Pemberdayaan Masyarakat Sipil Pilar-pilar Demokrasi

atasnya, khusunya hak berbicara dan berorganisasi, sikap toleran antar individu dan kelompok dalam masyarakat, adanya tingkat kepercayaan publik yang tinggi terhadap pranata-pranata sosial dan politik, serta kuatnya komitmen terhadap kemandirian pribadi dan kelompok. Dalam merealisasikan gagasannya tentang urgensi pemberdayaan masyarakat sipil, ia kemudian mendirikan Forum Demokrasi Fordem. 77 Forum ini diharapkan dapat menjadi counter balancing kekuatan penyeimbang atas dominasi negara. Hal ini beliau jelaskan: “Perhatian dan kepentingan para peserta dan pendukung Forum Demokrasi adalah keutuhan bangsa Indonesia, yang ingin selalu dijaga, sambil tetap bergerak dalam proses menuju masyarakat yang lebih dewasa dan lebih maju. Disadari, bahwa ternyata perikehidupan kebangsaan yang utuh itu hanya bisa tercapai dan tumbuh dalam suasana yang demokratis. Atau sebaliknya, suasana tidak adanya demokrasi, suasana kurang kebebasan, justru akan menjadi sumber tumbuhnya sikap-sikap curiga-mencurigai, sikap mementingkan golongan atau kelompok sendiri, dan sikap meninggalkan norma-norma dan acuan umum untuk kemudian menggunakan nilai masing-masing dalam mengukur segalanya.” 78 Tidak sampai disitu, Gus Dur masih “membumikan” pemikiran ideal demokrasinya kedalam gerakan civil society melalui NU dan aktivitas kecendikiawanannya. Hingga akhirnya menjadi fase bagi Gus Dur untuk “membelokkan” strategi gerakannya kepada politik praktis dengan mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa PKB yang dilahirkan dari rahim NU. Banyak yang mempertanyakan pilihan Gus Dur ini, terlebih dari kalangan anak muda yang telah menjelma gerbong intelektualisme baru NU pasca Khittah 26. Kebingungan tersebut muncul karena Gus Dur selama menjabat PBNU selalu 77 Forum ini didirikan pada 16-17 Maret 1991 di Desa Cibeurum, Bogor. 78 Abdurrahman Wahid, Forum Demokrasi, Sebuah Pertanggugjawaban. Sumber tak terlacak. Hal 1. menggelorakan gerakan unpolitical politics 79 berpolitik tanpa politik, yakni gerakan kultural sebagai oposisi bagi politik praktis 80 . Manifesto Khittah 26 merupakan usahanya untuk mengembalikan NU kepada jalur civil society yang sebelumnya telah dibelokkan oleh kaum politisi NU. Pilihan Gus Dur untuk terjun dipolitik praktis memang merupakan langkah kontradiktif. Sebab paradigma antara aktivis pergerakan dengan politisi jelas berbeda dan cenderung berseberangan. Memang keduanya sama-sama praksis. Jika merunut pada gerak pembaruan Dunia Ketiga, maka Gus Dur sebagai aktivis atau intelektual organik, telah melakukan kerja transformative yang tidak berhenti pada “pembaruan wacana” layaknya intelektual liberal murni akan tetapi melanjutkannya kepada kerja praksis yang masuk dalam kantong-kantong kebudayaan masyarakat awam. Sementara kerja politisi, jika merujuk pada konsep politik konvensional seperti batasan klasik oleh Lasswell 1958 yang mendefinisikan politik sebagai “siapa memperoleh apa, kapan, dan bagaimana”, atau jika meminjam istilah yang diselalu dipakai Gus Dur sendiri untuk mendefinisikan politik, yakni politic is the art of possibility politik adalah seni kemungkinan, maka praktik politik adalah bagaimana membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin, sehingga tolok ukurnya bukan idealitas tetapi kemungkinan dari realitas. Di sinilah kemudian “permainan” menjadi rule of the game, apalagi jika melihat budaya politik Indonesia yang dikuasai oleh paradigma Machiavellian yakni struggle to 79 Ulil Abshar-Abdalla, Partai, Civic Education dan Wilayah “Netral Politik”, Tashwirul Afkar, Edisi No 41999, hal. 51 80 Term inilah yang kini sudah tidak berlaku lagi, sebab pasca lengsernya Soeharto, Gus Dur menjadi politisi lewat PKB, apalagi pasca lengser kepresidenan, Gus Dur terlihat total masuk dalam politik praktis. power perebutan kekuasaan, maka kerja politisi jelas kontradiktif dengan idealisme pergerakan kaum aktivis yang berangkat dari ideal untuk ideal. Jadi, peran politik yang mengantarkan Gus Dur pada tampuk kepresidenan ke-4 RI, merupakan kesinambungan atas pergerakan civil society vis a vis Soeharto. Artinya, moment Reformasi yang meletus akibat “kudeta massa” mahasiswa pada Mei 1998, merupakan titik kulminasi dari sekian rentetan “perlawanan kultural” yang dilakukan para aktivis pro-demokrasi, termasuk Gus Dur.

B. Islam dan demokrasi

Pemikiran demokrasi Gus Dur juga mengalami pergulatan dengan diskursus Islam. Ini terjadi karena Gus Dur seorang intelektual muslim, dan pernah memimpin jam’iyyah Islam terbesar, yakni NU. Posisi inilah yang membuat pemikiran demokrasinya, mau tidak mau harus bersinggungan dengan dua kutub pemikiran Islam, apakah menolak demokrasi, ataukah menerimanya. Seperti kita ketahui bersama, Gus Dur tidak konsen pada perdebatan teoritis tentang demokrasi. Kenapa? Karena yang terpenting dalam demokrasi ialah menggerakkannya. Perdebatan teoritis akan cenderung melupakan satu fakta, bahwa demokrasi, melebihi pro-kontra, terlebih harus diwujudkan pada tataran kehidupan. Pemikiran seperti ini bisa dipahami, karena setting pemikirannya yang berada di bawah cengkeraman otoritarianisme negara. Jadi segenap pertanyaan apakah demokrasi yang merupakan produk Barat cocok dengan dunia Timur? Atau apakah demokrasi yang menganut kedaulatan rakyat searah dengan kedaulatan Tuhan dalam Islam? Segenap pertanyaan tersebut musti dijawab, tetapi jangan sampai melupakan kebutuhan mendasar, yakni mewujudkan politik demokratis, vis a vis keangkuhan kekuasaan. Dari sini kita menjadi faham, kenapa Gus Dur menolak negara Islam. Bukannya beliau tidak setuju dengan konsepsi tersebut, tetapi cita negara Islam di negeri ini bersifat diskontekstual, karena dalam real politics, persoalan sebenarnya adalah pergulatan antara kepentingan negara yang hendak menundukkan ideologi Islam. Artinya, perdebatan teoritis seputar Islam versus negara-bangsa, tidak relevan karena yang terjadi lebih kepada pergulatan politik antara rezim negara yang selalu memanfaatkan agama. Di sini kita mafhum bahwa Gus Dur merupakan salah satu pioneer dari penerima konsep dan bentuk negara-bangsa, yang secara otomatis menolak penyatuan antara agama dan negara. Tentu pada terma ini, Gus Dur bisa dimasukkan kedalam gerbong sekularisasi, bersama dengan Nurcholis Madjid Cak Nur. Hanya saja, konsep sekularisasi yang mensyaratkan disfungsionalisasi otoritas agama, karena telah diganti dengan otoritas administratif sekular, sebenarnya tidak cukup mampu menggambarkan detail perbedaan di dalam konsep pemisahan agama-negara. Hal ini berangkat dari satu postulat, bahwa terma sekularisasi lebih mengedepankan aspek “tujuan ideologis” di mana para konseptor negara-bangsa memiliki tujuan ideologis yang berbeda dan bahkan bertentangan dengan paradigma keagamaan ideologis. Maka tak bisa dihalangi, Islam sebagai cita-cita politik harus dipinggirkan, agar cita-cita masyarakat sekular bisa terwujud. Sejauh