnya
dikalangan umat Islam sehingga dalam waktu singkat, kaum imperialis menjadi gempar dan cemas karenanya. Akhirnya Inggris melarang majalah itu masuk ke
28
Ibid., h. 19.
29
Ibid., h. 19.
Mesir dan India. Kemudian pada tahun 1884, setelah majalah itu terbit baru 18 halaman, pemerintah Perancis melarangnya terbit dan beredar.
Karena mendapat tekanan dari pihak Barat, Jamaluddin dan Abduh meninggalkan Paris. Keduanya
lalu berpisah, dan Abduh diperbolehkan kembali ke Beirut via Tunis pada tahun 1885.
30
Menjadi Mufti Mesir
Setelah kepulangannya ke Mesir, ia diberi jabatan penting oleh pemerintah Mesir sebagai “Mufti” pada tahun 1899, yakni suatu jabatan yang paling tinggi
dipandang oleh kaum Muslimin. Berbeda dengan Mufti-mufti sebelumnya, Abduh tidak mau membatasi dirinya sebagai alat penjawab pertanyaan-pertanyaan
pemerintah saja melainkan ia memperluas tugas jabatan itu untuk kepentingan kaum Muslimin. Di samping itu ia pun diangkat sebagai anggota Majlis
Perwakilan. Dalam badan ini Abduh banyak memberikan jasa-jasanya dan karena itu pula ia sering ditunjuk sebagai ketua penghubung dengan pemerintah. Abduh
pernah juga diserahi jabatan sebagai Hakim Mahkamah dan dalam tugas ini ia dikenal sebagai seorang Hakim yang adil.
31
Demikian jabatan tersebut dijabatnya sampai beliau meninggal dunia akibat menderita kangker hati. Abduh meningal dunia di Iskandaria tanggal 11
Juli 1905 dan jenazahnya dimakamkan dikawasan Qurafat al-Mujâwirîn, ia hanya meniggalkan empat orang putri saja.
32
Pembela Islam yang Gagah Berani
30
Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994, h. 256.
31
Abduh, Risalah Tauhid, h. 20.
32
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Mu’tazilah, h. 27.
Karena Ghîrâh dan Ghairâhnya terhadap Islam, maka Abduh sering tampil ke depan untuk membela Islam dari segala serangan dan penghinaan yang
datang. Pernah ditantangnya G. Hanotaux, seorang menteri luar negeri Perancis, karena tulisannya tentang Islam yang menurut Abduh tidak benar dan merupakan
suatu penghinaan. Ternyata kemudian G. Hanataux seolah-olah minta maaf dalam sebuah tulisannya yang dimuat dalam majalah “al-Muayyâd”. Kemudian diasah
penanya untuk menghadapi Farah Anton, seorang Kristen, pemimpin umum majalah “al-Jamî’ah”, yaitu sebuah majalah dari orang Kristen yang terbit di
Kairo, karena Anton menulis dalam majalah tersebut mengenai hal-hal yang menyinggung Islam dan menghinannya. Banyak lagi peristiwa-peristiwa lain yang
menunjukan keberanian Abduh dalam membela Islam.
33
B. Karya-karya Muhammad Abduh