Dari Memimpin NU Hingga Menjadi Presiden RI

Di kapal besar NU, melalui tawaran pemikirannya yang brilian tentang “kembali ke khittah 1926” dengan meninggalkan gelanggang politik praktis, Gus Dur pada tahun 1984 terpilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahlul hilli wal `aqdi, yang diketuai KH. R. As’ad Syamsul Arifin, untuk menduduki jabatan Ketua Umum PBNU dalam muktamar ke-27 NU di Pondok Pesantren Salafiyah, Sukorejo, Situbondo. 42 Terpilihnya Gus Dur sebagai Ketua Umum PBNU selama tiga periode bukan berarti perjalanan yang mulus tanpa hambatan. Sifat dan sikapnya yang kontroversial dan sering dinilai aneh tidak jarang membawa sikap kontra dari beberapa ulama atau kalangan dalam NU sendiri. Wacana khittah NU dengan keluar dari PPP yang dibawanya dan kalangan muda saat itu menjadikan rasa “marah” bagi ulama-ulama lain terutama yang terlibat dalam partai politik di PPP seperti Idham Chalid, ketua tanfidziyah sebelumnya. Pada masa kepemimpinannya, Gus Dur membawa NU dalam suasana dinamis, penuh nuansa wacana dan kritik. Kritik-kritik pedas yang dilontarkannya kepada pemerintah membawa dampak yang serius terhadap hubungan NU dengan pemerintah, imbasnya hasil muktamar NU tahun 1994 di Cipasung tidak “direstui” pemerintahan Soeharto. 43 Dalam upayanya menegakkan demokrasi di Indonesia, pada masa kepemimpinannya Gus Dur melakukan hegemoni terhadap pemerintahan Soeharto melalui dua pergerakan sekaligus. Pertama, dengan mendirikan Forum Demokrasi Fordem pada dekade awal 90-an. Forum ini merupakan “markas” para cendekia 42 H. Fuad Anwar, Melawan Gus Dur Yogyakarta: Pustaka Tokoh Bangsa, 2004, h. 10. 43 Aris Saefulloh, Gus Dur vs Amien Rais: Dakwah Kultural-Struktural Yogyakarta: Laelathinkers, 2003, h. 71. dan aktifis pro-demokrasi, guna mengelaborasi, merumuskan berbagai ide dan kritik demokratis, terhadap penyimpangan dan penyelewengan negara. Sebagai forum urun rembug dan kritik discourse, Fordem tidak merasa melakukan makar, sebab kritisisme mereka masih terbatas pada pembentukan opini, belum menjelma gerakan subversif. Hanya saja, betapapun masih sebatas opini, Fordem yang merengkuh segenap elemen aktivis dari purnawirawan jendral, cendekiawan, seniman, aktivis, hingga artis, tsb sangat membuat “denyut” status quo kekuasaan berdetak kencang. Hasilnya, halal bi halal Fordem Mei 1992 di Taman Ismail Marzuki, “dibredel” aparat, dengan alasan perizinan. Gus Dur-pun tidak jadi membacakan pernyataan Tumbuhkan Kembali Daya Kritis Masyarakat, sebab aparat keburu mencurigainya sebagai sebuah langkah awal propanganda politik. 44 Kedua , NU. Pada level ini, Gus Dur telah melakukan transformasi paradigmatis, dengan mengadopsi kritik “teologi pembebasan” terhadap gerakan Neo-Marxis, yakni ketidakmampuan dalam melihat agama sebagai potensi pergerakan berbasis budaya. Merujuk pada Gueterez, 45 Gus Dur kemudian menjadikan basis primordialisme massa konon 30 juta, berjalinan dengan ketundukan religius baik kepada jam’iyyah, kyai, maupun Islam. Di sinilah perlawanan Gus Dur-NU telah menciptakan posisi dilematis bagi Soeharto. Satu sisi, Gus Dur dan NU dibutuhkan negara sebagai penyeimbang radikalisme Islam, sehingga negara kemudian membutuhkan kekuatan NU. Namun, di sisi lain, pergerakan “kaum sarungan” ini terbukti sering membuat 44 Gus Dur dan Suksesi, Forum Keadilan No 02, 14 Mei 1992. 45 Abdurrahman Wahid, Jangan Paksakan Paradigma Luar terhadap Agama, dalam Prisma Pemikiran Gus Dur Yogyakarta : LKiS, 2000, h. 178-179. “merah telinga” kekuasaan. Satu momen besar yang menjadi rujukan sejarah, adalah ketika sebagai Ketum PBNU, Gus Dur menggelar Rapat Akbar dalam rangka Harlah ke-68 NU, pada 1 Maret 1992. 46 Terdapat sekitar 150.000 warga Nahdliyyin memenuhi stadion utama Senayan Jakarta, dengan satu tujuan: menegaskan kembali kesetiaan NU terhadap Pancasila dan UUD 45 sebagai ideologi dan falsafah hidup bangsa. Kenapa penegasan kesetiaan terhadap Pancasila dimunculkan kembali? Bukankah hal tersebut sudah diselesaikan NU pada Muktamar ke-27 1984? Dalam kaitan inilah, Gus Dur menggunakan konsep hegemoni Gramsci guna melawan praktik hegemonik negara. Melalui penegasan kembali, kesetiaan Pancasila, Gus Dur telah menciptakan war of positions dengan melakukan “perebutan simbolik” atas legitimasi Pancasila. Secara strategis, Gus Dur telah menghancurkan monopoli penafsiran negara atas “teks” Pancasila. Hasilnya, muncullah tafsir populis atas Pancasila dari NU guna mengkritik penyelewengan politik yang dilakukan negara atas Pancasila. Langkah inilah yang membuat Soeharto tidak berkutik, sebab Gus Dur dalam melakukan kritik, melandaskan diri pada kesetiaan dan nilai luhur Pancasila. Hal ini berbeda dengan nasib gerakan Islamis dan komunis yang dengan gampang dibrangus karena di cap anti-Pancasila. Demikian juga pada tataran praktis, pernyataan setia terhadap Pancasila, merupakan penolakan secara halus atas “pemaksaan” Soeharto agar segenap ormas mendukung pencalonannya kembali sebagai presiden pada Pemilu 1992. Muhammadiyah sudah melakukan dukungan tersebut. Sementara NU, merujuk 46 Douglas E. Ramage, “Pemahaman Abdurrahman Wahid tentang Pancasila dan Penerapannya”, dalam Ellyasa KH Dharwis, ed., Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil Yogyakarta: LKiS, 1997, h. 101-124. pada Khitttah 26, tetap berusaha membersihkan diri dari politisasi negara. Penolakan terhadap pencalonan Soeharto juga disebabkan kritisisme atas praktik “demokrasi seolah-olah” yang dilakukan negara. Gus Dur secara lantang menyebut situasi demokrasi Orde Baru hanya “seolah-olah”, sebab tatanan politik hanya dilandaskan pada manipulasi institusional dan prosedural pemilu, tetapi kebudayaan demokratis semisal kebebasan berpendapat dan berserikat dibrangus secara “tenang tapi mencekam”. 47 Itulah potret peran politik Gus Dur yang mengantarkannya pada tampuk kepresidenan ke-4 RI 48 yang merupakan kesinambungan atas pergerakan civil society vis a vis Soeharto melalui momen reformasi yang meletus akibat “kudeta massa” mahasiswa pada mei 1998 dan merupakan titik kulminasi dari sekian rentetan perlawanan kultural yang dilakukan aktifis pro-demokrasi, termasuk Gus Dur.

C. Perjuangan Kultural: Pemikiran dan Aksi Politik

Oleh karena suatu sistem erat kaitannya dengan budaya masyarakat, maka satu-satunya jalan menyelamatkan kualitas demokrasi adalah melalui perjuangan kultural. Yaitu perjuangan yang termanifestasi dalam gerakan moral yang mengarahkan masyarakat ke arah nilai yang sesuai dengan substansi dan tujuan 47 Abdurrahman Wahid, “Negeri ini Kaya dengan Calon Presiden,” Forum Keadilan, No II, 14 Mei 1992. Lihat juga wawancara Gatra, “Saya ini Makelar Akhirat: Abdurrahman Wahid, Tentang pemilu, Apel 2 Juta umat, dan Suksesi”, Maret 1992, wawancara Forum Keadilan No 8, Tahun II, 5 Agustus 1993, “Saya Menangisi Nasib Rakyat”. 48 Setelah sebelumnya MPR menolak laporan pertanggungjawaban Habibie -wakil presiden yang menggantikan Soeharto. demokrasi. tentu semuanya harus beroperasi dalam bingkai kebangsaan dan kenegaraan sebagaimana termuat dalam Pancasila. Perjuangan kultural berbeda dengan perjuangan politik yang bersifat struktural. Jika perjuangan struktural selalu dikaitkan dengan konsep, ide bahkan jabatan, dan akuisisi kekuasaan acquisition of power serta bagi-bagi kekuasaan, maka perjuangan kultural lebih kepada pemberdayaan politik yang menempatkan posisinya sebagai kekuatan kontrol atas proses demokratisasi yang datang dari kelompok civil society dan berperan dalam mencerdaskan dan memberdayakan masyarakat. Perjuangan kultural yang dilakukan Gus Dur ini tampak menonjol ketika ia menjadi ketua umum PBNU 49 dan aktif di berbagai LSM, dimana ia tampil sebagai seorang pemikir yang kerap memperjuangkan demokrasi. ia mengungkapkan pentingnya reformasi progresif yang tidak hanya dibutuhkan sesaat, namun istiqomah dan harus menjadi proses yang berjalan terus-menerus. 50 Sebagai pimpinan NU, Gus Dur merupakan tokoh yang paling gigih memperjuangkan tumbuhnya keharmonisan hubungan antar-agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini terlihat misalnya pada pembelaannya atas penulis buku Satanic Verses: Salman Rushdie pada tahun 1987 serta penolakannya untuk menjadi bagian dari Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia 49 Salah satu upaya ril yang dilakukan dalam upaya peningkatan taraf hidup rakyat adalah membangun kerjasama antara NU dengan Bank Summa dalam pendirian Bank Perkreditan Rakyat BPR guna memberikan kredit usaha kecil dan menengah kepada masyarakat. Baca “Nahdlatul Ulama “Go Warga,” Tempo, 9 Juni 1990, h. 58. Pada awal 2006, terdapat 2300 BPR yang berperasi di seluruh Indonesia, namun jumlah itu menyusut hingga menjadi 2000 pada akhir 2006 dan terus berkurang tinggal 1767. BPR Nusumma adalah proyek ekonomi NU yang kurang berhasil, meskipun tidak gagal total. 50 Arif Saefulloh, Gus Dur vs Amien Rais: Dakwah Kultural-struktural Yogyakarta: Laelathinkers, 2003, h. 136.