Sifat-sifat Tuhan SIFAT DAN PERBUATAN TUHAN MENURUT PERSPEKTIF

Bab IV SIFAT DAN PERBUATAN TUHAN MENURUT PERSPEKTIF

MUHAMMAD ABDUH

E. Sifat-sifat Tuhan

Terdapat pertentangan dalam teologi Islam dalam hal apakah Tuhan mempunyai sifat ataukah tidak. Apakah sifat tersebut esensi Tuhan itu sendiri ataukah mempunyai wujud tersendiri di luar zat-Nya? Sebagian aliran mengatakan ada dan sebagian yang lain mengatakan tidak ada. Dalam hal ini, Muhammad Abduh telah menyinggung dan menyebutkan sifat-sifat Tuhan dalam karyanya yang berjudul Risalah al-Tauhid. Mengenai masalah tersebut, Abduh tidak tegas dalam mengatakan bahwa sifat Tuhan adalah esensi Tuhan, karena hal itu terletak di luar kemampuan manusia untuk mengetahuainya. 95 Dalam karyanya yang lain yaitu Hasyiah ’alâ Syarh al-Dawwânî li al- ’Aqaid’id al-’Adudiah, Abduh menjelaskan bahwa sifat Tuhan menurut pendapat para filosof Islam, adalah esensi. Maksudnya, bahwa esensi Tuhan adalah sebagai satu-satunya sumber dari segala yang ada, yang merupakan sumber yang timbul akibat dari sifat. Akibat dari sifat mengetahui, ialah “memperoleh pengetahuan” tentang objek pengetahuan, dan “memperoleh pengetahuan” tersebut timbul karena akibat dari esensi. Dengan kata lain, bahwa esensi dan sifat mengetahui adalah satu, karena keduanya sama-sama “memperoleh pengetahuan.” Begitu pula halnya dengan sifat berkuasa. Akibat dari sifat kekuasaan adalah “pelaksanaan perbuatan”. Dan “pelaksanaan perbuatan” tersebut juga timbul karena sumber dari 95 Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah Jakarta: UI- Press, 1987, cet-1, h. 71. segala yang ada yaitu akibat dari esensi. Maka dari itu, esensi dan sifat berkuasa adalah pula satu, karena keduanya sama-sama mengakibatkan “pelaksaana perbuatan.” Dengan demikian, esensi ditinjau dari segi tercapainya pengetahuan tentang sesuatu adalah memperoleh pengetahuan, dan ditinjau dari segi kekuasaan adalah terlaksananya perbuatan. 96 Abduh lebih cenderung kepada pandangan para filosof. Karena dapat disimpulkan dari kritik yang diberikan terhadap definisi al-’alim adalah sebagai orang yang mempunyai sifat mengetahui, yang disebut pengetahuan, dan sifat pengetahuan itu melekat pada esensinya. Dalam pendapatnya al-’alim adalah orang yang bagi hakekatnya sesuatu telah menjadi nyata. Definisi ini sudah jelas menolak adanya sifat yang disebut pengetahuan. Abduh juga mengkritik pendapat yang menyebutkan bahwa sifat Tuhan adalah lain atau berbeda dari Tuhan. Dengan argumennya, mereka menjelaskan bahwa Tuhan untuk menjadi sempurna, berhajat pada sesuatu di luar esensi-Nya, yaitu sifat-Nya. Itu berarti bahwa ada yang membuat Tuhan untuk menjadi sempurna, dengan begitu terdapat hal-hal yang lebih tinggi dari Tuhan, dan hal tersebut tidak dapat diterima oleh akal. Bahwa sifat adalah satu dan sama dengan esensi, untuk menjadi sempurna, Tuhan tidak perlu berhajat kepada sesuatu di luar-Nya. Dengan demikian, Muhammad Abduh di sini jelas memihak pada golongan yang meniadakan sifat, karena itu merupakan sesuatu yang lebih masuk akal. 97 96 Ibid. , h. 72. Lihat Muhammad Abduh, Hasyiyah ‘alâ Syarh al-Dawwânî li al-Aqaid al-Adûdiah , ed. Dr. Sulaiman Dunia dalam Al-Syaikh Muhammad Abduh bain Al-Falsafi wa Al- Kalamiyin Cairo: Isa Al-Babi Al-Halabi, 1958, h. 280-282. 97 Ibid., h. 72. Di sini dapat dijumpai lagi paham peniadaan sifat. Abduh berpendapat bahwa pengikut-pengikut Asy’ari salah tangkap apa yang dimaksud imam mereka. Dengan argumen Asy’ari yang menyatakan bahwa tidak dapat dikatakan sifat yang disifati adalah lain dari pasangan maing-masing. Dengan perumpamaan bahwa “tidak ada di rumah selain Zaid”, maka sifat dan bagian dari Zaid adalah bukan dari Zaid, dengan begitu sifat dan bagian dari Zaid tidak ada di rumah, tetapi sifat dan bagian dari Zaid itu ada di sana, karena Zaid tidak dapat berwujud tanpa adanya sifat dan bagiannya itu. Menurut pendapat Abduh perumpamaan “tidak ada di rumah selain Zaid”, menurutnya adalah lemah karena setiap orang kecuali Zaid dengan sifat dan bagiannya itu tetap ada di rumah. Oleh kerena itu, Abduh tidak setuju dengan pendapat Asy’ari bahwa sifat adalah bukan Tuhan tetapi bukan pula lain dari Tuhan. Dan Abduh mempertanyakan pendapat Asy’ari dan pengikutnya apabila seseorang menyembah sifat-sifat di luar Tuhan? Bukankah itu menjadi syirik politheisme? 98 Dalam tulisannya, Abduh tidak pernah memberikan definisi tentang “lain”, dan ia meragukan bahwa konsep tersebut di atas datangnya dari Asy’ari sendiri, karena menurut al-Syahratani yang merupakan salah satu pendiri aliran Asy’ari berpendapat sebaliknya. Dalam bukunya al-Milal wa al-Nihal. Menurutnya “… Tidak dapat disebut sifat adalah Tuhan hiya huwa, pula bukan lain dari Tuhan hiya ghairuhu, pula bukan Tuhan la huwa dan pula bukan lain dari Tuhan la ghairuhu . Jelas kata Muhammad Abduh, bahwa kata yang dari padanya dikeluarkan pengertian “lain” ghairuhu, adalah bukan “lain” la ghairuhu, itu sendiri dan kata yang dari padanya dikeluarkan pengertian “Ia adalah Tuhan” 98 Ibid., h. 73. hiya huwa, adalah “bukan Tuhan” la huwa sendiri. Ungkapan itu membawa kepada peniadaan yang bersifat majemuk. Jelasnya sifat-sifat itu tidak bisa dikatakan Tuhan, tidak pula “bukan Tuhan”, tidak pula “lain dari Tuhan”, dan bukan pula “lain dari Tuhan”. Ungkapan demikian, katanya lebih lanjut, tidak ada artinya kecuali diberi interpretasi bahwa yang dimaksud dengan sifat hanyalah keadaan mental, dan pada hakikatnya tidak mempunyai wujud…” 99 Menurut Abduh, Asy’ari dalam menerima konsep peniadaan Tuhan berbeda dengan pengikut-pengikutnya karena para pengikut-pengikutnya tidak menerima konsep tersebut, sedangkan bagi Mu’tazilah, hanya sebagai keadaan mental dalam hal memandang sifat. Dari pemaparan di atas, sudah jelas terlihat bahwa Abduh lebih cenderung kepada pendapat konsep peniadaan sifat Tuhan, meskipun dalam Risalah ia berbicara mengenai sifat-sifat Tuhan namun tidak membahas pakah sifat itu esensi atu lain dari esensi. Dan tidak ada pertentangan antara tulisannya tentang sifat dalam Risalah dengan tulisannya yang lain dalam hasyiyah. Dengan begitu, karena Abduh tidak berpegang kepada paham mutlaknya kehendak dan kekuasaan Tuhan, maka bisa saja Abduh memasukan teori peniadaan sifat Tuhan dalam teologinya. 100 Dalam pandangan Muhammad Abduh, berfikir tentang zat Tuhan sama artinya dengan mencari hakikat zat yang menjadikan dari satu sudut pandang. Hal ini terlarang bagi manusia sebab terjadi sebuah ketidak-seimbangan dua wujud yang berbeda antara wujud khalik dan wujud akal manusia. Sedang dari sudut pandang lain hal ini merupakan sebuah kesia-siaan sebab manusia akan gagal 99 Ibid., h. 74. 100 Ibid., h. 74. mengenali zat Tuhan sekalipun dengan mengerahkan kemampuan akalnya. Dengan demikian, pandangan Muhammad Abduh tentang penggunaan hukum akal wajib dalam pengenalan terhadap Tuhan bukan merupakan upaya untuk menelusuri hakikat zat Tuhan namun terbatas dengan mengamati ciptaan dan melihat tanda-tanda kebesaran Tuhan di dalam ciptaan tersebut. Dalam hal ini ia juga menolak penggunaan akal secara berlebihan sehingga keluar dari kaidah berfikir yang benar. 101 Menurut Abduh, Yang wajib “ada” itu hanyalah Tuhan, yang menjadi sumber bagi segala yang mungkin ada, seperti yang telah diterangkan dengan jelas beserta bukti yang meyakinkan. Dengan demikian, Dia merupakan wujud yang paling kuat dan yang paling tinggi. Dia diiringi dengan sifat-sifat atribut-atribut wujudiah yang sesuai dengan kedudukan dan martabat-Nya yang tinggi itu. Segala apa yang dapat dibayangkan oleh akal tentang wujud yang sempurna yang dapat dicakup oleh makna tetap, kekal dan nyata, serta sifat yang mungkin dapat dilekatkan kepada wujud yang sempurna itu wajiblah hal itu disifatkan kepada diri-Nya. Dan karena Dia merupakan sumber dari kesempurnaan wujud-Nya seperti yang telah disebutkan, maka wijiblah sifat-sifat wujudiah yang diperlukan oleh martabat yang mulia ini, sifat-sifat yang melekat pada zat-Nya. 102 Para ahli kalam membagi yang Maklum yang dapat dicapai oleh akal kepada tiga bagian yaitu mustahil, mungkin dan wajib bagi zat-Nya. Adapun yang “mustahil” bagi zat-Nya ialah sesuatu zat yang tidak mungkin ada. Apabila sekiranya berwujud, maka tentulah menjadi tidak lazim bentuk mahiyahnya 101 Susiyanto, Melacak Pemahaman Asy’ariyah dalam Pemikiran Muhammad Abduh , artikel diakses pada 5 November 2008 dari http:susiyanto.wordpress.com20080330melacak- pemahaman-asyariyah-dalam-pemikiran-muhammad-abduh 102 Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid Cairo: Dar al-Manar, 1366 H. h. 40. kenyataan sesuatu benda. Oleh karena itu, sesuatu yang mustahil memang tidak bisa diwujudkan dan memang tidak akan ada dengan pasti. 103 Yang “mungkin” bagi zat-Nya adalah sesuatu yang tidak ada wujudnya kecuali dengan suatu sebab, tetapi tidak pula dapat dikatakan tidak ada zatnya, karena ia juga bisa terwujud karena adanya sebab. Dengan demikian tidak ada satu pun di antara kedua perkara tersebut ada dan tiada yang dimiliki oleh sesuatu itu sekaligus. Sedangkan yang “wajib” bagi zat-Nya adalah sesuatu yang zatnya memang sudah semestinya ada. 104

F. Sifat-sifat Tuhan Yang Wajib Ada