Sanksi Untuk Tindak Pidana Menghancurkan atau Merusakkan Barang Sanksi Untuk Tindak Pidana Penyalahgunaan Jabatan dan Korupsi

telah diatur dalam huruf a ayat 2 pasal 10 Peraturan Pemerintah tentang Rumah Negara bahwa penghuni rumah negara dilarang menyerahkan sebagian atau seluruh rumah kepada pihak lain.

a. Sanksi Untuk Tindak Pidana Menghancurkan atau Merusakkan Barang

Tindak pidana ini biasa dilakukan oleh pejabat atau pegawai negeri, ahli waris dan pensiunan pejabat atau pegawai negeri dalam bentuk merubah bentuk dari rumah negara agar dapat dimanfaatkan untuk kepentingannya, seperti menambahkan kamar, membuat ruangan untuk berdagang, dimana hal ini dapat dimanfaatkan untuk kepentingan dirinya sendiri. Hal ini juga tidak sesuai dengan hurf b ayat 1 pasal 10 Peraturan Pemerintah tentang Rumah Negara yang mengatur bahwa penghuni rumah negara wajib memelihara dan memanfaatkan rumah sesuai dengan fungsinya. Serta diatur pula pada huruf b dan c ayat 2 pasal 10 Peraturan Pemerintah tentang Rumah Negara yang mengatur bahwa penghuni rumah negara dilarang mengubah sebagian atau seluruh bentuk rumah dan menggunakan rumah tidak sesuai dengan fungsinya. Selain sanksi administrasi berupa pencabutan izin menghuni, dapat juga dikenakan sanksi pidana yang berupa penjara selama-lamanya 5 lima tahun untuk tindak pidana menghancurkan atau merusakkan gedung pada pasal 410 KUHP.

b. Sanksi Untuk Tindak Pidana Penyalahgunaan Jabatan dan Korupsi

Dalam Pengadaan rumah negara, kejahatan dalam penggunaan jabatan yang biasa dilakukan adalah terdapat dalam Pasal 416, 417, 418, 419, 420, 423, 424 dan 425 KUHP. Dalam tindak pidana ini berkaitan pula dengan tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahunn 2009 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penyimpangan dalam Pengadaan rumah negara dapat dimasukkan ke dalam tindak pidana korupsi karena memenuhi unsur dari rumusan tindak pidana korupsi yaitu secara hukum telah memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Begitu pula dengan korupsi yang dilakukan dengan penyalahgunaan wewenang yang unsur-unsurnya dapat dimasukkan ke dalam penyimpangan dalam Pengadaan rumah negara yaitu bertujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi dengan menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena suatu jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara 59 . Korupsi dalam Pengadaan rumah negara ini dapat dilakukan sejak dari pengadaan hingga penghapusan rumah negara tersebut, dan dilakukan secara bersama-sama oleh para pegawai negeri dengan vendor dan pihak lain. Dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, diatur bahwa sanksi yang diberikan adalah pidana penjara seumur hidup atau sekurang- 59 Firman Wijaya, Delik Penyalahgunaan Jabatan dan Suap Dalam Praktek, Jakarta: Penaku,2011, hal.19. kurangnya 4 empat tahun dan paling lama 20 dua puluh tahundan denda paling sedikti Rp. 200.000.000,- dua ratus juta rupiah dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- satu milyar rupiah, dimana bila tindak pidana korupsi ini dilakukan dalam keadaan bencana dapat dijatuhkan pidana mati. Sedangkan untuk tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat dikenakan pidana penjara sejurang-kurangnya 1 satu tahun dan selama-lamanya 20 dua puluh tahun dan denda sekurang-kurangnya Rp. 50.000.0000,- lima puluh juta rupiah dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- satu milyar rupiah, sedangkan korupsi dengan penyalahgunaan wewenang dalam penggunaan tanah negara dalam KUHP diatur dalam pasal 424 dengan ancaman hukuman penjara selama-lamanya 6 enam tahun. Dalam KUHP pasal 416 diatur sanksi untuk pegawai negeri yang dengan sengaja memalsukan buku atau daftar yang semata-mata digunakan untuk pemeriksaan tata usaha, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau selama-lamanya 20 dua puluh tahun, danatau denda sebanyak-banyaknya Rp. 30.000.000,- tiga puluh juta rupiah, dimana hal ini diatur pula pada pasal 9 undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang dapat diberikan sanksi penjara sekurang-kurangnya 1 satu tahun dan selama-lamanya 5 lima tahun dan denda sekurang-kurangnya Rp. 50.000.000,- lima puluh juta rupiah dan paling banyak Rp. 250.000.000,- dua ratus lima puluh juta rupiah. Dalam KUHP pasal 417 juga diatur tentang tindak pidana korupsi yang berupa perusakkan dan atau penghancuran tanda bukti bagi kuasa yang berhak, seperti akte-akte, surat-surat atau daftar-daftar secara langsung maupun tidak langsung yang disimpan karena jabatannya, hal ini dikenakan sanksi pidana penjara seumur hidup atau selama-lamanya 20 dua puluh tahun, danatau denda sebanyak-banyaknya Rp.1.000.000,- satu juta rupiah, dimana hal ini diatur pula dalam pasal 10 undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang dapat diberikan sanksi penjara sekurang-kurangnya 2 dua tahun dan selama- lamanya 7 tujuh tahun dan denda sekurang-kurangnya Rp. 100.000.000,- seratus juta rupiah dan paling banyak Rp. 350.000.000,- tiga ratus lima puluh juta rupiah. Dalam KUHP pasal 418 juga diatur tentang tindak pidana korupsi yang berupa menerima hadiah karena jabatannya, pemberian suap atau janji yang dimaksud dalam rumusan pasal 418 harus dilandasi: 1. Pengetahuan ataupun kepatuhan dapat menduga dari pegawai negeri yang bersangkutan bahwa pemberian atau janji ada hubungannya dengan sesuatu yang kek uasaan atau suatu kewenangan yang ia miliki karena jabatannya 2. Oleh anggapan orang yang memberikan pemberian atau janji ada hubungannya dengan kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki oleh penerima pemberian atau janji karena jabatannya 60 . Ketentuan Pasal 418 KUHP ini, jika dilihat dari perumusannya, merupakan delik formal di mana perbuatan dianggap selesai saat pelaku, yakni pejabat tersebut, telah menerima pemberian atau janji 61 hal ini dikenakan sanksi pidana penjara seumur hidup atau selama-lamanya 20 dua puluh tahun, danatau denda sebanyak-banyaknya Rp.30.000.000.000,- tiga puluh juta rupiah, dimana hal ini diatur pula dalam pasal 11 undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang dapat diberikan sanksi penjara sekurang-kurangnya 1 satu tahun dan selama-lamanya 5 lima tahun dan denda sekurang-kurangnya Rp. 50.000.000,- lima puluh juta rupiah dan paling banyak Rp. 250.000.000,- dua ratus lima puluh juta rupiah. Untuk pasal 419, 420, 423 dan 425 dikenakan sanksi dalam pasal 12 undang- undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang dapat diberikan sanksi pidana penjara seumur hidup atau sekurang-kurangnya 4 empat tahun dan paling lama 20 dua puluh tahundan denda paling sedikti Rp. 200.000.000,- dua ratus juta rupiah dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- satu milyar rupiah. 60 Lamintang dan Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru,1990, hal.182 61 Firman Wijaya, ibid, hal 39 Selain sanksi pidana yang telah ditetapkan diatas, dapat juga dikenakan sanksi pidana tambahan berupa : A perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut; B pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi; C penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 satu tahun; Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana. Salah satu kasus korupsi dalam pengadaan Rumah Negara ini terjadi di daerah Cirebon dengan putusan No. 1682 KPid2005 dimana Kepala PT.Djakarta Loyd cabang Cirebon ini merugikan perekonomian Negara karena memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi sebesar Rp.25.440.000 dua puluh lima juta empat ratus empat puluh ribu rupiah, dimana ia mengajukan permohonan rehap rumah dinas sebesar Rp.30.000.000 tiga puluh juta rupiah namun pada pelaksanaan biaya yang dihabiskan dalam rehap rumah dinas ini hanya sebesar Rp.11.000.000 sebelas juta rupiah sehingga Negara dirugikan sebesar Rp.19.000.000 Sembilan belas juta rupiah. Kemudian terdakwa membeli mebeler menggunakan dana PT.Djakarta Loyd sebesar Rp.4.000.000 empat juta rupiah untuk pembelian kursi tamu dan meja makan,namun yang ada di rumah dinas hanya kursi tamu saja sedangkan meja makan dsimpan di rumah pribadi terdakwa,sehingga Negara dirugikan sebesar Rp.1.900.000 satu juta sembilan ratus ribu rupiah,selain itu terdakwa juga melakukan mark up dana untuk melakukan perbaikan pagar rumah dinas berupa teralis besi dengan nota pembayaran sebesar Rp.3.800.000 tiga juta delapan ratus ribu rupiah, namun pada kenyataannya dana yang dihabiskan hanya Rp.1.060.000 satu juta enam puluh ribu rupiah sehingga Negara dirugikan sebesar Rp.2.740.000 dua juta tujuh ratus empat puluh ribu rupiah, dan terakhir terdakwa juga mengajukan untuk membeli gordin seharga Rp.1800.000 satu juta delapan ratus ribu rupiah namun kenyataannya gordin tersebut tidak dipasang di rumah dinas sehingga Negara dirugikan sebesar Rp.1.800.000 satu juta delapan ratus ribu rupiah. Perbuatan terdakwa tersebut di atas diatur dan diancam pidana dalam pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang RI No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 KUHPidana.

D. Analisis Penyimpangan Terhadap Pengadaan Rumah Negara menurut Hukum Pidana Islam