kenyataan sesuatu benda. Oleh karena itu, sesuatu yang mustahil memang tidak bisa diwujudkan dan memang tidak akan ada dengan pasti.
103
Yang “mungkin” bagi zat-Nya adalah sesuatu yang tidak ada wujudnya kecuali dengan suatu sebab, tetapi tidak pula dapat dikatakan tidak ada zatnya,
karena ia juga bisa terwujud karena adanya sebab. Dengan demikian tidak ada satu pun di antara kedua perkara tersebut ada dan tiada yang dimiliki oleh
sesuatu itu sekaligus. Sedangkan yang “wajib” bagi zat-Nya adalah sesuatu yang zatnya memang sudah semestinya ada.
104
F. Sifat-sifat Tuhan Yang Wajib Ada
Sifat-sifat Tuhan yang wajib ada adalah sifat yang memang sudah semestinya ada. Sebagaimana sifat atau zat Tuhan yang wajib ada itu tidak
tersusun tarkib dari beberapa bagian, dan juga tidak bisa dibagi-bagi, karena apabila dapat dibagi-bagi, maka tentulah Dia berbeda dari wujudNya semula dan
akan menjadi berbagai macam wujud atau wujud-Nya menjadi banyak. Maka apabila demikian halnya , tentulah Dia bisa menerima tiada dan bisa dibagi-bagi,
karena keduanya adalah mustahil bagi-Nya.
105
Adapun sifat-sifat Tuhan yang wajib ada menurut Muhammad Abduh, sebagian di antaranya adalah:
1. Hayah
Di antara sifat-sifat yang wajib ada pada diri-Nya ialah, sifat hidup al- Hayah
. Sifat itu diiringi oleh sifat-sifat lain seperti sifat ‘Ilm Maha Mengetahui dan Iradah Maha Berkehendak. Demikian itu, disebabkan karena hayat adalah
103
Ibid., h. 33.
104
Ibid., h. 34.
105
Ibid., h. 39.
jelas sifat kesempurnaan bagi wujud-Nya. Oleh karena itu, sifat hidup dan sifat yang mengiringinya adalah menjadi sumber segala peraturan dan menjadi
kebijaksanaan. Al-Hayat dalam segala martabatnya, menjadi pangkal bagi segala macam kenyataan yang lahir dan yang kekal. Nyatalah, bahwa Dia mempunyai
wujud yang sempurna dan bersifat dengan Dia zat yang wajib ada. Begitu juga segala yang mempunyai wujud yang sempurna yang mungkin menjadi sifat-Nya,
wajiblah sifat itu tetap bagi-Nya.
106
Untuk itu yang wajib ada itu pastilah Dia hidup, sekalipun hidupnya berlainan dengan segala sesuatu yang mungkin hidup. Maka sesungguhnya
sesuatu yang merupakan kesempurnaan bagi wujud, tentulah Dia merupakan sumber dari ‘ilm dan iradat. Maksudnya adalah apabila Tuhan tidak hidup, maka
tidak ada ‘ilm dan iradat, untuk itu hayah merupakan sumber dari ‘ilm dan iradat dan juga merupakan wujud kesempurnaan-Nya. Zat yang wajib ada itulah yang
memberi wujud, begitu pula sifat-sifat yang mengiringinya. Sebagaimana hal itu dapat terjadi kalau Dia sendiri tidak memiliki hidup yang akan diberikan-Nya.
Oleh karena itu Ia wajib hidup sebagaimana Dia adalah sumber dari yang hidup.
2. ‘Ilm
Di antara sifat yang wajib bagi zat yang wajib ada, adalah sifat ‘Ilm Maha Mengetahui. Bahwa sifat ‘ilm menjadi kesempurnaan bagi segala yang wajib
wujud itu ialah zat yang mempunyai ilmu. Oleh karena itu sifat mengetahui wajib ada, karena dengan adanya sifat ‘ilm, Ia menjadi sempurna dengan mengetahui
segala hal pengetahun yang diketahui maupun yang belum diketahui oleh
106
Ibid., h. 41.
makhluk ciptaan-Nya. Dan segala kenyataan bahwa hanya Dia yang paling mengetahui segala apa yang ada maupun yang tidak ada sekalipun.
107
Dengan begitu yang wajib ada pastilah Dia mengetahui, sekalipun pengetahuan-Nya berlainan dengan segala yang mungkin mengetahui. Maka
sesungguhnya sesuatu yang merupakan kesempurnaan bagi wujud, tentulah Dia merupakan sumber dari sifat-sifat yang lain. Zat yang wajib ada itulah yang
memberi wujud, begitu pula sifat-sifat yang mengiringinya. Sebagaimana hal itu dapat terjadi kalau Dia sendiri tidak memiliki pengetahuan yang akan diberikan-
Nya. Oleh karena itu Ia wajib mengetahui sebagaimana Dia adalah sumber dari pengetahuan.
3. Iradah
Di antara sifat yang wajib bagi zat yang wajib wujud, adalah Iradah. Dia adalah sifat yang dapat menentukan untuk penciptaan alam ini dengan salah satu
jalan-Nya yang mungkin. Setelah tetap bahwa zat yang memberikan wujud kepada segala yang mungkin ada, wajib adanya, dan bahwa Dia adalah
mengetahui, dan bahwa segala yang mungkin tidak dapat tidak mesti sesuai dengan ilmu-Nya, tetap pulalah dengan pasti, bahwa Tuhan mempunyai kehendak
untuk melakukan sesuatu, sebab Dia membuat segala sesuatu keinginan-Nya sesuai dengan ilmu-Nya..
108
Kemudian perlu dijelaskan, bahwa segala yang maujud harus menurut ketentuan yang khusus dan sifat tertentu, menurut waktu, tempat dan ruang yang
tertentu pula, jalan ini sudah ditentukan bagi yang maujud itu dan bukanlah jalan-
107
Ibid., h. 42.
108
Ibid., h. 45.
jalan yang lain. Ketentuaan yang demikian itu harus sesuai dengan ilmu, dan tidak ada makna lain bagi Iradah kecuali ini.
Apa yang dikenal orang selama ini tentang arti iradah ialah bahwa orang yang berkemauan leluasa melaksanakan kehendaknya atau mengurungkannya
dengan semaunya. Pengertian seperti itu adalah mustahil bagi zat yang wajib wujud. Karena makna seperti itu merupakan keinginan-keinginan manusia biasa,
dan merupakan pencapaian yang dapat merusak, karena makna yang demikian adalah kelanjutan dari kelemahan ilmu pengetahuan. Dalam arti, keinginan-
keinginan manusia terbatas pada kemampuannya, dengan demikian setiap keinginannya tidak selalu tercapai. Dan juga kehendak manusia itu akan berubah-
ubah menurut perubahan hukum, dan meragukan manusia yang mempunyai keinginan itu sendiri, untuk membuat keputusan dalam situasi, melakukan atau
tidak
4. Qudrah
Di antara sifat yang wajib bagi zat yang wajib itu adalah qudrah. Dia merupakan suatu sifat yang dengannya zat yang wajib itu mengadakan dan
meniadakan apa yang dikehendaki-Nya. Bahwa telah jelas, zat yang wajib ada itulah yang menciptakan alam semesta menurut iradah dan ‘ilm-Nya, maka tidak
dapat diragukan lagi, bahwa Dia berkuasa dengan pasti. Karena perbuatan zat yang mengetahui lagi mempunyai kehendak dalam apa-apa yang diketahui dan
dikehendaki-Nya.tentu hanya bisa terjadi dengan adanya kekuasaan bagi-Nya untuk berbuat. Dan tidak lain makna qudrah kecuali kekuasaan yang penuh dan
mutlak itu.
109
109
Ibid., h. 45.
Dengan demikian yang wajib bagi-Nya harus mempunyai kekuasan mutlak atas segala sesuatu yaitu qudrah. Dengan qudrah itu, maka Tuhan berhak
berkuasa di atas ciptaan-Nya yakni alam ini. Namun, Dia berkuasa bukan seperti orang yang berkuasa atas apa yang dikuasainya, melainkan Dia berkuasa atas
ciptaan-Nya dengan iradah dan ‘ilm-Nya. Dan meskipun Tuhan mampu berkuasa sekehendak diri-Nya terhadap makhluk-Nya, namun Dia akan melakukan-Nya
dengan adil dan bijaksana. Karena itu, Tuhan menginginkan makhluk-Nya agar berjalan di muka bumi ini dengan baik dan tidak melanggar aturan-aturan yang
sudah ditetapkan-Nya. Meskipun Tuhan sudah menetapkan aturan-aturan-Nya dalam al-Qur’an
bagi manusia untuk berbuat baik, namun masih banyak manusia yang melanggar aturan tersebut, dikarenakan manusia diberikan akal dan nafsu untuk berpikir dan
dapat memilih mana yang baik dan tidak baik baginya.
5. Ikhtiar
Tetapnya sifat-sifat yang tiga ini ‘Ilm, Iradah, dan Qudrah bagi zat yang wajib wujud, melazimkan pula tetapnya sifat ikhtiar bagi-Nya dengan pasti.
Karena tidak ada arti bagi ikhtiar itu kecuali mengakibatkan perbuatan dengan kekuasaan-Nya menurut ketentuan ilmu dan hukum kehendak-Nya. Adapun yang
dimaksud dengan ilmu Tuhan adalah contohnya bahwa Dia mengetahui segala sesuatu yang diketahui dan bahkan tidak diketahui siapapun, sedangkan contoh
hukum Tuhan yaitu akibat yang akan timbul apabila sesuatu ketentuannya dilanggar, seperti manusia akan dimasukan ke dalam neraka apabila bersalah.
Dengan demikian, maka Tuhan berbuat dengan kemauan yang bebas, dan tidak satu pun di antara perbuatan-Nya dengan segala aktifitas-Nya menciptakan
makhluk-makhluk-Nya, yang ada karena sesuatu sebab yang datang. Atau karena adanya sesuatu tekanan, tanpa kehendak-Nya sendiri. Tidak satu pun di antara
kepentingan-kepentingan alam yang dapat memaksa-Nya untuk mengawasi semuanya. Hingga sekiranya Tuhan tidak berbuat demikian.
110
Apabila Dia dapat dipaksa untuk mengawasi, maka Dia akan menjadi sasaran kritik karena cacat dan
cela, padahal Dia bersih dari hal itu. Maha suci Allah dari keadaan yang demikian itu.
Dengan kebebasan menentukan, Tuhan pun tidak semena-mena menentukan sesuatu dengan tidak adil, karena janji Tuhan terhadap makhluk-Nya
yang berbuat baik akan dimasukkan ke dalam surga, sebaliknya makhluk-Nya yang berbuat jahat akan dimasukkan ke dalam neraka. Meskipun Tuhan mampu
melakukan sebaliknya dengan kekuasaan-Nya yaitu memasukan orang yang berbuat baik ke dalam neraka dan memasukan orang jahat ke dalam surga. Namun
sekiranya Dia tidak berbuat demikian.
6. Wahdah
Di antara sifat yang wajib juga bagi-Nya yaitu sifat Esa. Esa dalam zat, dalam sifat, dalam wujud dan dalam perbuatan. Adapun Esa dalam zat, maka telah
diterangkan dalam keterangan yang tedahulu, bahwa zat itu tidak menerima tarkib tidak tersusun dari berbagai unsur, baik dari luar maupun dari dalam akal.
Tentang wahdah dalam sifat-Nya ialah bahwa tidak ada yang menyamai-Nya dalam sifat-sifat yang tetap bagi-Nya di antara yang maujud ini. Sebagaimana
telah dikemukakan sebelumnya, bahwa sifat itu harus mengikuti bagi martabat sesuatu yang maujud, tetapi tidak ada sesuatu pun di antara yang maujud ini yang
110
Ibid., h. 46.
dapat menyamai yang wajib wujud dalam martabat wujudnya. Maka karena itu juga, hal itu berlaku pada sifat-sifat yang menyertai-Nya.
111
Dengan kata lain, tidak ada yang menyamai sifat-sifat Tuhan yakni esensi Tuhan itu sendiri.
Adapun mengenai Esa dalam wujud dan perbuatan, maksudnya ialah zat- Nya sendiri yang wajib wujud, dan Tuhan sendirilah yang mengadakan segala apa
yang mungkin ada. Memang benar demikian, karena sekiranya zat yang wajib wujud itu terdiri dari beberapa wujud zat yang banyak, maka pastilah masing-
masing mempunyai wujud substansi yang berbeda dengan substansi yang lain. Ketika Muhammad Abduh menafsirkan ayat pertama dari surat al-Ikhlâs
yaitu, qulhuwallâhu ahad, ia menjelaskan bahwa dengan kata ahad dimaksud bahwa Tuhan Yang Maha Esa tidak banyak dalam zat-Nya. Dia tidak tersusun
composite dari jauhar
112
subtansi yang beraneka ragam. Dengan demikian menurut Abduh, Tuhan bukanlah materi dan juga bukan semacam asal yang
berbilang yang immateri, sebagaimana hal itu disangkakan oleh sebagian pemuka agama Kristen, bahwa Tuhan merupakan tiga unsur asal yang menjadi satu, baik
hal itu masuk akal maupun tidak. Yang benar, menurut Abduh, Tuhan benar-benar bebas dari hal yang serupa itu, dengan alasan para filosof sendiri telah sepakat
bahwa “yang mengadakan alam” mujîd al-‘âlam, yakni Allah, adalah wajib al- wujûd
yang mesti ada. Sesuatu yang mesti ada menurut akal sehat, haruslah Esa dalam Esensi wahdat al-dzât, karena setiap yang terbilang dalam esensinya
111
Ibid., h. 47.
112
Dalam pengertian umum, term jauhar berarti segala sesuatu yang mewujud exsist dalam realitas. Lihat Muhammad Saeed Sheikh, a Dictionary of Muslim Philosophy Lahore,
Pakistan: Institute on Islamic culture, 1976, h. 40.
mesti membutuhkan pada bagian-bagian. Dengan demikian, menurut Abduh, setiap yang membutuhkan pada bagian-bagian bukanlah wajîb al-wujûd.
113
Kaum Mu’tazilah mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak memiliki sifat. Definisi mereka tentang Tuhan,
sebagaimana telah dijelaskan oleh Asy’ari, bersifat negatif, seperti Tuhan tidak hidup, tidak mempunyai pengetahuan, tidak berkehendak, tidak berkuasa, dan
sebagainya. Ini tidak berarti bahwa Tuhan bagi mereka tidak hidup, tidak memiliki pengetahuan, tidak berkehendak, tidak berkuasa, dan sebagainya. Tuhan
bagi mereka tetap hidup, memiliki pengetahuan, berkehendak, berkuasa, dan sebagainya, tetapi bukan dengan sifat dalam arti kata sebenarnya. Artinya, Tuhan
mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan itu adalah Tuhan. Dengan demikian, pengetahuan Tuhan, sebagaimana dijelaskan Abu al-Huzail salah
seorang tokoh Mu’tazilah, bahwa sifat Tuhan adalah Tuhan itu sendiri, yaitu zat atau esensi Tuhan.
114
Untuk mengetahui lebih jelas pandangan Mu’tazilah tentang sifat-sifat Tuhan dalam pandangan tokoh-tokoh Mu’tazilah, di antaranya an-Nazhzham dan
Abu Hudzail. An-Nazhzham menafikan pengetahuan, kekuasaan, pendengaran, penglihatan, dan sifat-sifat lainnya. Tuhan dalam pandangannya senantiasa tahu,
hidup, kuasa, mendengar, melihat, dan qadîm dengan diri-Nya sendiri, bukan dengan pengetahuan, kekuasaan, perikehidupan, pendengaran, penglihatan, dan
keqadîm-an.
115
Menurut Abu Hudzail bahwa esensi pengetahuan Tuhan adalah Tuhan itu sendiri. Demikian pula kekuasaan, pendengaran, penglihatan,
113
Muhammad Abduh, Al-Quran al-Karim Tafsir Juz’ ‘Ammâ Al-Azhar: Muhammad Subaih, 1986, h. 174.
114
Al-Asy’ari, al-Ibanah an-Ushul ad-Dîyanâh: Prinsip-prinsip Dasar Aliran Teologi Islam
Bandung: Pustaka Setia, 1998, h. 200.
115
Ibid., h. 200-201.
kebijaksanaan dan sifat-sifat Tuhan yang lainnya. Ia berkata, “Kalau aku nyatakan Tuhan bersifat tahu, artinya akupun menyatakan bahwa pada-Nya terdapat
pengetahuan, dan pengetahun itu adalah zat-Nya itu sendiri.” Dengan begitu, aku tegas-tegas menolak bahwa Tuhan itu bodoh terhadap sesuatu yang sudah atau
akan terjadi.
116
Sedangkan menurut aliran Asy’ari yang pendapatnya belawanan dengan Mu’tazilah, mereka dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat.
Menurut Asy’ari, tidak dapat diingkari bahwa Tuhan mempunyai sifat karena perbuatan-perbuatan-Nya. Asy’ari juga mengatakan bahwa Tuhan itu hidup,
mengetahui, berhendak, berkuasa, dan sebagainya di samping mempunyai pengetahuan, kemauan, dan daya. Ia lebih jauh berpendapat bahwa Tuhan
memang memiliki sifat dan bahwa sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki, tidak boleh diartikan secara harfiah melainkan secara simbolis. Selanjutnya
Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Tuhan itu unik, karenanya tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia. Sifat-sifat Tuhan berbeda dengan Tuhan
sendiri, tetapi sejauh menyangkut hakikatnya tidak terpisah dari esensi-Nya, dalam arti sifat adalah esensi.
117
Sementara itu, al-Baghdadi melihat adanya konsensus dikalangan kaum Asy’ariyah bahwa Tuhan itu hidup, memiliki pengetahuan, berkehendak,
berkuasa, dan sebagainya, maka semua itu adalah kekal. Sifat-sifat tersebut menurut al-Ghazâlî tidaklah sama dengan esensi Tuhan, melainkan lain dari
esensi Tuhan, tetapi berwujud dalam esensi itu sendiri. Uraian-uraian ini juga membawa kepada faham banyak yang kekal. Untuk mengatasinya, kaum
116
Ibid., h. 198-199.
117
C. A. Qadir, Filsafat dan Ilmu pengetahuan dalam Islam Jakarta: Yayasan Obor, 1991, h. 67.
Asy’ariyah mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan itu bukanlah Tuhan, tetapi tidak pula lain dari Tuhan. Karena sifat-sifat Tuhan itu tidak lain dari Tuhan, maka
adanya sifat-sifat Tuhan itu tidak membawa kepada faham banyak kekal.
118
Kaum al-Maturidiyah berpendapat tentang masalah sifat-sifat Tuhan, namun dapat ditemukan persamaan pemikiran antara Maturidi dan Asy’ari, seperti
dalam pendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat seperti hidup, memiliki pengetahuan, berkehendak, berkuasa, dan sebagainya. Walaupun begitu,
pengertian Maturidi tentang sifat Tuhan berbeda dengan Asy’ari. Asy’ari mengartikan bahwa sifat Tuhan tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan
pula lain dari esensi-Nya, sedangkan menurut Maturidi, sifat Tuhan sebagai sesuatu yang bukan zat, melainkan melekat pada zat itu sendiri. Sifat-sifat Tuhan
itu mulzamah ada bersama zat tanpa terpisah. Menetapkan sifat bagi Tuhan tidak harus membawa kepada penggertian anthropomorphisme, karena sifat tidak
berwujud dan tersendiri dari zat, sehingga berbilang sifat tidak akan membawa pada berbilangnya yang kekal.
119
Dan tampaknya faham Maturidi tentang sifat Tuhan cenderung mendekati faham Mu’tazilah. Perbedaannya, Maturidi mengakui adanya sifat-sifat Tuhan,
sedangkan Mu’tazilah tidak mengakui adanya sifat-sifat Tuhan. Sementara itu, Maturidi Bukhara, yang juga mempertahankan kekuasaan
mutlak Tuhan, berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat. Persoalan banyak yang kekal, mereka selesaikan dengan mengatakan bahwa sifat-sifat
Tuhan kekal melalui kekekalan yang terdapat dalam esensi Tuhan dan bukan
118
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan Jakarta: UI Prees, 2002, cet. I, h. 136.
119
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 135.
melalui kekekalan sifat-sifat itu sendiri, juga mengatakan bahwa Tuhan bersama- sama sifat-sifat-Nya adalah kekal, tetapi sifat-sifat itu sendiri tidaklah kekal.
120
G. Perbutan-perbuatan Tuhan