Peningkatan Kesejahteraan Rakyat Pilar-pilar Demokrasi

lain, yaitu dengan istilah “masyarakat adil dan makmur”. Bagi Gus Dur, upaya ini memiliki persamaan dengan prinsip maslahah dalam Islam. Kaidah yang seringkali ia gunakan adalah tasharruf al-imâm ‘alâ arra’iyyah manûtun bi al- maslahah kebijaksanaan dan tindakan Imam pemimpin harus terkait langsung dengan kesejahteraan rakyat yang dipimpin. Maka menjadi jelaslah bahwa upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat menjadi bagian integral perjuangan Islam. 70 Dalam Islam, masalah kecukupan jelas ada aturannya, yaitu mencapai perolehan yang tinggi tanpa mencegah orang lain mencapai hal sama. Kesamaan hak ini perlu mendapat tekanan, karena dalam konsep kapitalisme klasik tidak pernah dipikirkan tentang gairah mencapai hal yang maksimal, namun senantiasa manusia lain menjadi korban. 71 Bila dalam kenyataanya kemudian manusia tidak bernasib sama, maka negara berkewajiban menyediakan kompensasi bagi warga negara yang “kalah” dalam bentuk kecukupan minimal. 72 Dalam pandangan Gus Dur, hal pertama yang harus dilakukan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat adalah perubahan orientasi ekonomi kita yang tadinya terlalu melayani kepentingan orang-orang kaya, atas kerugian orang- orang miskin. Perubahan orientasi ekonomi itu terletak pada dua bidang utama, yaitu pertolongan kepada UKM, Usaha Kecil dan Menengah yang dijalankan 70 Dalam hal ini Gus Dur tidak sepakat dengan gagasan ekonomi Islam yang terlalu memfokuskan pada aspek-aspek normatif, dan kurang mempedulikan aplikasinya dalam praktek, yang justru diperlukan bagi implementasi nilai-nilai tersebut di masyarakat. Fokus kajian ekonomi Islam menurutnya lebih banyak diarahkan pada persoalan sekitar bunga bank, asuransi dan sejenisnya. Baca M. Syafi’i Anwar, “Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Membingkai Pemikiran Politik KH. Abdurrahman Wahid,” dalam pengantar Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam anda, Islam Kita: Agama, Masyarakat, Negara, Demokasi Jakarta: the Wahid Institute, 2006, h. xxvi. 71 Ayat yang dikutip Gus Dur dalam menjelaskan hal ini adalah QS. Surat at-Takasur [120]: Ayat 1-2. 72 Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi Jakarta: the Wahid Institute, 2006, h. 172. dengan pemberian kredit yang berbunga sangat rendah sebagai modal pembentukan UKM tersebut serta upaya mengatasi kemiskinan. Kedua langkah ini harus disertai pengawasan yang ketat, disamping liku-liku birokrasi, yang memang merupakan hambatan tersendiri bagi upaya memberikan kredit murah untuk menolong UKM. Padahal saat ini, apapun yang dilakukan untuk menolong keduanya, selalu menghadapi hambatan. 73 Perubahan orientasi ekonomi itu berarti juga perubahan tekanan dalam ekonomi kita. Jika sebelumnya penekanan pada bidang ekspor, yang hasilnya dalam bentuk pajak- sangat sedikit kembali ke kas pemerintah, karena begitu banyak keringanan untuk kalangan eksportir. Maka, selanjutnya justru harus diutamakan perluasan pasaran di dalam negeri secara besar-besaran. Untuk itu, tiga hal sangat diperlukan, yaitu: pertama, peningkatan pendapatan masyarakat guna menciptakan kemampuan daya beli yang besar. Kedua, pengerahan industri guna menghidupkan kembali penyediaan barang untuk pasaran dalam negeri. Ketiga, independensi ekonomi dari yang sebelumnya tergantung kepada tata niaga internasional. 74 Pada tulisan yang lain, Gus Dur mengakui keterbatasannya dalam memahami sebuah perekonomian, namun demikian ia memahami dua hal yang menurutnya merupakan hal yang fundamental, yakni pertama, ekonomi adalah pemenuhan kebutuhan manusia, dan ia memiliki mekanisme sendiri. Selebihnya, haruslah dirumuskan oleh para ahli ekonomi, dan mereka harus mempertimbangkan kaitan sebuah perekonomian dengan hal-hal lain dalam 73 Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, h. 207 74 Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, h. 162 kehidupan seperti, politik, hukum, teknologi, pasar, agama dan lain-lain. Dengan kata lain, kebijakan ekonomi economic policy tidak pernah sepenuhnya dapat diterapkan, sehingga harus selalu diingat keterkaitan ekonomi dengan hal-hal lain dalam kehidupan sebuah negara. Kedua, sebuah perekonomian tidak pernah terlepas dari perdagangan atau transaksi, baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional, dengan demikian tidak pernah ada tempat untuk memisahkan perekonomian kita sendiri dari perekonomian global. Oleh karenanya, globalisasi ekonomi merupakan suatu hal yang niscaya selagi menghilangkan sifat eksploitatif perusahaan-perusahaan besar atas perekonomian negara berkembang. Dengan pendekatan non-eksploitatif semacam itu, tidak dibenarkan adanya perkembangan pasar tanpa campur tangan pemerintah, minimal untuk terjadinya eksploitasi itu sendiri. 75

4. Penghargaan terhadap Pluralitas

Pemikiran tentang pluralisme sejalan dengan spirit demokrasi, bahkan makin memperkokoh. Keduanya tidak bertentangan, bahkan saling menguatkan. Namun ancaman kegagalan sebagai sebuah bangsa majemuk akan muncul tatkala ada perilaku berbagai kelompok yang mendiskreditkan kelompok minoritas agama, etnik, ras dan golongan. Untuk memahami peranan dominan Gus Dur di ranah pluralisme, tiga faktor dominan dapat dipergunakan menakar peranannya, mengapa ia begitu tegar mempromosikan pluralisme di Indonesia. Pertama, keyakinannya pada nilai-nilai 75 Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, h. 188-190. universal dalam Islam yang menjamin hak-hak semua warga negara. Hal ini beliau jelaskan: “Universalisme Islam menampakkan diri dalam berbagai manifestasi penting, yang terbaik adalah dalam ajaran-ajarannya. Rangkaian ajaran yang meliputi berbagai bidang, seperti hukum agama fiqh, keimanan tauhid , etika akhlak, seringkali disempitkan oleh masyarakat hingga menjadi hanya kesusilaan belaka, dan sikap hidup, menampilkan kepedulian yang sangat besar kepada unsur-unsur utama dari kemanusiaan al-insaniyyah . Prinsip-prinsip seperti persamaan derajat di muka hukum, perlindungan warga masyarakat dari kelaliman dan kesewenang-wenangan, penjagaan hak-hak mereka yang lemah dan menderita kekurangan dan pembatasan atas wewenang para pemegang kekuasaan, semuanya jelas menunjukkan kepedulian di atas.” Kedua, menjunjung tinggi nilai kosmopolitan, bahwa semua individu dan kelompok dalam sebuah negara memiliki tempatnya sendiri, dan paksaan kelompok mayoritas adalah sebuah malapetaka bagi pluralisme dan demokrasi. Dalam kaitan ini, terma kosmopolitan ini Gus Dur kaitkan dengan universalime Islam, sehingga keduanya menjadi satu kesatuan: aplikasi dari ajaran Islam yang universal tidak akan terjadi tanpa watak terbuka terhadap peradaban lain yang membuat Islam bersikap kosmopolitan. Watak terbuka ini memiliki sejumlah unsur dominan, seperti hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya, dan terciptanya heterogenitas politik. Dengan lugas beliau menjelaskan: “Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa kosmopolitanisme peradaban Islam tercapai atau berada pada titik optimal manakala tercapai kesimbangan antara kecendrungan normatif kaum muslimin dan kebebasan berfikir semua warga masyarakat termasuk mereka yang non- muslim.” 76 76 Abdurrahma Wahid, Universalime Islam dan Komopolitanisme Peradaban Islam dalam Pergulatan Negara, agama dan Kebudayaan Desantara: Depok, 2000, hal. 186.