Perjuangan Kultural: Pemikiran dan Aksi Politik

demokrasi. tentu semuanya harus beroperasi dalam bingkai kebangsaan dan kenegaraan sebagaimana termuat dalam Pancasila. Perjuangan kultural berbeda dengan perjuangan politik yang bersifat struktural. Jika perjuangan struktural selalu dikaitkan dengan konsep, ide bahkan jabatan, dan akuisisi kekuasaan acquisition of power serta bagi-bagi kekuasaan, maka perjuangan kultural lebih kepada pemberdayaan politik yang menempatkan posisinya sebagai kekuatan kontrol atas proses demokratisasi yang datang dari kelompok civil society dan berperan dalam mencerdaskan dan memberdayakan masyarakat. Perjuangan kultural yang dilakukan Gus Dur ini tampak menonjol ketika ia menjadi ketua umum PBNU 49 dan aktif di berbagai LSM, dimana ia tampil sebagai seorang pemikir yang kerap memperjuangkan demokrasi. ia mengungkapkan pentingnya reformasi progresif yang tidak hanya dibutuhkan sesaat, namun istiqomah dan harus menjadi proses yang berjalan terus-menerus. 50 Sebagai pimpinan NU, Gus Dur merupakan tokoh yang paling gigih memperjuangkan tumbuhnya keharmonisan hubungan antar-agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini terlihat misalnya pada pembelaannya atas penulis buku Satanic Verses: Salman Rushdie pada tahun 1987 serta penolakannya untuk menjadi bagian dari Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia 49 Salah satu upaya ril yang dilakukan dalam upaya peningkatan taraf hidup rakyat adalah membangun kerjasama antara NU dengan Bank Summa dalam pendirian Bank Perkreditan Rakyat BPR guna memberikan kredit usaha kecil dan menengah kepada masyarakat. Baca “Nahdlatul Ulama “Go Warga,” Tempo, 9 Juni 1990, h. 58. Pada awal 2006, terdapat 2300 BPR yang berperasi di seluruh Indonesia, namun jumlah itu menyusut hingga menjadi 2000 pada akhir 2006 dan terus berkurang tinggal 1767. BPR Nusumma adalah proyek ekonomi NU yang kurang berhasil, meskipun tidak gagal total. 50 Arif Saefulloh, Gus Dur vs Amien Rais: Dakwah Kultural-struktural Yogyakarta: Laelathinkers, 2003, h. 136. ICMI. Hal ini dilakukannya dalam upaya menumbuhkan budaya demokrasi dari bawah. Baginya kebebasan berpendapat adalah sikap mempertahankan hak berbicara paling gila sekalipun. Mengenai penolakannya menjadi anggota ICMI, adalah dikarenakan kekhawatiran akan terjadinya eklusifitas agama tertentu – dalam hal ini Islam- atas agama lain. Karena hal tersebut hanya akan mengancam sendi utama kehidupan berbangsa, yang tidak harus kembali kepada pertarungan ideologi era Orde Lama, tetapi sudah harus berpikir untuk bekerja sama demi memenuhi kebutuhan utama masyarakat. Sisi lain yang tidak kalah penting dikedepankan dalam konstelasi pemikiran dan aksi politik Gus Dur adalah pandangannya tentang nilai kemanusiaan. Pandangan ini telah menjadi titik tolak dalam menelusuri alur atau paradigma pemikirannya. Baginya, penghayatan atas nilai-nilai kemanusiaan merupakan inti ajaran agama. Tanpa nilai-nilai tersebut, dunia hanya dipenuhi oleh berbagai bentuk kekerasan dan konflik sosial. Penekanan pada pemahaman ini memberikan pendasaran bagi sikap humanisme yang hendak dibangun oleh Gus Dur. Humanisme dalam konteks ini adalah adanya penghargaan yang cukup tinggi terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang secara inhern melekat dalam diri manusia. Penghargaan ini berimplikasi pada diberikannya ruang yang ‘longgar’ atas kebebasan bertindak dan berpikir bagi setiap orang sesuai dengan kualitas nilai kemanusiaanya. Kondisi ini sangat lekat dalam aksi dam pikiran Gus Dur. Pembelaanya terhadap Arswendo Atmowiloto dalam kasus heboh Monitor, dukungannya terhadap agama Kong Hu Cu agar dimasukkan sebagai agama resmi yang diakui negara, pendirian Forum Demokrasi, pembelaanya terhadap Jamaah Ahmadiyah adalah rentetan panjang penolakannya terhadap perlakuan tidak adil terhadap minoritas, yang menurutnya bertentangan dengan ajaran agama yang menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan. Kecintaanya yang mendalam terhadap kemanusiaan membuat Gus Dur sangat terkenal dalam melakukan pembelaan terhadap berbagai bentuk penindasan dan kekerasan, atas nama apapun, terlebih atas nama agama. Ukuran nilai kemanusiaan ini baginya merupakan bentuk pengakuan atas mertabat kemanusiaan yang harus di junjung tinggi, kapanpun, di manapun bahkan oleh siapapun. Nilai kemanusiaan menjadi semacam common platform bagi bertemunya segala bentuk perbedaan yang melatarbelakanginya, baik suku, bahasa, ras maupun agama. 51 Komitmen untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan seolah menjadi komitmen yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Baginya, penegakan nilai kemanusiaan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran agama. Dalam salah satu tulisannya tampak mempunyai semangat yang besar untuk memberikan pemahaman baru tentang pentingnya penegakkan nilai kemanusiaan. Berbagai bentuk pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan justru banyak terjadi di negara-negara yang menganggap dirinya sebagai pejuang bagi hak asasi manusia HAM. Adanya peperangan yang melanda negara-negata di dunia ini adalah wujud dari meningkatnya kekerasan dalam setiap penyelesaian masalah. Kekrasan 51 Listiyono Santoso, Teologi Politik Gus Dur Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2004, h. 102-104. –disadari atau tidak- adalah bagian dari upaya pereduksian HAM dalam tingkatan apapun. 52 52 Baca Abdurrahman Wahid, “Mencari Prespektif Baru dalam Penegak Hak-hak Asasi Manusia” dalam Prisma Pemikiran Gus Dur Yogyakarta: LKiS, 2000, cet. ke-II, h. 85-97.

BAB IV PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID

TENTANG DEMOKRASI Setelah memahami beberapa teori demokrasi yang telah dijelaskan pada BAB II dan mengenal lebih dekat sosok Abdurrahman Wahid Gus Dur baik latar belakang keluarga, pendidikan, jabatan yang pernah disandangya serta pola perjuangannya di pentas politik nasional sebagaimana dijelaskan pada BAB III, maka dalam bab ini akan dijelaskan secara lebih rinci pokok-pokok gagasan dan pemikirannya tentang demokrasi yang diharapkan dapat memberikan penjelasan secara komprehensif.

A. Pilar-pilar Demokrasi

1. Kedaulatan Hukum Sebuah pemerintahan terbentuk melalui perjanjian yang mengikat antar seluruh warga negara tanpa kecuali demi terwujudnya keadilan, keamanan dan kesejahteraan seluruh warga negara. Perjanjian itu dilahirkan dalam bentuk yang kita kenal dengan konstitusi. Konstitusi berperan sebagai pedoman yang mengarahkan seluruh komponen bangsa guna mencapai cita-cita bersama. Dalam sebuah tulisannya Gus Dur menulis: “Konstitusi pada hakekatnya mengatur tentang kekuasaan dan hubungan kekuasaan di dalam negara, memberi batas tegas pada wewenang kekuasaan negara, dan sekaligus meneguhkan hak-hak warganegaranya, berikut menjamin perlindungan baginya. Keberadaan konstitusi juga dimaksudkan untuk menjamin warganegara dari kemungkinan kesewenang-wenangan kekuasaan negara. Hal ini didasarkan pada 45 pemahaman bahwa pemegang kekuasaan memang bisa menyalahgunakan kekuasaan.” 53 Dalam tulisannya yang lain, beliau mengatakan bahwa kedaulatan hukum merupakan hal terpenting yang perlu diperjuangkan seluruh komponen masyarakat tanpa terkecuali. Hal ini dimaksudkan agar kebutuhan minimal masyarakat yang berupa terpenuhinya kebutuhan pokok sehari-hari bagi “orang kecil”. Sebaliknya, bila kebutuhan minimal itupun tidak dapat dijamin, sudah tentu orang mencari “jalan pintas”: korupsi, manipulasi dan pelanggaran. 54 Baginya, memahami hukum haruslah dilihat dari fungsinya, yakni untuk menciptakan rasa takut akan hukuman jika kejahatan dilakukan –fungsi psikologis yang berwatak preventif . Lex talionis, hukum berbalasan, bukanlah jiwa pelaksanaan hukum pada masa modern ini. Tidak seperti zaman pemerintahan imperial Romawi atau sistem hukum pra modern lainnya. 55 Hal inilah yang merupakan dasar pemahaman Gus Dur tentang makna pentingnya kedaulatan hukum bagi tegaknya demokrasi di negeri kita. Dalam berbagai tulisannya tentang pentingnya kedaulatan hukum, Gus Dur mengajukan beberapa solusi alternatif untuk segera dilakukan dalam upaya mewujudkannya. Ia menulis, “….Hanya tentu kita dengan yakin dapat mengatakan, bahwa termasuk dalam proses demokratisasi ialah usaha untuk menegakkan peradilan yang bebas independent judiciary, juga berwenang mengadili gugatan pelanggaran hak konstitusi warganegara, dan menciptakan suatu instansi penguji kesesuaian peraturan perundang-undangan dengan konstitusi 53 Abdurrahman Wahid, Forum Demokrasi: Sebuah Pertanggungjawaban, sumber tak terlacak, h. 3-5. Lihat pula Syaiful Arif, Gus Dur dan Ilmu Sosial Transformatif: Sebuah Biografi Intelektual Depok: Kukusan, 2009, h. 270. 54 Baca, Abdurrahman Wahid, “Menunggu Setan Lewat,” Tempo, 10 Maret 1984. 55 Wahid, “Menunggu Setan Lewat,” Tempo, 10 Maret 1984.