Perbutan-perbuatan Tuhan SIFAT DAN PERBUATAN TUHAN MENURUT PERSPEKTIF

melalui kekekalan sifat-sifat itu sendiri, juga mengatakan bahwa Tuhan bersama- sama sifat-sifat-Nya adalah kekal, tetapi sifat-sifat itu sendiri tidaklah kekal. 120

G. Perbutan-perbuatan Tuhan

Muhammad Abduh dalam berbicara tentang perbuatan Tuhan, bahwa perbuatan Tuhan adalah apakah perbuatan Tuhan mengandung arah dan tujuan? Ataukah perbuatan Tuhan itu sama sekali tidak mempunyai arah dan tujuan khusus? Permasalahan ini berhubungan langsung dengan persoalan hikmah Tuhan, karena salah satu definisi dan pengertian hikmah adalah pelaku tertentu mustahil melakukan suatu perbuatan sia-sia dan tidak bermanfaat serta segala perbuatannya mengandung tujuan-tujuan rasional dan masuk akal. Dengan begitu, menolak keberadaan suatu arah dan tujuan dalam perbuatan-perbuatan Tuhan adalah sama dengan menolak hikmah Tuhan. Namun menurut Abduh bahwa setiap perbuatan-perbuatan Tuhan tidak terlepas dari hikmah-Nya. 121 Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, Abduh berkeyakinan bahwa segala perbuatan Tuhan memiliki dan mengandung tujuan khusus. Dengan memperhatikan dan mencermati perbuatan-perbuatan kita yang bersifat ikhtiari dan mengandung tujuan, maka dapat kita memahami bahwa sebelum kita melakukan perbuatan-perbuatan itu pertama-tama kita menentukan suatu tujuan di mana dengan mencapai dan meraih tujuan tersebut kita dapat memenuhi segala kebutuhan kita. Jadi, keberadaan penggambaran dan penetapan 120 Anwar, Rosihan dan Rozak, Abdul. Ilmu Kalam Bandung: Pustaka Setia, 2006, h. 177. 121 Isyraq, Perspektif Umum Perbuatan Tuhan, artikel diakses pada 30 Mai 2008 dari http:isyraq.wordpress.com20080127ada-tujuan-di-balik-perbuatan-tuhan-11 , dan lihat juga Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid, h. 56. suatu tujuan perbuatan tersebut dalam pikiran kita niscaya sebelum melakukan perbuatan itu, tujuan perbuatan inilah yang kemudian mendorong dan memotivasi kita untuk segera mengimplementasikan perbuatan tersebut, dengan suatu harapan bahwa apabila kita melaksanakan perbuatan yang demikian itu kita akan mendapatkan suatu manfaat dan faedah. Oleh karena itu, minimal dalam perbuatan-perbuatan kita terdapat dua sifat dan karakteristik: pertama, tujuan perbuatan di mana bermaksud untuk memenuhi segala kebutuhan pelaku dan untuk mendapatkan segala kesempurnaan atau kemashlahatan tertentu; Dan kedua, penggambaran dan penetapan tujuan perbuatan mestilah sebelum melakukan perbuatan di mana nantinya akan berpengaruh pada seorang pelaku dan menggerakkannya untuk segera melaksanakan perbuatan itu demi mencapai tujuan yang dikandungnya. 122 Para filosof menamakan penjelasan di atas dengan “penggambaran tujuan perbuatan sebelum pelaksanaannya” itu sebagai “sebab tujuan”. Perbuatan-perbuatan Tuhan terhadap Manusia Segala perbuatan Tuhan berawal dari ‘Ilm dan Iradah-Nya. Setiap sesuatu yang berawal dari ‘Ilm dan Iradah berpangkal pula kepada Ikhtiar, tidak satu pun yang wajib dilakukan oleh yang mempunyai ikhtiar. Oleh karena itu, tidak ada satu pun di antara perbuatan-perbuatan-Nya yang wajib dilakukan oleh zat-Nya. Maka segala perbuatan Tuhan seperti mencipta, memberi rizki, menyuruh dan mencegah, mengazab dan memberi nikmat, itu semua merupakan suatu yang tetap bagi Tuhan dengan kemungkinan yang khusus. Tidak dapat dipikirkan oleh akal, apabila dengan ilmu dan kehendak-Nya, Tuhan berbuat dengan perbuatan- 122 Ibid., perbuatan-Nya wajib dilakukan oleh zat-Nya, seperti halnya susuatu barang yang terpaksa karena keperluannya. Atau menggambarkan bahwa Tuhan itu wajib bersifat dengan sifat sesuatu yang menyerupai-Nya. Demikian itu jelas suatu hal yang paradox, yang mustahil terjadi seperti diisyaratkan di atas. 123 Semua telah sepakat atas keterangan yang mengatakan bahwa perbuatan- perbuatan Tuhan tidak lepas dari hikmah-Nya. Baik pihak yang bersalah orang yang berlebihan menganggap bahwa Tuhan mempunyai kewajiban kepada manusia maupun pihak yang benar, yang terang-terangan mengatakan bahwa Tuhan bersih dari kesia-siaan dalam segala perbuatan-Nya, dan bersih dari dusta dalam perkataan-perkataan-Nya. Hikmah tiap-tiap perbuatan itu terletak dalam apa yang ditimbulkannya, yang dapat menjaga ketertiban ataupun menolak kerusakan baik khusus maupun umum, yang andai kata dibukakan kepada akal dari segi apa saja Dia berpikir dan memberikan hokum karena Dia mengetahui bahwa perbuatan-perbuatan itu tidak sia-sia dan tidak main-main. Hikmah inilah yang dikenal sekarang dengan sebutan meletakan segala sesuatu pada tempatnya masing-masing yang memberikan kepada tiap-tiap yang berkehendak terhadap yang dikehendaki-Nya. Adakala ilmu-Nya itu disertai dengan kemauan berbuat atau tidak. Dan tidak akan terjadi karena tidak ada artinya ilmu itu tanpa kemauan, atau bisa dikatakan Tuhan itu lalai sekiranya perbuatan-perbuatan-Nya itu dilakukan tanpa kemauan. Padahal sudah jelas bahwa ilmu Tuhan meliputi segala sesuatu, dan mustahil akibat perbuatan-Nya itu lepas dari kemauan-Nya. Untuk itu Tuhanlah yang menghendaki hikmah yang lahir dari perbuatan-Nya. 124 123 Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid, h. 55. 124 Ibid., h. 57. Maka ketentuan wajibnya hikmah dalam segala perbuatan Tuhan, mengikuti pula akan wajib sempurnanya ‘ilm dan iradah-Nya. Begitu juga Tuhan wajib membuktikan bahwa pahala dan ancaman yang telah dijanjikan akan terlaksana nantinya, dan itu merupakan kesempurnaan ‘ilm dan iradah-Nya dan Tuhan adalah Yang Maha Benar. Kewajiban Tuhan Terhadap Manusia Uraian mengenai keadilan Tuhan secara implisit menggambarkan keyakinan Muhammad Abduh akan adanya perbuatan-perbuatan wajib bagi Tuhan. Faham adanya kewajiban bagi Tuhan adalah sejalan dengan pendapatnya Mu’tazilah yang mengatakan bahwa kehendak Tuhan tidak bersifat absolut. Teorinya tentang sunnah Allah, mengandung arti bahwa Tuhan tidak bertindak sebagai raja yang zalim, yang tidak tunduk kepada hukum, tetapi Tuhan mengatur segalanya sesuai dengan hukum-Nya yang tidak berubah-ubah. 125 Karena hukum itu dibuat Tuhan tidak berubah-ubah, Tuhan menjadi terikat pada-Nya. Perlu ditegaskan bahwa Tuhanlah, dan bukan manusia, yang membuat diri-Nya untuk mengatur hukum itu. Dengan kata lain Tuhan mewajibkan diri-Nya untuk mengatur alam ini sesuai dengan sunnah-Nya, sebagaimana seorang raja kostitusional berkewajiban mengatur segalanya sesuai dengan undang-undang negaranya. Di dalam pembicaraan mengenai keadilan Tuhan juga sudah disebut pendapat Abduh bahwa alam ini diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia, dan bahwa tidak satu pun yang datang dari Tuhan yang tidak membawa manfaat bagi manusia. Ini berarti bahwa semua perbuatan Tuhan adalah untuk kepentingan 125 Rasyid Rida, al-Qur’an al-Karim, al-Syahir bi Tafsir al-Manar, jil IV Cairo: Dar al- Manar, 1365 H, h. 141. manusia. Jika pendapatnya yang terakhir ini dikaitkan dengan pendapatnya tentang adanya perbuatan Tuhan yang bersifat wajib sebagai terkandung dalam teorinya tentang hukum alam, dapat diambil kesimpulan bahwa Abduh juga berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban terhadap manusia. Kedua pendapat tersebut di atas memang berarti bahwa semua perbuatan Tuhan mestinya sesuai dengan sunnah-Nya yang tidak beubah-ubah dan bahwa semua perbuatan- Nya adalah untuk kepentingan manusia. Kewajiban Berbuat Baik Karena Abduh berpendapat bahwa ada perbuatan Tuhan yang bersifat wajib, ia sepaham dengan Mu’tazilah dalam mengatakan bahwa wajib bagi Tuhan untuk berbuat apa yang baik dan terbaik bagi manusia, seperti kewajiban tidak memberikan beban di luar kemampuan manusia, karena bertentangan dengan faham keadilan Tuhan. Tuhan akan bersikap tidak adil apabila Dia memberikan beban yang tidak sanggup manusia jalani. Kewajiban mengirim rasul, karena tanpa rasul manusia tidak akan memperoleh hidup yang baik dan terbaik di dunia dan di akhirat kelak, karena dengan mengirim rasul yang akan menjadi teladan bagi manusia, maka manusia akan menjadi lebih baik. Kewajiban menepati janji dan ancaman, hal ini erat hubungannya dengan dasar keadilan Tuhan. Tuhan akan bersikap tidak adil apabila tidak menepati janji untuk memberikan pahala kepada orang yang berbuat baik, dan menjalankan ancaman bagi orang yang berbuat jahat. 126 126 Rosihan Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, 2006. Pendapatnya ini dapat dibaca dalam bukunya Hasyiah ’ala Syarh Al- Dawwani li Al-’Aqaid’id Al-’Adudiah. 127 . Lebih lanjut ia tegaskan bahwa jika kaum Mu’tazilah mengartikan wajib di sini sebagai yang terdapat dalam kalangan manusia yaitu yang ada kaitannya dengan upah dan hukuman, maka pendapat Mu’tazilah itu adalah salah. Karena dengan demikian, mereka meletakan Tuhan di bawah hukum yang tak boleh Ia langgar. 128 Dalam pendapat Abduh, kewajiban Tuhan bersumber pada sifat kesempurnaan-Nya, kewajiban ini Tuhan letakkan sendiri pada diri-Nya dengan kemauan dan pilihan-Nya sendiri. 129 Kewajiban itu konsekuensi logis dari sunnah -Nya. Berlainan dengan apa yang terdapat di atas, pengarang-pengarang menulis bahwa Abduh tidak berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Adam mengutip tulisan Abduh dalam Risalah yang secara implisit menyebut Tuhan tidak mempunyai kewajiban-kewajiban. Honten menulis bahwa dengan meniadakan kewajiban bagi Tuhan, Abduh menolak pendapat para teolog liberal mengatakan bahwa Tuhan mempunyai kewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia. Demikian pula pendapat Casper dan Cragg. 130 Memang dalam Risalah, Abduh menulis: “Tidak satu pun dari perbuatan- perbuatan Tuhan Wajib muncul dari diri-Nya”. Tetapi perlu diperhatikan bahwa yang ditolak Abduh dalam ungkapan ini ialah wajib atau mesti munculnya perbuatan-perbuatan dari diri Tuhan karena esensi-Nya. Dengan kata lain yang ia 127 Rasyid Rida, Tarikh al-Ustaz al-Imam al-Syaikh Muhammad Abduh Cairo: al-Manar, 1931, h. 442. 128 Ibid., h. 549. 129 Rasyid Rida, al-Qur’an al-Karim, al-Syahir bi Tafsir al-Manar, jil IV, h. 442. 130 Adam, Charles C. Islam and Modernism in Egypt London: Oxford University Perss, 1933, h. 148. tolak ialah bahwa perbuatan-perbuatan-Nya adalah sesuatu kemestian bagi esensi Tuhan, sebagaimana sifat dasar adalah suatu kemestian bagi esensi sesuatu benda. Tetapi beberapa halaman sesudahnya, Abduh menyebut adanya kemestian dalam bentuk lain, yaitu kemestian terjadinya apa yang diketahui dan dikehendaki Tuhan semenjak azali. Sebagai dijelaskannya, janji dan ancaman Tuhan, sebagai diketahui dan dikehendaki, mesti terjadi. Jadi, jika di satu pihak ia menolak adanya kemestian yang timbul dari esensi Tuhan, di lain pihak ia mengaku adanya kemestian yang timbul dari pengetahuan dan kehendak azali Tuhan. Pendapatnya yang tercantum dalam Risalah ini dengan demikian tidak bertentangan dengan pendapatnya tentang kewajiban Tuhan yang ia jelaskan dalam Hasyiyah dan Tafsir al-Manar. 131 Menurut para aliran kalam mengenai perbuatan Tuhan, seperti Mu’tazilah berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan baik saja. Tetapi tidak berarti bahwa Tuhan tidak mampu untuk melakukan hal-hal yang buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan buruk karena Dia mengetahui keburukan dari perbuatan tersebut. Karena di dalam al-Qur’an pun sudah jelas dikatakan bahwa Tuhan tidaklah berlaku zalim. Dan mengenai konsep keadilan Tuhan yang berjalan sejajar dengan paham adanya batasan-batasan bagi kekuasaan dan kehendak Tuhan, mendorong kelompok Mu’tazilah untuk berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban tehadap manusia. Kewajiban-kewajiban itu dapat disimpulkan dalam satu hal, yaitu kewajiban berbuat baik bagi manusia. Paham kewajiban Tuhan berbuat baik dan yang terbaik menkonsekuensikan aliran Mu’tazilah memunculkan paham 131 Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, h. 86 kewajiban Tuhan di antaranya, kewajiban tidak memberikan beban di luar kemampuan manusia, karena Tuhan akan bersikap tidak adil apabila memberikan beban kepada manusia yang manusia itu tidak mampu mengatasinya Kewajiban mengirimkan rasul, karena dengan mengirim rasul sebagai teladan, manusia akan menjadi baik dan terbaik di dunia dan di akhirat nanti. Dan kewajiban menepati janji dan ancaman, Tuhan akan tidak adil apabila tidak memberikan pahala bagi orang yang baik dan tidak memberi ancaman bagi orang yang berbuat jahat. Menurut aliran Asy’ariyah, mengenai perbuatan Tuhan dengan paham kewajiban Tuhan berbuat baik untuk manusia, sebagaimana dikatakan Mu’tazilah, tidak dapat diterima karena bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Ditegaskan al-Ghazâlî ketika mengatakan bahwa Tuhan tidak berkewajiban berbuat baik bagi manusia. Dengan demikian Asy’ari tidak menerima faham Tuhan mempunyai kewajiban. Tuhan dapat berbuat sekehendak hati-Nya terhadap makhluk-Nya. Aliran Asy’ari tidak menerima faham tidak memberikan beban di luar kemampuan manusia. Dan dengan tegas mengatakan dalam bukunya al-Luma’, bahwa Tuhan dapat memberikan beban yang tak dapat dipikul oleh manusia. Mengenai pengiriman rasul, Asy’ari mengatakan bahwa Tuhan tidak wajib akan hal itu, karena bertentangan dengan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Tuhan dalam paham Asy’ari tidak berbuat untuk kepentingan manusia. Dan Tuhan pun tidak mempunyai kewajiban untuk menepati janji dan memberikan ancaman. Sedangkan menurut aliran Maturidiyah mengenai perbuatan Tuhan, terdapat perbedaan antara Maturidi Samarkand dan Maturidi Bukhara. Maturidi Samarkand memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanyalah menyangkut hal yang baik saja. Dengan demikian Tuhan mempunyai kewajiban melakukan yang baik bagi manusia. Demikian pula pengiriman rasul dipandang Maturidi Samarkand sebagai kewajiban Tuhan. ` Maturidi Bukhara memiliki pandangan yang sama dengan Asy’ari mengenai faham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun, sebagaimana dijelaskan Bazdawi, Tuhan pasti menepati janji-Nya, seperti memberi upah kepada orang yang berbuat baik, walaupun Tuhan mungkin saja membatalkan ancaman bagi orang yang berdosa besar. Adapun pandangan Maturidi Bukhara tentang pengiriman rasul, sesuai dengan faham mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, tidak bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin saja. 132 Maturidi Samarkand memberi batasan pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan sehingga mereka menerima faham adanya kewajiban bagi Tuhan, sekurang-kurangnya kewajiban menepati janji tentang pemberian upah dan pemberian hukuman. Mengenai pemberian beban kepada manusia di luar batas kemampuannya, Maturidi Bukhara menerimanya. Tuhan kata al-Bazdawi, tidaklah mustahil meletakan kewajiban-kewajiban yang tak dapat dipikulnya atas diri manusia. Sebaliknya aliran Samarkand mengambil posisi yang dekat dengan Mu’tazilah. Menurut Syarh al-Fiqh al-Akbar, Maturidi tidak setuju dengan pendapat aliran Asy’ari dalam hal ini karena al-Qur’an mengatakan bahwa Tuhan tidak membebani manusia dengan kewajiban-kewajiban yang tak terpikul. 132 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 128- 133. Adapun mengenai pengiriman rasul, Maturidi Bukhara, sesuai dengan faham mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, mempunyai faham yang sama dengan Asy’ari. Bahwa pengiriman rasul tidak bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin.

C. Analisis ke-Tuhanan dalam Pemikiran Muhammad Abduh