Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
ditempatkan sebagai mekanisme demokratis ternyata menjadi tujuan di dalam dirinya sendiri.
2
Hal inilah yang menjadi dasar kritiknya, yakni sebuah situasi, dimana lembaga demokrasi bahkan menjadi penghambat aspirasi atau hak demokratis.
Jadi, bukan hanya lembaga-lembaga tersebut kurang berfungsi sebagai penyalur kedaulatan rakyat, ia bahkan menghambat kedaulatan tersebut, karena
memposisikan diri sebagai ruang sah bagi demokrasi. Situasi seperti ini tentu mencederai hakikat demokrasi, karena eksisitensi lembaga politik yang
sebenarnya terposisi sebagai media perwakilan. Dari kritik atas keterjebakan institusional ini, ia kemudian menambatkan
solusi praksisnya pada konstitusi. Hal ini lahir dari kesadaran diskursif, bahwa selain lembaga politik, demokrasi juga terbentuk oleh konstitusi. Bahkan
konstitusilah yang menjadi landasan normatif bagi demokrasi. Inilah yang merupakan landasan dasar pemahaman dan pemikirannya tentang demokrasi.
Dalam tataran praktis, sebagai wujud keprihatinan atas realitas politik yang terjadi pada saat itu
3
, Gus Dur dan kawan-kawan
4
membentuk sebuah forum
2
Dengan adanya DPR, MPR pemerintah menyatakan bahwa aspirasi rakyat telah tertampung dalam proses legislasi. Dengan adanya Mahkamah Agung dan lembaga peradilan,
seakan rasa keadilan rakyat telah terpenuhi. Dengan adanya Komnas HAM, persoalan hak asasi manusia seolah telah teradvokasi pemerintah. Baca, Abdurrahman Wahid, Membangun
Demokrasi, Bandung: Rosdakarya, 1999, h. 82-88.
3
Secara faktual, latar belakang yang melingkupi pemikiran dan gerakan politik Abdurrahman Wahid adalah otoritarianisme Orde Baru. Sebuah pemerintahan yang menjadikan
institusi demokrasi sebagai pemberangus hakikat demokrasi. Inilah yang akhirnya melahirkan kritik atas pendekatan state centered. Dalam prespektif ini, konstitusi dilihat sebagai payung
legitimatif atas gerak kekerasan negara. Sebagai contoh, presiden tidak menanggapi dua surat Ketua Komisi HAM guna membicarakan kondisi dan kasus pelanggaran berat HAM tahun 1997-
1998. Kasus penculikan aktifis dibiarkan mengambang. Presiden jarang bicara jelas soal pelanggaran berat HAM dan penyelesaiannya. Baca, Chris Siner Key Timu, “Selesaikan
Pelanggaran Berat HAM”,
artikel diakses pada 11 Juli 2009 dari http:www.depkumham.go.idNRrdonlyres9AF30E4B-81FD-4F9F-97CE-
5D9E6273602D0selesaikanpelanggaranham.pdf
yang dinamakannya sebagai Forum Demokrasi. Menurutnya, forum ini dibentuk sebagai upaya menumbuhkan prilaku demokrasi yang lebih penting dari lembaga
demokrasi. Sementara demokrasi itu sendiri, menurutnya, memiliki komponen yang sangat luas dan itu merupakan komponen yang dicita-citakan Forum
Demokrasi, yakni tegaknya kedaulatan hukum, perlakuan yang sama di depan undang-undang, kebebasan berpendapat; kebebasan berserikat, sikap saling
hormat dan menghargai antara golongan yang berbeda-beda, serta terbukanya peluang yang sama bagi setiap warga negara untuk mengabdi kepada negara dan
bangsa ini melalui jalan yang dipilih masing-masing. Memahami pemikiran dan gagasannya merupakan kajian yang sangat
menarik, terlepas dari persoalan di atas, ia merupakan sosok intelektual yang secara serius menekuni berbagai bacaan yang dianggap berat sekalipun. Bacaan
yang mendalam atas berbagai karya pemikir-pemikir besar adalah bagian tak terpisahkan dari perjalanan intelektualitasnya. Di samping itu pula, ia merupakan
sosok yang mengagumi jiwa kebangsaan para pejuang kemerdekaan Indonesia. Gus Dur menulis,
5
“….Dalam politik saya mengagumi Bung Karno untuk semangat kebangsaanya, kecintaanya kepada bangsa ini begitu kelihatan. Bung Hatta
saya kagumi untuk sikap demokratisnya, dia betul-betul seorang demokrat, kompeten, kemampuannya tinggi. Syahrir untuk pandangannya yang jauh
ke depan. Agus Salim, Tan Malaka dengan kerakyatannya. Dia tidak mengenal putus asa untuk memperjuangkan rakyat.”
4
Forum ini dibentuk pada tanggal 16-17 Maret 1991 di desa Cibeureum, Bogor. Diantara tokoh yang hadir pada pertemuan tersebut adalah Bondan Gunawan, Sutjipto Wirosardjono,
Aswab Mahasin, Eko Tjokrodjojo, YB Mangunwijaya, Todung Mulya Lubis, Rahman Tolleng, Kristiya Kartika, Marsilam Simanjuntak, Mimis Sasmoyo, Djohan Effendi, Jaelani Ishaq, Gaffar
Rahman, Daniel Dhakidae, dan Mudji Sutrisno. Lihat “Abdurrahman Wahid dkk Bentuk Forum Demokrasi”, Kompas, 4 April 1991, h. 1 dan 5.
5
Abdurrahman Wahid, Tabayun Gus Dur; Pribumisasi Islam Hak minoritas Reformasi Kultural,
Yogyakarta: LKis, 1998, cet. Ke-II, h. 166.
Referensi yang demikian kuat dalam dirinya membuat dia mampu memberikan analisis-analisis terhadap berbagai problem sosial politik dan
keagamaan secara rasional dan cerdas. Atas dasar inilah skripsi ini disusun, yakni untuk mengetahui sejauh mana ide atau gagasan demokrasi yang dilontarkan Gus
Dur serta aplikasinya dalam pentas politik nasional.