Penyimpangan dalam pengadaan perumahan negara kajian hukum pidana Islam

(1)

1

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh: WISMOYO HARIRI

NIM: 106045101517

KONSENTRASI PIDANA ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A 1431 H / 2011


(2)

2

Dengan ini saya menyatakan bahwa

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 15 September 2011


(3)

3

DAFTAR ISI...

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Metode Penelitian ... 8

E. Review Studi Terdahulu ... 11

F. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGADAAN BARANG MILIK NEGARA MENURUT HUKUM POSITIF A. Tinjauan Umum Tentang Perbendaharaan Negara ... 16

B. Pengadaan Barang Milik Negara Berupa Rumah Negara ... 30

BAB III PENYIMPANGAN DALAM PENGADAAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA RUMAH NEGARA A. Sistem Pengadaan Rumah Negara ... 43


(4)

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENYIMPANGAN DALAM PENGADAAN RUMAH MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF

A. Faktor Penyebab Terjadinya Penyimpangan ... 64

B. Modus Operandi ... 69

C. Analisis Penyimpangan Terhadap Pengadaan Rumah Negara Menurut Hukum Pidana Islam………..78

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 90

B. Saran-Saran ... 91

DAFTAR PUSTAKA ... 92


(5)

5

Setiap Negara memiliki kekayaan tersendiri yang perolehannya didapatkan dari dana APBN atau APBD yang disebut dengan Barang Milik Negara1 atau di dalam Islam bisa disebut dengan asset publik,yang dalam hal pemanfaatannya ini dapat dinikmati oleh mereka semua tanpa monopoli atau dieksploitasi secara sepihak untuk kepentingan pribadi. BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehannya secara sah2. Pengadaan nya diperuntukkan dalam rangka memenuhi sarana dan prasarana penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi Kementerian dan Lembaga Pemerintah.

Dalam hal pengadaan dan pengelolaan BMN tersebut Negara Republik Indonesia telah menetapkan berbagai peraturan perihal tata cara pengadaan dan pengelolaan BMN yang terbagi-bagi atas : tatacara pengadaan, pemanfaatan dan penghapusannya.

Dalam implementasi pengadaan, pengelolaan, penggunaan dan pemanfaatan BMN masih sering didapati penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan baik oleh oknum panitian pengadaan, pengguna barang ataupun oleh kuasa pengguna barang sehingga pada akhirnya menimbulkan permasalahan dalam pengelolaan

1

Selanjutnya disebut dengan BMN 2


(6)

pengadministrasian, kepemilikan dan penggunaannya sehingga menimbulkan kerugian bagi Negara.

Penyimpangan adalah perilaku yang menyimpang dari kewajiban-kewajiban normal suatu jabatan pemerintahan, karena kepentingan pribadi (keluarga golongan, kawan akrab), demi mengejar status dan gengsi, atau melanggar peraturan dengan jalan melakukan atau mencari pengaruh bagi kepentingan pribadi atau kelompoknya3. Penyimpangan dimaksudkan pula sebagai perbuatan dan atau perilaku dari orang, dan kelompok untuk melakukan penyelewengan yang hal itu dimintakan legalisasi atau diusulkan diadakannya perubahan atas ketentuan yang berlaku, sehingga untuk dikemudian hari yang demikian itu tidak lagi merupakan suatu penyimpangan yang tidak sah4

Penyimpangan yang terjadi dalam pengadaan dan pengelolaan barang inventaris milik Negara menurut pengamatan penulis telah terjadi sejak mulai dari saat perencanaan pengadaannya, penggunaannya, peruntukannya, pemeliharaannya sampai dengan pelaksanaan penghapusan/pelelangannya. Penyimpangan tersebut telah terjadi dala kurun waktu yang lama dari generasi ke generasi dengan modus operandi yang beraneka ragam mulai dari mark up harga, mengurangi kualitas, pemeliharaan dengan cara fiktif serta melaksanakan

3

J.S.Nye, Coruption and Politial Development a Cost Benefit Analysis, Harvard University,1967

4

Direktorat Perbendaharaan Departemen Keuangan Bimbingan Teknis Penyelesaian Kerugian Negara, 2008


(7)

penghapusan/pelelangan dengan harga murah.Berkenaan dengan hal ini,BPKP menyatakan bahwa dari belanja barang dan jasa terjadi kebocoran rata-rata 30 %, maka dari keuangan pemerintah pusat saja potensi kebocoran bisa mencapai minimal 25 triliun Rupiah5,sedangkan menurut data lain yang berasal dari KPK Lebih dari 40% kasus-kasus yang ditangani oleh KPK merupakan kasus pengadaan barang dan jasa. “Tahun 2005-2009, KPK menangani 44 perkara dengan kerugian negara sebesar Rp 689,195M atau rata-rata sekitar 35% dari total nilai proyek.6 Sedangkan pada tahun 2010 ini menurut data yang di ungkapkan Ketua Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP), Agus Raharjo awal Oktober mengatakan, 70 persen kasus yang ada di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dengan pengadaan7.

Kasus penyimpangan yang berkaitan dengan perumahan menurut Indeks Pembayaran Suap TI adalah berjumlah 11 % dari keseluruhan korupsi dalam pengadaan barang dan jasa8

5

kebocoran dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dalam http : //iprocwatch.org/

6

Johan Budi SP. “KPK dan LKPP Tandatangani Nota Kesepahaman Pemberantasan Korupsi” . Artikel di akses pada 28 Maret 2011 dari http://www.kpk.go.id

7

Agus Martowardoyo. “Menkeu Akui Maraknya Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa”, Artikel di akses pada 13 mei 2011 dari

http://hukumonline.com/berita/baca/lt4cf7563e8e446/menkeu-akui-maraknya-korupsi-di-pengadaan-barang-dan-jasa-

8

Bribe Payers index, TI, 2002, lihat http://www.transparency.org/policy-research/surveys_indices/bpi/complete_report_bpi_2002#size


(8)

Penyimpangan tersebut bisa di kategorikan sebagai tindak pidana korupsi karena merupakan jenis kegiatan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara9

Terjadinya Penyimpangan tersebut sudah cukup lama terjadi. Hal ini berawal dari kurang tegasnya lembaga-lembaga pemerintah dalam menegakkan peraturan tentang tata cara pengadaan dan pengelolaan BMN. Belum diberlakukannya sanksi hukum yang tegas bagi pelaku pelanggaran serta kurangnya pengetahuan dari pejabat dan atau pegawai dalam memahami peraturan tentang tata cara pengadaan dan pengelolaan BMN.

Selain itu penyimpangan BMN atau aset publik ini adalah lemahnya nilai-nilai keimanan, merebaknya kebobrokan lintas dimensi moral,sosial,ekonomi dan politik, serta tidak adanya penerapan hukum dan prinsip syariat Islam10

Di dalam hukum pidana positif, perilaku oknum pelaku penyimpangan terhadap pengadaan dan pengelolaan BMN merupakan bentuk penyimpangan yang masuk kedalam kategori kejahatan, karena pada dasarnya telah bertentangan dengan kewajaran, moral dan prinsip umum masyarakan beradab. Kejahatan ini dapat disebut dengan istilah white collar crime atau kejahatan kerah putih karena menyinggung pula kejahatan

9

Undang-Undang No 31 pasal 2 ayat 1 tahun 1999

10

Husain Husaini Syahatah, Perlindungan Aset Publik Dalam Perspektif Islam, Jakarta, Amzah,2005,h.18.


(9)

Korporasi sebagai permufakatan jahat yang dilakukan oleh orang-orang jahat untuk mencari keuntungan bagi korporasi mereka dengan melakukan tindakan-tindakan seperti mempermainkan harga, memasang iklan yang memberikan informasi dengan tidak benar dan sebagainya11.

Di dalam Islam perlindungan BMN atau aset publik ini penguasa juga diserahi tanggung jawab untuk melindungi dan mengelolanya melaluli penegakan sistem dan prosedur-prosedur, dan pembangunan perangkat yang dibutuhkan.

Selain itu penyimpangan aset publik ini juga haram hukummnya karena mengambil manfaat sendiri dengan cara yang tidak benar ataupun mencabut kepemilikannya dari tangan publik dengan cara tidak benar, salah menggunakan atau merusak kepemilikan.

Selanjutnya dalam penulisan skripsi ini penulis membatasi pada masalah penyimpangan dalam pengadaan barang berupa sarana dan prasara kantor Rumah Negara/rumah dinas. Rumah Negara adalah bangunan yang dimiliki Negara dan berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga serta menunjang pelaksanaan tugas pejabat dan atau pegawai negeri12.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis akan mengangkat permasalahan penyimpangan dalam pengadaan Rumah Negara. dalam skripsi

dengan judul PENYIMPANGAN DALAM PENGADAAN PERUMAHAN

MILIK NEGARA KAJIAN HUKUM PIDANA ISLAM.

11

Mohammad Kemal Dermawan, Jurnal Ilmu-ilmu Sosial, UI, tanpa tahun.

12


(10)

B. PERUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang masalah tersebut di atas penulis ingin mencoba mencermati persoalan-persoalan di atas dengan merumuskan beberapa pertanyaan sebagai berikut. Rumusan masalah ini akan penulis rinci menjadi beberapa pertanyaan:

1. Apa saja bentuk penyimpangan terhadap pengadaan Rumah Negara ? 2. Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya peluang

penyimpangan terhadap pengelolaan Rumah Negara ?

3. Bagaimana pandangan Hukum Pidana Islam tentang pelaku penyimpangan terhadap Rumah Negara ?

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui bentuk-bentuk penyimpangan terhadap rumah Negara seperti berupa penyalahgunaan jabatan atau wewenang dimana pejabat atau pegawai negeri menggunakan jabatan atau kewenangannya dengan maksud menguntungkan diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi dimana perbuatannya tersebut merugikan keuangan Negara. Selain itu bentuk penyimpangan ini juga berupa penggelembungan harga. Penyuapan, pengadaan fiktif, nepotisme dan pemberian komisi terhadap panitia pengadaan barang dan jasa


(11)

b. Untuk mengetahui faktor yang menyebabkan terjadinya penyimpangan dalam pengadaan rumah Negara ini disebabkan oleh kelalaian dan inkompetensi pelaksanaan peserta pengadaan, selain itu tak jarang juga penyimpangan ini juga merupakan tindakan yang disengaja pelaksana dan/atau peserta pengadaan dalam rangka korupsi untuk menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi. Dan juga untuk mengetahui pola penunjukkan langsung dari pemerintah terhadap salah satu rekanan kerja dalam hal pengadaan proyek, sehingga berdampak pada kebocoran karena sudah dilakukan mark up terlebih dahulu saat menunjuk pemenang tersebut dengan tujuan wajib memberikan kompensasi kepada lembaga yang menggolkan salah satu rekanan itu

c. Untuk mengetahui bagaimana pandangan hukum Pidana Islam terhadap penyimpangan dalam pengadaan Rumah Negara ini serta bagaimana cara menanggulangi penyimpangan ini terutama terhadap pelakunya sehingga bisa menimbulkan efek jera bagi pelaku dan memberi pelajaran bagi semua orang.

2. Manfaat Penelitian

1. Mampu memahami lebih dalam tentang pandangan Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana postif terhadap penyimpangan dalam pengadaan rumah Negara


(12)

2. Memberikan masukan selengkap-lengkapnya bagi institusi yang dirugikan

3. Meningkatkan kualitas penulis dalam membuat karya tulis D. METODE PENELITIAN

1. Metode Penelian :

Pendekatan penelitian ini diaplikasikan model penelitian empiris sosiologis yaitu penelitian terhadap pengalaman yang terjadi dalam masyarakat.

dimana yang menjadi sumber adalah kitab-kitab fiqh dan Undang-Undang. Dilihat dari sudut pandang sifat yang dihimpunnya, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Metode ini digunakan dalam rangka memperoleh informasi dari narasumber yang berkualitas melalui wawancara terarah untuk mendapatkan informasi akurat. Sementara metode penulisan yang digunakan adalah deskriptif dimana penelitian ini menjelaskan secara sistematis dan faktual mengenai gejala-gejala dan fakta-fakta penyimpangan dalam pengadaan Rumah negara, dan penelitian ini bertujan untuk memberikan gambaran suatu gejala suatu masyarakat tertentu.13 Dengan cara penulisan yang mengambarkan permasalahan yang didasari pada data-data yang ada. Lazimnya sebuah karya tulis ilmiah dibahas secara metodologis sesuai dengan konteks kajian dan data pendukungnya agar

13 Sukandarrumidi,

Metodologi Penelitian, Jakarta, Gadjah Mada University Press, 2004, h. 104.


(13)

supaya memuaskan siapapun yang membacanya. Penulis memilih penelitian lapangan sebagai metode dalam penelitian ini lalu dianalisia lebih lanjut.

2. Teknik Pengumpulan Data

a.Wawancara (interview), yaitu situasi peran antar pribadi bertatap muka (face to face), ketika seseorang yakni pewawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian kepada seseorang responden.14 Wawancara dilakukan terhadap narasumber yang dipilih untuk memperoleh beberapa hal mengenai tema yang diambil dalam skripsi ini.

b.Studi Kepustakaan, yaitu meliputi dari referensi kepustakaan,

baik berupa buku, majalah, surat kabar atau mengakses internet. Data-data yang telah terkumpul diperiksa kembali mengenai kelengkapan jawaban yang diterima, kejelasannya, konsistensi jawaban atau informasi yang biasa disebut editing

3. Sumber Data

a. Data primer, yaitu sumber data utama yang dapat dijadikan

jawaban terhadap masalah penelitian.15 Buku-buku yang berkaitan dengan

14

Amiruddin, Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, Cet. Ke-1, h. 82.

15

Beni Ahmad Saebani, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 158.


(14)

bahan penulisan antara lain UU Nomor 6 Tahun 2006, UU Nomor 31 tahun 1999, Permenkeu Nomor 138 tahun 2010 dan buku-buku lain yang berkaitan dengan pembahasan penulisan.

b. Data Sekunder yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini

yaitu kitab-kitab syarah hadis, artikel-artikel dan makalah-makalah yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.

4. Teknik analisis

Data dan informasi hasil penilitian dianalisis dan diolah dengan cara deskriptif analisis dimana data yang penulis dapatkan kemudian penulis analisis sehingga mendapatkan gambaran dan penjelasan atas data yang penulis peroleh kemudian diambil kesimpulan

E. Review Studi Terdahulu

Penulis melakukan review terdahulu sebelum menentukan judul proposal. Dalam review skripsi terdahulu, penulis meringkas skripsi yang ada kaitannya dengan penyimpangan terhadap pengadaan barang dan jasa.

Di antaranya adalah :

TINJAUAN YURIDIS PENERAPAN HUKUM DALAM PENGADAAN TANAH BERDASARKAN Keppres No.55 Tahun 1993

(Studi Kasus Putusan Pengadilan Nomor : 52/PDT.G/2004/PN-LP) Oleh : Juanda Panjaitan (020200037).


(15)

Di dalam skripsi ini menerangkan pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum,selain itu skripsi ini juga berisi tentang ganti rugi tanah, baik untuk kepentingan umum maupun kepentingan swasta, serta sengketa antara rakyat dengan Pemerintah atau rakyat dengan swasta dimana dalam pengadaan tanah ini banyak menimbulkan ketidakadilan bagi rakyat karena ganti rugi yang tidak sesuai dengan harga jual tanah.

TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Oleh : Abd Mannan (04370048)

Di dalam skripsi ini menerangkan tentang pandangan Hukum Pidana Islam terhadap kejahatan korporasi serta bagaimana rumusan pertanggungjawaban pidana menurut UU No 31 Tahun 1999.

Dari review yang saya berikan, jelas sekali perbedaannya dengan skripsi yang saya teliti yaitu mengenai “PENYIMPANGAN DALAM PENGADAAN

PERUMAHAN MILIK NEGARA KAJIAN HUKUM PIDANA ISLAM”. Yang

menarik dari skripsi yang saya teliti adalah bagaimana pandangan Hukum Pidana Islam terhadap pelaku perilaku menyimpang dalam hal pengadaan Rumah Negara yang banyak menimbulkan kerugian besar bagi Negara, selain itu dalam skripsi yang saya teliti ini nantinya akan dijelaskan sanksi apakah yang efektif untuk membuat jera para pelaku dengan menggunakan Hukum Pidana Islam.


(16)

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Penulisan penelitian ini, dimulai dari kata pengantar, daftar isi, dan dibagi menjadi bab dan sub bab serta diakhiri dengan kesimpulan dan saran. untuk lebih jelasnya pembagian bab-bab sebagai berikut :

BAB 1

Dalam bab ini dikemukakan tentang latar belakang masalah mengapa dipilih judul seperti tersebut di atas. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana penyimpangan dalam pengelolaan barang milik negara milik negara terjadi dan bagaimana bentuk serta faktor-faktor yang mendukung terjadinya tindakan penyimpangan. Selanjutnya dirumuskan beberapa masalah penelitian dan konsep-konsep yang digunakan. Ini dimaksudkan untuk mempermudah dalam melakukan penelitian agar pembahasan terhadap hasil penelitian tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda. Disamping itu juga dikemukakan tentang tujuan penelitian yaitu selain untuk kegunaan yang bersifat praktis juga sebagai ilmu pengetahuan. Oleh karena itu dalam bab ini juga dikemukakan kerangka teori sebagai rujukan dalam pembahasan secara analisis.Kerangka teori ini berupa uraian teoritis dan pandangan para ahli khususnya tentang perilaku menyimpang dan kejahatan serta usaha-usaha penanggulangannya. Selanjutnya konsep-konsep ini dapat dipakai sebagai dasar dalam membahas penyimpangan yang terjadi dalam pengelolaan barang milik negara milik negara. Dalam bab ini juga


(17)

dikemukakan tentang metodologi yang dipakai dan digunakan dalam usaha memperoleh data dilapangan. Dalam bab ini disajikan pula sistimatika penulisan hasil penelitian yang terbagi dalam 5(lima) bab, yang masing-masing bab disajikan uraian nya secara ringkas.

BAB II

Dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan dan demi terwujudnya tujuan negara, maka diperlukan suatu Sistem Pengelolaan Hak dan Kewajiban Negara yang bersifat terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. Salah satu aspek yang menunjang pelaksanaan perbendaharaan negara seperti yang telah disebutkan diatas adalah pengelolaan barang milik negara, dimana memang telah menjadi salah satu aspek pengaturan dalam Undang Undang Republik Indonesia tentang Perbendaharaan Negara.

BAB III

Aturan dalam pengelolaan barang milik negara telah dirumuskan dan diberlakukan oleh pemerintah Republik Indonesia, dimulai dari definisi, tatakelola hingga penyimpangan-penyimpangan yang dapat dilakukan dan terjadi dalam pengelolaan barang milik negara khususnya rumah negara. Penyimpangan dalam pengadaan aset Negara bisa dikategorikan sebagai korupsi karena merupakan jenis kegiatan yang melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara


(18)

BAB IV

Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tidak mampu mengakomodasi pemberian sanksi terhadap pelanggar, karena kekuatan hukumnya jauh di bawah undang-undang, apalagi Peraturan Presiden dapat setiap saat diperbaharui. Pengadaan barang dan jasa pemerintah merupakan pengeluaran belanja tertinggi yang mencapai 60% (enam puluh persen) dari total anggaran belanja pemerintah. Di samping menjadi pengeluaran tertinggi dalam belanja Negara, pengadaan barang dan jasa ini juga menjadi yang tertinggi dalam hal kebocoran dana akibat longgarnya ruang mark up. Modus utama angka kebocoran diakibatkan pola penunjukkan langsung dari pemerintah terhadap salah satu rekanan kerja dalam hal pengadaan proyek, sehingga berdampak pada kebocoran karena sudah dilakukan mark up terlebih dahulu saat menunjuk pemenang tersebut dengan tujuan wajib memberikan kompensasi kepada lembaga yang menggolkan salah satu rekanan itu. Selain hal tersebut sebab terjadinya penyimpangan juga karena kontroversi Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010, hal ini karena timbul pertanyaan apakah BUMN terikat dengan Peraturan Presiden ini atau tidak, karena BUMN sudah punya aturan tersendiri yang mengacu kepada Undang-Undang No.19 Tahun 2003,yang kedudukannya lebih tinggi dari Peraturan Presiden

BAB V


(19)

19

A.Tinjauan Umum Tentang Perbendaharaan Negara

Dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan dan demi terwujudnya tujuan negara, maka diperlukan suatu Sistem Pengelolaan Hak

dan Kewajiban Negara yang bersifat terbuka dan dapat

dipertanggungjawabkan, selain itu juga untuk menjaga konsistensi efektifitas tujuan pemeriksaan keuangan Negara dan efisiensi pengawasan pembangunan secara keseluruhan guna mencegah kebocoran penggunaan uang Negara16. Dalam pelaksanaan program pengelolaan Hak dan Kewajiban Negara tersebut dibutuhkan Hukum Administrasi Keuangan Negara yang mengatur tentang Perbendaharaan Negara.

Pengertian Perbendaharaan Negara sendiri dapat ditemukan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara17 pada Pasal 1 Ayat 1 yang berbunyi Perbendaharaan Negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban

16

Adrian Sutedi, Hukum Keuangan Negara,(Jakarta:Sinar Grafika,2010), hal 1

17


(20)

keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang

ditetapkan dalam APBN dan APBD”.

Pengaturan atas perbendaharaan negara sendiri dimaksudkan agar tercapainya tujuan negara melalui sistem pengelolaan keuangan negara yang profesional, terbuka dan bertanggung jawab18; dimana demi mencapai sistem pengelolaan keuangan negara yang profesional, terbuka dan bertanggung jawab, juga diperlukan penyempurnaan secara menyeluruh dalam sistem perbendaharaan negara dan anggaran negara melalui proses perbaikan penganggaran, modernisasi sistem pembayaran, optimalisasi pengelolaan kas, peningkatan akuntabilitas penggunaan anggaran dan kekayaan negara, serta peningkatan layanan publik, peningkatan kinerja, transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara. Dalam hal ini Presiden selaku Kepala Pemerintahan mengatur dan menyelenggarakan sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintahan secara menyeluruh. Setiap kerugian negara/daerah yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum atau kelalaian seseorang harus segera diselesaikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan sesuai dengan wilayah hukum yang bersangkutan,

18


(21)

dimana jika melanggar Hukum Administrasi Negara dan Hukum Pidana masuk ke ranah Hukum Publik19.

Perbendaharaan negara yang diatur dalam Undang-Undang tentang Perbendaharaan Negara meliputi pelaksanaan pendapatan dan belanja negara, pelaksanaan pendapatan dan belanja daerah, pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran negara, pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran daerah, pengelolaan kas, pengelolaan piutang dan utang negara/daerah, pengelolaan investasi dan barang milik negara/daerah, penyelenggaraan akuntansi dan sistem informasi manajemen keuangan negara/daerah, penyusunan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD, penyelesaian kerugian negara/daerah, pengelolaan Badan Layanan Umum, dan perumusan standar, kebijakan, serta sistem serta prosedur yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD20

Dalam perbendaharaan negara Menteri/pimpinan lembaga adalah Pengguna Anggaran/Pengguna Barang bagi kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya, sedangkan Kepala satuan kerja perangkat daerah adalah Pengguna Anggaran/Pengguna Barang bagi kementerian negara/lembaga yang

19

Theodorus M. Tuanakotta, Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: Salemba Empat,2009), h.77.

20

C.S.T. Kansil dan Christine S.T Kansil, Hukum Keuangan dan Perbendaharaan Negara (Jakarta: PT. Pradnya Paramita,2008), h.139.


(22)

dipimpinnya21. Tahun anggaran untuk perbendaharaan negara sendiri meliputi masa satu tahun mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember pada tiap tahunnya, dan Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara berwenang mengatur dan menyelenggarakan rekening pemerintah. Pemerintah Pusat juga dapat memberikan pinjaman atau hibah kepada Pemerintah Daerah/Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah sesuai dengan yang tercantum/ditetapkan dalam Undang-Undang tentang APBN; selain itu Pemerintah juga dapat melakukan invetasi jangka panjang untuk memperoleh manfaat ekonomi, sosial dan/atau manfaat lainnya.

1. Tinjauan Umum Tentang Barang Milik Negara dan Reformasi di

Bidang Keuangan

Salah satu aspek yang menunjang pelaksanaan perbendaharaan negara seperti yang telah disebutkan diatas adalah pengelolaan barang milik negara, dimana memang telah menjadi salah satu aspek pengaturan dalam Undang Undang Republik Indonesia tentang Perbendaharaan Negara.

Sebelum adanya reformasi di bidang keuangan, pengelolaan barang milik negara digambarkan sebagai berikut, yaitu belum lengkapnya data mengenai jumlah, nilai, kondisi dan status kepemilikannya. Dalam Pengadaan barang/jasa sendiri terdapat banyak celah untuk melakukan praktek monopoli,

21


(23)

dimulai dari tahap persiapan hingga pelaksanaan tender. Kerap kali perencanaan kebutuhan akan pengadaan barang/jasa tidak sesuai dengan kebutuhan, bahkan terdapat penetapan kebutuhan yang ternyata adalah fiktif, serta pembagian paket pengadaan yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Menurut Larto Untoro (Kepala Bagian Pengadaan ULP KPK) terdapat 4 poin besar problem pengadaan, yaitu pasar pengadaan yang tidak terbuka, kurangnya kapasitas manajemen, bad governance dan banyaknya celah korupsi22 .

a. Pengaturan Mengenai Pengelolaan Barang Milik Negara di Indonesia

Pengelolaan Barang Milik Negara sendiri diatur pada, dimana Maksud dari reformasi di bidang keuangan dituangkan dalam aturan-aturan tersebut diatas dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2007 tentang Tim Penertiban Barang Milik Negara/Daerah, dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 29/06/2010. Reformasi di bidang keuangan diatur tidak hanya secara administratif, namun juga secara pola pemikiran yang lebih maju dalam berpikir mengenai peningkatkan efisiensi, efektifitas dan nilai tambah lainnya dalam pengelolaan barang milik negara.

22

Majalah Pengawasan Solusi, Nomor 2 volume 1, Pengawasan Terhadap Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Kementrian Perindustrian: Jakarta, 2011)


(24)

Untuk Pengelolaan BMN berupa Rumah Negara sendiri diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 tentang Pemukiman dan Perumahan, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 tahun 1994 tentang Rumah Negara, Undang-Undang tentang Perbendaharaan Negara, Peraturan Pemerintah23 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Pengadaan Rumah Negara, dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 138 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Rumah Negara. Aturan-aturan lain yang masih memiliki keterkaitan dengan Pengelolaan Rumah Negara ini adalah Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 yang merupakan perubahan dari Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Arah penertiban BMN menurut sendiri adalah bagaimana pengelolaan aset negara di setiap pengguna barang menjadi lebih akuntabel dan transparan, sehingga penggunaan dan pemanfaatan aset-aset negara mampu dioptimalkan untuk menunjang fungsi pelayanan kepada masyarakat atau stakeholder.

b. Pengertian Barang Milik Negara

23

Selanjutnya disebut dengan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Barang Milik


(25)

Pengertian utama dari Barang Milik Negara dapat ditemukan dalam Ayat 10 Pasal 1 Undang-undang tentang Perbendaharaan Negara yang berbunyi sebagai berikut ”Barang Milik Negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lain yang sah” dan untuk Pengertian dari Barang Milik Daerah juga terdapat dalam Undang-undang tentang Perbendaharaan Negara pada Pasal 1 Ayat 11, yang berbunyi ”Barang Milik Negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lain yang sah”. sama halnya untuk pengertian Barang Milik Negara pada Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah yang merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang sendiri mengambil pengertian Barang Milik Negara secara keseluruhan mengacu dari Induk Peraturannya. Dalam penjelasan Peraturan Pemerintah juga disinggung bahwa ruang lingkup dari barang milik negara/daerah disamping berasal dari pembelian atau perolehan atas beban anggaran pendapatan dan belanja negara atau daerah juga berasal dari perolehan lainnya yang sah. Barang milik negara/daerah yang berasal dari perolehan lainnya yang sah mencakup barang yang diperoleh dari hibah atau sumbangan atau sejenisnya, diperoleh sebagai pelaksanaan perjanjian atau kontrak, diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; namun pengertian


(26)

Barang Milik Negara dalam hal ini terbatas hanya pada barang milik negara yang bersifat berwujud (tangible).24

Barang milik negara atau yang biasa disebut dengan aset negara/aset publik juga memiliki pengertian kekayaan yang menjadi hak milik semua orang atau segolongan manusia, dan hak pemanfaatannya dapat dinikmati oleh mereka semua tanpa monopoli atau dieksploitasi secara sepihak untuk kepentingan pribadi25. Dengan kata lain,aset publik dapat dinikmati oleh seluruh komponen masyarakat atau seluruh anggota kelompok tertentu ( yang memilikinya ), tanpa ada penyempitan hak prerogatif pada satu individu.

Pengadaan aset Negara ini diperuntukkan untuk memenuhi sarana dan prasarana yang menunjang tugas dan fungsi pokok Kementerian dan Lembaga Pemerintahan agar dalam menjalankan tugas nya dapat berjalan dengan efektif dan proporsional.

c. Pengelolaan Barang Milik Negara

Pengaturan pengelolaan barang milik negara sesuai pada pasal 42 Undang-Undang tentang Perbendaharaan Negara adalah Menteri Keuangan dengan Pengguna Barang Milik Negara tersebut adalah Menteri/Pimpinan

24

Penjelasan atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 tentang

Pengelolaan Barang Milik Negara

25

Husain Husain Syahatah, Perlindungan Aset Publik Dalam Perspektif Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2005), Cet pertama, h.6


(27)

lembaga dan Kepala Kantor dalam lingkungan kementerian negara/lembaga adalah sebagai Kuasa Pengguna barang dalam lingkungan kantor yang besangkutan. Pengelolaan barang milik negara sendiri dilakukan menurut asas fungsional, kepastian hukum, transparansi dan keterbukaan, efisiensi, akuntabilitas, dan kepastian nilai.

Pengelolaan barang milik negara menurut Pasal 3 Ayat 2 Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Barang mIlik Negara meliputi perencanaan kebutuhan dan penganggaran, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan, penilaian, penghapusan pemindahtanganan, penatausahaan, pembinaan, pengawasan dan pengendalian.

Barang milik negara menurut Pasal 45 Undang-Undang tentang Perbendaharaan Negara yang diperlukan bagi penyelenggaraan tugas pemerintahana negara/daerah tidak dapat di pindah tangankan; sedangkan untuk pemindah tanganan barang milik negara yang dapat dipindahtangankan dilakukan dengan cara dijual, dipertukarkan, dihibahkan atau disertakan sebagai modal pemerintah setelah mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Penghapusan barang milik negara/daerah meliputi penghapusan dari daftar pengguna barang dan atau kuasa pengguna dalam hal barang tersebut sudah tidak berada dalam penguasaan pengguna barang/kuasa pengguna barang; serta dari daftar barang milik negara/daerah dalam hal barang tersebut sudah


(28)

beralih kepemilikannya baik karena terjadi pemusnahan atau sebab lainnya. Untuk pemindahtanganan sebagai tindak lanjut atas penghapusan barang milik negara/daerah adalah meliputi penjualan, tukar-menukar, hibah, dan penyertaan modal pemerintah pusat/daerah.

d. Penggolongan Barang Milik Negara

Barang milik negara atau aset publik ini dibagi menjadi dua jenis,yaitu26 :

1) Aset Publik yang dimiliki Negara dalam posisinya sebagai legal personality. Pemerintah boleh mendayagunakan untuk kepentingan umum, dengan syarat pendayagunaan harta tersebut sesuai dengan hukum-hukum syara’

Contoh aset publik jenis ini adalah zakat, harta rampasan perang, jizyah (pajak nonmuslim), dan pajak. Aset-aset Negara harus memiliki lembaga-lembaga pengelola yang resmi

2) Aset publik yang dimiliki secara khusus oleh segolongan anggota masyarakat atau organisasi. Pemanfaatan aset ini dilakukan sesuai kebutuhan. Pengelolaan aset jenis ini ditangani oleh pemerintah atau sejumlah orang yang ditunjuk di bawah pengawasan Negara sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

26

Husain Husain Syahatah, Perlindungan Aset Publik Dalam Perspektif Hukum Islam, Jakarta, Amzah, 2005, Cet pertama, h.7


(29)

Contoh aset publik jenis ini adalah fasilitas umum, sumber daya alam, harta wakaf, aset organisasi, aset sindikat profesi, aset klub, dan aset-aset sejenis lainnya.

Aset Negara atau Barang Milik Negara memiliki variasi jenis yang beragam, baik dalam bentuk, tujuan perolehannya, maupun masa manfaat yang diharapkan. Dalam perlakuan akuntansi, Peraturan Pemerintah Normor 24 tahun 2005 membagi BMN menjadi aset lancar,aset tak

berwujud, aset lainnya, dan aset bersejarah.

a) Aset lancar yaitu apabila BMN tersebut diadakan dengan tujuan segera dipakai atau dimiliki untuk dijual dalam waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal perolehan. BMN yang memenuhi kriteria ini diperlakukan sebagai Persediaan. BMN ini dapat berupa barang atau perlengkapan yang dimaksudkan untuk mendukung kegiatan operasional pemerintah, dan barang-barang yang diadakan yang dimaksudkan untuk dijual dan/atau diserahkan dalam rangka pelayanan kepada masyarakat. Persediaan ini mencakup barang atau perlengkapan yang dibeli dan disimpan untuk digunakan, barang habis pakai seperti komponen peralatan dan pipa, dan barang bekas pakai seperti komponen bekas. Persediaan dapat meliputi barang konsumsi, amunisi, bahan untuk pemeliharaan, suku cadang, persediaan untuk tujuan strategis / berjaga-jaga, pita cukai dan leges, bahan baku, barang dalam proses/setengah jadi, tanah/bangunan untuk dijual atau


(30)

diserahkan kepada masyarakat, dan hewan dan tanaman untuk dijual atau diserahkan kepada masyarakat. Persediaan untuk tujuan strategis/ berjaga-jaga antara lain berupa cadangan energy (misalnya minyak) atau cadangan pangan (misalnya beras).

b) Aset tetap yaitu BMN mempunyai masa manfaat lebih dari 12 (duabelas) bulan, tidak dimaksudkan untuk dijual dalam operasi normal Kuasa Pengguna Barang, dan diperoleh atau dibangun dengan maksud untuk digunakan. Termasuk dalam kategori aset tetap adalah:

1) Tanah

Tanah yang dikelompokkan sebagai asset tetap ialah tanah yang diperoleh dengan maksud untuk dipakai dalam kegiatan operasional pemerintah dan dalam kondisi siap dipakai. Tanah yang dimiliki atau dikuasai oleh instansi pemerintah di luar negeri, misalnya tanah yang digunakan perwakilan Republik Indonesia di luar negeri, hanya diakui bila kepemilikan tersebut berdasarkan isi perjanjian penguasaan dan hukum serta perundang-undangan yang berlaku di negara tempat Perwakilan Republik Indonesia berada bersifat permanen.

2) Peralatan dan Mesin

Peralatan dan mesin mencakup mesin-mesin dan kendaraan bermotor, alat elektronik, dan seluruh inventaris kantor yang nilainya signifikan dan masa manfaatnya lebih dari 12 (dua belas) bulan dan dalam


(31)

kondisi siap pakai. Wujud fisik Peralatan dan Mesin bisa meliputi: Alat besar, Alat Angkutan, Alat Bengkel dan Alat Ukur, Alat Pertanian, Alat Kantor dan Rumah Tangga, Alat Studio, Komunikasi dan Pemancar, Alat Kedokteran dan Kesehatan, Alat Laboratorium, Alat Persenjataan, Komputer, Alat Eksplorasi, Alat Pemboran, Alat Produksi, Pengolahan, dan Pemurnian, Alat Bantu Eksplorasi, Alat Keselamatan Kerja, Alat Peraga, serta Unit Proses/produksi.

3) Gedung dan Bangunan

Gedung dan bangunan mencakup seluruh gedung dan bangunan yang dibeli atau dibangun dengan maksud untuk dipakai dalam kegiatan operasional pemerintah dan dalam kondisi siap dipakai. Termasuk dalam kategori Gedung dan Bangunan adalah BMN yang berupa Bangunan Gedung, Monumen, Bangunan Menara, Rambu-rambu, serta Tugu Titik Kontrol.

4) Jalan, Irigasi, dan Jaringan

Jalan, irigasi, dan jaringan mencakup Jalan, irigasi, dan jaringan yang dibangun oleh pemerintah serta dikuasai oleh pemerintah dan dalam kondisi siap dipakai. BMN yang termasuk dalam kategori asset ini adalah Jalan dan Jembatan, Bangunan Air, Instalasi, dan jaringan.


(32)

Aset tetap lainnya mencakup aset tetap yang tidak dapat dikelompokkan ke dalam Tanah, Peralatan dan Mesin, Gedung dan Bangunan, Jalan, Irigasi dan Jaringan, yang diperoleh dan dimanfaatkan untuk kegiatan operasional pemerintah dan dalam kondisi siap dipakai. BMN yang termasuk dalam kategori aset ini adalah Koleksi Perpustakaan/Buku,Barang Bercorak Kesenian/Kebudaayaan/Olahraga, Hewan, Ikan dan Tanaman.

e) Dikategorikan sebagai aset tak berwujud adalah aset non keuangan yang dapat diidentifikasikan dan tidak mempunyai wujud fisik serta dimiliki untuk digunakan dalam menghasilkan barang atau jasa atau digunakan untuk tujuan lainnya termasuk hak atas kekayaan intelektual. Aset tak berwujud meliputi software komputer, lisensi dan franchise, hak cipta (copyright), paten, dan hak lainnya, dan hasil kajian/ penelitian yang memberikan manfaat jangka panjang.

.

f) Dikategorikan Aset Bersejarah adalah bangunan bersejarah, monument, tempat – tempat purbakala seperti candi, dan karya seni. Beberapa aset tetap dijelaskan sebagai aset bersejarah dikarenakan kepentingan budaya, lingkungan dan sejarah. Aset bersejarah tidak disajikan dalam neraca namun aset tersebut harus diungkapkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan.


(33)

B.PENGADAAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA RUMAH NEGARA

Pengadaan perumahan Negara yang termasuk dalam barang milik negara ini pada dasarnya melibatkan dua pihak yaitu pihak pengguna Barang/Jasa dan pihak penyedia Barang/Jasa, tentunya dengan keinginan/kepentingan yang berbeda, bahkan bisa dikatakan bertentangan. Oleh karena itu agar mencapai kesepakatan perlu adanya etika, norma dan prinsip yang harus disepakati dan dipatuhi bersama.

Peraturan mengenai pengadaan barang/jasa diatur dalam Keppres no 80 tahun 2003 yang kemudian diperbahurui dengan Perpres no 54 tahun 2010,letak perbedaan diantara Kepres no 80 tahun 2003 dibanding dengan Perpres no 54 tahun 2010 yang sangat mencolok adalah pada pembentukan Unit Layanan Pengadaan, di mana pada Kepres no 80 tahun 2003 belum ditentukan sedangkan pada Perpres no 54 tahun 2010 Unit Pelayanan Pengadaan adalah Menteri/Pimpinan Lembaga/Kepala Daerah/Pimpinan Instansi.

Pengadaan Rumah Negara untuk memenuhi kebutuhan rumah Pegawai Negeri selain dilaksanakan dengan cara pembangunan, pembelian, tukar menukar dan tukar bangun dimungkinkan adanya hibah rumah dari badan hukum, masyarakat dan perorangan. Rumah yang telah dihibahkan kepada negara tersebut adalah menjadi kekayaan milik Negara27.

27


(34)

Dalam pengadaan barang dan jasa yang berupa rumah Negara ini diatur prinsip-prinsip yaitu efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif, dan akuntabe dengan penjelasan sebagai berikut28 :

a) Efisien : yang dimaksud dengan prinsip efisien berarti pengadaan barang dan jasa harus diusahkan dengan menggunakan dana dan daya terbatas untuk mencapai sasaran yang ditetapkan dalam waktu sesingkat-singkatnya dan dapat dipertanggung jawabkan.

b) Efektif : Yang dimaksud dengan prinsip efektif bahwa dalam pengadaan barang dan jasa harus didasarkan pada kebutuhan yang telah ditetapkan (sasaran yang ingin dicapai) dan dapat memberikan manfaat yang tinggi dan sebenar-benarnya dengan sasaran yang dimaksud.

c) Persaingan Sehat : Maksudnya adalah diberinya kesempatan kepada semua penyedia barang dan jasa yang setara dan memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan untuk menawarkan barang dan jasanya, berdasarkan etika dan norma pengadaan yang berlaku, dan tidak terjadi kecurangan dan praktik KKN

d) Terbuka : Memberikan semua informasi dan ketentuan mengenai pengadaan barang dan jasa, termasuk syarat teknis administrasi pengadaan, tata cara evaluasi, hasil evaluasi, penetapan calon penyedia barang dan jasa, yang

28

Adrian Sutedi, Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa dan Berbagai


(35)

sifatnya terbuka kepada peserta penyedia barang dan jasa yang berminat, serta bagi masyarakat luas pada umumnya.

e) Tidak Diskriminatif : Pemberian perlakuan yang sama kepada semua calon penyedia barang dan jasa yang berminat mengikuti pengadaan barang dan jasa. Dan tidak mengarah untuk memberi keuntungan kepadak pihak tertentu dengan cara dan/atau alasan apapun

f) Akuntabilitas : Pertanggung jawaban pelaksanaan pengadaan barang dan jasa kepada para pihak yang terkait dan masyarakat berdasarkan etika, norma dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam arti bahwa pengadaan barang dan jasa harus mencapai sasaran baik secara fisik, maupun keuangannya serta manfaat atas pengadaan tersebut terhadap tugas umum pemerintahan dan/atau pelayanan masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip serta ketentuan yang berlaku dalam pengadaan barang dan jasa.

Etika dalam hal pengadaan tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pada pasal 6 butir a sampai dengan h, yaitu sebagai berikut :

a) Melaksanakan tugas secara tertib,disertai tanggung jawab untuk mencapai sasaran kelancaran dan ketepatan tercapainya tujuan pengadaan barang dan jasa.

b) Bekerja secara professional dan mandiri atas dasar kejujuran, serta menjaga kerahasiaan dokumen pengadaan barang dan jasa yang seharusnya


(36)

dirahasiakan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam pengadaan barang dan jasa.

c) Tidak saling mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung untuk mencegah dan menghindari terjadinya persaingan yang tidak sehat.

d) Menerima dan bertanggung jawab atas segala keputusan yang ditetapkan sesuai dengan kesepakatan para pihak.

e) Menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan kepentingan para pihak terkait, langsung maupun tidak langsung dalam proses pengadaan barang dan jasa ( conflict of interest ).

f) Menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan Negara dalam pengadaan barang dan jasa.

g) Menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang (seperti kolusi) dengan tujuan untuk kepentingan pribadi, golongan atau pihak lain.

h) Tidak menerima, tidak menawarkan atau tidak menjanjikan untuk member atau menerima hadiah, imbalan berupa apa saja kepada siapa pun yang dikeatahui atau patut diduga berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa.

Selain etika dalam pengadaan barang dan jasa juga diatur norma dalam hal pengadaan barang dan jasa yang bertujuan agar pengadaan barang dan jasa dapat tercapai dengan baik. Suatu norma baru ada apabila terdapat lebih dari


(37)

satu orang, karena norma pada dasarnya mengatur tata cara bertingkah laku seseorang terhadap orang lain atau terhadap lingkungannya29.

Sebagaimana norma lain yang berlaku, norma pengadaan barang dan jasa terdiri dari norma tertulis dan tidak tertulis. Norma tidak tertulis pada umumnya adalah norma yang bersifat ideal, sedangkan norma tertulis pada umumnya adalah norma yang bersifat operasional. Norma ideal pengadaan barang dan jasa antara lain tersirat dalam pengertian tentang hakikat, filosofi, etika, profesionalisme dalam bidang pengadaan barang dan jasa. Adapun norma pengadaan barang dan jasa bersifat operasional pada umumnya telah dirumuskan dan dtuangkan dalam peraturan perundang-undangan yaitu berupa undang-undang, peraturan, pedoman, petunjuk dan bentuk-bentuk statuter lainnya30.

1 Pengertian Rumah Negara

Pengertian Barang Milik Negara yang berupa rumah negara dapat ditemui dalam Pasal 1 ayat 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1994 tentang Rumah Negara yaitu sebagai berikut “rumah negara adalah bangunan yang dimiiki negara dan berfungsi sebagai tempat itnggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga serta menunjang pelaksanaan tugas pejabat dan/atau pegawai negeri”. Begitu juga dengan pengertian rumah

29

Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan, Dasar-Dasar dan Pembentukannya, (Jakarta Kanisius,1998).

30 Adrian Sutedi,

Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa dan Berbagi Permasalahannya, (Jakarta : Sinar Grafika,2008), hal 11.


(38)

negara yang terdapat dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 138/PMK.06/2010 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara Berupa Rumah Negara yang merupakan salah satu peraturan pelaksana dari Undang-undang tentang Perbendaharaan Negara, Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1994 tentang Rumah Negara; dimana dalam hal ini memiliki pengertian yang sama dari induk peraturannya.

2 Penggolongan Rumah Negara

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1994 tentang Rumah Negara dan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 138/PMK.06/2010 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara Berupa Rumah Negara, Rumah Negara terbagi menjadi 3 golongan sebagai berikut :

a) Rumah Negara golongan I adalah Rumah Negara yang dipergunakan bagi pemegang jabatan tertentu dan karena sifat jabatannya harus bertempat tinggal di rumah tersebut, serta hak penghuniannya terbatas selama pejabat yang bersangkutan masih memegang jabatan tertentu tersebut.

b) Rumah Negara golongan II adalah Rumah Negara yang mempunyai hubungan dengan yang tidak dapat dipisahkan dari suatu instansi dan hanya disediakan untuk didiami oleh Pegawai Negari dan apabila telah berhenti atau pensiun rumah dikembalikan kepada Negara.


(39)

c) Rumah Negara golongan III adalah Rumah Negara yang tidak termasuk Golongan I dan Golongan II yang dapat dijual kepada penghuninya.

3 Pengelolaan Rumah Negara

Pengelolaan rumah negara yang diatur dalam aturan-aturan tentang rumah negara meliputi penetapan status, pendaftaran dan penghapusan; hal ini diatur dalam Bab V Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1994 tentang Rumah Negara; namun dalam penulisan hukum ini, penulis tidak membatasi pembahasan masalah terbatas pada pengelolaan rumah negara saja namun juga mencakup pengadaan rumah negara dalam hal penyimpangan yang terjadi dalam pengadaan, pengelolaan dan pemanfaatan rumah negara.

Dalam pengelolaannya, Rumah negara hanya dapat dihuni oleh pejabat dan atau pegawai negeri dimana untuk dapat menghuninya harus memiliki Surat Izin Penghunian. Rumah negara wajib didaftarkan oleh pimpinan instansi yang bersangkutan kepada Menteri Pekerjaan Umum. Pendaftaran Rumah Negara dilakukan untuk :

1) Mengetahui secara tepat dan rinci jumlah aset Negara yang berupa rumah.

2) Menyusun program kebutuhan pembangunan Rumah Negara.

3) Mengetahui besarnya pemasukan keuangan kepada Negara dari hasil sewa, penjualan, penghapusan dan pajak bumi dan bangunan.


(40)

4) Menyusun standar biaya pemeliharaan dan perawatan.

a. Pengalihan Status dan Hak Atas Rumah Negara

Rumah negara yang dapat dialihkan statusnya adalah rumah negara golongan II menjadi rumah negara golongan I, dalam hal ini pengalihan status terjadi antara pengguna barang; untuk alih status dari rumah negara golongan III menjadi rumah negara golongan II atau sebaliknya terjadi antara pengguna barang dan Pengguna barang berupa rumah negara; sedangkan untuk pengalihan rumah negara golongan II menjadi golongan I hanya dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rumah jabatan; namun terdapat pula rumah negara golongan II yang tiak dapat dialihkan menjadi rumah golongan III, yaitu sebagai berikut :

a) Rumah negara golongan II yang berfungsi sebagai mess.asrama sipil dan ABRI;

b) Rumah negara golongan II yang berfungsi secara langsung melayani atau terletak dalam suatu lingkungan kantor instansi, rumah sakit, sekolah, perguruan tinggi, pelabuhan udara, pelabuhan laut dan laboratorium/balai penelitian.31

Rumah negara yang dapat dialihkan haknya adalah rumah negara golongan III, kecuali rumah negara golongan III yang berada dalam

31 Ayat 3 Pasal 15 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1994 tentang Rumah


(41)

sengketa. Penghuni Rumah Negara yang dapat mengajukan permohonan pengalihan hak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1) Pegawai Negeri :

a. Mempunyai masa kerja sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun;

b. Memiliki Surat Izin Penghunian yang sah;

c. Belum pernah dengan jalan/cara apapun memperoleh/membeli rumah dari Negara berdasakan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2) Pensiunan Pegawai Negeri :

a. Menerima pensiunan dari Negara;

b. Memiliki Surat Izin Penghunian yang sah;

c. Belum pernah dengan jalan/cara apapun memperoleh/membeli rumah dari Negara berdasar peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3) Janda/Duda Pegawai Negari :

a. Masih berhak menerima tunjangan pensiunan dari Negara, yang :


(42)

a) Almarhum suami/istrinya sekurang-kurangnya mempunyai masa kerja 10 (sepuluh) tahun pada Negara, atau

b) Masa kerja almarhum suaminya/istrinya ditambah dengan jangka waktu sejak yang bersangkutan menjadi janda/duda berjumlah sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun;

a. Memiliki Surat Izin Penghunian yang sah;

b. Almarhum suaminya/istrinya belum pernah dengan

jalan/cara apapun memperoleh/membeli rumah dari Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

4) Janda/Duda Pahlawan, yang suaminya/istrinya dinyatakan sebagai Pahlawan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku :

a. Masih berhak menerima tunjangan pensiun dari Negara;

b. Memiliki Surat Izin Penghunian yang sah;

c. Almarhum suaminya/istrinya belum pernah dengan jalan/cara apapun memperoleh/membeli rumah dari Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pengalihan hak atas rumah negara seperti disebut diatas menurut Pasal 18 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1994 tentang Rumah Negara dilakukan secara sewa beli dan untuk dapat


(43)

menghuni rumah negara harus memiliki Surat Izin Penghunian yang dikeluarkan oleh instansi yang bersangkutan. Penghuni rumah negara wajib untuk membayar sewa rumah dan memelihara rumah serta memanfaatkan rumah sesuai dengan fungsinya, serta dilarang untuk menyerahkan sebagaian atau seluruh rumah kepada pihak lain, mengubah sebagian atau seluruh bentuk rumah, menggunakan rumah tidak sesuai dengan fungsinya.32

b. Pemindahtanganan Rumah Negara

Pemindahtanganan BMN berupa Rumah Negara dilakukan dengan mekanisme:

1)Penjualan; 2)Tukar menukar; 3)Hibah; atau

4)Penyertaan Modal Pemerintah Pusat.

Untuk pemindahtanganan rumah negara dengan mekanisme penjualan hanya berlaku untuk rumah negara golongan III, sedangkan untuk mekanisme tukar-menukar dan hibah hanya dapat dilakukan terhadap rumah negara golongan I dan II. Mekanisme tukar menukar, hibah dan penyertaan modal dapat diterapkan pada rumah negara golongan III setelah status dari rumah negara tersebut dialihkan menjadi golongan II.

32


(44)

c. Penghapusan Rumah Negara

Penghapusan Rumah Negara dapat dilakukan antara lain karena :

1)Tidak layak huni;

2)Terkena rencana tata ruang;

3)Terkena bencana;

4)Dialihkan haknya kepada penghuni.

Penghapusan BMN berupa Rumah Negara dilakukan berdasarkan keputusan Penghapusan BMN yang diterbitkan oleh Pengguna Barang, PenggunaBarang Rumah Negara Golongan III atau Pengelola Barang. Penghapusan rumah negara dilakukan berdasarkan keputusan Penghapusan BMN yang diterbitkan oleh Pengguna Barang, Pengguna Barang Rumah Negara Golongan III atau Pengelola Barang; hal ini meliputi :

1) Penghapusan BMN berupa Rumah Negara Golongan I dan Rumah Negara Golongan II dari Daftar Barang Pengguna/Kuasa Penguna pada Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang;

2) Penghapusan BMN berupa Rumah Negara Golongan III dari Daftar Barang Pengguna/Kuasa Penguna pada Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang Rumah Negara Golongan III; atau

3) Penghapusan BMN berupa Rumah Negara dari Daftar BMN pada Pengelola Barang.


(45)

Hal-hal tersebut diatas mengenai penghapusan rumah negara merupakan tindak lanjut dari penyerahan kepada Pengelola Barang, penetapan status Rumah Negara Golongan III, alih status penggunaan

kepada Pengguna Barang lain, alih fungsi menjadi bangunan kantor, pemindahtanganan, atau sebab-sebab lain yang secara normal dapat diperkirakan wajar menjadi penyebab Penghapusan, antara lain terkena bencana alam atau terkena dampak dari terjadinya force majeure.33

33 Pasal 21 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 138/PMK.06/2010 tentang Pengelolaan Baraang Milik


(46)

46

A. Sistem Pengadaan Rumah Negara

Pengaturan terhadap Pengadaan Barang dan Jasa termasuk didalamnya tentang pengadaan rumah negara telah diatur dalam Keputusan Presiden No 80 Tahun 2003 dan terakhir dirubah dengan Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010. Dalam Keputusan Presiden No. 80 tahun 2003 peluang terjadinya penyimpangan dalam pengadaan barang milik negara cukup terbuka. Hal ini disebabkan antara lain:

1. Dalam hal perencanaan pengadaan barang/jasa, tanggung jawab antara KPA (Kuasa Pengguna Anggaran)/ Pimpinan unit Kerja dan PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) penaggung jawab penggadaan barang belum diatur dengan jelas.

2. Pejabat yang bertanggung jawab terhadap pengadaan dualisme antara Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dengan Pejabat Pengadaan.

3. Pelelangan lebih banyak ditentukan oleh Pengguna barang ( bukan oleh tim)


(47)

5. Kurang obyektif dalam penetapan ranking penilian pemenang

6. Masih terjadinya persiangan yang tidak sehat antara sesama penyedia barang dan jasa

7. Tingkat kompromi antara kontraktor dengan pejabat pengadaan yang toleran sehingga mengakibatkan timbulnya KKN.34

Sedangkan dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 sebagai pengganti Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003, peluang penyimpangan dalam pengadaan barang dan jasa menjadi sulit bahkan cenderaung kecil kemungkinannya. Secara prinsip disajikan matrik perbedaan antara Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003 dengan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 sebagai berikut:

MATRIKS PERBEDAAN KEPRES 80 TAHUN 2003 DENGAN PEPRES 54 TAHUN 2010

KEPRES 80 TAHUN 2003 PERPRES 54 TAHUN 2010

1 Pembagian Tanggung Jawab PA/KPA, PPK, Pejabat/ Panitia belum diatur dengan jelas.

1 PA / KPA, Pejabat Pembuat Komitmen dan ULP / Pejabat Pengadaan teruarai jelas tugas dan tanggung jawabnya

2 Jenis Pengadaan Terdiri Atas : a. Barang

b. Jasa Pemborongan c. Jasa Konsultan d. Jasa Lainnya

2 Jenis Pengadaan Terdiri Atas : a. Barang

b. Jasa Konstruksi c. Jasa Konsultan d. Jasa Lainnya 3 Media Pengumuman :

a. Surat Kabar Lokal b. Surat Kabar Nasional

3 Media Pengumuman : a. Website

b. Papan Pengumuman

34

Sosialisasi Pengadaan Barang/Jasa Oleh LKPP Kepada Para Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Seluruh Kementerian/Lembaga Tingkat Pusat, Jakarta 5-6 April 2011


(48)

c. Surat Kabar (jika diperlukan) 4 Perangkat Pengadaan :

a. PA / KPA b. PPK

c. Panitia / Pejabat Pengadaan

4 Perangkat Pengadaan : a. PA/KPA b. PPK

c. ULP / Pejabat Pengadaan d. Tim Penerima Barang e. Anwizjer (jika diperlukan) 5 Paket Pelelangan ;

a. Sampai dengan Rp 50 jt dilakukan Penunjukan Langsung b. Rp 50 jt – Rp100 Jt dilakukan

Pemilihan Langsung

c. Di atas Rp100 jt dilakukan Lelang Umum

5 Paket Lelang

A. Jasa Pemborongan :

1. Sampai dengan Rp 100 jt dilakukan penunjukan langsung /

Pengadaan Langsung

2. Rp 100 jt – 200 Jt dilakukan Pemilihan Langsung

3. Di atas Rp 200 Jt dilakukan Lelang Umum

B. Jasa Konsultansi

1. Sampai dengan Rp 50 jt dilakukan Seleksi langsung

2. Rp 50 jt – 100 Jt dilakukan Seleksi Terbatas

3. Di atas Rp 200 Jt dilakukan Seleksi Umum

6 Paket Pelelangan ;

a. Sampai dengan Rp 50 jt dilakukan Penunjukan Langsung

b. Rp 50 jt – Rp100 Jt dilakukan Pemilihan Langsung

c. Di atas Rp100 jt dilakukan Lelang Umum

6 Paket Lelang

A. Jasa Pemborongan :

1. Sampai dengan Rp 100 jt dilakukan penunjukan langsung /

Pengadaan Langsung

2. Rp 100 jt – 200 Jt dilakukan Pemilihan Langsung

3. Di atas Rp 200 Jt dilakukan Lelang Umum

B. Jasa Konsultansi

1. Sampai dengan Rp 50 jt dilakukan Seleksi langsung

2. Rp 50 jt – 100 Jt dilakukan Seleksi Terbatas


(49)

Umum

7 Sanggahan belum diatur 7 Jika terjadi sanggahan banding, maka

penyedia jasa harus memberikan jaminan sebesar 2 perseribu dari nilai HPS 8 Pengadaan dilaksanakan secara manual 8 Pengadaan secara elektronik :

a. e-procurement b. LPSE

c. e-tendering d. e-purchasing 9 Paket Nilai Pekerjaan :

a. 0 s/d 1 milyar rupiah …………. Nilai Paket Kecil

b. Diatas 1 Milyar Rupiah ……… Nilaia Paket Non Kecil

9 Paket Nilai Pekerjaan :

a. 0 s/d 2,5 milyar rupiah …………. Nilai Paket Kecil

b. Diatas 2,5 Milyar Rupiah ……… Nilaia Paket Non Kecil

Sumber : Diolah dari buku petunjuk Pangadaan Barang/jasa sesuai Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010

Dengan mengacu kepada hal-hal tersebut di atas, maka terhadap kasus-kasus penyimpangan yang terjadi dalam pengadaan rumah negara dapat diktegorikan ke dalam jenis penyimpangan secara perdata dan pidana dengan pendekatan perspektif hukum pidana islam.

Sedangkan peyimpangan dalam pengadaan rumah negara bila ditinjau dari aspek hukum pidana pelakunya adalah oknum pejabat pengelola rumah negara/ Panitia Pengadaan barang dan jasa pada berbagai unit lembaga pemerintahan baik pusat, maupun daerah dan oknum penghuni rumah negara serta rekanan/penyedia barang dan jasa/kontraktor. Data yang penulis peroleh secara under cover atas tindak lanjut hasil temuan Tim Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2010 dan hasil audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan ( BPKP) triwulan 1 tahun 2011 serta Tim dari Kelembagaan Q untuk Penilaian Inisiatif Anti Korupsi


(50)

(PIAC) pada 61 unit lembaga birokrasi pemerintahan X, Y, Z dan seterusnya (pusat/daerah), terbukti bahwa urutan kerugian negara sebagai akibat penyimpangan dalam pengadaan rumah negara yang telah dan sedang diproses di pengadilan diperoleh data sebagai berikut :

No. Lembaga Jumlah

Pelanggaran

Jenis

Pelanggaran Nilai Kerugian (Rupiah) Keterangan

1 Kementerian 12 Mark Up

harga dan korupsi

876.418.716,- Telah Diputus Pengadilan dengan oknum yang terlibat: Panitia Pengadaan, Pejabat Pengadaan, dan Rekanan Pengadaan Barang/ Jasa

2 Lembaga Non

Kementerian

7 Korupsi dan

fiktif

718.750.000,- Telah Diputus Pengadilan dengan oknum yang terlibat: Panitia Pengadaan, Pejabat Pengadaan, dan Rekanan Pengadaan Barang/ Jasa

3 Pemda

Tingkat I

9 Mark Up

harga

904.237.415,- Telah Diputus Pengadilan dengan oknum yang terlibat: Pejabat dan Rekanan

4 Pemda

Tingkat II

19 Korupsi dan

Suap

646.784.332,- Telah Diputus Pengadilan dengan oknum yang terlibat: Anggota Legislatif, Oknum Penegak Hukum, dan Oknum Pemda

5 Gabungan

Lembaga

14 Mark Up,

Gratifikasi,

964.241.670,- Telah diputus pengadilan dengan


(51)

lintas sektor suap dan korupsi

oknum yang terlibat :Lembaga riset, penegak hukum, pejabat antar instansi dan rekanan.

Sumber : BPK,BPKP, KPK diolah Tim Reformasi Birokrasi

Kementerian X

Sedangkan yang masih dalam proses persidangan terdapat 87 kasus dengan indikasi tersangka pelanggaran tindak pidana korupsi, gratifikasi dan tuntutan ganti rugi (TGR) untuk disetorkan/dikembalikan ke negara. Temuan pemeriksaan manajemen aset oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang berkaitan dengan permasalahan administrasi atau pencatatan, dan bukti yang sah atas aset yang dikuasai, dari pemeriksaan di 19 departemen/lembaga negara dengan nilai aset sebesar Rp 109,33 triliun, ditemukan penyimpangan pengelolaan manajemen aset mencapai Rp 19,27 triliun dari cakupan pemeriksaan Rp 55,09 triliun. Sedangkan berdasarkan pemeriksaan di 52 Pemerintah Daerah Tingkat 1 dengan nilai aset Rp 54,07 triliun, ditemukan penyimpangan pengelolaan aset sebesar Rp 18,48 triliun dari cakupan pemeriksaan Rp 46,68 triliun. Menurut anggota Keuangan Negara I BPK, Bapak Imran, kurang tertibnya pencatatan dan penguasaan hak atas tanah, dapat berdampak pada ketidakwajaran penyajian nilai aset dalam laporan keuangan, rawan terhadap penyalahgunaan, hingga pengakuan hak oleh pihak


(52)

lain. "Sengketa itu bahkan dapat merugikan negara atau daerah di kemudian hari”.35

B. Pengertian Penyimpangan Dalam Pengadaan Rumah Negara

1.Pengertian Penyimpangan

Secara primer penyimpangan adalah perilaku yang menyimpang dari kewajiban-kewajiban normal suatu jabatan pemerintahan, karena kepentingan pribadi (keluarga, golongan, kawan akrab), demi mengejar status dan gengsi, melanggar peraturan dengan jalan melakukan atau mencari pengaruh bagi kepentingan pribadi atau kelompoknya36.

Penyimpangan dimaksudkan pula sebagai perbuatan dan atau perilaku dari orang dan kelompok untuk melakukan penyelewengan yang hal itu dimintakan legalisasi atau diusulkan diadakannya perubahan atas ketentuan yang berlaku, sehingga untuk dikemudian hari yang demikian itu tidak lagi merupakan suatu penyimpangan yang tidak sah37.

35

Paparan Audit Ketua Badan Perwakilan Keuangan Atas Audit BPK Tahun 2010 di Depan Anggota DPR RI, Maret 2011

36 J.S.Nye,

Corruption and Political Development a Cost Benefit Analysis, Harvard University,1967

37

Bimbingan Teknis Penyelesaian Keuangan Negara, Badan Akuntansi Keuangan Negara (BAKUN), 1996


(53)

Penyimpangan sekunder adalah suatu perilaku yang dapat menunjukkan kepada pelanggaran-pelanggaran yang serius, berulang-ulang, diorganisir dan diintregrasikan sebagai bagian dari citra pribadi si pelaku. Hal yang mendasar yang turut mengembangkan keadaan itu adalah penilaian negatif masyarakat terhadap si pelaku. Ketika keadaan itu dirasakan sebagai suatu ancaman terhadap kesejahteraannya maka masyarakat akan memberikan dorongan kepada pelanggar hukum dalam bentuk kepercayaan-kepercayaan yang berkaitan dengan sebab-sebab tingkah lakunya.

Pemberian dorongan kepada pelanggar hukum ini, kemudian dihayati melalui serangkaian interaksi yang mengarah pada penyimpangan sekunder. Selanjutnya suatu yang terjadi dalam masyarakat yang disebabkan oleh adanya penilaian mengenai tindakan tersebut dan melembagakan ukuran-ukuran penekanannya terhadap si pelanggar hukum seringkali muncul dalam suatu siklus umpan balik yang semakin menimbulkan penyimpangan dan pemberian cap (labeling).

2. Bentuk Penyimpangan Secara Pidana Dalam Pengadaan Rumah

Negara

Untuk penyimpangan secara pidana dalam pengadaan rumah negara dapat berupa penggelapan, penipuan, tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan jabatan atau wewenang serta pemalsuan.

Penyimpangan dalam pengadaan aset Negara bisa dikategorikan sebagai korupsi karena merupakan jenis kegiatan yang melawan hukum melakukan


(54)

perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara38.

a. Jenis-Jenis Tindak Pidana Dalam Pengadaan Rumah Negara

Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa untuk penyimpangan secara pidana dalam pengelolaan rumah negara dapat berupa penggelapan, pencurian, penipuan, tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan jabatan atau wewenang serta pemalsuan. Untuk dapat mengetahui akar dari setiap jenis tindak pidana yang kerap terjadi dalam pengelolaan rumah negara, maka jenis tindak pidana dalam pengelolaan rumah negara haruslah dibahas satu demi persatu sebagai berikut.

1. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Penggelapan

Tindak pidana penggelapan diatur dalam BAB XXIV pasal 372 sampai dengan pasal 377 KUHP. Dalam aturan ini yang dimaksud dengan penggelapan adalah sebagai berikut :

“Barangsiapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum memiliki barang, yang sama sekali atau sebagian kepunyaan orang lain, dan yang ada padanya bukan karena kejahatan, dipidana karena penggelapan, dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya sembilan ratus rupiah.”

38


(55)

Dalam aturan ini hampir sama dengan pencurian, hanya saja dalam penggelapan barang yang diambil sudah berada dalam penguasaan si pelaku dengan cara yang sah.

2. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Penipuan

Penipuan diatur dalam BAB XXV KUHP yaitu dalam pasal 378 hingga 395. Dalam pasal-pasal yang mengatur mengenai penipuan ini dibedakan menjadi penipuan biasa, penipuan dengan pemberatan dan penipuan ringan. Untuk induk dari pasal yang mengatur mengenai penipuan sendiri terdapat dalam pasal 378 KUHP yang berbunyi sebagai berikut :

“Barangsiapa dengan maksud hendak menguntungkan dirinya atau orang lain dengan melawan hukum, baik dengan memakai nama palsu atau peri keadaan yang palsu, baik dengan tipu muslihat, maupun dengan rangkaian kebohongan, membujuk orang supaya memberikan sesuatu barang atau supaya membuat utang atau menghapuskan piutang, dipidana karena penipuan dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun.”

Unsur yang terdapat dalam pasal ini adalah orang yang membujuk orang lain untuk memberikan suatu barang, membuatutang, meniadakan suatu piutang dengan melawan hukum dengan :

a. Tipu-muslihat;


(56)

c. Nama palsu;

d. Peri keadaan palsu;

Membujuk disini adalah menanamkan pengaruh demikian rupa terhadap orang, sehingga orang yang dipengaruhinya mau berbuat sesuatusesuai dengan kehendaknya, padahal apabila orang itu mengetahui duduk soal yang sebenarnya, orang tersebut tidak akan mau melakukan perbuatan tersebut. Mengenai cara memberikan barang tidak harus diserahkan kepada terdakwa sendiri dan tidak harus diserahkan oleh korban sendiri, namun bisa melalui orang lain. Menguntungkan diri sendiri dengan melawan hukum berarti menguntungkan diri sendiri dengan tiada hak. Tipu muslihat berarti suatu hal yang tidak sesuai dengan kenyataan yang dirancang sedemikian hingga membuat orang lain percaya,, dimana hal ini setali dengan rangkaian kebohongan yang merupakan susunan cerita bohong yang saling menutupi satu sama lain. Peri keadaan palsu sendiri adalah suatu kebohongan mengenai suatu keadaan, dengan contoh suatu pengakuan jabatan yang sebenarnya tidak melekat pada si pelaku.

3. Tinjauan Umum tentang Pemberian suap dan gratifikasi

Tindak Pidana penyuapan diatur dalam KUHP pasal 209,210,418,419 dan 420.


(57)

Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empar ratus lima puluh ribu rupiah

1) Barang siapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang pejabat dengan maksud menggerakkannya untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya

2) Barang siapa memberi sesuatu kepada seorang pejabat karena atau

berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

Ciri delik suap adalah39 :

1. Peran aktif antara penyuap dengan pejabat

2. Terdapat deal/kesepakatan dua pihak mengenai besaran nilai suap yang akan ditransaksikan dan cara penyerahannya.

Sedangkan untuk gratifikasi diatur dalam pasal 11 UU No 20 tahun 2011

“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1(satu) tahun dan paling lama 5(lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang menerima hadiah atau janji pdahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan

39

R. Dyatmiko Soemodihardjo, Mencegah dan Memberantas Korupsi, Mencermati Dinamikanya Di Indonesia, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher,2008),hal 67.


(58)

jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya”

Ciri delik gratifikasi adalah40:

1. Tidak ada peran aktif dari pegawai negeri atau penyelenggara Negara

2. Tidak ada tekanan pada pemberian suap

3. Tidak ada deal/termasuk transaksi dan penyerahannya, serta

4. Pemberian kepada pegawai negeri atau pejabat Negara tanpa adanya perencanaan/tidak terduga

4. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Penyalahgunaan Jabatan dan

Korupsi

Tindak pidana ini diatur dalam BAB XXVIII tentang Kejahatan Yang Dilakukan dalam Jabatan. Dalam Bab ini banyak terdapat pasal-pasal yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana dalam pengelolaan rumah negara, antara lain pada pasal 418, dan 419. Untuk tindak pidana ini erat kaitannya dengan tindak pidana korupsi karena hal-hal yang telah diatur dalam pasal 418 dan 419 BAB XXVIII KUHP juga diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.41

40

Firman Wijaya, Delik Penyalahgunaan Jabatan dan Suap Dalam Praktek, (Jakarta: Penaku,2011),hal.50

41 Selanjutnya disebut dengan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana


(59)

Korupsi sendiri diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme, Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme, United Nations Convention Against Corruption, 2003, dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003.

Tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terdapat dalam Pasal 2 Ayat 1 yang berbunyi sebagai berikut :

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.


(60)

200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).”

Penyimpangan dalam pengadaan rumah negara sangat rentan dengan praktik kejahatan dalam jabatan dan tindak pidana korupsi, seperti yang diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi sebagai berikut :

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendriri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).”

Serta pasal 13 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi sebagai berikut :

“Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidan dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).”


(61)

b. Korupsi Dalam Tinjauan Hukum Pidana Islam

“Fikih “Jinayat”” terdiri dari dua kata, yaitu fikih dan “Jinayat”. Pengertian “fikih” secara bahasa berasal dari lafal “faqiha, yafqahu fiqhan”, yang berarti mengerti, paham. Pengertian “fikih” secara istilah yang dikemukakan Abdul Wahab Khallaf adalah :

! "#$

%$

&

' $

( ) ! *

%$

Artinya : “Fikih adalah ilmu tentang hukum-hukum syara’ praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci, Atau fikih adalah himpunan hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.”42

Adapun ““Jinayat”” menurut bahasa adalah :

+,

-". /

* 012 3

" 45

Artinya : “Nama bagi hasil perbuatan seseorang yang buruk dan apa yang diusahakan.”

Pengertian “Jinayat” secara istilah fuqaha sebagaimana yang dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah adalah :

!

" # $% & ' ! & ( ) *+

Artinya : “Jinayat” adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta atau

42


(62)

lainnya43. Jika digabungkan maka pengertian “Fikih Jinayat” adalah ilmu tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang dan hukumannya, yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.

Bentuk-bentuk korupsi sebagaimana definisi diatas dapat dijumpai ungkapannya dalam berbagai kasus yang terangkum dalam beberapa konsep-konsep normatif dan fiqih, beberapa istilah-istilah tersebut adalah :

a) Ghulul

Secara leksikal ghulul dimaknai dengan “akhdzu al-syai wa dassahu fi mata’ih” ( mengambil sesuatu dan menyembunyikan dalam hartanya )44. Pada mulanya ghulul merupakan istilah bagi penggelapan harta rampasan perang sebelum dbagikan. Oleh karena itu, Ibn Hajar al-Asqalani mendefinisikannya dengan “al-khiyanah fi al-maghnam” ( pengkhianatan pada harta rampasan perang )45. Tindak kejahatan ini disebut dalam QS Ali ‘Imran [3] : 161

! , -*. /,& 0 /1! / +/0 2/3 45 % / ! $6/ 7 8 9 -(/) ! /:.;-/ < = , 4+/> ( CDCBA@, 4 '?)

43

Abdul Qadir Audah, At Tasyri’ Al Jina’iy Al Islamiy, Juz 1, (Beirut : Dar Al Kitab Al ‘Araby, tanpa tahun). Hal.67.

44

Muhammad Rawwas Qal’aji dan Hamid Shadiq Qunaibi, Mu’jam Lughat al-fuqaha’, ( Beirut Dar al-Nafis,1985 ), h.334.

45

Ibn Hajar ‘Asqalani, Fath Bari bi Syarh Shahih Bukhari, ( Kairo: Dar Diwan


(63)

Artinya : “Dan tidaklah mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barang siapa yang berkhianat, maka ia akan datang pada hari kiamat membawa apa yang dikhianatinya. Kemudian setiap jiwa akan diberi pembalasan sesuai dengan apa yang ia kerjakan, dan tak seorang pnn akan” diperlakukan secara lalim. ( QS Ali ‘Imran/3: 161 )

b) Risywah

Kata risywah secara leksikal mengacu pada kata rasya-yarysu-risywatan

yang bermakna al-ju’l yang berarti upah, hadiah, pemberian atau komisi. Sedangkan riywah secara terminologis adalah tindakan memberikan harta dan yang sejenis untuk membatalkan hak milik pihak lain atau mendapatkan atas hak milik pihak lain46. Pengertian tersebut sesuai dengan pengertian para ulama, di antaranya al-Shan’ani dalam Subul al-Salam yang memahami korupsi sebagai “upaya memperoleh sesuatu dengan mempersembahkan sesuatu”47. Kejahatan ini disebut dalam hadits Nabi :

EF *G9 4 * H ' I 1 ' J H *KI , 5 7 1

B *

4L $5 *G4 MN

Artinya : Tsauban berkata : Rasullullah melaknat penyuap, penerima suap dan perantara ( yaitu orang yang menghubungkan keduanya48.

c)Khiyanah

46

Rawwas Qal’aji, h.233.

47

Al-Shan’ani, Subul al-Salam, ( Beirut : Dar al-Shadr,tt.), XIV,h.322

48


(1)

95

7. Sanksi yang berat bagi para pelaku penyimpangan sehingga menimbulkan efek jera yang sangat luas bagi para pelaku penyimpangan, salah satunya bisa diterapkan sanksi berdasarkan hukum pidana Islam untuk kasus penyimpangan ini, seperti dengan di potong tangan, penyaliban ataupun di bunuh, dan eksekusinya tersebut dilakukan di depan masyarakat luas sehingga bisa menjadi contoh bagi yang lain jika melakukan yang serupa


(2)

96

Ali, Zainuddin, 2007, Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika, Jakarta Al-Shan’ani, Subul al-Salam, Dar al-Shadr,Beirut

Amiruddin, 2010, Korupsi Dalam Pengadaan Barang dan Jasa, Genta Publishing, Yogyakarta

Audah, Abdul Qadir, At Tasyri’ Al Jina’iy Al Islamiy, Juz 1, Dar Al Kitab Al ‘ Araby, Beirut.

Badan Akuntansi Keuangan Negara, 1996, Bimbingan Teknis Penyelesaian Kerugian Negara, Bakun

Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, 1990, Sixth Edition, West Publishing CO.

Fuad, Mahsun, 2005, Hukum Islam Indonesia, Lkis Pelangi Aksara, Yogyakarta. Hamzah, Andi, 2004, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta,Jakarta

Hartanti, Evi. 2006, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta

Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari, Dar Diwan al-Turats, Kairo

Indrati, Maria Farida, 1998, Ilmu Perundang-undangan, Dasar-Dasar dan Pembentukannya, Kanisius, Jakarta.


(3)

97

Irdamisraini, Hukum Islam. Vol. VIII, 2008, Universitas Islam Negeri Suska, Riau Kemal Dermawan, Mohammad, Jurnal Ilmu-ilmu Sosial, Universitas Indonesia,

Jakarta.

Khallaf, Abdul Wahab, 1986, Ilmu Ushul Al Fiqh, Ad Dar Al Kuwaitiyah. Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, 1987, Rineka Cipta, Jakarta

Muhammad Rawwas Qal’aji dan Hamid Shadiq Qunaibi, 1985 Mu’jam Lughat al-fuqaha’, Dar al-Nafis, Beirut

M.Shadiq Khan, 1929, Nail al-Maram min Tafsir Ayat al-Ahkam

Muslich, Ahmad Wardi, 2005, Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika, Jakarta

Muslich, Ahmad Wardi,2006, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika, Jakarta

Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, 2010, Koruptor itu kafir: Telaah fiqih Korupsi Muhammadiyan dan Nahdlatur Ulama,Mizan,Jakarta.

Nye, Joseph Samuel, 1967, Coruption and political Development a cost benefit analysis, Harvard University.

Prof. Dr. Poernomo, Bambang, S.H, 1992, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Yogyakarta.

Rosyada, Dede, 1992, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan, Jakarta


(4)

Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

Sutedi, Adrian, 2008, Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa dan Berbagi Permasalahannya, Sinar Grafika,Jakarta

Sutherland, Edwin H. and Cressey, Donald, , 1992, Principles of Criminology. 11th ed. Lanham, Md.: AltaMira Press.

Syahatah, Husain, 2005, Perlindungan Aset Publik Dalam Perspektif Hukum Islam, J akarta.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta

Transparency International,2006, Mencegah Korupsi Dalam Pengadaan Barang dan Jasa, Transparency International Indonesia, Jakarta

Peraturan Perundang-undangan

Amandemen Keempat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945;

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara


(5)

99

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 tentang Pemukiman dan Perumahan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha milik Negara

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat;

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah;

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 tahun 1994 tentang Rumah Negara;

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan atau Jasa Pemerintah;

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun tentang Pengadaan Barang dan atau Jasa Pemerintah;

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 138/PMK.06/2010 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara Berupa Rumah Negara


(6)

Website

Pencarian lewat internet www.google.com kata pencarian : Pengertian Ghasab Artikel di akses pada 14 April 2011

Pencarian lewat internet www.google.com kata pencaharian : Sisi Lemah Pengadaan Barang dan Jasa, artikel di akses pada 18 April 2011