Pesantren: Dunia Pergumulan Intelektual

kyai besar di Jawa. 33 Kakek dari ayahnya KH. Hasyim Asy’ari adalah ulama besar pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur dan pernah memangku jabatan Rais Akbar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Sementara itu, kakek dari pihak ibunya, KH. Bisri Syamsuri, juga pengasuh Pondok Pesantren di Denanyar, Jombang dan pernah memangku jabatan Rais `Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Kedua kakek Abdurrahman Wahid inilah yang merupakan tokoh dan kiai cikal bakal pendiri organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama NU, di samping KH. Abdul Wahab Hasbullah. 34 Latar belakang keluarga yang demikian membuat ia secara genetik utamanya berasal dari tradisi pesantren dan merupakan keturunan darah biru. Meminjam terminologi Clifford Geertz, Abdurrahman Wahid tergolong sebagai seorang santri dan priyai sekaligus dalam tipologi masyarakat Jawa. Dalam geneologi yang demikian, tidak diragukan lagi bahwa ia berada pada posisi inti dalam kosmologi dan emosi komunitas -meminjam istilah Gaffar Karim- masyarakat NU. 35 Gus Dur lahir dan berkembang dalam tradisi pesantren dimana terdapat relasi yang cukup unik antara kyai dan santri. Menurut Zubaidi Habibullah A., siapapun yang pernah mengenyam pendidikan pesantren akan menemukan model hubungan feodal antara kiai dan santrinya. Dalam tradisi pesantren, santri akan merasa takut berhadapan dengan kiainya. Jangankan duduk dalam satu forum, berpapasan dengan kiainya lebih sering menghindar. Bahkan, santri mempunyai 33 Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, jilid V, h. 161. 34 A. Gaffar Karim, Metamorfosis Nahdlatul Ulama: Politisasi Islam Indonesia Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995, h. 95. 35 Listiyono Santoso, Teologi Politik Gus Dur Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2004, h. 68. ketaatan yang cukup kuat terhadap apapun yang dikatakan oleh kiai. Ketaatan ini kemudian sering disalahfahami oleh orang luar pesantren yang cenderung menganggapnya sebagai ketaatan yang negatif, Karena dianggap berlebihan dan fanatik. Meskipun sebenarnya ketaatan yang dipresentasikan oleh para santri terhadap kiai di pesantren tetap berpijak pada berbagai kajian-kajian kitab-kitab klasik kitab kuning yang banyak di baca dan dipahami oleh kalangan pesantren. Artinya, ketaatan yang dipresentasikan oleh kalangan santri terhadap kiai bukanlah ketaatan buta, sebagaimana yang selama ini dipahami, tetapi sebuah ketaatan pada ‘otoritas keilmuan’. 36 Demikian kuatnya posisi Abdurrahman Wahid di tengah keunikan tradisi pesantren tersebut, sesungguhnya tidak pernah membuatnya ‘terninabobokan’. Berbagai bentuk pemikirannya justru menunjukkan indikasi yang kuat untuk melampaui sekat-sekat tradisi yang selama ini menjadi basis intelektualitasnya. 37 Bahkan pemikirannya seringkali dianggap lebih modern daripada para pemikir yang selama ini dianggap atau menganggap sebagai pemikir modern. Tidak berlebihan bila Greg Barton memasukkan Abdurrahman Wahid sebagai salah satu pemikir neo-modernis di samping Nurcholish Madjid, Djohan Effendy dan Ahmad Wahib. 36 Santoso, Teologi Politik Gus Dur, h. 69. 37 Dengan pengetahuan yang dimilikinya, ia telah menulis ratusan artikel di berbagai media masa, baik di Indonesia maupun luar negeri. Bunga Rampai Pesantren 1979 dan Muslim di Tengah Pergumulan 1981 adalah karya-karya yang menjadikan sosok Abdurrahman Wahid dikenal dengan keintelektualannya. Di samping yang telah disebutkan di atas, ada juga Islam, the State and Development in Indonesia Islam, Negara dan Pembangunan di Indonesia dan Ethical Dilemmas of Development in Asia Dilema Etis Pembangunan di Asia adalah salah satu karya ilmiah Abdurrahman Wahid dalam bahasa Inggris. Sejak kecil Abdurrahman wahid sudah diberi pengetahuan dan pendalaman agama serta perasaan tanggung jawab terhadap Nahdlatul Ulama. Di ambang usianya yang masih sangat muda 12 tahun, 38 perasaan tanggung jawab ini secara dramatis semakin menguat ketika harus menyaksikan kematian ayahnya dalam kecelakaan mobil. Upaya pengenalan terhadap dunia luar atau sejumlah kelompok sosial sudah diterapkan oleh kedua orangtuanya baik sebelum maupun sesudah ayahnya meninggal, yaitu secara periodik Abdurrahman kecil dititipkan dalam asuhan seorang warga Jerman, teman baik ayahnya yang telah memeluk agama Islam. Pada waktu itulah ia pertama kali diperkenalkan dengan musik klasik Eropa yang kemudian menjadi kegemarannya. Setamat Sekolah Dasar di Jakarta tahun 1953, Abdurrahman Wahid melanjutkan pendidikannya pada Sekolah Menengah Ekonomi Pertama SMEP di Yogyakarta dan lulus tahun 1957, sambil sesekali belajar mengaji pada KH. Ali Maksum di Krapyak, walaupun ia sendiri tinggal di rumah pemimpin modernis, KH. Junaid, seorang ulama yang merupakan anggota Majelis Tarjih Muhammadiyah. Pendidikan keagamaan selanjutnya diasah di beberapa pondok pesantren Nahdlatu ‘Ulama terkemuka, antara lain di pesantren Tegalrejo, Magelang dengan menyelesaikan waktu belajarnya kurang dari separuh waktu santri pada umumnya 1957-1959. Dari tahun 1959 hingga 1963, ia belajar di Mu’allimat Bahrul 38 Angka ini diambil dari pengakuan Abdurrahman Wahid dalam Tabayun Gus Dur: Pribumisasi Islam Hak Minoritas Reformasi Kultural Yogyakarta: LKiS, 1998, h. 152. Berbeda dengan yang dijelaskan oleh Greg Barton dalam Greg Barton dan Greg Fealy ed, Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara Yogyakarta: LKiS, 1997, h. 163, A. Gaffar Karim, dan beberapa tokoh lainnya menyebutkan angka 13. ‘Ulum, pesantren Tambakberas, Jombang, Jawa Timur kepada KH. Wahab Hasbullah. Berikutnya ia kembali ke Yogyakarta untuk mondok di pesantren Krapyak, dan tinggal di rumah pemimpin Nahdlatul ‘Ulama terkemuka KH. Ali Ma’shum. Setelah itu, ia memperdalam ilmu-ilmu Islam dan sastra Arab di Universitas al-Azhar, Kairo Mesir, kemudian pindah ke Fakultas Sastra Universitas Baghdad Irak antara tahun 1966 sampai 1970. 39 Di Irak Gus Dur mendapatkan rangsangan intelektual yang tidak pernah ia dapatkan di Mesir. Di sana ia merasa menemukan gairah intelektualnya kembali dengan menekuni buku- buku besar karya sarjana orientalis Barat. Di samping itu, hal yang menarik lagi adalah perpustakaan universitas yang penuh buku-buku mengenai Indonesia. Setelah menyelesaikan studinya di Baghdad tahun 1970, Gus Dur berharap dapat mendaftar di salah satu perguruan tinggi di Eropa. Ia merancang perjalanan untuk melakukan penjajakan mengunjungi universitas Kohln, Heidelberg, Paris, dan Leiden. Di setiap tempat tersebut Gus Dur melakukan penjajakan, karenanya ia menjadi pelajar keliling, berjalan dari satu universitas ke universitas lain. Akhirnya ia menetap di Belanda dan tinggal di sana selama enam bulan. Selama tinggal di Belanda, Gus Dur mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia yang tinggal di Eropa. Organisasi ini sampai sekarang masih hidup. Perjalanan panjangnya di luar negeri berakhir pada Juni 1971 ketika ia dipanggil pulang ke Jombang. Pada tahun 1972, dengan bekal ijazah S1 dari Universitas Baghdad, ia diangkat menjadi seorang dosen merangkap sebagai Dekan pada Fakultas 39 Greg Barton dan Greg Fealy ed, Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara Yogyakarta: LKiS, 1997, h. 163. Ushuluddin di Universitas Hasyim Asy’ari Unhas Jombang. Bersamaan dengan itu, untuk menguji intelektualitasnya dan mengembangkan pemikiran sosial politiknya, Gus Dur banyak menulis di berbagai media masa nasional. 40

B. Dari Memimpin NU Hingga Menjadi Presiden RI

Bila melihat sepak terjang Gus Dur sekembalinya dari pengembaraanya menuntut ilmu di Timur Tengah dan Barat sampai dengan sekarang ini, rasanya tidak keliru kiai Wahid memberi nama Abdurrahman ad-Dakhil. Karena Gus Dur saat ini telah menjadi “penakluk”. Bukan saja karena geneologi pesantren yang dimilikinya, akan tetapi juga karena kedalaman ilmunya, sehingga mampu membaca situasi yang sedang berkembang. Kedalaman keilmuannya itulah yang mendorong KH. Yusuf Hasyim, pamannya, agar Gus Dur bersedia membantu Pondok Pesantren Tebuireng, ini ia jalani hingga tahun 1980. selama periode itu secara teratur ia semakin terlibat dalam kepengurusan NU dengan menjabat Wakil Katib Awal Syuriyah PBNU. Dari sini, ia mulai sering diundang diskusi-diskusi keagamaan dan kepesantrenan di berbagai tempat baik dalam maupun luar negeri. Gus Dur pun kemudian terlibat dan terjun di dunia LSM, menjadi tenaga pengajar pada program training-training, termasuk untuk tenaga Protestan. 41 40 Dalam catatan Hairus Salim dan Nuruddin Amin, Gus Dur pertama kali muncul dalam pentas nasional pada awal 1970-an, tepatnya 1973, ketika salah satu tulisannya mengenai dunia pesantren muncul di media masa ibu kota berpengaruh Kompas pada 26 November 1973 yang berjudul “Pesantren dalam Kesusasteraan Indonesia”. Baca H. Fuad Anwar, Melawan Gus Dur Yogyakarta: Pustaka Tokoh Bangsa, 2004, h. 9. 41 Tim INCReS, Beyond the Symbol: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000, h. 20. Di kapal besar NU, melalui tawaran pemikirannya yang brilian tentang “kembali ke khittah 1926” dengan meninggalkan gelanggang politik praktis, Gus Dur pada tahun 1984 terpilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahlul hilli wal `aqdi, yang diketuai KH. R. As’ad Syamsul Arifin, untuk menduduki jabatan Ketua Umum PBNU dalam muktamar ke-27 NU di Pondok Pesantren Salafiyah, Sukorejo, Situbondo. 42 Terpilihnya Gus Dur sebagai Ketua Umum PBNU selama tiga periode bukan berarti perjalanan yang mulus tanpa hambatan. Sifat dan sikapnya yang kontroversial dan sering dinilai aneh tidak jarang membawa sikap kontra dari beberapa ulama atau kalangan dalam NU sendiri. Wacana khittah NU dengan keluar dari PPP yang dibawanya dan kalangan muda saat itu menjadikan rasa “marah” bagi ulama-ulama lain terutama yang terlibat dalam partai politik di PPP seperti Idham Chalid, ketua tanfidziyah sebelumnya. Pada masa kepemimpinannya, Gus Dur membawa NU dalam suasana dinamis, penuh nuansa wacana dan kritik. Kritik-kritik pedas yang dilontarkannya kepada pemerintah membawa dampak yang serius terhadap hubungan NU dengan pemerintah, imbasnya hasil muktamar NU tahun 1994 di Cipasung tidak “direstui” pemerintahan Soeharto. 43 Dalam upayanya menegakkan demokrasi di Indonesia, pada masa kepemimpinannya Gus Dur melakukan hegemoni terhadap pemerintahan Soeharto melalui dua pergerakan sekaligus. Pertama, dengan mendirikan Forum Demokrasi Fordem pada dekade awal 90-an. Forum ini merupakan “markas” para cendekia 42 H. Fuad Anwar, Melawan Gus Dur Yogyakarta: Pustaka Tokoh Bangsa, 2004, h. 10. 43 Aris Saefulloh, Gus Dur vs Amien Rais: Dakwah Kultural-Struktural Yogyakarta: Laelathinkers, 2003, h. 71.