Seperti kebanyakan daerah lainnya di Tanah Karo, masyarakat Lau Simomo juga sebagian besar memiliki mata pancaharian sebagai petani. Biasanya tanaman
yang ditanam seperti padi, jeruk, pisang, sayur-sayuran, dan sebagainya.
2.2 Latar Belakang Historis
Diatas telah dijelaskan tentang sibayak-sibayak dan daerahnya masing- masing, maka yang menjadi daerah penelitian penulis adalah desa Lau Simomo yang
dahulu merupakan salah satu daerah Sibayak Lingga karena berada dalam wilayah Urung Sepuluh Dua Kuta. Dan sekarang termasuk salah satu desa di Kecamatan
Kabanjahe. Dapat diketahui bahwa desa Lau Simomo merupakan desa yang khusus
dibentuk untuk penampungan penderita kusta oleh keempat sibayak. Adapun arti Lau Simomo secara etimologi berasal dari bahasa Karo. Lau berarti air dan simo berarti
penyakit. Sehingga dapat diartikan bahwa air yang membersihkan atau air yang menyembuhkan penyakit. Tetapi ada juga yang mengatakan Lau Simomo berasal dari
kata lau yang berarti air atau sungai dan kata momo yang berarti pengumuman karena dahulu dibuat pengumuman bahwa desa itu menjadi tempat penampungan penderita
kusta. Penetapan lokasi penampungan penderita kusta itu dipelopori oleh Van den
Berg, karena keresahan penduduk dengan keberadaan penderita kusta di tengah- tengah kehidupan masyarakat. Sibayak Kabanjahe yang bernama Sibayak Pa Pelita
mengusulkan agar daerah Lau Simomo memjadi tempat penampungan penderita kusta. Adapun alasan beliau menunjuk daerah Lau Simomo menjadi penampungan
penderta kusta disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:
Universitas Sumatera Utara
a. Lokasi tersebut jauh dari pemukiman penduduk sehingga tidak akan
menggangu masyarakat sekitar. b.
Lokasi tersebut banyak terdapat mata air yang sejauh 1 km dan akhirnya meresap ke tanah sehingga masyarakat sekitar lokasi tersebut
tidak takut tertular penyakit kusta tersebut. c.
Daerah ini cocok untuk daerah pertanian karena tanahnya subur dan sangat indah. Dari sini Gunung Sinabung terlihat jelas.
15
Akhirnya dlakukan suatu sidang untuk menetapkan pemukiman tersebut. Usulan sibayak Pa Pelita tersebut disetujui oleh anggota sidang yang dilakukan oleh
Kerapaten Balai Raja Berempat.
16
Sidang juga dihadiri oleh Westen Berg Sibayak Kuta Buluh tidak ikut perundingan yang
diadakan pada tahun 1906 karena dia merasa pendirian penampungan penderita kusta tersebut merupakan campur tangan kolonial melalui NZG yang dipelopori oleh Van
Den Berg.
17
dan Van Den Berg. Keputusan sidang menghimbau kepada para sibayak, raja urung, penghulu seluruh Tanah Tinggi
Karo untuk mengumumkan ‘ngemomoken’ keputusan tersebut kepada masyarakat yang menderita penyakit kusta agar tinggal di lokasi penampungan penderita kusta di
daerah itu. Penderita kusta mulai di antar ke lokasi mulai tanggal 25 Agustus 1906. Mulai saat itu sering disebut-sebut desa Lau Simomo oleh masyarakat Tanah Karo.
15
P Sinuraya, Sejarah Pemukiman dan Rumah Sakit Kusta Lau Simomo, Medan: Moderamen GBKP, 2000, hal. 33.
16
P. Tamboen, Adat Istiadat Karo, Jakarta: Balai pustaka, 1952, hal. 62. Sidang kerapaten Balai Raja Berempat adalah sidang tertinggi pada pemerintahan Karo yang diresmikan oleh Raja Aceh karena mula-mula
jumlah sibayak diangkat ada 4 empat untuk seluruh Tanah Karo.
17
Batara Sangti 1997:143, Western Berg pada tahun 1888 diangkat sebagai ‘controleur voor de Batakcshe Aangelenheden’, yang berkedudukan di Medan. Tahun 1904, dia diangkat menjadi Assisten Resident di
Saribudolok.
Universitas Sumatera Utara
2.3 Kehidupan Masyarakat