Pandangan Maturidiyah Pandangan tentang Sifat dan Perbuatan Tuhan Menurut Aliran Kalam

tetapi sebagian orang yang menelan harta anak yatim piatu. Adapaun sebagian lagi akan terlepas dari ancaman atas dasar kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Dengan interpretasi demikianlah Asy’ari mengatasi persoalan wajibnya Tuhan menepati janji dan ancaman. 82

c. Pandangan Maturidiyah

Aliran ini dinisbahkan kepada Imam al-Huda Abu Mansur Muhammad bin Muhammad al-Maturidi dari Samarkand. Dari segi pemikirannya, al-Maturidi banyak memiliki kesamaan dengan al-Asy’ari, sekalipun ada beberapa perbedaan cukup signifikan antara keduanya. Misalnya terkait persoalan ma’rifah mengetahui Allah, Asy’ariyah menganggapnya wajib berdasarkan syara’, sedangkan Maturidiyah melihat kewajiban ini juga dapat dicapai melalui penalaran akal. Demikian pula perihal kebaikan, Asy’ariyah tidak mengakui bahwa penilaian atas hal itu dapat dicapai melalui penalaran akal atas substansinya. Sementara Maturidiyah menerima kemampuan akal untuk menilai kebaikan sesuatu berdasarkan substansinya. Dari sini dapat diketahui bahwa Maturidiyah memberikan otoritas lebih besar kepada akal manusia dibandingkan dengan Asy’ariyah. Sekalipun demikian, pemikiran keagamaan Maturidiyah senantiasa menjadikan dalil-dalil syara’ sebagai rujukan dan bingkai penafsirannya. Aliran penentang Mu’tazilah di Basrah dipimpin oleh Abu Hasan al- Asy’ari, sedangkan di Samarkand dipimpin oleh al-Maturidi. 83 Walaupun kedua aliran tersebut sama-sama sebagai Ahlussunnah wal Jama’aah, tetapi antara 82 Ibid., h.133. 83 Ahmad Amin, Dzuhr al-Islam Beirut: Dar al-Fikr, 1969, h. 91. keduanya terdapat perbedaan. Menurut Muhammad Abduh, bahwa perbedaan itu bukanlah pada soal-soal yang prinsipil, serta jumlahnya tidak lebih dari 40 masalah. 84 Sedangkan menurut Abû Zahrah, perbedaan itu terletak pada, bahwa Maturidi lebih banyak memberikan peranan kebebasan kepada akal dibanding dengan Asy’ari, sehingga hasil pemikirannya banyak juga yang berbeda. 85 Al-Maturidi mempunyai banyak pengikut, salah satunya bernama al- Bazdawi. Al-Maturidi dan al-Bazdawi walaupun sama-sama pengembang aliran tersebut, tetapi antara keduanya memiliki beberapa perbedaan paham. Maturidiyah yang pusat kegaiatannya di Samarkand disebut Maturidiyah Samarkand yang dipimpin oleh al-Maturidi sendiri, pendapat-pendapatnya banyak yang sejalan dengan paham Mu’tazilah yang rasionil, sedang Maturidiyah yang pusat kegiatannya di Bukhara yang dipimpin al-Bazdawi disebut Maturidi Bukhara, paham-pahamnya banyak berdekatan dengan paham Asy’ariyah. 86 Dengan demikian, aliran Maturidiyah memiliki dua cabang yakni Maturidiyah Samarkand dan Matiridiyanh Bukhara. Maturidi mengatakan bahwa pembicaraan tentang sifat Tuhan harus didasarkan atas pengakuan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat-Nya sejak zaman ‘azali , tanpa pemisahan antara sifat-sifat zat seperti qudrat, dan sifat-sifat aktif perbuatan, sifat af’al. seperti menciptakan, menghidupkan, memberi rizki dan lainnya. Sifat-sifat tersebut kesemuanya tidak boleh diperbincangkan, apakah itu hakekat zat ataukah bukan? 87 84 Abul Hasan al-Nadawi, Rijalul Fikr wa al-Da’wah fi al-Islam Kuwait: Darul Kalam,1969, h. 159. 85 Muhammad Abû Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah Kairo: Dar al-Fikr, t.t, h. 199. 86 Harun Nasution, Theologi Islam Jakarta: Bulan Bintang, 1974, h. 8-9. 87 A Hanapi, Theologi Islam Jakarta: Al-Husna, 1996, h. 94. Akan tetapi paham tersebut membelok kepada Asy’ari dengan mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat. Tuhan mengetahui sifat ‘ilm-Nya, bukan dengan zat-Nya. Tuhan berkuasa dengan sifat qudrah-Nya, bukan dengan zat- Nya. 88 Timbul persoalan yang sama seperti di atas. Kalau sifat-sifat itu bukan hakekat zat, tidak pula dari zat, apa jadinya sifat-sifat itu? Maturidi menjawab, bahwa sifat Tuhan itu adalah sifat Tuhan, tidak lebih dari itu. Dengan kata lain Maturidi tidak bisa menyelesaikan kontradiktif. Sebenarnya ia bisa saja membelok kepada Mu’tazilah atau orang-orang filosof, dengan mengatakan tidak dapat dipersamakan antara Tuhan dengan manusia dan sifat Tuhan adalah hakekat zat-Nya. Ia juga bisa melangkah kearah aliran salaf dengan pengakuan bahwa mazhab itu lebih selamat dan bahwa pembahasan sifat akan menyeret kita kepada bid’ah Mu’tazilah dan Asy’ariyah. 89 Meskipun demikian, sikap Maturidi terhadap Mu’tazilah lebih lunak. Penetapan sifat-sifat untuk Tuhan, baginya tidak seperti tasybîh mempersamakan Tuhan dengan manusia dan mereka mengingkari sifat-sifat Mu’tazilah dengan alasan mensucikan Tuhan tidak perlu disebut Mu’attilah, tidak pula kafir, meskipun pengingkaran sifat lebih berbahaya dari pada menetapkannya sebab bisa menjadikan Tuhan suatu gambaran pikiran yang kosong. Dalam pembicaraan sifat-sifat Tuhan menurut Maturidi, harus digunakan cara tasybîh bersama-sama. Sifat-sifat Tuhan itu qadîm dan tidak bisa diterangkan kecuali dengan menggunakan kata-kata yang biasa digunakan untuk lingkungan manusia, yang berarti mempersamakan tasybih. Akan tetapi dalam hal itu haruslah dipakai jalan tanzîh untuk meniadakan setiap persamaan antara sifat 88 M Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid Jakarta: Raja Grafindo Persada, h. 128. 89 A Hanapi, Theologi Islam h. 95. Tuhan dengan sifat manusia. Karena itu tidak perlu ditanyakan, bagaimana sifat ‘ilm dan qudrat Tuhan itu, sebab petanyaan ini masih memaksakan adanya persamaan. 90 Berbicara sifat-sifat Tuhan lagi, Maturidi juga sejalan dengan Mu’tazilah bahwa sifat-sifat tersebut tidak memiliki eksistensi mandiri yang berada di luar zat-Nya. Padahal Asy’ariyah justru berpendapat bahwa sifat-sifat Tuhan memiliki eksistensi sendiri di luar zat-Nya. Hanya saja ia sepakat dengan Asy’ariyah bahwa Tuhan dapat dilihat oleh mata manusia penghuni surga di hari kiamat. Adapun persoalan al-Qur’an, Maturidiyah menyifatinya sebagai baru, tetapi tidak menyebutnya makhluk. Ini berbeda dengan Mu’tazilah yang menegaskan kemakhlukan al-Qur’an dan Asyariyah yang menyifatinya bukan makhluk tetapi tidak menyatakannya qadîm. Sedangkan kalam dilihat Maturidiyah sebagai salah satu sifat Tuhan yang melekat dengan zat-Nya. Terhadap ayat-ayat sifat yang mutasyabbih , Maturidiyah memilih melakukan pentakwilan dengan membawanya kepada arti yang muhkâm dengan tetap menghindari jebakan antropomorfisme. 91 Perbedaan lainnya juga nampak seputar perbuatan Tuhan di mana Asy’ariyah menyatakannya tidak terkait dengan sebab karena Tuhan tidak dikenai pertanggung jawaban. Sedangkan Maturidiyah dengan redaksi berbeda lebih cenderung sejajar dengan pemikiran Mu’tazilah yang menyatakan bahwa dalam tiap perbuatan-Nya pasti terdapat hikmah dan tujuan, karena mustahil Tuhan Yang Maha Bijaksana sampai berbuat iseng dan kesia-siaan. Tentang konsep kasb , antara keduanya juga terdapat titik perbedaan yang signifikan. Asy’ariyah 90 Ibid., h.95 91 Pejiarah, Maturidiyah , artikel diakses pada 30 Mai dari http:peziarah.wordpress.com20070307maturidiyah menetapkan kasb dalam kebersamaan antara perbuatan yang diciptakan Tuhan dan ikhtiar hamba. Tetapi, hamba sendiri tidak memiliki pengaruh terhadap kasb tersebut karena Tuhan-lah yang menciptakannya. Implikasi logis pandangan ini memang bersifat fatalis karena ikhtiar hamba menjadi tidak berarti karena iapun dipengaruhi oleh Tuhan. Sedangkan Maturidiyah memberi pengakuan bahwa hamba memiliki potensi kebebasan dalam kasb. Dengan potensinya itu ia bebas memilih untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu. Dan dalam perbuatan itulah kebersamaan dengan penciptaan Tuhan terjadi. 92 Mengenai perbuatan Tuhan ini, terdapat perbedaan pandangan pendapat antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara. Aliran Maturidi Samarkand yang juga memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, berpendapat perbuatan Tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang baik bagi manusia. Dengan demikian juga dengan pengiriman rasul dipandang Maturidiyah Samarkand sebagai kewajiban Tuhan. 93 Adapun mengenai pengiriman rasul, Maturidi Bukhara, sesuai dengan faham mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, mempunyai faham yang sama dengan Asy’ari. Bahwa pengiriman rasul tidak bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin. Maturidi Bukhara memiliki pandangan yang sama dengan Asy’ari mengenai faham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun, sebagaimana dijelaskan Bazdawi, Tuhan pasti menepati janji-Nya, seperti memberi upah kepada orang yang berbuat baik, walaupun Tuhan mungkin saja membatalkan ancaman bagi orang yang berdosa besar. Adapun pandangan Maturidi Bukhara 92 Ibid., 93 M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam, h. 91. tentang pengiriman rasul, sesuai dengan faham mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, tidak bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin saja. 94 Mengenai pemberian beban kepada manusia di luar batas kemampuannya, Maturidi Bukhara menerimanya. Tuhan kata al-Bazdawi, tidaklah mustahil meletakan kewajiban-kewajiban yang tak dapat dipikulnya atas diri manusia. Sebaliknya aliran Samarkand mengambil posisi yang dekat dengan Mu’tazilah. Menurut Syarh al-Fiqh al-Akbar, Maturidi tidak setuju dengan pendapataliran Asy’ari dalam hal ini karena al-Qur’an mengatakan bahwa Tuhan tidak membebani manusia dengan kewajiban-kewajiban yang tak terpikul. 94 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 128- 133.

Bab IV SIFAT DAN PERBUATAN TUHAN MENURUT PERSPEKTIF