Penghargaan terhadap Pluralitas Pilar-pilar Demokrasi

universal dalam Islam yang menjamin hak-hak semua warga negara. Hal ini beliau jelaskan: “Universalisme Islam menampakkan diri dalam berbagai manifestasi penting, yang terbaik adalah dalam ajaran-ajarannya. Rangkaian ajaran yang meliputi berbagai bidang, seperti hukum agama fiqh, keimanan tauhid , etika akhlak, seringkali disempitkan oleh masyarakat hingga menjadi hanya kesusilaan belaka, dan sikap hidup, menampilkan kepedulian yang sangat besar kepada unsur-unsur utama dari kemanusiaan al-insaniyyah . Prinsip-prinsip seperti persamaan derajat di muka hukum, perlindungan warga masyarakat dari kelaliman dan kesewenang-wenangan, penjagaan hak-hak mereka yang lemah dan menderita kekurangan dan pembatasan atas wewenang para pemegang kekuasaan, semuanya jelas menunjukkan kepedulian di atas.” Kedua, menjunjung tinggi nilai kosmopolitan, bahwa semua individu dan kelompok dalam sebuah negara memiliki tempatnya sendiri, dan paksaan kelompok mayoritas adalah sebuah malapetaka bagi pluralisme dan demokrasi. Dalam kaitan ini, terma kosmopolitan ini Gus Dur kaitkan dengan universalime Islam, sehingga keduanya menjadi satu kesatuan: aplikasi dari ajaran Islam yang universal tidak akan terjadi tanpa watak terbuka terhadap peradaban lain yang membuat Islam bersikap kosmopolitan. Watak terbuka ini memiliki sejumlah unsur dominan, seperti hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya, dan terciptanya heterogenitas politik. Dengan lugas beliau menjelaskan: “Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa kosmopolitanisme peradaban Islam tercapai atau berada pada titik optimal manakala tercapai kesimbangan antara kecendrungan normatif kaum muslimin dan kebebasan berfikir semua warga masyarakat termasuk mereka yang non- muslim.” 76 76 Abdurrahma Wahid, Universalime Islam dan Komopolitanisme Peradaban Islam dalam Pergulatan Negara, agama dan Kebudayaan Desantara: Depok, 2000, hal. 186. Ketiga, meyakini dan mengakui akan adanya perbedaan dengan tulus, merupakan faktor yang membuatnya memiliki integritas lintas etnik, agama, ras dan golongan. Harus diakui, berdirinya negara Indonesia ini, adalah disebabkan oleh adanya kesadaran berbangsa daripada faktor ideologi Islam, dan inilah kenyataan yang harus diterima secara obyektif. Karena itulah dia berpendapat bahwa ajaran Islam lebih baik ditempatkan sebagai komponen yang membentuk dan mengisi kehidupan bermasyarakat warga negara kita. Jadi jelaslah, masalah pluralisme adalah masalah bagaimana kaum Muslim sebagai mayoritas mengadaptasikan diri mereka dengan realitas dunia modern. Hal ini pasti akan melibatkan masalah-masalah bagaimana mereka memandang dan menilai sejarah Islam, dan bagaimana mereka melihat dan menilai perubahan dan keharusan membawa masuk nilai-nilai Islam yang normatif dan universal ke dalam dialog dengan realitas ruang dan waktu.

5. Pemberdayaan Masyarakat Sipil

Keberadaan sebuah civil society dalam masyarakat modern tentu tak lepas dari hadirnya komponen-komponen struktural dan kultural yang inhern di dalamnya. Komponen pertama termasuk terbentuknya negara yang berdaulat, berkembangnya ekonomi pasar, tersedianya ruang publik yang bebas, tumbuh dan berkembangnya kelas menengah serta keberadaan organisasi-organisasi dalam masyarakat. Pada saat yang sama, civil society akan berkembang dan menjadi kuat apabila komponen-komponen kultural yang menjadi landasannya juga kuat. Komponen tersebut adalah pengakuan terhadap HAM dan perlindungan atasnya, khusunya hak berbicara dan berorganisasi, sikap toleran antar individu dan kelompok dalam masyarakat, adanya tingkat kepercayaan publik yang tinggi terhadap pranata-pranata sosial dan politik, serta kuatnya komitmen terhadap kemandirian pribadi dan kelompok. Dalam merealisasikan gagasannya tentang urgensi pemberdayaan masyarakat sipil, ia kemudian mendirikan Forum Demokrasi Fordem. 77 Forum ini diharapkan dapat menjadi counter balancing kekuatan penyeimbang atas dominasi negara. Hal ini beliau jelaskan: “Perhatian dan kepentingan para peserta dan pendukung Forum Demokrasi adalah keutuhan bangsa Indonesia, yang ingin selalu dijaga, sambil tetap bergerak dalam proses menuju masyarakat yang lebih dewasa dan lebih maju. Disadari, bahwa ternyata perikehidupan kebangsaan yang utuh itu hanya bisa tercapai dan tumbuh dalam suasana yang demokratis. Atau sebaliknya, suasana tidak adanya demokrasi, suasana kurang kebebasan, justru akan menjadi sumber tumbuhnya sikap-sikap curiga-mencurigai, sikap mementingkan golongan atau kelompok sendiri, dan sikap meninggalkan norma-norma dan acuan umum untuk kemudian menggunakan nilai masing-masing dalam mengukur segalanya.” 78 Tidak sampai disitu, Gus Dur masih “membumikan” pemikiran ideal demokrasinya kedalam gerakan civil society melalui NU dan aktivitas kecendikiawanannya. Hingga akhirnya menjadi fase bagi Gus Dur untuk “membelokkan” strategi gerakannya kepada politik praktis dengan mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa PKB yang dilahirkan dari rahim NU. Banyak yang mempertanyakan pilihan Gus Dur ini, terlebih dari kalangan anak muda yang telah menjelma gerbong intelektualisme baru NU pasca Khittah 26. Kebingungan tersebut muncul karena Gus Dur selama menjabat PBNU selalu 77 Forum ini didirikan pada 16-17 Maret 1991 di Desa Cibeurum, Bogor. 78 Abdurrahman Wahid, Forum Demokrasi, Sebuah Pertanggugjawaban. Sumber tak terlacak. Hal 1.