Analisis Penyimpangan Terhadap Pengadaan Rumah Negara menurut Hukum Pidana Islam

D. Analisis Penyimpangan Terhadap Pengadaan Rumah Negara menurut Hukum Pidana Islam

Penyimpangan dalam pengadaan rumah Negara menurut Hukum Pidana Islam dikategorikan sebagai jarimah ta’zir karena benturan terhadap kepentingan pengadaan tidak mungkin dikriminalisasi dengan hudud dan juga qisasdiyat. Ta’zir itu sendiri adalah hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’, sedangkan untuk uqubah hukuman ditetapkan oleh pemerintah yang berdasarkan kepada nash dan tujuan hukumannya tersebut demi terealisasinya kemaslahatan umat. Dilihat dari dampak akibat perbuatan korupsi,ternyata sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup suatu bangsa, selain menyebabkan kemiskinan karena adanya ketidakadilan dan kezaliman, korupsi merupakan wujud kerusakan moral atau akhlak yang sudah mencapai puncak kebobrokannya. Oleh karena itu, untuk menghambat dan memberantasnya diperlukan tindakan sangat tegas, menghukum para pelaku dengan sanksi yang seberat-beratnya. Untuk penerapan sanksi bagi pelaku tindak pidana korupsi Penerapannya sepenuhnya diserahkan kepada Hakim Penguasa, dengan kewenangan yang dimilikinya, ia dapat menetapkan hukuman yang sesuai dengan kadar kejahatan dan keadaan pelakunya, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan umum Islam dalam menjatuhkan hukuman, yaitu : 1. Tujuan penjatuhan hukuman, yaitu menjaga dan memelihara kepentingan umum 2. Efektifitas hukuman dalam menghadapi korupsi tanpa harus merendahkan kemanusiaan kepadanya 3. Sepadan dengan kejahatan, sehingga terasa adil 4. Tanpa pilih kasih, semua sama kedudukannya di depan hukum Di dalam UU No 39 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 pasal 2 1 Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 empat tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 dua ratus juta rupiah dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 satu milyar rupiah. 2 Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan . Kemudian pasal 3 UU No 39 Tahun 1999 Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 satu tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 lima puluh juta rupiah dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 satu milyar rupiah. Jika kita melihat rumusan diatas tersebut maka unsur jarimah ta’zir tercantum dalam rumusan tersebut yaitu Khiyanat khianat yang secara umum berarti tidak menepati janji. Dalam QS al-Anfal [8]: 27 dikemukakan tentang larangan mengkhianati Allah dan Rasul-Nya : L 1 N O = P9 J+ P9 Q9 R , 4+ 9 S T B UV Khianat juga merupakan sesuatu yang melekat pada ghulul sebab orang yang melakukan ghulul berarti berkhianat. Sebagaimana penjelasan berikut ini : Mengkorupsi sesuatu berarti menyembunyikan sesuatu itu ke dalam hartanya dan menyembunyikannya, kemudian dia mengkhianati sahabatnya dalam harta itu Sedangkan untuk uqubahnya terdapat dalam hadits berikut : Siapa saja yang mengambil barang orang lain mencuri, maka dia harus mengganti dua kali lipat nilai barang yang telah dia ambil dan dia harus diberi hukuman HR al-Nasa’i. Kitab sariq. No 4872 dan juga hukuman penjara diambil berdasarkan hadits ‘Amr b. Syarid dari bapaknya dari Rasullullah, beliau bersabda : Dari Nabi: orang kaya yang mengulur waktu membayar hutang tanpa ada uzur adalah zalim, maka halal harga dirinya dan hukumannya adalah penjara . dimana pelaku tindak pidana korupsi di hukum dengan pidana penjara dan denda bahkan bisa sampai hukuman mati jika sampai keadaan tertentu yang maksudnya adalah jika membahayakan kemaslahatan umat dan nilai kejahatannya sudah sangat berat. Untuk pidana denda ulama masih berbeda pendapat, ada yang memposisikan nya sebagai hukuman pokok dan hukuman tambahan. Penerapan sanksi tersebut tampaknya dikenakan dalam jarimah yang berkaitan dengan ketamakan seseorang. Di samping itu, ulama juga membolehkan penerapan sanksi ta’zir berupa penyitaan uang dengan jalan rampasan bagi pelaku tindak pidana korupsi yang bertujuan memperkaya diri sendiri, mengakibatkan kerugian Negara, dan memperburuk perekonomian masyarakat. Seorang Hakim dapat mempertimbangkan dan menganalisa berat dan ringanya perbuatan yang dilakukan oleh pelaku korupsi. Kejahatan yang telah ditetapkan sanksi hukumnya oleh nash, seorang Hakim tidak punya pilihan lain kecuali menerapkannya. Meskipun sanksi hukum bagi pelaku korupsi tidak dijelaskan dalam nash secara tegas, namun perampasan dan pengkhiatan dapat diqiyaskan sebagai penggelapan dan korupsi. Korupsi bisa dikategorikan dengan konsep ghulul penggelapan dan risywah penyuapan, sehingga cara untuk menindak pelaku tindak pidana korupsi adalah menjalankan sanksi ta’zir dari yang terberat hukuman mati hingga yang teringan penjara sesuai dengan berat dan ringannya tindakan dan dampak yang dilakukan. Dalam jarimah korupsi ada tiga unsur yang dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam menentukan jenis hukumannya, yaitu: 1. Perampasan harta orang lain 2. Pengkhianatan atau penyalahgunaan wewenang 3. Kerja sama dalam kejahatan Ketiga unsur tersebut jelas dilarang dalam syariat Islam. Selain pertimbangan tersebut,diikutsertakan pertimbangan akal sehat, keyakinan dan rasa keadilan hakim yang berdasar pada rasa keadilan masyarakat untuk menentukan jenis hukuman bagi koruptor. beberapa pertimbangan yang bisa dijadikan dasar untuk menentukan sanksi hukuman,yaitu : 1. Besar kecilnya kerugian material yang diakibatkan sehingga sanksi pelaku tindak kejahatan yang menyebabkan kerugian material kecil mesti lebih ringan daripada yang menyebabkan kerugian material besar. 2. Besar kecilnya kerugian sosial yang diakibatkan sehingga sanksi pelaku tindak kejahatan ini yang menyebabkan kerugian sosial kecil mesti lebih ringan dibanding dengan yang menyebabkan kerugian sosial besar. 3. Frekuensi tindakan kejahatan sehingga sanksi pelaku tindak kejahatan korupsi yang baru mesti lebih ringan daripada yang berulang-ulang Sementara itu, ta’zir dalam tindak pidana korupsi dapat diklasifikasikan sesuai dengan berat dan ringannya cara atau akibat yang ditimbulkan, di antaranya: 1. Memecat dari jabatannya. Hal ini bisa diberlakukan kepada pelaku yang memangku jabatan public, baik yang diberi gaji atau jabatan yang sifatnya sukarela 2. Hukuman berupa harta denda dan hukuman fisik 3. Penjara. Pemenjaraan ini bertujuan untuk memberi pelajaran bagi pelaku,lama hukuman penjara dilihat dari akibat dan dampak yang diakibatkan oleh perbuatan pelaku, jika melanggar kemaslahatan umat maka bisa di penjara sampai dengan seumur hidup 4. Hukuman Mati. Kadang-kadang bentuk hukuman ta’zir bisa berbentuk hukuman mati. Hukuman ini diberlakukan bila kemaslahatan benar-benar menghendakinya karena para pelaku tidak jera mengulangi dan melakukan tindak kriminal sehingga aparat sudah merasa putus asa terhadap perbuatannya. Hukuman untuk pelaku tindak pidana tersebut itu tertuang dalam QS al-ma’idah [5]:33,yaitu : 976 Y 8 6 ?Z B 67 8 8D8 ,6 ,-88 8[6 67 ,? 8A,D 8 DN[6 \3 8]8 8 [8G?_ 8 64,D 6 K`aO , C,68 ? DbD6 8c[6d6,e 6 ,.[68,D 6 C[86,D f8 Pg 6N8 8Oh B , 68 8G[,b B Pi]O , 6 8Q 6j ?Z bk S l V mm Artinya : “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri tempat kediamannya. Yang demikian itu sebagai suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar ”. QS al-Ma’idah5:33 Selain itu para pelaku tindak pidana penyimpangan dalam pengadaan perumahan milik Negara yang bisa dikategorikan dengan tindak pidana korupsi juga dapat dikenai sanksi sebagai berikut 62 : 1. Dikucilkan karena memakan harta korupsi yang sama saja dengan memakan barang haram al-suht 6 , 848 C 6 8n\3 8 97?o6 FA[, 67 C [66 ?gN6 9 67 , [8 8- , 48 Z? 6 8F 6 8 97?_8 Ip82 8n[,,q8D 66 , 48 Z?,e 97?_8 8Ed 9, 9 [, A,D 8[6 [67?_ r 9 ? , 848 C 6 Artinya : “Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka orang Yahudi datang 62 ibid, hal 136. kepadamu untuk meminta putusan, maka putuskanlah perkara itu di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudarat kepadamu sedikit pun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah perkara itu di antara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil ”. QS al-Ma’idah [5]:42 2. Tidak diterima kesaksiannya, seperti kesaksian dalam pembuktian hukum di pengadilan, kesaksian dalam itsbat penetapan awal RamadhanSyawal, dan lain-lain. Kesaksian seorang pengkhianat tidak diterima, sementara pelaku korupsi adalah orang yang telah berkhianat. Hal ini ditegaskan dalam hadits berikut : 6 ,s8e ,t 8 2 8 C 8O 0? k 8 6 8O 84k Artinya : “Tidak diperbolehkan kesaksian laki-laki dan perempuan yang berkhianat ”. HR Abu Da’ud, al-Tirmidzi, dan Ibn Majah 63 . Dalam hadis lain Bukhari menyatakan bahwa seorang pejabat yang tidak jujur tidak akan memperoleh bau surga. Dengan Hadis sebagai berikut 64 : u v w ?x ,-8 ,, 8- IyDb8 8QCz1b8A, uHG ?M8 8 w - u v u?.H4 C 8- w 8 6dA8D 66 IH 8 \w ,{ 8 8-6 Kb.8 8 Cx C8D - b?s8D 6 L K8A84? H48s9 C8Ak 8 | i } { ~ “Dari Ma’qil RA, katanya: saya akan menceritakan kepada engkau hadis yang saya dengar dari Rasulullah SAW, dan saya telah mendengar beliau bersabda: “Seseorang yang telah ditugaskan Tuhan memerintahi rakyat, kalau dia tidak memimpin rakyat itu dengan jujur, niscaya dia tiada akan memperoleh bau surga.” H.R. Bukhari. 63 Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Dar Ihya al-Turas al-Arabi, 1975 juz II h.792 64 Zainuddin., Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, h. 144. Itulah nas-nas syariyyah yang menjelaskan tentang hukuman tentang tindak pidana korupsi,walaupun tidak secara jelas menjelaskan tentang hukuman untuk pelaku tindak pidana korupsi namun dengan mengetahui unsur-unsur dari penyimpangan tersebut bisa ditarik nas-nas syar’iyyah tersebut untuk menjatuhkan hukuman kepada pelaku tindak pidana korupsi. 92

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan