Islam dan demokrasi PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID

kedaulatan Tuhan dalam Islam? Segenap pertanyaan tersebut musti dijawab, tetapi jangan sampai melupakan kebutuhan mendasar, yakni mewujudkan politik demokratis, vis a vis keangkuhan kekuasaan. Dari sini kita menjadi faham, kenapa Gus Dur menolak negara Islam. Bukannya beliau tidak setuju dengan konsepsi tersebut, tetapi cita negara Islam di negeri ini bersifat diskontekstual, karena dalam real politics, persoalan sebenarnya adalah pergulatan antara kepentingan negara yang hendak menundukkan ideologi Islam. Artinya, perdebatan teoritis seputar Islam versus negara-bangsa, tidak relevan karena yang terjadi lebih kepada pergulatan politik antara rezim negara yang selalu memanfaatkan agama. Di sini kita mafhum bahwa Gus Dur merupakan salah satu pioneer dari penerima konsep dan bentuk negara-bangsa, yang secara otomatis menolak penyatuan antara agama dan negara. Tentu pada terma ini, Gus Dur bisa dimasukkan kedalam gerbong sekularisasi, bersama dengan Nurcholis Madjid Cak Nur. Hanya saja, konsep sekularisasi yang mensyaratkan disfungsionalisasi otoritas agama, karena telah diganti dengan otoritas administratif sekular, sebenarnya tidak cukup mampu menggambarkan detail perbedaan di dalam konsep pemisahan agama-negara. Hal ini berangkat dari satu postulat, bahwa terma sekularisasi lebih mengedepankan aspek “tujuan ideologis” di mana para konseptor negara-bangsa memiliki tujuan ideologis yang berbeda dan bahkan bertentangan dengan paradigma keagamaan ideologis. Maka tak bisa dihalangi, Islam sebagai cita-cita politik harus dipinggirkan, agar cita-cita masyarakat sekular bisa terwujud. Sejauh pembacaan terhadap pemikiran Gus Dur, terma sekularisasi semacam ini menurut penulis tidak relevan ketika disematkan kepada pemikiran Gus Dur. Hal ini dikarenakan perumusan sistem negara berdasarkan agama ternyata tidak betul- betul relevan bagi kebutuhan akan pemenuhan hak-hak bernegara dari masyarakat. Hal ini dilandaskan Gus Dur pada berbagai kondisi dan syarat faktual bagi berfungsinya sistem negara yang betul-betul mampu memenuhi kesejahteraan rakyat. Tuturnya: “Dengan melihat unsur-unsur yang diperlukan bagi sebuah upaya rekonstruksi teori kenegaraan dari sudut pandangan kontemporer saat ini, tampak bahwa lahan bagi upaya rekonstruksi serupa dari sudut pandangan Islam, tidak begitu menguntungkan. Solidaritas massa, bila digerakkan oleh semangat keagamaan, saat ini cenderung menjadi momok bagi pengembangan pluralitas budaya yang diperlukan bagi komunikasi eksternal kaum muslimin sendiri. Kesenjangan budaya cultural lag yang diderita oleh elit keagamaan ummat Islam, baik para ulama, cendekiawan maupun tokoh organisasi massa, cenderung untuk menolak setiap pemecahan masalah dalam kerangka sikap inklusivistik. Demikian juga, kehidupan spiritual kaum muslimin, yang sangat tipis kadar kontemplasinya karena didorong oleh kebutuhan pencarian ‘pemecahan praktis’ hulul ‘amaliyah, implementable solutions, sangat sedikit memberikan peluang untuk kiprah pemikiran yang berwawasan sangat jauh.” 81 Dari paparan ini jelas terlihat bahwa ketidaksetujuan Gus Dur terhadap teori kenegaraan Islam, serta usaha rekonstruksi atasnya, bukan semata disebabkan oleh sistem Islam itu sendiri, tetapi sebuah fakta historis yang memperlihatkan bahwa gelora pengislaman negara, ternyata hanya memasukkan Islam ke dalam 81 Abdurrahman Wahid, Masih Relevankah Teori Kenegaraan Islam? Tinjauan Kontemporer Atas Prinsip-Prinsip Rekonstruksinya, makalah pada Diskusi Konsep Negara Islam, FH-UII, Yogyakarta, 7 Februari 1988, h., 4 fanatisme ideologis, yang tentunya tidak berperan sebagai agama an sich. 82 Bagi Gus Dur, fanatisme ini telah melahirkan dua sikap yang sama-sama “membahayakan” Islam sebagai agama. Di satu sisi, Islam telah dijadikan alternatif ideologis berupa doktrin politik: Islam sebagai solusi, yang tentunya menyimpan potensi konflik dengan “solusi lain” yang ditempatkan sebagai “jahiliyah modern”. Alih-alih menciptakan maslahat, gelora serba alternatif ini pasti akan menggeret massa ke dalam pertarungan ideologis, sering dengan ceceran darah sesama muslim. Di sisi lain, Islam kemudian hanya dijadikan suplemen bagi proyek pemerintah non-Islam yang melahirkan satu politisasi agama, bisa melalui praktik birokratisasi, atau bahkan pemanfaatan suara untuk melegitimasi kebijakan pemerintah. Kedua posisi ini tentu menjadi penodaan bagi konsep Islam sendiri, yang sebenarnya penuh dengan cita-cita tentang keadilan serta kesejahteraan masyarakat. Fakta inilah yang membuat Gus Dur, apatis dengan usaha rekonstruksi teori kenegaraan Islam, dikarenakan berbagai problem kontemporer yang tidak akan bisa diselesaikan hanya oleh batasan konseptual dari perpolitikan agama. Berbagai problem tersebut merujuk pada bagaimana pelembagaan institusi pemerintah dibentuk: apakah menganut sistem sentralisasi ataukah desentralisasi? Jenis hukum formal yang mana, yang akan ditetapkan sebagai sistem hukum nasional, mengingat terdapatnya potensi meniadakan konsep “hukum lain”, demi kemapanan satu konsep hukum tertentu? Masyarakat seperti apa yang akan 82 Abdulkadir Kurdi, The Islamic State, New York: Mansell Publishing Limited, 1984, h., 41-45 dibangun: masyarakat tertutup yang menghambat proses distribusi kekuasaan, ataukah masyarakat terbuka? Hingga model kebudayaan seperti apa yang akan dituju, apakah kebudayaan monolitik yang tidak menenggang perbedaan, atau sebuah perhargaan atas dinamika pluralitas? Berbagai problem real yang terdapat baik dalam struktur kenegaraan, maupun kultur masyarakat inilah yang membuat rumus teori negara Islam menjadi irrelevant, sebab Gus Dur melihat pengatasnamaan agama dalam politik, tiada bedanya dengan segregasi ideologis berbagai isme yang menjadikan kekuasaan ideologinya sebagai tujuan utama pendirian negara, bukannya realisasi keadilan sosial. Pada titik ini Gus Dur kemudian merumuskan berbagai prinsip kenegaraan modern, yang tidak harus terkait dengan teori sistem kenegaraan tertentu, termasuk sistem Islami. Prinsip tersebut antara lain; 1 sistem pemerintahan yang secara universal memberikan kedudukan sama di muka hukum, tanpa melihat asal-usul agama, etnis, bahasa, budaya, maupun keyakinan politiknya. 2 sistem perwakilan berdasarkan ketentuan satu-orang-satu-suara one man one vote, yang akan menjamin kedaulatan rakyat yang tidak akan tertandingi sistem perwakilan terbatas manapun, 3 hukum nasional yang berlaku untuk semua warganegara, yang diramu dari unsur-unsur hukum agama, disamping sumber lain, sedangkan materi hukum agama yang tidak masuk dalam kodifikasi hukum formal undang- uandang berfungsi sebagai etik masyarakat menjadi fiqh atau hukum agama Islam, 4 jaminan penuh akan kebebasan berpendapat, berserikat dan menguasai hak milik, 5 pembagian kewenangan legislatif, eksekutif, yudikatif, dimana tidak ada satu pihak mencampuri otoritas pihak lain, 6 jaminan untuk mengembangkan keyakinan agama serta menyebarkan ajaran spiritualitas tanpa ada pembatasan, selama tidak menjurus kriminalitas, 7 jaminan akan kebebasan melakukan kegiatan ilmiah, perlindungan hukum atas karya-karya ilmiah, dari tindakan sepihak oleh semua otoritas, termasuk otoritas agama, diluar saluran pengadilan. 83 Pada ranah praksis, hal inilah yang membuat Gus Dur, sebagai Ketua Umum PBNU saat itu, menerima azas tunggal Pancasila, sebagai azas organisasi masyarakat, karena di samping hal tersebut merupakan keberpihakan dari ormas- ormas untuk mencoba keluar dari kepentingan sektarian, menuju pada kepentingan nasional, 84 juga dikarenakan oleh keyakinan bahwa Pancasila tidak akan mengganti posisi Islam sebagai aqidah. Keyakinan tersebut berangkat dari satu positioning Islam dalam kehidupan bangsa, yang oleh Gus Dur ditempatkan pada, pertama, sebagai etika sosial, di mana Islam mampu mengarahkan dan membentuk moralitas publik, dan kedua melalui penerapan hukum Islam secara partikular di dalam struktur hukum nasional, salah satunya melalui Departemen Agama, meskipun lembaga ini ternyata terjebak dalam birokratisasi dan tidak mampu melakukan pengaturan konflik internal gerakan Islam, sehingga mengalami kegagapan ketika harus berhadapan dengan dilema Islam dan modernitas. Penerimaan Gus Dur atas nama NU memang bersifat historis. Kesejarahan tersebut menemu ruang dalam penerimaan NU atas bentuk negara-bangsa, yang 83 Lihat Wahid, Masih Relevankah Teori Kenegaraan Islam, h., 5 84 Abdurrahman Wahid, Peranan Organisasi Kemasyarakatan dalam Pembangunan Politik: sebuah Telaah Awal, dalam Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam, Arifin Junaidi penyunting, Edisi terbatas, 1991, h., 57 mengindikasikan “selesainya” perdebatan pada level struktur kenegaraan untuk kemudian lebih mengembangkan perdebatan pada wilayah aplikasi dari eksistensi kenegaraan demi kesejahteraan rakyat. Dimulai sejak Muktamar tahun 1935 di Banjarmasin, NU sudah membuktikan watak moderasinya melalui pemberian status wilayah Hindia- Belanda sebagai dar al-Islam negeri muslim meskipun struktur negara yang ada adalah negara kolonial-sekular. Penerimaan ini berangkat dari argumentasi, bahwa negara menjamin kebebasan umat muslim dalam melakukan praktik ibadah, disamping argumen historis yang menggambarkan kesejarahan kerajaan-kerajaan Islam Nusantara, yang hingga kini masih memberikan bekas kultural dalam tradisi keagamaan dan kekuasaan muslim Nusantara. Konsekuensi dari penerimaan ini adalah, wajibnya umat muslim untuk mempertahankan wilayah tersebut dari penjajahan, sehingga sejak saat itu, perlawanan terhadap kolonialisme selalu mengemuka, baik yang dilatarbelakangi oleh berbagai kebijakan anti-Islam dari pemerintah Belanda, maupun fatwa Resolusi Jihad Kyai Hasyim Asy’ari, untuk mempertahankan kemerdekaan pada Oktober 1945. Dari momen sejarah ini, maka tanggapan Islam atas bangunan negara- bangsa, menemu pada dua ruang. Pertama, Islam mensyaratkan kebebasan bagi kaum muslim untuk melaksanakan ajaran agama, sebagai conditio sine qua non bagi penerimaan Islam atas eksistensi negara tersebut. Kedua, Islam membiarkan hal-hal yang berhubungan dengan bentuk negara, sistem pemerintahan, orientasi warga negara dan ideologi politik, ditentukan oleh proses sejarah. Dengan demikian, pola yang berkembang adalah wawasan kebangsaan yang dijalin dengan orientasi cukup kuat, sehingga keduanya tidak saling menolak, tetapi saling mendukung dalam batas dan ruang yang ditentukan secara proporsional.

C. Analisis Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Demokrasi

Secara faktual, latar belakang yang melingkupi pemikiran dan gerakan politik Abdurrahman Wahid Gus Dur adalah otoritarianisme pemerintahan Orde Baru. Sebuah pemerintahan yang menjadikan institusi demokrasi sebagai pemberangus hakikat demokrasi. Artinya, institusi dan prosedur yang semestinya ditempatkan sebagai mekanisme demokratis ternyata menjadi tujuan di dalam dirinya sendiri. Dari realitas politik inilah gagasan demokrasi Gus Dur lahir. Dengan menjadikan demokrasi institusional sebagai kritik dengan istilah yang ia lontarkan sebagai “demokrasi seolah-olah”, Gus Dur kemudian menambatkan solusi praksisnya pada dua ranah sekaligus, struktural dan kultural. Pada ranah struktural, Gus Dur menggagas pentingnya kedaulatan hukum yang diwujudkan dengan upaya menegakkan peradilan yang bebas dan menggagas lahirnya Mahkamah Konsitusi, penegakan Hak Asasi Manusia dan peningkatan kesejahteraan rakyat melalui pemberdayaan ekonomi rakyat. Ketiga hal ini diharapkan akan mampu mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi selluruh rakyat Indonesia. Pada ranah kultural, Gus Dur menggagas pentingnya penghargaan terhadap pluralitas sebagai wujud penghargaan terhadap keragaman budaya, bahasa serta agama dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia serta pemberdayaan masyarakat sipil yang pada akhirnya diharapkan akan mampu melakukan mekanisme kontrol terhadap kekuasaan sebagai mekanisme demokrasi. Dari penolakan terhadap paham institusionalisme dalam demokrasi, Gus Dur kemudian menekankan pada aspek infrastruktur demokrasi, yakni budaya keadaban civic culture yang menopang terjadinya demokratisasi, baik oleh negara kepada rakyat maupun sebaliknya. Konsep Gus Dur ini mengarah pada definisi demokrasi sebagai apa yang dipikirkan masyarakat tentang demokrasi itu sendiri. Artinya, segala kelembagaan demokrasi seperti parlemen, pemerintah ekskutif, hukum, dan pers, tidak akan mampu dan bahkan bisa menjadi musuh dari demokrasi, ketika demokrasi belum mampu merasuk dalam relung budaya masyarakat. Landasan seperti inilah yang membuat Gus Dur Concern terhadap pemberdayaan civil society dalam tubuh besar jama’ah Nahdlatul Ulama NU. Gus Dur menjadikan NU sebagai eksperimentasi penciptaan “kantong-kantong” masyarakat sipil, seperti penciptaan lembaga-lembaga ala NGO di NU, penguatan tradisi lokal masyarakat, serta penumbuhan gelombang intelektualisme anak muda NU. Organisasi ini kemudian menjelma menjadi kekuatan civil society yang berhadapan vis a vis negara. Gus Dur selalu menjadikan Pancasila sebagai point of view dalam semua aksi dan pemikirannya, baik ketika berhadapan dengan monopoli idiologi oleh negara, maupun dengan ideiologisasi Islam kaum skriptualis. Ketika negara menciptakan hegemoni ideologi dengan menciptakan azas tunggal Pancasila, Gus Dur kemudian “merebut” Pancasila dari rezim Orde Baru yang telah melakukan