Pengaruh Rumah Sakit Kusta Terhadap Masyarakat Lau Simomo Di Tanah Karo (1980-1990)

(1)

PENGARUH RUMAH SAKIT KUSTA TERHADAP MASYARAKAT LAU SIMOMO DI TANAH KARO (1980-1990)

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN

O L E H

NAMA : SRI PANA BR GINTING NIM : 020706021

Pembimbing,

Dra. Haswita NIP. 130905374

DEPARTEMEN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

Lembar Persetujuan Ujian Skripsi

PENGARUH RUMAH SAKIT SAKIT KUSTA LAU SIMOMO BAGI MASYARAKAT LAU SIMOMO DAN SEKITARNYA, KARO (1980-1990)

Yang diajukan oleh: Nama : Sri Pana Br Ginting

Nim : 020706021

Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian skripsi oleh: Pembimbing,

Dra. Haswita tanggal………

NIP. 130905374

Ketua Departemen Ilmu Sejarah tanggal……….

Dra. Fitriaty Harahap, SU NIP. 131284309

DEPARTEMEN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Lembar Pengesahan Pembimbing Skripsi

PENGARUH RUMAH SAKIT KUSTA LAU SIMOMO BAGI MASYARAKAT LAU SIMOMO DAN SEKITARNYA, KARO (1980-1990)

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN

O L E H

NAMA : SRI PANA BR GINTING NIM : 020706021

Pembimbing,

Dra. Haswita NIP.130905374

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Sastra USU Medan, Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra

dalam bidang Ilmu Sejarah

DEPARTEMEN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

Lembar Persetujuan Ketua

DISETUJUI OLEH:

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

Departemen Ilmu Sejarah Ketua,

Dra. Fitriaty Harahap, SU NIP 131284309


(5)

Lembar Pengesahan Skripsi Oleh Dekan dan Panitia Ujian

PENGESAHAN

Diterima oleh:

Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Sastra dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Sastra USU Medan

Pada : Tanggal :

Hari :

Fakultas Sastra USU Dekan,

Drs. Syaifuddin, MA, Ph.D NIP. 132098531

Panitia Ujian:

NO. Nama Tanda Tangan

1 ……….. (……….)

2 ……….. (……….)

3 ……….. (……….)


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena kasih dan karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini,. Tanpa kemurahan-Nya semua ini tidak akan terwujud.

Penulisan skripsi merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh mahasiswa untuk mendapatkan gelar sarjana. Penulisan skripsi ini juga merupakan kewajiban akademis untuk meraih gelar sarjana di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara di bidang Ilmu Sejarah. Dan untuk memenuhi syarat tersebut, penulis mengangkat sebuah permasalahan yang ditulis menjadi sebuah skripsi yang berjudul: “ Peranan Rumah Sakit Kusta Terhadap Masyarakat Desa Lau Simomo di Tanah Karo 1980-1990”.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih belum sempurna dan masih banyak kekurangan, baik itu pengkajian maupun bahan data pengkajian. Oleh karena itu, demi kesempurnaan skripsi ini penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat memperbaiki isi skripsi ini.

Medan, Februari 2008

Penulis


(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Dalam menyelesaikan skripsi ini, banyak bantuan dari berbagai pihak kepada penulis. Baik bantuan moril ataupun materil. Untuk itu penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih tersebut kepada:

- Orang tua saya, terutama ibunda Marion br Sembiring Brahmana dan ayahanda Alm. Imanuel Ginting Djawak yang telah banyak membantu melalui doa dan bantuan dana. Semoga Tuhan Memberikan umur yang panjang buat ibunda dan beristirahat dengan tenang di Rumah Bapa buat ayahanda.

- Buat suami saya, Deddy Fransisco Tarigan dan ananda yang terkasih, Jean Afrana Reyhaga Tarigan, terima kasih buat motivasi yang diberikan kepada saya setiap saat.

- Nenek Karo, adik-adikku Dinda, David dan Adi serta semua keluarga, ayah dan ibu mertua. Terima kasih berkat dukungan dan doa serta bantuan yang diberikan kepada saya selama menyelesaikan skripsi ini.

- Drs. Sayfuddin, selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara - Dra. Fitryati, SU selaku Kajur Departemen Ilmu Sejarah

- Ibu Dra. Haswita selaku dosen pembimbing yang sudah banyak memberikan masukan. Terima kasih buat waktu yang diberikan serta bimbingan yang sangat berarti dalam menyelesaikan skripsi ini.

- Bapak Indra, M.Hum selaku dosen wali yang selama ini telah memberikan perhatian dan bimbingan kepada penulis selama perkuliahan.

- Bapak dan Ibu Dosen Departemen Ilmu Sejarah yang banyak mengajarkan ilmu selama perkuliahan.

- Teman-teman saya, mahasiswa Departemen Ilmu Sejarah khususnya stambuk 2002, Siti, Tiomsi, Opit, Magdalena, tempatku mencurahkan segala masalahku dan yang selalu setia menemaniku selama perkuliahan. - Para informan yang memberikan informasi yang penting dalam

menyelesaikan skripsi ini serta pegawai RSK Lau Simomo, Kak Dewi, Bang Mustika, dan Bang Rialdy

Penulis tidak dapat membalas semua bantuan yang diberikan oleh semua pihak. Saya hanya dapat menyampaikan terima kasih dan biarlah Yang Kuasa yang akan


(8)

membalas kebaikan yang sudah saya terima. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Salam sejahtera. Amin.

Medan, Pebruari 2008

Penulis


(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………..…………..………i

UCAPAN TERIMAKASIH………..………..………...…ii

DAFTAR ISI ...………..………..….iv

BAB I PENDAHULUAN …...………..……...1

1.1. Latar Belakang Masalah ………...……..………..…..1

1.2. Rumusan Masalah ...………...…………..……..…6

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian………....………...…….7

1.4 Tinjauan Pustaka………..……….…………...7

1.5 Metode Penelitian………..………...……..……10

BAB II GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN…...………...….12

2.1 Letak Geografis………..………..……….12

2.2 Latar Belakang Historis………19

2.3 Kehidupan Masyarakat………..………..………..……....21

2.3.1 Sosial Budaya………...………..….21

2.3.2 Sistem Kepercayaan………..……….….24

2.3.3 Sistem Mata Pencaharian………..………….….26

BAB III KEBERADAAN RUMAH SAKIT KUSTA LAU SIMOMO……...…28

3.1 Sebelum Berdirinya Rumah Sakit Kusta Lau Simomo……….………28

3.2 Sesudah Berdirinya Rumah Sakit Kusta Lau Simomo…..………...……....30

3.3 Sekilas Tentang Penyakit Kusta………..…...34

3.4 Sarana dan Prasarana Rumah Sakit Kusta Lau Simomo…………..……….35

3.4.1 Struktur Organisasi Rumah Sakit ………...…42

3.4.2 Kepemimpinan Rumah Sakit………...…43

3.4.3 Hambatan yang Dihadapi Rumah Sakit ………...47

3.5 Subsidi Bagi Rumah Sakit dan Pasien ………...……….……..…49

BAB IV. PERANAN RUMAH SAKIT BAGI MASYARAKAT DESA LAU SIMOMO ………...………..…50


(10)

4.2. Dalam Bidang Pendidikan……….l………..…55

4.3 Dalam Bidang Ekonomi………..………..…....56

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN-SARAN………..………..59

A. Kesimpulan………..……..……….59

B. Saran-Saran………...…….……….60

DAFTAR PUSTAKA………....………...62

DAFTAR INFORMAN………64 LAMPIRAN


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Sejarah adalah rekonstruksi masa lalu. Sesuatu yang diidentikkan dengan peristiwa-peristiwa dan peninggalan-peninggalan pada masa lalu.

Ilmu sejarah merupakan salah satu disiplin ilmu yang membahas kejadian-kejadian yang terjadi pada masa lampau yang berhubungan dengan aktivitas manusia sebagai pelaku dalam sejarah itu sendiri. Sejarah mengikuti perkembangan zaman serta melihat permasalahan yang terjadi dalam lingkungan alam. Pada prinsipnya sejarah itu tidak hanya berpatokan kepada penulisan masa lampau dan masa kini, namun juga membahas keadaan sosial, ekonomi, politik, dan yang terjadi di masyarakat. Sehingga sejarah itu terus berkembang yang mengakibatkan perubahan sosial, ekonomi, politik, dan budaya.1

Diketahui bahwa dari gambaran umum yang ada dalam penulisan ilmu sejarah adalah masa lampau yang tidak pernah usang dan hilang untuk diperbincangkan. Melalui pemikiran tersebut terlihat bahwa sejarah itu terjadi di masa lampau dan dapat dikaji serta dituliskan kembali hanya melalui rekonstruksi. Demikian halnya dengan penulisan sejarah itu sendiri, sejarah dipandang sebagai rangkaian peristiwa yang dialami manusia di dunia ini, dengan kejadian-kejadian yang datang silih berganti di masa lalu dan membentuk masa sekarang, serta masa yang akan datang.2

1

Sutrasno, Sejarah dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Pradnya Paramita, 1975, hal. 7.

Sejarah sebagai suatu kejadian hanya sekali terjadi, namun sejarah dalam bentuk tulisan dapat terjadi lebih dari sekali. Penulisan sejarah bertujuan untuk menceritakan kejadian masa lampau sebagai pedoman untuk berbuat lebih bijaksana sehingga kesalahan pada

2


(12)

masa lampau tidak terjadi pada masa kini dan masa yang akan datang. Penulisan sejarah dilakukan terus-menerus karena dinamika masyarakat yang mengakibatkan perubahan-perubahan dalam masyarakat baik secara cepat maupun lambat. Keadaan ini meyebabkan sulitnya penulisan sejarah apalagi banyak kejadian yang para pelaku dan saksi sejarahnya sudah tidak ada lagi. Semua peristiwa pada masa lampau tidak dapat ditulis dengan sempurna karena waktu peristiwa sejarah tersebut sudah sangat lama terjadi. Disamping adanya waktu yang memisahkan saat peristiwa terjadi dengan penulis juga masih kurangnya yang fakta tertulis ataupun yang tidak tertulis. Untuk mendapatkan penulisan yang lebih mudah dan jelas maka penulis menentukan jangka waktu tertentu tentang perubahan masyarakat dalam tulisannya. Juga membatasi tempat kejadian sehingga tidak terlalu luas dan kompleks permasalahannya. Pembatasan topik permasalahan sangat diperlukan agar apa yang akan ditulis tidak menyimpang dari permasalahan sebenarnya yang ingin diungkapkan oleh si penulis.

Dari uraian diatas, maka penulis mengambil judul tentang Peranan Rumah

Sakit Kusta Terhadap Masyarakat Lau Simomo di Tanah Karo 1980-1990.

Adapun alasan penulis mengambil judul tersebut karena penulis sangat tertarik untuk menulis kembali sejarah rumah sakit kusta yang ada di desa Lau Simomo. Disamping itu juga, karena belum banyak orang yang tahu tentang keberadaan rumah sakit kusta ini dan sejarah penulisan tentang keberadaan rumah sakit kusta di desa Lau Simomo ini. Padahal rumah sakit ini adalah salah satu rumah sakit kusta yang berdiri sejak zaman kolonial Belanda tepatnya dibangun tahun 1906. Berarti rumah sakit ini telah lebih dari seratus tahun umurnya. Rumah sakit ini melayani masyarakat dalam bidang kesehatan terutama bagi penderita kusta. Selain itu pelayanan yang diberikan rumah sakit kusta di Lau Simomo tersebut tidak hanya bagi masyarakat Tanah Karo saja tetapi juga bagi masyarakat luar daerah Karo seperti Aceh, Riau, Jambi dan


(13)

sebagainya.3

Penulis membatasi kurun waktu yaitu tahun 1980 sampai dengan tahun 1990. Pada tahun 1980 mulai banyak diberikan bantuan obat-obatan dan penyuluhan-penyuluhan kesehatan, keterampilan dan pertanian kepada penderita kusta di Lau Simomo. Dan batas akhir penulisan yang penulis ambil adalah tahun 1990. Periode ini diambil karena dalam sepuluh tahun itu jelas terlihat perubahan yang sangat drastis dalam rumah sakit tersebut yaitu penurunan jumlah pasien yang datang berobat. Juga bertambahnya gedung rumah sakit untuk meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit kusta tersebut kepada pasiennya yang ingin berobat.

Jangkauan pelayanan rumah sakit ini cukup luas. Dan hal ini sudah berlaku sejak awal berdirinya rumah sakit kusta ini. Adapun alasannya karena daerah-daerah itu masih berada dibawah pimpinan seorang assisten resident yang bernama Western Berg. Beliau mengetahui bahaya penularan penyakit kusta itu, sehingga memutuskan agar setiap penderita penyakit kusta harus dirawat di rumah sakit kusta yang ada di Sumatera Timur, salah satunya yang berada di desa Lau Simomo. Dari awal berdirinya rumah sakit ini telah begitu besar memberi pelayanan bagi penderita kusta dan juga yang ingin berkonsultasi tentang penyakit kusta.

Penurunan angka penderita kusta terjadi mulai tahun 1990 hingga saat ini. Tentu saja ini terjadi karena sistem pelayanan yang sangat baik di rumah sakit tersebut. Dan juga obat-obatan yang sudah disediakan tidak hanya di rumah sakit kusta tetapi pada tempat-tempat pelayanan kesehatan lainnya seperti Puskesmas ataupun klinik sehingga apabila seseorang yang terlihat mengidap gejala-gejala kusta tidak harus ke rumah sakit kusta untuk diobati tetapi dapat dilakukan di Puskesmas ataupun klinik-klinik terdekat. Hanya saja apabila dinyatakan positif mengidap penyakit kusta harus berobat ke rumah sakit kusta tersebut.

3

Budi Napitupulu, dkk., Profil Rumah Sakit Kusta Lau Simomo, Medan: tanpa penerbit, tanpa tahun hal.3.


(14)

Keberadaan rumah sakit kusta ini sangat bermanfaat bagi penderita kusta yang ada di masyarakat Karo khususnya, karena penyakit mereka bisa sembuh dan bebas dari penularan penyakit kusta tersebut. Selain itu para pasien penderita kusta mendapat layanan yang sangat layak dan baik. Walaupun mereka yang datang dari latar belakang yang berbeda, namun pelayanan yang diberikan pada rumah sakit ini sangat baik. Peranan pemerintah juga memberikan pengaruh dalam pelayanan yang ada di rumah sakit tersebut. Diantaranya seperti melakukan penyuluhan-penyuluhan ke Rumah Sakit Kusta Lau Simomo tersebut. Dan meningkatkan juga memelihara mutu lembaga dan pelayanan kesehatan melalui pemberdayaan sumber daya manusia secara berkelanjutan dan sarana serta prasarana dalam bidang medis, termasuk ketersediaan obat-obat yang dapat dijangkau oleh pasien atau masyarakat.4

Rumah sakit ini memberikan pelayanan yang sangat bermanfaat terutama kepada penderita penyakit kusta. Karena penyakit kusta sangat ditakuti oleh masyarakat dan dapat menyebabkan cacat fisik serta menular. Penderita penyakit kusta masih dikucilkan oleh masyarakat dan dianggap sebagai kutukan sehingga dijauhkan dari masyarakat.

Pelayanan rumah sakit kepada masyarakat dipelopori oleh misionaris Kristen yang berkebangsaan Belanda yang bernama E. J. Van den Berg. Waktu kekuasaan Belanda, dahulunya rumah sakit ini milik organisasi sosial keagamaan. Tetapi setelah Indonesia merdeka, kepemilikan rumah sakit ini pun berubah. Sekarang rumah sakit ini berada di bawah naungan Departemen Kesehatan Tingkat I Sumatera Utara.Sehingga semua biaya rumah sakit ditanggung oleh Depertamen Kesehatan Tingkat I Sumatera Utara. Kebanyakan rumah sakit pada masa kolonial Belanda itu merupakan rumah sakit organisasi yang dibangun oleh organisasi sosial keagamaan.

4

Endang Sukaya, cs, Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi, Yogyakarta: Paradigma, 2002, hal. 169.


(15)

Disamping itu memang ada juga rumah sakit milik perkebunan dan pertambangan. Tetapi rumah sakit itu biasanya untuk para pegawai atau karyawannya saja. Sedangkan rumah sakit untuk rakyat biasa sangat sedikit fasilitasnya dan juga kurang lengkap, sehingga para dermawan yang melalui organisasi keagamaan membangun rumah sakit yang diperuntukkan bagi rakyat yang kurang mampu dengan bercirikan organisasi sosial keagamaan.

Rumah Sakit Kusta Lau Simomo ini merupakan rumah sakit kusta terbesar di Sumatera5

Rumah sakit ini dibangun karena sangat prihatinnya melihat penderitaan yang dialami oleh penderita penyakit kusta. Penderita penyakit kusta ini tidak saja mengalami penderitaan secara fisik, tetapi juga secara mental. Mereka kebanyakan diperlakukan secara kejam oleh masyarakat. Biaya pembangunan rumah sakit kusta ini dibantu oleh Nederlandsche Zendeling Genootschap (NZG) dari negeri Belanda. NZG ini adalah lembaga pekabaran Injil yang berpusat di negeri Belanda. Pada tahun 1890 NZG ini mengirimkan missionaris atas usulan seorang direktur perkebunan

. Rumah sakit ini awalnya berada di kota Kabanjahe, ibu kota Kabupaten Karo, tetapi mendapat protes dari masyarakat daerah tersebut sehingga dipindahkan ke daerah pedalaman, yaitu desa Lau Simomo. Pemilihan lokasi ini dengan pertimbangan bahwa daerah ini cocok karena jauh dari kota dan lahan yang masih luas yang bisa digunakan untuk membangun sebuah rumah sakit. Disamping itu ada juga lahan yang tersedia bagi pasien dapat bercocok tanam. Daerah ini cocok untuk tanah pertanian sehingga penderita kusta untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka selama berada di tempat pemukiman rumah sakit kusta tersebut. Mereka harus bekerja untuk biaya pengobatan mereka sendiri karena keterbatasan dana yang dimiliki oleh pihak rumah sakit.

5


(16)

tembakau, yang bernama J. T. Creamer, di Sumatera Timur untuk memperkenalkan agama Kristen bagi masyarakat Karo.6

NZG ini bertujuan untuk mengadakan usaha pendekatan keagamaan yang dapat mempengaruhi masyarakat Karo yang dikenal sebagai pengacau di perkebunan, agar tidak lagi membuat gangguan keamanan di perkebunan Deli Mij dan orang-orang Belanda di daerah itu. Selain itu, NZG juga punya misi lain yaitu memberikan pelayanan pendidikan dan pelayanan kesehatan.

Rumah Sakit Kusta Lau Simomo sekarang mempunyai fasilitas yang baik yang berperan penting bagi masyarakat, terutama bagi penderita penyakit kusta. Walaupun saat ini tidak banyak lagi penderita penyakit kusta, akan tetapi rumah sakit ini tetap memberikan pelayanan dan menjadi tempat untuk mendapatkan dan juga pelayanan kesehatan untuk orang-orang penderita penyakit kusta.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan dari uraian yang telah dijelaskan diatas maka untuk menghindari terjadinya penyimpangan dari masalah yang ada, penulis membatasi permasalahan yang akan dibahas pada bab-bab selanjutnya. Tulisan ini hanya menjelaskan hal-hal yang berhubungan dengan Rumah Sakit Kusta Lau Simomo. Untuk lebih jelas perumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana sejarah berdirinya Rumah Sakit Kusta Lau Simomo

2. Seberapa besar peranan Rumah Sakit Kusta Lau Simomo terhadap masyarakat Lau Simomo

3. Bagaimana tanggapan masyarakat di sekitar desa Lau Simomo atas keberadaan Rumah Sakit Kusta Lau Simomo

6

P. Sinuraya, Sejarah Pelayanan Diakonia NZG di Tanah Karo 1890-1940, Medan: Merga Silima, 1997, hal. 26.


(17)

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian untuk mengetahui:

1. Sejarah berdirinya Rumah Sakit Kusta Lau Simomo.

2. Peranan Rumah Sakit Kusta Lau Simomo terhadap masyarakat desa Lau Simomo.

3. Tanggapan masyarakat di sekitar desa Lau Simomo atas keberadaan Rumah Sakit Kusta Lau Simomo.

Manfaat Penelitian

1. Bagi penulis sendiri untuk memenuhi salah satu syarat yang harus ditempuh untuk mendapatkan gelar sarjana.

2. Sebagai sumber informasi bagi masyarakat untuk menggetahui Rumah Sakit Kusta Lau Simomo.

3. Untuk menambah wawasan tentang sejarah Rumah Sakit Kusta Lau Simomo tersebut.

1.4Tinjauan Pustaka

Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, maka penulis memakai buku-buku yang berhubungan untuk membantu pemahaman serta sumber-sumber penelitian yang dilakukan telaah pustaka.

Menurut Dkn. P Sinuraya dalam bukunya Diakonia Gereja Batak Karo Protestan (GBKP). Buku ini berisi tentang latar belakang penyebaran agama Kristen Protestan di Tanah Karo yaitu GBKP7

7

Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) merupakan salah satu organisasi gereja agama Kristen Protestan di Tanah Karo.

. Dalam buku ini dijelaskan bahwa agama Kristen ikut berpartisipasi dalam membangun rumah sakit kusta tersebut. Disamping


(18)

itu dibahas bagaimana latar belakang penyebaran agama Kristen dalam masyarakat Karo masa penjajahan kolonial. Dengan adanya misi zending ini maka mulailah masyarakat Karo mengenal agama itu. Dalam menjalankan misi itu, para penginjil mengalami banyak rintangan yang menyebabkan misi mereka agak lambat tercapai. Tetapi karena mereka melakukan pendekatan yang baik, seperti pendekatan budaya dengan mempelajari kebiasaan-kebiasaan masyarakat Karo akhirnya masyarakat Karo mulai dapat menerima apa yang diajarkan oleh para penginjil tersebut. Di dalam bukunya ditulis mengenai pelayanan penginjilan terhadap masyarakat Karo mulai dari pelayanan agama, pelayanan pendidikan, dan juga pelayanan kesehatan.

Dalam buku ini juga dibahas tentang latar belakang berdirinya Rumah Sakit Kusta Lau Simomo. Dan juga pelayanan rohani terhadap penderita kusta yang dilakukan oleh zending. Penulis buku tersebut merupakan ketua diakoni GBKP yang dipilih tahun 1969 sampai 1989. Beliau aktif dalam kegiatan internasional seperti seminar keagamaan, konsultasi tentang gereja-gereja dan lain-lain.

Buku yang berjudul Standar pelayanan Rumah Sakit ; Rumah Sakit Umum Pusat H Adam Malik Medan. Karya Dr T.M. Panjaitan, dan juga pernah menjadi direktur RSUP H Adam Malik. Buku ini berisi tentang hal-hal yang menjadi persyaratan yang harus dipenuhi sehingga dapat dikatakan sebagai rumah sakit. Rumah Sakit H. Adam Malik memiliki fasilitas yang lengkap seperti pelayanan farmasi, laboratorium radiologi, pelayanan gizi, perpustakaan dan lain-lain.

Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik telah memenuhi standar rumah sakit. Dalam buku ini dijelaskan bahwa RSUP H. Adam Malik saat ini telah dapat ditentukan kejelasan arah pengembangannya dari peningkatan mutu pelayanan kesehatan.


(19)

Untuk dapat menyelenggarakan upaya peningkatan mutu pelayanan medis, maka diperlukan ukuran standar dan kriteria-kriteria yang dipedomani dalam mengelola suatu rumah sakit. Setiap rumah sakit pemerintah maupun swasta harus menerapkan standar dan kriteria agar dapat mencapai pelayanan yang bermutu. Dengan demikian rumah sakit itu benar-benar bekerja dengan efektif dan efisien.

Pelayanan rumah sakit merupakan pelayanan yang profesional terhadap pasien tanpa memandang latar belakang pasien. Para dokter harus dapat menjaga kode etika kedokteran sehingga pasien merasa puas dan nyaman.

Dalam buku yang ditulis oleh Dr. T. M. Panjaitan tersebut dijelaskan tentang standar pelayanan yang ada di Rumah Sakit H. Adam Malik tersebut. Tentang hal-hal yang diperlukan untuk dapat dikatakan sebuah rumah sakit. Kelayakan yang harus diberikan oleh tempat tersebut, misalnya tentang tenaga dokter, instrumen-instrumen yang harus disediakan dalam menangani pasien, dan sebagainya.

Menurut A. Kosasih, dalam bukunya Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Dalam buku ini dibahas tentang penyakit kusta yang merupakan salah satu penyakit kulit. Penyakit kulit merupakan penyakit yang sering kita jumpai. Faktor kurangnya kebersihan merupakan salah satu hal yang memicu timbulnya penyakit ini. Penyakit kulit juga dapat menyebabkan infeksi pada kulit. Bermacam-macam jenis penyakit kulit dan penyebab timbulnya penyakit kulit tersebut. Penyakit kusta ini disebabkan oleh bakteri lepra yaitu Mycobacterium leprae yang mengakibatkan cacat pada tubuh. Serangan bakteri yang berbentuk batang ini biasanya tidak hanya pada kulit, tetapi juga pada saraf, mata, selaput lendir hidung, otot, dan juga pada tulang. Juga di dalam buku ini dibahas bagaimana gejala-gejala penyakit kusta ini, reaksi kusta serta pengobatan kusta. Dan juga tentang pencegahan cacat pada penderita kusta dengan


(20)

melaksanakan diagnosis dini kusta atau pengobatan dengan cepat dan tepat. Berbagai obat alternatif penyakit kusta juga dicantumkan dalam buku tersebut.

1.5Metode Penelitian

Peristiwa sejarah tidak dapat berulang, kejadian sejarah hanya sekali terjadi karena sejarah itu adalah peristiwa itu sendiri. Kejadian sejarah dapat berulang hanya dalam bentuk tulisan atau pengkisahan. Untuk memudahkan penelitian ini diperlukan metode sejarah. Metode sejarah adalah suatu proses yang mempunyai aturan-aturan yang dipenuhi untuk membantu mendapatkan kebenaran suatu sejarah.8

Metode penelitian sejarah memiliki 4 (empat) tahapan yaitu:

Yang pertama adalah tahap heuristik, yaitu mengadakan pengumpulan sumber yang berkaitan dengan obyek penelitian yaitu dengan cara mengadakan penelitian lapangan atau yang dikenal dengan field research melalui wawancara, angket, kuesioner, dll. Sedangkan metode penelitian kepustakaan atau library research dilakukan dengan cara mencari buku-buku, majalah, arsip yang relevan dengan topik yang dibahas.

Tahap yang kedua adalah melakukan kritik dan seleksi terhadap informasi yang telah dikumpulkan, baik secara ekstern maupun secara intern untuk mendapatkan kebenaran informasi tersebut.

Setelah didapatkan sumber yang sesuai dengan skripsi yang akan ditulis maka sebagai langkah ketiga dilakukan interpretasi atas fakta yang telah didapat. Data-data yang sudah diseleksi kemudian akan diseminarkan atau diinterpresentasikan.

8

Louis Gottschalk, Understanding History, Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Notosusanto, Jakarta: Gramedia, 1985, hal. 143.


(21)

Dan sebagai tahap terakhir dilakukan penulisan sejarah atau disebut historiografi. Penulisan sejarah ke dalam bentuk karya ilmiah harus memenuhi persyaratan yang sudah ditetapkan. Format-format yang disesuaikan dengan kaidah-kaidah yang berlaku untuk penulisan karya ilmiah tersebut.

Penulisan ini juga menggunakan pendekatan multidimensional dari berbagai teori dan konsep dari pengetahuan lainnya. Terutama dari ilmu-ilmu pengetahuan sosial dan antropologi.


(22)

BAB II

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

2.1 Letak Geografis

Dataran Tinggi Karo atau Tanah Karo terletak di hamparan Pegunungan Tinggi Bukit Barisan, merupakan tempat tinggal masyarakat Karo yang sebenarnya menurut Bapak Wara Sinuhaji pusat dari budaya Karo.9

Daerah Kabupaten Karo beriklim sejuk dengan suhu udara 16 0C sampai 17

0

C serta memiliki kelembaban udara rata-rata 28%, terletak pada garis ordinat 2050’ LU, 3019’LS, 97055’BT dan 98038’BB.

Tanah Karo ini dikelilingi pegunungan dengan ketinggian 140 sampai 1400 meter di atas permukaan laut. Dan terdapat dua gunung berapi yaitu Gunung Sibayak dan Gunung Sinabung yang berada di bagian utara dari Tanah Karo. Jarak dari Medan ke ibukota kabupaten Karo yaitu kota Kabanjahe dapat ditempuh mobil dengan dua jam perjalanan darat.

10

Wilayah Kabupaten Karo memiliki luas 2127,3 km2 yang berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang, Simalungun, Tapanuli Utara, Dairi dan Aceh Tenggara.11

Dalam sejarah perkembangan pemerintahan di Kabupaten Karo, Pemerintahan Belanda hanyalah 39 tahun menguasai Tanah Karo yakni mulai tahun 1906 sampai dengan tahun1942. Belanda memulainya dengan mendekati orang-orang yang berpengaruh dalam masyarakat sehingga dengan mudah Belanda menanamkan pengaruhnya dalam masyarakar Karo. Pendekatan yang dilakukan Belanda membawa dampak besar dalam masyarakat Karo yaitu perlawanan rakyat Karo yang semakin lama semakin lemah hingga akhirnya dapat dikuasai oleh Belanda sepenuhnya. Untuk

9

Wara Sinuhaji, Aktivitas Ekonomi Enterpreneursip Masyarakat Karo Pasca Revolusi, Medan: USU Press, 2004, hal. 28.

10

Meneth Ginting, Idaman dan Harapan Masyarakat Kabupaten Karo, Medan: USU Press, 1990, hal. 4.

11


(23)

memulai pemerintahannya, Belanda kemudian mengangkat para sibayak-sibayak menjadi penguasa daerah setempat. Sibayak-sibayak yang dipilih Belanda merupakan keturunan dari raja-raja berempat yang sudah ada sebelumnya, hasil bentukan Aceh yang sebelumnya pernah menguasai daerah-daerah Sumatera Timur termasuk Tanah Karo dan ditambah dengan keturunan Sibayak Kuta Buluh. Adapun sibayak berempat tersebut adalah Sibayak Suka, Sibayak Sarinembah, Sibayak Barusjahe dan Sibayak Lingga.

Dan untuk mengintimidasi daerah-daerah nya di Tanah Karo kelima sibayak tersebut menandatangani Korte Verklaring (perjanjian pendek) pada tahun 1907. Sibayak-sibayak tersebut menjadi pemimpin suatu wilayah yang ditetapkan oleh Belanda. Adapun pembagian wilayah masing-masing sibayak yaitu:

- Landschaap Lingga, membawahi 6 (enam) urung: 1. Sepuluh Dua Kuta di Kabanjahe

2. Telu Kuta di Lingga 3. Tigapancur di Tigapancur 4. Empat Teran di Naman 5. Lima Senina di Batukarang 6. Tiga Nderket di Tiga Nderket

- Landschaap Sarinembah, membawahi 4 (empat) urung: 1. Sepuluh pitu kuta di Sarinembah

2. Perbesi di Perbesi 3. Juhar di Juhar

4. Kuta Bangun di Kuta Bangun

- Landschaap Suka, membawahi 4 (empat) urung: 1. Suka di Suka


(24)

2. Sukapiring/Seberaya di Seberaya 3. Ajinembah di Ajinembah

4. Tongging di Tongging

- Landschaap Barusjahe, membawahi 2 (dua) urung: 1. Sipitu Kuta di Barusjahe

2. Sinaman Kuta di Sukanalu

- Landschaap Kutabuluh, membawahi 2 (dua) urung: 1. Namo Haji di Kuta Buluh

2. Liang Melas di Samperaya

Pada masa Belanda yaitu mulai tahun 1906 sampai tahun 1942 di Tanah Karo, sistem pemerintahan pada wilayah Karo pada dasarnya adalah:

a. Pemerintahan oleh Onderafdeling Karo Landen yang dipimpin oleh Controleur pimpinanan pemerintahan selalu ditangani oleh Belanda.

b. Landschaap, yaitu pemerintahan Bumi Putra, Pemerintahan (Landschaap) ini dibentuk berdasarkan perjanjian pendek dengan pemerintahan Onderafdeling.

Berakhirnya kolonial Belanda mengakibatkan berakhir juga para sibayak. Setelah Indonesia merdeka yaitu tahun 1945 maka sistem pemerintahan berubah mengikuti sistem pemerintahan Republik Indonesia dengan menetapkan daerah provinsi, kabupaten serta kecamatan.

Pemerintahan Kabupaten Karo pada tahun 1945 terdiri dari 10 kecamatan yaitu kecamatan Kabanjahe, Simpang Empat, Payung, Kutabuluh, Tigapanah, Barusjahe, Munte, Juhar, Tiga Binanga dan Mardingding. Pada tahun 2002 jumlah kecamatan di Kabupaten Karo menjadi 13 kecamatan yaitu dengan bertambahnya


(25)

kecamatan Lau Baleng, Merek dan Berastagi. Dan pada tahun 2007 berubah menjadi 17 kecamatan hingga sekarang yaitu Kecamatan Kabanjahe, Berastagi, Simpang Empat, Tiga Panah, Barus Jahe, Merek, Payung, Kuta Buluh, Munthe, Tiga Binanga, Juhar, Lau Baleng, Mardingding, Merdeka, Dolat Rakyat, Tiga Nderket, dan Naman Teran.12

Dan yang menjadi lokasi penelitian ini adalah daerah yang masuk ke dalam wilayah Kecamatan Kabanjahe yaitu desa Lau Simomo. Untuk mengetahui daerah penelitian ini secara rinci, maka akan diuraikan batas-batas daerahnya.

Secara geografis, kecamatan Kabanjahe terbagi sebagai berikut:13 − Sebelah Timur berbatasan dengan kecamatan Tiga Panah − Sebelah Barat berbatasan dengan kecamatan Munthe − Sebelah Utara berbatasan dengan kecamatan Berastagi

− Sebelah Selatan berbatasan dengan kecamatan Simpang Empat Kecamatan Kabanjahe mempunyai luas wilayah sekitar 44,65 km2 ha.14

Desa Lau Simomo, yang merupakan daerah penelitian memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:

Daerah ini terdiri dari 8 desa dan 5 kelurahan. Adapun desa yang termasuk ke dalam wilayah kecamatan ini adalah desa Kaban, Kacaribu, Kandibata, Ketaren, Lau Simomo, Rumah Kabanjahe dan Samura. Dan kelurahan yang termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Kabanjahe tersebut adalah kelurahan Gung Leto, Gung Negeri, Kampung Dalam, Padang Mas, dan Lau Cimba.

− Sebelah Timur berbatasan dengan desa Singa − Sebelah Barat berbatasan dengan desa Kuta Gerat

12

Kantor Statistik KPU, Kabanjahe, 2007

13

Data kantor camat Kabanjahe, 2007

14


(26)

− Sebelah Utara berbatasan dengan desa Kandibata − Sebelah Selatan berbatasan dengan desa Guru Benua

Jarak desa Lau Simomo dari Medan (ibukuta Provinsi Sumatera Utara) sekitar 85 km, sedangkan dari Kabanjahe (ibukota Kabupaten Karo) sekitar 10 km. Luas desa Lau Simomo sekitar 106 ha termasuk didalamnya lahan pertanian, bangunan umum dan pemukiman penduduk. Untuk lebih jelasnya lihat tabel di bawah ini:

Tabel 2.1.1

Tata Guna Tanah Desa Lau Simomo

No Tata Guna Tanah Luas (ha)

1 Pemukiman 10

2 Sekolah 1

3 Kesain 4

4 Rumah Sakit 1

5 Pekuburan 1,5

6 Lahan Pertanian 88,5

Jumlah 106

Sumber: Kantor Kepala Desa Lau Simomo Tahun 1980

Jumlah penduduk desa Lau Simomo pada tahun 1980 adalah 512 orang dengan perincian sebagai berikut:

Perempuan 288 orang Laki-laki 229 orang


(27)

Adapun jumlah penduduk berdasarkan umur dapat dilihat dari tabel di bawah ini.

TABEL 2.1.2 DATA PENDUDUK

NO. UMUR LAKI-LAKI PEREMPUAN

1. 0-12 14 25

2. 13-25 105 124

3. 26-35 19 26

4. 36-50 31 36

5. 51-75 38 45

6. 76-ke atas 22 27

Jumlah 229 283

Sumber: Kantor Kepala Desa Lau Simomo1980

Sedangkan pada tahun 1990 penduduk desa Lau Simomo mencapai 529 jiwa. Adapun perinciannya adalah sebagai barikut:

Perempuan 331 orang Laki-laki 265 orang


(28)

TABEL 2.1.3 DATA PENDUDUK

NO. UMUR LAKI-LAKI PEREMPUAN

1. 0-12 23 35

2. 13-25 113 137

3. 26-35 23 31

4. 36-50 34 41

5. 51-75 47 54

6. 76-tak terbatas 25 23

Jumlah 265 331

Sumber: Kantor Kepala Desa Lau Simomo1990

Dari kedua tabel diatas terlihat bahwa pertumbuhan penduduk sangat lambat. Dalam kurun waktu sepuluh tahun hanya bertambah 84 orang. Angka ini relatif kecil bila dilihat atau dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk di desa lain. Hal ini disebabkan karena sebagian penduduk pindah ke desa atau tempat lain karena di desa ini tidak ada hak milik penuh atas tanah yang mereka kelola. Tanah tersebut adalah milik rumah sakit kusta yang ada di desa tersebut. Mereka hanya bisa menanami tanah tersebut, tetapi tidak bisa memilikinya. Bila sewaktu-waktu diminta kembali oleh pihak rumah sakit maka pengelola tanah tersebut terpaksa menyerahkannya. Karena itu, sebagian besar dari mereka membeli tanah di luar dari desa Lau Simomo terasebut. Misalnya saja desa Singa. Desa Singa merupakan desa yang berbatasan langsung dengan desa Lau Simomo. Kedua desa ini hanya dipisahkan oleh jalan raya. Walaupun secara geografis mereka membangun rumah di desa Singa, tetapi mereka masih dihitung sebagai penduduk desa Lau Simomo.


(29)

Seperti kebanyakan daerah lainnya di Tanah Karo, masyarakat Lau Simomo juga sebagian besar memiliki mata pancaharian sebagai petani. Biasanya tanaman yang ditanam seperti padi, jeruk, pisang, sayur-sayuran, dan sebagainya.

2.2 Latar Belakang Historis

Diatas telah dijelaskan tentang sibayak-sibayak dan daerahnya masing-masing, maka yang menjadi daerah penelitian penulis adalah desa Lau Simomo yang dahulu merupakan salah satu daerah Sibayak Lingga karena berada dalam wilayah Urung Sepuluh Dua Kuta. Dan sekarang termasuk salah satu desa di Kecamatan Kabanjahe.

Dapat diketahui bahwa desa Lau Simomo merupakan desa yang khusus dibentuk untuk penampungan penderita kusta oleh keempat sibayak. Adapun arti Lau Simomo secara etimologi berasal dari bahasa Karo. Lau berarti air dan simo berarti penyakit. Sehingga dapat diartikan bahwa air yang membersihkan atau air yang menyembuhkan penyakit. Tetapi ada juga yang mengatakan Lau Simomo berasal dari kata lau yang berarti air atau sungai dan kata momo yang berarti pengumuman karena dahulu dibuat pengumuman bahwa desa itu menjadi tempat penampungan penderita kusta.

Penetapan lokasi penampungan penderita kusta itu dipelopori oleh Van den Berg, karena keresahan penduduk dengan keberadaan penderita kusta di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Sibayak Kabanjahe yang bernama Sibayak Pa Pelita mengusulkan agar daerah Lau Simomo memjadi tempat penampungan penderita kusta. Adapun alasan beliau menunjuk daerah Lau Simomo menjadi penampungan penderta kusta disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:


(30)

a. Lokasi tersebut jauh dari pemukiman penduduk sehingga tidak akan menggangu masyarakat sekitar.

b. Lokasi tersebut banyak terdapat mata air yang sejauh 1 km dan akhirnya meresap ke tanah sehingga masyarakat sekitar lokasi tersebut tidak takut tertular penyakit kusta tersebut.

c. Daerah ini cocok untuk daerah pertanian karena tanahnya subur dan sangat indah. Dari sini Gunung Sinabung terlihat jelas.15

Akhirnya dlakukan suatu sidang untuk menetapkan pemukiman tersebut. Usulan sibayak Pa Pelita tersebut disetujui oleh anggota sidang yang dilakukan oleh Kerapaten Balai Raja Berempat.16

Sidang juga dihadiri oleh Westen Berg

Sibayak Kuta Buluh tidak ikut perundingan yang diadakan pada tahun 1906 karena dia merasa pendirian penampungan penderita kusta tersebut merupakan campur tangan kolonial melalui NZG yang dipelopori oleh Van Den Berg.

17

dan Van Den Berg. Keputusan sidang menghimbau kepada para sibayak, raja urung, penghulu seluruh Tanah Tinggi Karo untuk mengumumkan ‘ngemomoken’ keputusan tersebut kepada masyarakat yang menderita penyakit kusta agar tinggal di lokasi penampungan penderita kusta di daerah itu. Penderita kusta mulai di antar ke lokasi mulai tanggal 25 Agustus 1906. Mulai saat itu sering disebut-sebut desa Lau Simomo oleh masyarakat Tanah Karo.

15

P Sinuraya, Sejarah Pemukiman dan Rumah Sakit Kusta Lau Simomo, Medan: Moderamen GBKP, 2000, hal. 33.

16

P. Tamboen, Adat Istiadat Karo, Jakarta: Balai pustaka, 1952, hal. 62. Sidang kerapaten Balai Raja Berempat adalah sidang tertinggi pada pemerintahan Karo yang diresmikan oleh Raja Aceh karena mula-mula jumlah sibayak diangkat ada 4 (empat) untuk seluruh Tanah Karo.

17

Batara Sangti (1997:143), Western Berg pada tahun 1888 diangkat sebagai ‘controleur voor de Batakcshe Aangelenheden’, yang berkedudukan di Medan. Tahun 1904, dia diangkat menjadi Assisten Resident di Saribudolok.


(31)

2.3 Kehidupan Masyarakat

2.3.1 Sosial Budaya

Penduduk asli yang mendiami wilayah kabupaten Karo disebut suku Karo. Sebelum Belanda menguasai Dataran Tinggi Karo, jumlah penduduk Karo secara pasti tidak dapat diketahui. Laporan Anderson dalam kunjungannya ke Pantai Timur Sumatera pada tahun 1823, menyebutkan jumlah penduduk Karo hanya ± 60.000 jiwa, penduduk Medan 3.000 orang dan penduduk Binjai 300 orang. Sensus penduduk baru dilakukan pada tahun 1920 dan diketahui penduduk Karo berjumlah 74.568 jiwa, dan dalam sensus tahun 1930 meningkat menjadi 84.462 jiwa.18

Dalam kehidupan orang Karo, hubungan kekerabatan sangat penting. Hal ini dapat dilihat dari marga yang dipakai seseorang. Menurut Bujur Sitepu, marga merupakan tanda pengenal kelompok atau sebagai tanda garis keturunan serta menunjukkan sejarah asal tempat tinggal. Berkaitan dengan marga itu, masyarakat Karo terbagi atas lima (5) marga besar, yaitu Karo-karo, Ginting, Tarigan, Sembiring, dan Perangin-angin.19

Dengan pemakaian marga, seseorang itu dapat diketahui daerah asalnya. Biasanya sub marga yang sama mendiami satu kampung atau kuta. Menurut Wara Sinuhaji, sejarah terbentuknya kuta dimulai dari kesain dan sub marga pendiri dengan sebutan bangsa taneh diangkat menjadi penghulu. Dengan dilengkapi kalimbubu,

Masing-masing marga mempunyai sub-sub marga. Dalam suku hukum adat sangat ketat, dimana dalam satu marga tidak boleh diikat tali perkawinan. Karena itu merupakan hal yang sangat tabu. Jika dilanggar maka masyarakat akan mengucilkannya. Dan dilarang melangsungkan pernikahan apabila masih dalam satu induk marga yang sama.

18

Wara Sinuhaji, opcit., hal 46.

19


(32)

anak beru, dan senina (sembuyak) atau dalam pemerintahan adat dikenal dengan istilah rakut sitelu atau sangkep sitelu.20

Masyarakat Karo memiliki pemerintahan adat jauh sebelum kedatangan Belanda ke Tanah Tinggi Karo yang mengatur kehidupan dalam hubungan sosial dan upacara adat. Setiap persoalan yang ada dalam masyarakat akan diselesaikan secara adat Karo atau runggu. Setiap orang memiliki hak mengeluarkan pendapat dan apabila telah ada kesepakatan, maka setiap orang wajib menerima dan melaksanakannya.

Seperti halnya suku bangsa lain yang sulit menghilangkan budayanya dimana pun dia berada. Begitu pulalah yang tampak dalam kehidupan masyarakat Karo yang berada di desa Lau Simomo yang dihuni oleh berbagai suku bangsa yaitu Karo (sebagai penduduk asli), dan pendatang yang berasal dari suku Toba, Simalungun dan Aceh. Mereka masing-masing memakai nama keluarga dibelakang nama mereka seperti salah seorang pasien kusta yang berasal Simalungun dari bernama Mita br Purba.21

Masyarakat Lau Simomo memiliki rasa sosial yang tinggi dan saling menghormati satu dengan yang lainnya. Perbedaan suku bukan menjadi suatu penghalang bagi mereka dalam menjalin komunikasi satu dengan yang lainnya. Mereka mempunyai prinsip senasib sepenanggungan.

Walaupun memakai bahasa Karo sebagai bahasa komunikasi sehari-hari, namun logat yang dipakai masih menyerupai logat aslinya.

22

20

Wara Sinuhaji, opcit., hal. 40

Terbukti dari sikap mereka yang hidup berdampingan dengan suku-suku lain yang ada di desa Lau Simomo. Dalam menjalankan kehidupan mereka saling membantu yakni apabila ada diantara mereka yang penyakitnya kambuh kembali, maka yang lainnya akan merawat dan mengobatinya. Mereka telah diajari bagaimana melakukan pertolongan saat para medis tidak ada, sehingga mereka dapat menolong teman yang sakit. Ataupun disaat

21

Wawancara dengan Mita br Purba, pasien, 13 Oktober 2007 di Rumah Sakit Kusta Lau Simomo.

22


(33)

yang lainnya butuh pertolongan seperti ada warga yang sedang berkemalangan. Maka warga yang lainnya akan membantu. Mereka akan membantu baik dari segi moril maupun materil. Mereka menghibur keluarga yang ditinggal pergi dan melakukan upacara adat sesuai kepercayaan dan adat mereka. Namun umumnya mereka menggunakan upacara adat Karo. Bagi mereka yang mempunyai harta yang banyak maka akan diadakan dengan memakai dua adat, yakni adat Karo dan sesuai dengan yang bersangkutan.23

Tidak jarang pasien yang sudah dinyatakan sembuh tidak mau pulang ke daerah asalnya karena merasa malu dan merasa lebih baik tinggal di desa tersebut bersama penderita kusta lainnya.

Namun pemukiman di rumah sakit tersebut dirancang khusus menggambarkan desa-desa Karo pada umumnya. Seperti adanya jambur ataupun kesain karena pada awalnya rumah sakit ini dibuat bagi penderita kusta di daerah Karo. Hal ini dilakukan karena desa tersebut merupakan desa di daerah Tanah Karo. Dan pada awalnya, memang diperuntukkan bagi penderita kusta yang berada di daerah Tanah Karo agar penderita kusta tersebut betah tinggal di daerah tersebut hingga mereka merasa seperti daerah sebelumnya. Karena dikhawatirkan jika mereka langsung menerima perubahan maka akan menimbulkan dampak yang tidak baik. Si pasien akan merasa terasing, karena pada dasarnya tidak semua masyarakat dapat menerima perubahan. Seperti yang dijelaskan oleh Soerjono Soekanto dalam bukunya Sosiologi:

Ada kalanya unsur-unsur baru dan lama yang bertentangan dan secara bersamaan mempengaruhi norma-norma dan nilai-nilai yang kemudian berpengaruh pula pada warga masyarakat. Hal ini akan menimbulkan ketidakseimbangan masyarakat. Apabila ketidakseimbangan dapat dipulihkan kembali setelah terjadi suatu perubahan, maka keadaan tersebut dinamakan suatu penyesuaian (adjustment); bila sebaliknya yang terjadi

23


(34)

maka keadaan tersebut dinamakan ketidakseimbangan sosial (maladjustment).24

Pemukiman kusta di Lau Simomo diharapkan dapat memenuhi kriteria sebagai tempat tinggal yang layak dan bukan merupakan suatu tempat pengasingan yang dapat menimbulkan suatu dampak yang kurang baik terhadap keseimbangan kejiwaan penderita kusta. Untuk itu maka tempat pemukiman tersebut penderita kusta diberikan kebebasan untuk mengembangkan budaya dan ekonominya.

2.3.2 Sistem Kepercayaan

Kepercayaan masyarakat desa Lau Simomo sebelum masuknya agama Katolik, Protestan dan Islam, mereka menganut kepercayaan yang bersifat kepercayaan animisme dan dinamisme. Kepercayaan terhadap hal-hal gaib masih kuat yaitu terhadap batu besar, pohon besar. Bahkan setelah adanya agama pun masih ada yang menganut kepercayaan itu, dengan penyembahan yang melakukan sesajen. Di dataran tinggi Karo, kepercayaan hal-hal gaib itu masih ada sampai sekarang. Biasanya dikenal dengan sebutan perbegu atau pemena. Setelah adanya agama Kristen lambat laun dapat diterima oleh masyarakat desa Lau Simomo menganut masing-masing agama yang telah diakui oleh negara atau agama resmi. Kehidupan umat beragama di desa Lau Simomo terdiri dari Protestan, Katolik, dan Islam. Masing-masing dari agama tersebut telah memiliki rumah tempat ibadah.

Dari beberapa agama tersebut, jumlah pemeluk agama yang terbesar pada tahun 1980 adalah agama Kristen Protestan yaitu berjumlah 251 orang dengan 2 buah gereja yaitu Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) dan Gereja Protestan di Indonesia (GPdI). Selain itu pemeluk agama Islam berjumlah 146 orang dan pemeluk agama Kristen Katolik dengan jumlah 115 orang.

24


(35)

Pemeluk agama Kristen Protestan bertambah menjadi 294 orang pada tahun 1990. Penduduk yang memeluk agama Islam juga bertambah menjadi 167 orang. Dan pemeluk agama Kristen Katolik menjadi 135 orang. Untuk lebih jelas lihat tabel di bawah ini:

Tabel 2.3.2.1

Data Penduduk Desa Lau Simomo Tahun 1980 Berdasarkan Agama

No Agama Jumlah (jiwa) Jumlah Rumah Ibadah

1 Kristen Protestan 251 2

2 Islam 146 1

3 Kristen Katolik 115 1

Sumber: Kantor Kepala Desa Lau Simomo Tahun 1980

Tabel 2.3.2.2

Data Penduduk Desa Lau Simomo Tahun 1990 Berdasarkan Agama

No Agama Jumlah (jiwa) Jumlah Rumah Ibadah

1 Kristen Protestan 294 2

2 Islam 135 1

3 Kristen Katolik 167 1

Sumber: Kantor Kepala Desa Lau Simomo Tahun 1990

Kehidupan beragama di desa ini sangat rukun. Hal ini terlihat pada perayaan hari besar keagamaan setiap agama. Mereka saling menghormati dan mengunjungi


(36)

satu sama lain. Perbedaan agama tidak membuat mereka membuat mereka merasa berbeda justru merasa perbedaan itu sebagai suatu keberagaman yang harus disyukuri. Lokasi tempat ibadah juga saling berdekatan dan berjejer di jalan yang sama. Hal itu menggambarkan mereka dapat menerima perbedaan itu tanpa ada suatu masalah yang dapat membuat hubungan antar agama menjadi tidak harmonis.

2.3.3 Sistem Mata Pencaharian

Masyarakat Karo telah mengenal cara bercocok tanam atau bertani sejak dahulu dan diwariskan secara turun temurun. Selain itu, Tanah Karo sangat cocok dijadikan sebagai lahan pertanian karena tanahnya sangat subur. Oleh karena itu, sebagian besar masyarakatnya bertani.

Demikian juga dengan masyarakat Lau Simomo yang sebagian besar bernmata pencaharian sebagai petani. Daerah ini menghasilkan sayur-mayur, jeruk, pisang, dan lain-lain. Sebagian ada juga yang berternak ayam atau lembu.

Dan bagi masyarakat penderita kusta boleh juga bercocok tanam di lahan di sekitar rumah sakit dan mereka baik yang mampu maupun yang tidak mampu bekerja disediakan tunjangan oleh pemerintah. Lahan pertanian disediakan oleh pihak rumah sakit. Namun mereka hanya memiliki hak pakai bukan hak milik. Sejak tahun 1980-an lahan pertanian tersebut tidak ada lagi yang kosong atau semua telah ditanami oleh pasien yang sudah menetap di desa tersebut. Lahan yang ditanami oleh seseorang dapat diberikan kepada pasien lain apabila mereka tidak sanggup lagi mengusahai atau mengelola lahan tersebut. Adapun lahan dapat ditanami oleh penderita (pendatang) baru apabila pasien lama mau memberikan lahan yang sudah diolahnya selama ini. Alasan pemberian ini mungkin karena ketidaksanggupan lagi mengolah lahannya atau karena ada hubungan kekeluargaan. Tapi ada juga karena keperluan


(37)

uang sehingga mau memberikan lahannya kepada orang lain dengan imbalan yang telah mereka sepakati.

Pada dasarnya pembagian lahan memang telah diatur oleh pihak pengelola rumah sakit. Dan tidak hanya bagi penderita kusta yang sanggup bertani saja diberikan tetapi juga bagi pegawai yang ingin mendapat lahan untuk bertani.

Untuk membiayai usaha untuk bercocok tanam, mereka mendapat bantuan dari pihak rumah sakit atau dari Dinas Sosial. Hasil panen mereka jual ke pasar tradisional atau ke kota. Selain hasil tani, ada juga menjual hasil kerajinan tangan seperti pisau ataupun parang, dan juga hasil ternak seperti ayam dan burung. Sekarang mereka mampu menyekolahkan anak-anak mereka dari hasil pertanian tersebut.


(38)

BAB III

KEBERADAAN RUMAH SAKIT KUSTA LAU SIMOMO

3.1 Sebelum Berdirinya Rumah Sakit Kusta Lau Simomo

Kedatangan penginjil ke Tanah Tinggi Karo tepatnya tahun 1890 bukan semata untuk tujuan rohani seperti tujuan penginjilan yang ada di daerah lain seperti penginjilan di daerah Batak. Penginjilan di daerah Batak memang murni dengan tujuan mengenalkan agama Kristen di daerah Batak karena daerah tersebut belum dimasuki oleh pengaruh agama Islam dan masih menganut kepercayaan lama, berbeda dengan daerah lain seperti Mandailing yang sudah berkembang agama Islam. Sedangkan penginjilan di Tanah Tinggi Karo dibuat untuk tujuan kepentingan keamanan Belanda karena pada saat itu perlawanan masyarakat Karo sangat sulit dihentikan. Seringkali perkebunan tembakau Belanda, Deli Mij dibakar oleh mereka.

Selain itu, Belanda merasa tidak nyaman karena tindakan-tindakan orang Karo tersebut. Perlawanan ini awalnya terjadi karena usaha Belanda untuk memperluas lahan perkebunan sampai kepada daerah yang mayoritas penduduknya adalah etnis Karo. Tentu saja masyarakat di daerah tersebut memberontak. Untuk mengatasi perlawanan-perlawanan tersebut, maka atas usulan T. J. Creamer, salah seorang pimpinan perkebunan di Sumatera Timur untuk melakukan sesuatu pengenalan agama terhadap penduduk. Ini dimaksudkan untuk mendekati mereka. Menurut beliau, dengan mengkristenkan, maka mereka akan mudah untuk dijinakkan sehingga perkebunan Deli Mij akan aman dan kekacauan pun dapat diredam. Untuk mewujudkan usaha tersebut, maka Creamer mengajak pengusaha-pengusaha perkebunan Belanda mengumpulkan dana untuk membiayai para penginjil yang telah disepakati oleh Lembaga Pekabaran Injil atau Nederlandsche Zendeling Genootschap


(39)

(NZG) di negeri Belanda. Pada tahun 1890 tibalah penginjil pertama di desa Buluh Awar. Penginjil yang dikirim itu adalah Pendeta H. C. Kruyt, Nicolas Pontoh dan Tomohon.25

Penginjilan yang pertama di Tanah Tinggi Karo dilakukan oleh Pendeta Van den Berg. Penginjil yang mereka kirim untuk mengkristenkan Tanah Karo mulai berhasil. Dia melakukan pendekatan terhadap penguasa di daerah Kabanjahe yaitu Sibayak Pa Pelita. Setelah menetap di Kabanjahe, beliau melihat banyak sekali penderita kusta di daerah tersebut. Dia juga melihat bagaimana mereka diasingkan dari masyarakat setempat dan diperlakukan dengan kejam. Dan bagi penderita kusta tidak boleh bercampur dengan masyarakat dan tidak boleh memakai fasilitas-fasilitas umum seperti pancuran untuk tempat mandi dan jambur dilarang atau tidak boleh digunakan oleh penderita kusta tersebut. Jambur adalah tempat pertemuan masyarakat Karo untuk berkumpul atau jika ada pesta-pesta.

Tetapi hasilnya tidaklah memuaskan karena orang-orang Karo masih belum bisa menerima apa yang mereka ajarkan dan bahkan mereka menganggab penginjil tersebut adalah musuh karena mereka datang atas nama Belanda. Namun kemudian misi zending ini masuk ke Tanah Tinggi Karo tepatnya di Kabanjahe pada tahun 1905.

Melihat kejadian tersebut, Van den Berg merasa iba dan dia berusaha untuk meringankan penderitaan mereka. Awalnya, dia merawat penderita kusta tersebut di rumahnya. Lama-kelamaan penderita kusta yang datang makin banyak. Hal ini membuat masyarakat Kabanjahe tidak senang dan protes ke pemerintah setempat. Protes ini akhirnya sampai kepada Asisten Residen Westen Berg yang berada di

25

P. Sinuraya, Diakonia GBKP Sejarah Pelayanan Diakonia NZG di Tanah Karo 1890-1940, Medan: Merga Silima , 1997, hal. 26.


(40)

Saribudolok.26

Sibayak Pa Pelita kemudian mengusulkan agar lokasi untuk pemukiman tersebut dibangun di Lau Simomo. Desa tersebut berjarak 10 km dari kota Kabanjahe.

Bulan Juli 1906 Westen Berg mendatangi Van den Berg untuk meminta keterangan yang sesungguhnya. Van den Berg menjelaskan bahwa penularan penyakit kusta akan meningkat apabila tidak dilakukan pengobatan bagi penderita. Akhirnya Westen Berg dapat mengerti penjelasan tersebut dan menganjurkan kepada Van den Berg untuk segera menyelesaikan masalah tersebut. Atas dasar tersebut, Van den Berg meminta persetujuan dari sibayak Pa Pelita selaku penguasa daerah tersebut untuk merundingkan tempat pemukiman bagi penderita kusta agar masyarakat tidak protes lagi. Sibayak Pa Pelita menyetujui permintaan tersebut mengingat dia juga mempunyai saudara yang mengidap penyakit kusta sehingga beliau juga menyadari bagaimana penderitaan akibat penyakit kusta itu.

3.2.Sesudah Berdirinya Rumah Sakit Kusta Lau Simomo

Berdirinya Rumah Sakit Kusta Lau Simomo tidak terlepas dari besarnya peranan orang Belanda melalui Nederlandsche Zendeling Genootschap (NZG), mereka dengan cara pertamanya mengirimkan penginjil ke Tanah Tinggi Karo. Penginjil yang bernama Van den Berg mendirikan rumah sakit kusta itu pada tahun 1906.

Pada awalnya Rumah Sakit Kusta Lau Simomo bersifat leprosarium yaitu usaha pengobatan dan penampungan para penderita kusta. Istilah rumah sakit belum cocok untuk menggambarkan penampungan kusta tersebut pada waktu itu.

Karena sarana dan prasarana perlengkapan kesehatan yang belum memadai sehingga pelayanan kepada penderita kusta sangat lambat. Keterbatasan dana dari

26

Batara Sangti, (1997:143). Western Berg pada tahun 1888 diangkat sebagai “Controleur voor de Batacshe aangelenheden”, yang berkedudukan di Medan. Tahun 1904, Western Berg diangkat menjadi Assisten Resident di Saribudolok. Pada tahun 1908 diangkat menjadi Resident di Tapanuli.


(41)

NZG menjadi salah satu penyebab lambatnya pelayanan kusta. Untuk tempat tinggal para penderita kusta dibangun pondok-pondok kecil dari bambu dan ilalang. Untuk mengurangi udara dingin masuk ke dalam pondok digunakan lumpur untuk melapisi pondok tersebut. Awal adanya pemukiman orang kusta itu tempat tinggal mereka sederhana sekali.

Sebelumnya memang sudah ada poliklinik untuk pengobatan para penderita kusta. Tetapi tempatnya sangat jauh dari desa Lau Simomo dan mereka harus berjalan jauh dari desa Lau Simomo ke Kabanjahe karena poliklinik hanya ada di sana. Poliklinik ini menjadi cikal bakal pembangunan Rumah Sakit Zending NZG di Kabanjahe. Rumah sakit tersebut sekarang dikenal dengan nama Rumah Sakit Umum Kabanjahe. Seharusnya poliklinik ini dibangun di desa Lau Simomo, namun karena alat transportasi masih sulit dijangkau oleh dokter perkebunan Deli Mij, maka diputuskan dibangun di Kabanjahe.

Ruang inap di penampungan kusta terbuat dari tanah yang biasa disebut dengan ‘rumah gulbak’. Dalam bahasa Karo gulbak artinya tanah. Dan beberapa tahun kemudian perawatan dan pengobatan penderita kusta dipindahkan ke desa Lau Simomo.

Pada masa pelayanan Pendeta L. Bodaan tahun 1915, NZG mengirimkan tenaga perawat dari Belanda yang ditugaskan di rumah sakit pembantu di Kabanjahe. Setelah rumah sakit pembantu tersebut ditutup, kemudian ia ditugaskan di Lau Simomo. Sejak saat itu, pencegahan infeksi kusta mulai dilakukan dengan cara mencuci tangan dan kaki para penderita kusta dengan obat khusus.

Tahun 1930 Pendeta H. Vuurmans menjabat sebagai pimpinan rumah sakit ini. Saat itu, keadaan rumah sakit mengalami kemajuan. Mulailah dibangun ruang rawat inap, apotek yang merangkap sebagai ruang laboratorium, ruang rontgen, serta


(42)

ruang amputasi. Pelayanan tenaga medis yakni para dokter didatangkan dari Rumah Sakit Umum (RSU) Kabanjahe, sedangkan untuk tenaga perawat dipakai pasien kusta yang sudah sembuh. Mereka terlebih dahulu diajari dan dilatih cara-cara untuk merawat pasien. Kepemimpinan Vuurmans berakhir tahun 1934.

Vuurman digantikan oleh Pendeta J. H. Neumann. Pada masa Pendeta Neumann Rumah Sakit Kusta Lau Simomo mengalami kemajuan pesat. Poliklinik ini telah berfungsi selayaknya sebagai rumah sakit yang layak untuk melayani penderita kusta.

Namun keadaan ini tidak berlangsung lama. Pendudukan Jepang (1942) di Indonesia turut mempengaruhi aktivitas Rumah Sakit Kusta Lau Simomo. Kegiatan rumah sakit sangat terganggu dan tidak dapat dioperasikan dengan baik. Tentara Jepang merampas barang-barang rumah sakit dan juga obat-obatan yang tersedia. Pendeta Jansen Schoonhoven, pimpinan Rumah Sakit Kusta Lau Simomo pada saat itu, ditangkap oleh serdadu Jepang.

Setelah pendudukan Jepang berakhir, pengelolaan rumah sakit diserahkan kembali ke tangan Belanda. Pendeta J. H. Neumann kembali menjadi pimpinan rumah sakit sampai akhirnya rumah sakit kusta ini dipegang (diserahkan) pengelolaannya ke pemerintah Indonesia.

Dari keterangan yang penulis dapatkan bahwa pergantian pengelola Rumah Sakit Kusta Lau Simomo dialihkan sesuai dengan pergantian pemerintahan Indonesia. Adapun pergantian ini dapat dilihat rinciannya sebagai berikut:

a. tahun 1906-1942 dikelola oleh Nederlandsche Zendeling Genootschap (NZG)

b. tahun 1945 diambil-alih oleh pemerintah Republik Indonesia setelah pendudukan Jepang berakhir di Indonesia.


(43)

c. Tahun 1948 pemerintah Belada kembali mengambil-alih rumah sakit d. Tahun 1950 diambil-alih oleh Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) e. Tahun 1959 pemerintah Daerah Tingkat II (DATI II) Karo

mengambil-alih operasional Rumah Sakit Kusta Lau Simomo.

f. Kemudian tahun 1960, kepengurusan Rumah Sakit Kusta Lau Simomo diserahkan kepada pemerintah Tingkat I Sumatera Utara karena ketidakmampuan dana dari Tingkat Kabupaten. Rumah Sakit Kusta Lau Simomo tersebut berada dibawah naungan Dinas Kesehatan Tingkat I Sumatera Utara.

Proses pergantian kepengurusan Rumah Sakit Kusta Lau Simomo dilakukan secara bertahap. Namun pegawai-pegawai yang bertugas di rumah sakit ini masih sama seperti sebelumnya. Walaupun pengelolaan rumah sakit sudah diserahkan kepada Pemerintah Daerah Tingkat I. Jadi dana operasional dan gaji pegawai rumah sakit berasal dari pemerintah Tingkat I Sumatera Utara. Pelayanan rumah sakit semakin baik dari hari ke hari. Baik dari segi sarana maupun prasarana yang disediakan. Ketika Dr D. H. Munthe menjabat sebagai kepala rumah sakit, Rumah Sakit Kusta Lau Simomo tersebut telah memiliki fasilitas yang baik dan memadai.

Pada tahun 1982, Rumah Sakit Kusta Lau Simomo berubah menjadi Unit Pelayanan Tekhnis (UPT) sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur Daerah Tingkat I Sumatera Utara Nomor 441-117/k/. Tahun 1982 juga terjadi pembentukan susunan organisasi dan tata kerja unit pelayanan teknis Dinas Kesehatan Daerah Tingkat I Sumatera Utara.

Rumah Sakit Kusta Lau Simomo ini merupakan rumah sakit kelas E yaitu rumah sakit khusus (special hospital) yang melayani penyakit kusta saja atau


(44)

menyelenggarakan hanya satu macam pelayanan kedokteran saja.27 Sama halnya dengan rumah sakit paru yang hanya menangani masalah paru, rumah sakit jiwa yang melayani masalah psikologis.

3.3 Sekilas Tentang Penyakit Kusta

Penyakit kusta adalah salah satu jenis penyakit kulit. Penyakit ini disebabkan oleh kuman yang dinamai Mycobacterium Leprae. Kuman ini pertama kali ditemukan pada tahun 1874 oleh Genhard Armeur Hansen di Norwegia sehingga penyakit kusta ini sering dinamai penyakit hansen.

Kusta termasuk penyakit tertua karena sudah dikenal sejak lama. Kusta berasal dari bahasa India yakni kustha dan dikenal sejak tahun 1400 SM.28

Persebaran penyakit kusta hampir di seluruh dunia karena mobilitas orang-orang yang terkena penyakit tersebut. Penyakit ini terdapat di Afrika, Asia. Amerika Tengah dan Amerika Selatan.

Catatan-catatan mengenai penyakit ini ditemukan di India yang ditulis pada tahun 600 SM. Kata kusta atau lepra juga ada dituliskan. Dalam kitab Injil terjemahan dari bahasa Ibrani atau Hebrew disebut dengan kata zaraath, yang juga digunakan untuk menyebutkan penyakit kulit lainnya. Masyarakat Israel dahulu sangat takut dengan penyakit ini. Mereka mengucilkan orang-orang yang terkena penyakit ini karena takut tertular.

29

Penyakit kusta bukanlah penyakit turunan ataupun penyakit kutukan seperti yang diduga oleh masyarakat zaman dahulu. Penyakit ini memang dapat menular dan dapat menimbulkan cacat pada tubuh. Itulah mengapa orang-orang dahulu sangat mengucilkan orang-orang yang terkena penyakit tersebut.

27

Dr. Azrul Azwar, M.C.H, PengantarAdministrasi Kesehatan, Jakarta: Binarupa Aksara, 1996, hal. 90.

28

Dr. Adhi Djuanda, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Jakarta, Fakultas Kedokteran UI, hal. 71.

29


(45)

Mycobacterim Leprae dapat menyerang kulit, saraf, mata, selaput lendir hidung, otot, dan tulang. Seseorang mudah terserang kuman ini apabila daya tahan tubuh kurang, lingkungan yang kotor, serta kurang gizi. Gejala-gejala yang terinfeksi kuman ini adalah pada kulit terdapat benjolan-benjolan kecil berwarna merah muda atau ungu. Benjolan-benjolan ini menyebar berkelompok dan biasanya terdapat di sekitar mata dan juga di hidung hingga dapat menyebabkan pendarahan. Sedangkan pada saraf gejalanya adalah berkurangnya perasaan pada anggota badan atau bagian tubuh yang diserang kuman. Kadang-kadang terdapat radang syaraf yang nyeri. Reaksi yang ditimbulkan biasanya adalah demam.

Penderita kusta sudah tidak banyak lagi saat ini karena obat untuk penyakit ini telah banyak ditemukan serta adanya rumah sakit yang dibangun khusus untuk pengobatan kusta.

3.4 Sarana dan Prasarana Rumah Sakit Kusta

Sebagai penunjang kelancaran suatu usaha maka diperlukan sarana dan prasarana yang baik. Sarana dan prasarana merupakan faktor penting dalam pencapaian hasil yang maksimal bagi rumah sakit. Demikianlah halnya dengan Rumah Sakit Kusta Lau Simomo telah memiliki sarana dan prasarana yang diperlukan.

Sesuai fungsinya dimana rumah sakit adalah sebagai tempat untuk merawat orang sakit, pelayanan kesehatan, maka harus tersedia sarana dan prasarana medis. Walaupun masih belum dapat untuk memenuhi standar pelayanan yang lengkap. Seperti yang dituturkan oleh Dr. T. M. Panjaitan, SKM dalam bukunya yang berjudul Standar Pelayanan Rumah Sakit bahwa standar pelayanan rumah sakit misalnya


(46)

farmasi, laboratorium, bank darah, radiologi, rehabilitas medis, pelayanan gizi, dan lain-lain.30

Rumah Sakit Kusta Lau Simomo belum memiliki semua kriteria seperti yang dituturkan oleh Dr. T. M. Panjaitan tersebut

Akan tetapi, kemajuan yang dialami oleh Rumah Sakit Kusta Lau Simomo terus meningkat dan juga melakukan renovasi bangunan serta penambahan bangunan untuk menunjang kelancaran pelayanan rumah sakit tersebut. Perkembangan kemajuan Rumah Sakit Kusta Lau Simomo sejak tahun 1983 dapat dilihat dari bartambahnya fasilitas rumah sakit seperti ruang inap dan juga perlengkapan rumah sakit.

Adapun fasilitas-fasilitas yang dimiliki oleh Rumah Sakit Kusta Lau Simomo saat ini adalah:

A. Sarana

Sarana yang merupakan milik Rumah Sakit Kusta Lau Simomo dapat dilihat dari tabel.

30


(47)

Tabel 3.4.1

Pegawai Tetap Rumah Sakit Kusta Lau Simomo Berdasarkan Klasifikasi Pendidikan

No. Pendidikan Jumlah

1 Dokter Umum 1

2 SPK 4

3 SPAG 3

4 SMA K 1

5 SPPH 3

6 SAA 2

7 LCPK 4

8 STM 1

9 SMA 6

10 SKN 1

11 SMP 1

12 SD 2

Jumlah total 29 orang

Sumber: Staff Tata Usaha Rumah Sakit Kusta Lau Simomo tahun 1990


(48)

Tabel 3.4.2

Pegawai Tidak Tetap Rumah Sakit Kusta Lau Simomo Berdasarkan Klasifikasi Pendidikan

No. Pendidikan Jumlah

1 SPK 2

2 SMA 6

3 SMEA 1

4 SMP 1

5 SAA 1

6 SD 3

Jumlah 17 orang

Sumber: Staff Tata Usaha Rumah Sakit Kusta Lau Simomo tahun 1980-1990

Tabel 3.4.3

Tenaga Kesehatan Rumah Sakit Kusta Lau Simomo Berdasarkan Pendidikan

No. Tenaga Medis Jumlah

1 Dokter Umum/ spesialis 2 2 Petugas Keperawatan/ SPK 4

Jumlah 6 orang

Sumber: Staff Tata Usaha Rumah Sakit Kusta Lau Simomo tahun 1980-1990

Dari ketiga tabel diatas dapat dilihat bahwa jumlah tenaga medis sangat kecil sekali bila dibandingkan dengan jumlah pasien penderita kusta pada tahun 1980-1990.


(49)

Pada saat itu pasien penderita kusta berkisar 318 orang. Walaupun jumlah penderita kusta mulai berkurang sejak tahun 1990. Adapun rinciannya adalah sebagai berikut:

Tabel 3.4.4

Jumlah Penderita Kusta di Rumah Sakit Kusta Lau simomo

No. Pasien

JUMLAH

Jumlah

Laki-laki Perempuan

1 Rawat inap 17 31 48

2 Rawat mondok 108 162 270

Total 125 193 318

Sumber: Medical Record (MR) Rumah Sakit Kusta Lau Simomo tahun 1980-1990

Jumlah pasien rawat inap dan rawat mondok dalam tabel diatas termasuk didalamnya pasien kusta yang masih anak-anak. Jumlah pasien perempuan lebih banyak dibandingkan pasien laki yakni perempuan sebanyak 193 orang dan laki-laki sebanyak 125 orang. Didalamnya terhitung pasien anak-anak berjumlah 112 orang. Karena kurangnya tenaga medis, maka pihak rumah sakit melatih para pasien kusta yang telah sembuh untuk membantu pelayanan perawatan bagi pasien yang membutuhkan perawatan. Sehingga pelayanan bagi pasien yang sakit tidak tertunda dan dapat dengan cepat diberikan pertolongan. Bagi mereka yang sudah dilatih sebagai perawat dengan suka rela membantu pasien yang sakit. Mereka tidak meminta upah karena mereka merasa bersyukur dapat membantu merawat pasien yang sakit.


(50)

1. Kesain Pengarapen I (Ruang Pengharapan I)

Dalam ruangan ini ditempatkan pasien-pasien yang masih memiliki sedikit penyakit pada dirinya.

2. Kesain Pengarapen II (Ruang Pengharapan II)

Ruangan ini menempatkan para pasien yang masih memiliki penyakit pada dirinya.

3. Kesain Pengarapen III (Ruang Pengharapan III)

Pada ruangan ini ditempatkan pasien yang dianggap telah mendekati keadaan yang sehat.

4. Selain ruang-ruang yang tersebut diatas terdapat pula ruangan lain yang disebut tempat “Lau Simomo yang senang”.

Ruangan ini merupakan tempat penderita kusta yang masih parah penyakitnya.

Disebut diatas Ruangan Pengharapan karena pasiennya hampir sehat secara keseluruhan.

Tabel 3.4.5

Fasilitas-falisitas yang ada di Rumah Sakit Kusta Lau Simomo

NO. NAMA JUMLAH

1 Ruang rawat inap dengan kapasitas 66 buah tempat tidur 3 ruang

2 Ruang amputasi 1

3 Ruang rongent 1

4 Gedung farmasi/apotik 1

5 Laboratorium 1


(51)

7 Ruang tunggu 1

8 Gedung administrasi 5

9 Gedung fisioterapi 1

10 Ruang operasi/bedah kusta 3

11 Gedung olupasi terapi 1

12 Dapur masak 1

13 Ruang Dokter 1

14 Kamar mayat 1

15 Ruang beras 1

16 Kantor zaal 1

17 Ruang rapat gizi 1

18 Rehabilitas 1

19 Zaal perawat 1

20 Administrasi farmasi 1

21 Reaksi zaal 1

22 Ruang generator 1

23 Rumah dinas 12

24 Rumah pasien mondok 45

JUMLAH 87

Sumber: Staff Tata Usaha Rumah Sakit Kusta Lau Simomo tahun 1980-1990

Fasilitas yang disediakan oleh pihak rumah sakit ini dinilai masih kurang. Masih banyak sekali yang harus ditambahkan. Misalnya saja penyediaan mobil ambulance agar dapat digunakan sewaktu-waktu bila diperlukan. Rumah sakit ini


(52)

hanya memiliki satu unit ambulance. Selain itu, penyediaan air bersih masih belum ada dari berdirinya sampai dengan tahun 1990.

3.4.1 Struktur Organisasi Rumah Sakit

Struktur organisasi Rumah Sakit Kusta Lau Simomo ini disesuaikan dengan Keputusan Gubernur Daerah Tingkat I Sumatera Utara Nomor 441-117/k/ Tahun 1982, terdapat didalamnya bagian-bagian yaitu:

- Kepala UPT

- Sub Bagian Tata Usaha - Seksi Perawatan - Seksi Pengobatan - Seksi Rehabilitas

Masing-masing bagian ini mempunyai tugas-tugas yang harus dijalankan adalah sebagai berikut:

A. Kepala UPT Rumah Sakit Kusta Lau Simomo bertugas untuk membantu Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara dalam melaksanakan pelayanan kesehatan, terutama pelayanan penderita penyakit kusta

B. Sub bagian tata usaha mempunyai tugas untuk menyelenggarakan: a. Urusan tata usaha termasuk pemegang keuangan,

administrasi kepegawaian dan rumah tangga rumah sakit.

b. Menghimpun bahan/data dari semua seksi lainnya untuk menyusun program dan laporan Rumah Sakit Kusta Lau Simomo.


(53)

c. Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh kepala UPT, sesuai dengan bidang tugasnya.

d. Dan lain-lain.

C. Seksi perawatan memiliki tugas untuk:

a. Melaksanakan perawatan kepada penderita kusta dalam tahap pemulihan kesehatan.

b. Membuat laporan perkembangan pasien. D. Seksi pengobatan mempunyai tugas:

a. Membuat laporan yang teratur sesuai dengan yang dibutuhkan oleh pasien.

b. Membuat laporan kalau obat-obatan yang dibutuhkan habis.

E. Seksi rehabilitas mempunyai tugas: a. Rehabilitasi medis yaitu:

- fisioterapi seperti oles minyak.

- orthosa protesa seperti membuat kaki palsu, tongkat, dan lain-lain.

b. Rehabilitasi Non-medis yang meliputi: - pelayanan rehabilitas mental.

- pelayanan rehabilitas karya. - pelayanan rehabilitas sosial.

3.4.2 Kepemimpinan Rumah Sakit

Pimpinan rumah sakit kusta ini awalnya bersifat disfungsional yakni pimpinan tertinggi rumah sakit merangkap sebagai dokter yang langsung menangani


(54)

pasien. Hal ini berlaku sampai tahun 1958. Setelah Rumah Sakit Kusta Lau Simomo ini dibawah naungan Dinas Kesehatan Daerah Tingkat I Sumatera Utara, maka tugas pimpinan rumah sakit tidak lagi merangkap sebagai tenaga medis. Jadi, tugas masing-masing lebih dapat dipertanggungjawabkan.

Nama-nama pimpinan Rumah Sakit Kusta Lau Simomo dari awal berdirinya sampai saat ini yaitu:

1. Pendeta E. J. Van den Berg yang memimpin mulai dari tahun 1906 sampai tahun 1912. Beliau merupakan pendiri Rumah Sakit Kusta Lau Simomo. Ia juga membangun lima (5) unit perkampungan penderita kusta dan satu (1) perkampungan khusus yang beragama Islam.

2. Pendeta J. P. Talens yang memimpin mulai dari tahun 1912 sampai tahun 1915. Pada masa kepemimpinan beliau dibangun sebuah rumah sakit pembantu di Kabanjahe, khusus melayani penderita kusta. Pada masa itu telah ada seorang perawat yang melayani penderita kusta bernama Zr. F. Smith.

3. Pendeta L. Bodaan yang memimpin mulai dari tahun 1915 sampai tahun 1918. Pada masa kepemimpinan beliau dibangun ruang menerima tamu, penginapan tamu serta jambur untuk pertemuan penduduk.

4. Pendeta H. G. Van Elen yang memimpin mulai dari tahun 1918 sampai tahun1930. Pada masa kepemimpinan beliau ada dibangun dua (2) perkampungan sehingga menjadi tujuh (7) perkampungan yaitu:

c. Kampung 1 d. Kampung 2 e. Kampung 3 f. Kampung Pasar g. Kampung Mbelang


(55)

h. Kampung Kuburan i. Kampung Lepar (Islam)

Kampung Lepar tersebut khusus untuk penderita kusta yang beragama Islam. Selain pembangunan kedua kampung tersebut, beliau juga membangunan sebuah gereja tahun 1923 yang berada dibelakang bangunan rumah sakit.

5. Pendeta H. Vuurmans yang memimpin mulai dari tahun 1930 sampai tahun 1934. Beliau membangun sebuah ruangan rawat inap dan ruangan operasi, apotek yang merangkap sebagai laboratorium, ruang rontgen dan ruang amputasi. Pelayanan medis didatangkan dari Rumah Sakit Umum Kabanjahe, sedangkan tenaga keperawatan dari tenaga-tenaga pesuruh yang telah dilatih.

6. Pendeta J. H. Neuman yang memimpin mulai dari tahun 1934 sampai tahun 1937. Pemukiman penderita kusta telah nerubah menjadi rumah sakit kusta setelah selesainya ruang perawatan.

7. Pendeta L. Jansen Schoonhoven yang memimpin mulai dari tahun 1937 sampai tahun 1942. Beliau melatih penderita kusta dalam seni tarik suara, teater, olahraga sepak bola. Beliau juga membangun lapangan bola di desa Lau Simomo.

8. Njeno Sinuhaji yang memimpin mulai dari tahun 1942 sampai tahun 1947. Tidak banyak hal yang berkembang pada rumah sakit.

9. Ngalkal Brahmana yang memimpin mulai dari tahun 1947 sampai tahun 1948. Pada masa beliau memimpim rumah sakit tidak banyak mengalami perkembangan.

10. Pendeta Hengky Neumann yang memimpin mulai dari tahun 1948 sampai tahun 1958. Beliau membangun gedung induk, poliklinik, laboratorium, ruang tunggu, serta apotek. Ia juga membangun rumah-rumah kecil model rumah adat Karo


(56)

untuk tempat tinggal perderita kusta yang mondok.31

11. R. D. Sebayang yang memimpin mulai dari tahun 1958 sampai tahun 1964. Status Rumah Sakit Kusta Lau Simomo menjadi tanggung jawab Perintahan Daerah Kabupaten Karo. Kemudian diserahkan kepada Pemerintahan Tingkat I Provinsi Sumatera Utara.

Hengky Neumann merupakan anak dari Pendeta J. H. Neumann.

12. Dr. Go Sek Tiat yang memimpin mulai dari tahun 1964 sampai tahun 1966. Tidak banyak perubahan yang berarti pada rumah sakit.

13. Dr. Kaku Tarigan yang memimpin mulai dari tahun 1966 sampai tahun 1979. Dalam masa 13 tahun kepemimpinan beliau tidak menonjol kegiatan pelayanan maupun pengembangan rumah sakit bahkan terjadi demonstrasi pasien ke Dinas Kesehatan Tingkat I Provinsi Sumatera Utara karena ketidakpuasan atas pengelolaan rumah sakit yaitu tahun 1975 sampai 1976. Mereka menuntut hak tinggal anak-anak mereka sampai umur 17 tahun dengan tambahan jatah beras.

14. Dr. D. H. Munthe yang memimpin mulai dari tahun 1979 sampai tahun 1985. Penambahan gedung kantor meliputi ruang kerja kepala rumah sakit, keuangan, kantor kepala tata usaha, gudang dan garasi.

15. Dr. Selamat Sebayang yang memimpin mulai dari tahun 1985 sampai tahun 1990.

Dibangun sarana penunjang program rehabilitasi yaitu gedung fisioterapi, ruang operasi dan gedung ocupasi terapi.

16. Dr. Raihana yang memimpin mulai dari tahun 1985 sampai tahun 1992.

17. Dr. Sundari yang memimpin mulai dari tahun 1992 sampai tahun 1997.

31


(57)

18. Dr.Selamat Sebayang yang memimpin mulai dari tahun 1997 sampai tahun 1999.

19. Dr. Jalinson Saragih yang memimpin mulai dari tahun 1999 sampai tahun 2001.

20. Dr. Walman Simanjuntak yang memimpin mulai dari tahun 2001 sampai tahun 2004.

21. Dr. Budi Napitupulu yang memimpin mulai dari tahun 2004 sampai sekarang.32

3.4.3 Hambatan yang dihadapi rumah sakit

Dalam melayani pasiennya, Rumah Sakit Kusta Lau Simomo menghadapi berbagai kendala yang menyebabkan pelayanan rumah sakit ini kurang lancar. Kendala ini tidak hanya dari pihak rumah sakit, tetapi juga dari dalam diri pasien itu sendiri. Dari pihsk rumah sakit kendala-kendala itu masih ada dari sejak berdirinya Rumah Sakit Kusta Lau Simomo ada beberapa faktor antara lain:

a. Dari pihak rumah sakit - Dana

Kurangnya dana yang tersedia sangat mempengaruhi perkembangan rumah sakit itu karena untuk menjalankan suatu usaha, dana merupakan bagian yang sangat penting. Dengan dana yang memadai maka pelayanan yang diberikan akan lebih baik. - Sumber daya manusia (SDM)

Tenaga medis yang kurang menyebabkan penanganan terhadap pasien dapat terhambat.33

32

Mohtar Sinuhaji, 100 Tahun Jubelium Rumah Sakit Kusta Lau Simomo: tanpa penerbit, 2006.

Perbandingan jumlah pasien dan tenaga

33


(58)

medis tidak seimbang. Banyak tenaga medis yang tidak bersedia ditempatkan di desa yang terpencil. Pada umumnya tenaga medis dan dokter mau bekerja kalau ada dana khusus yang disebut dana “perdiem”. Biasanya dana ini muncul apabila ada sumbangan dari pihak luar. Kalau hanya mengandalkan dana dari pemerintah saja maka biasanya mereka hanya sekedar mempertahankan status mereka sebagai pegawai saja.34

b. Dari Pasien

Dari dalam diri pasien itu sendiri biasanya karena kurangnya kemauan untuk sembuh. Tidak adanya yang memberi motivasi menyebabkan pasien tidak bersemangat untuk berobat sehingga penyakitnya tidak mendapat perawatan sebagaimana mestinya. Kebanyakan pasien tersebut hanya merasa bahwa tidak ada gunanya untuk sembuh dan ada juga beberapa dari mereka yang pergi meninggalkan Desa Lau Simomo untuk jangka waktu yang lama. Kemudian mereka kembali lagi karena merasa tidak nyaman berada di daerah lain. Biasanya mereka ini pergi ke kota dan hidup sebagai pengemis pada persimpangan jalan dengan mengharapkan belas kasihan orang lain.35 Hal ini menyebabkan pihak rumah sakit sulit untuk mengobati dan memberantas penyakit kusta yang mereka derita.

34

Boedhi Hartono, opcit., hal. 195.

35


(59)

3.5 Subsidi Bagi Rumah Sakit dan Pasien

Dalam menjalankan pelayanan rumah sakit dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tidak hanya untuk membiayai perawatan rumah sakit tetapi juga pasien yang membutuhkan bantuan. Tahun pertama berdirinya rumah sakit, kebutuhan pasien ditanggung oleh keluarga masing-masing dan juga oleh Zending. Tapi lama-kelamaan bantuan keluarga berkurang bahkan akhirnya tidak ada lagi sama sekali. Untuk itu maka pasien yang sanggup bekerja mencoba untuk bercocok tanam di lahan rumah sakit. Tetapi ini juga tidak dapat memenuhi kebutuhan pasien yang membutuhkan biaya yang besar untuk penyembuhan penyakitnya. Karena itu, penginjil mencoba meminta bantuan kepada pemerintah daerah setempat, dinas kesehatan dan para dermawan. Setelah rumah sakit dibawah naungan Dinas Kesehatan Tingkat I Sumatera Utara, maka bantuan-bantuan yang datang semakin banyak.

1. Pemerintah

Sudsidi untuk anggaran rumah sakit dan pasien disediakan oleh pemerintah setiap tahun. Didalamnya termasuk untuk biaya operasional dan obat-obatan serta fasilitas- fasilitas rumah sakit, dan untuk pasien diberikan tunjangan berupa uang dan kebutuhan pokok setiap bulan.

2. Non Pemerintah

Bantuan yang datang tidak hanya dari pemerintah saja tetapi juga datang dari masyarakat yang peduli kepada pasien penderita penyakit kusta. Masyarakat dan organisasi-organisasi sering sekali memberikan bantuan walaupun tidak secara rutin. Biasanya bantuan yang diberikan berupa pakaian, kebutuhan pokok, uang dan juga pelayanan rohani. Bantuan yang diberikan langsung kepada masyarakat, tidak melalui rumah sakit.


(60)

BAB IV

PERANAN RUMAH SAKIT KUSTA LAU SIMOMO BAGI

MASYARAKAT DESA LAU SIMOMO

4.1 Dalam Bidang Kesehatan

Peranan Rumah Sakit Kusta Lau Simomo tidak hanya dirasakan manfaatnya oleh pasiennya saja tetapi juga masyarakat umum. Penularan penyakit kusta dapat dicegah dengan adanya usaha rehabilitasi sebagai tempat khusus bagi penderita kusta.36 Penanganan rumah sakit sebagai tempat rehabilitasi pemberantas penyebaran penyakit kusta kepada masyarakat. Prof. W. Schumffner mengatakan bahwa sebelum injil tiba di Tanah Karo, penduduk berkisar 120.000 jiwa. Diperkirakan lebih kurang 70.000 jiwa bermukim di dataran tinggi Karo dan 50.000 jiwa tinggal di dataran rendah. Dan diperkirakan ada 0,02 % orang Karo mengidap penyakit kusta pada saat itu. Prof. W. Schumffner merupakan salah satu yang terlibat dalam melayani penderita penyakit kusta di Tanah Karo pada tahun 1913.37

Seperti yang kita ketahui bahwa penderita kusta mendapat perlakuan yang tidak baik dari lingkungan masyarakat dahulu. Asumsi yang ada pada saat itu bahwa penyakit kusta adalah penyakit yang datang akibat kutukan. Mereka terasing dari masyarakat, dikucilkan dan dibenci. Masyarakat tidak peduli dengan penderita kusta. Mereka diperlakukan dengan tidak manusiawi. Mereka disingkirkan dari pergaulan Melihat jumlah penderita tersebut, bukan tidak mungkin penyebaran penyakit kusta akan berkembang pesat di kalangan masyarakat apabila tidak ditanggulangi dengan cepat dan akan menimbulkan masalah sosial.

36

Adhi Djuanda, opcit., hal.

37


(61)

umum. Tidak jarang mereka itu dibunuh karena masyarakat takut tempat tinggal mereka mendapat malapetaka.

Keadaan inilah yang dilihat oleh Ven den Berg pada saat itu. Dia melihat bagaimana masyarakat tega membunuh seorang penderita kusta. Gubuk tempat tinggal penderita kusta tersebut dimana sengaja saat si penderita kusta ada di dalamnya dibakar. Pengalaman ini pulalah yang mendorong beliau untuk membantu mereka. Sampai akhirnya didirikannya Rumah Sakit Kusta Lau Simomo sebagai wujud nyata perhatiaan Van den Berg terhadap penderita kusta.

Masyarakat yang berdekatan dengan lokasi rumah sakit kusta ini sepert desa Guru Benua yakni desa yang berbatasan langsung di sebelah Timur desa Lau Simomo. Pada awalnya, mereka kurang setuju akan keberadaan rumah sakit ini. Mereka takut tertular penyakit kusta tersebut. Dan pada saat itu penyakit kusta masih sulit untuk disembuhkan karena belum ditemukan obat-obatan yang secanggih saat ini.

Masyarakat sangat sulit menerima kehadiran penderita kusta tersebut. Bahkan keturunan mereka turut merasakan penderitaan orang tua mereka. Seringkali mereka dicemooh oleh anak-anak dari desa tetangga mereka. Karena itu, Zending memindahkan anak-anak tersebut ke desa Suka Makmur di Sibolangit. Mereka dididik dan dibesarkan di sana. Pemerintah Zending takut mental anak-anak tersebut teganggu. Mereka akan rendah diri dan tidak bebas berkreasi. Seperti yang dituturkan oleh salah seorang penderita kusta bahwa keenam anaknya dibesarkan dan dididik di Suka Makmur hingga mereka menikah dan sekarang hidup mapan.38

Hubungan antara desa yang berada disekitar Lau Simomo dengan desa Lau Simomo tersebut tidak baik. Memang tidak ada protes dengan perusakan gedung,

38


(62)

namun mereka memperlakukan penderita kusta tersebut secara tidak baik. Anti sosial terhadap penderita kusta sangat kental. Di dalam angkutan umum yang membawa mereka ke kota Kabanjahe, penderita kusta ditempatkan di tempat yang paling belakang walaupun masih ada tempat yang kosong di depan. Bahkan diskriminasi harga barang-barang yang mereka jual pun terjadi pada saat itu. Penderita kusta juga tidak bebas berkeliaran di kota karena takut akan terjadi keributan di tempat keramaian tersebut. Masyarakat mulai dapat menerima penderita kusta sejak mereka memahami bahwa penyakit kusta bukan penyakit kutukan dan dapat disembuhkan. Namun perlakuan menyakitkan tersebut masih diterima oleh penderita kusta tersebut berlangsung hingga tahun 1980.39

Penambahan fasilitas rumah sakit sangat membantu proses pelayanan kesehatan tanpa harus dirujuk ke rumah sakit yang lebih lengkap fasilitasnya. Karena dapat langsung ditangani dengan cepat sehingga mempercepat penyembuhan pasien. Adapun gedung-gedung yang dibangun untuk kelancaran pelayanan rumah sakit ini pada tahun 1980 sampai tahun 1990 tertera dalam tabel di berikut ini:

39


(63)

Tabel 4.1.1

Gedung-Gedung yang Dibangun Tahun 1980-1990

No Nama Tahun

1 Gedung administrasi 1983 2 Gedung ruang dokter 1983

3 Dapur 1987

4 Gedung fisioterapi 1987 5 Gedung generator 1987

6 Kamar mayat 1988

7 Kamar operasi 1988

Sumber: Staff Tata Usaha Rumah Sakit Kusta Lau Simomo Tahun 1980-1990

Rumah Sakit Kusta Lau Simomo ini tentu saja sangat berperan besar bagi para penderita kusta. Di tempat ini mereka bisa kembali pulih seperti sediakala. Tempat ini juga memberikan kehidupan yang layak bagi mereka. Tidak ada lagi yang dikucilkan, dibunuh ataupun dianggab sebagai sumber malapetaka bagi masyarakat. Mereka juga bisa kembali bersosialisasi dengan lingkungan sekitar mereka.

Harapan baru tumbuh kembali seiring sembuhnya penyakit mereka. Tidak lagi tergantung kepada sanak saudara ataupun bantuan dari orang lain, tetapi sudah dapat mencari nafkah sendiri. Walaupun dengan tenaga medis yang terbatas, rumah sakit ini sungguh-sungguh memberikan pelayanan yang berarti bagi pasien-pasien kusta yang dirawat di sana. Saling pengertian antara sesama juga memberikan sumbangsih yang sangat besar terhadap sesama penderita kusta. Salah satu obat yang sangat besar pengaruhnya terhadap kesembuhan pasien adalah adanya dorongan


(64)

ataupun motivasi dari sesama yang dapat menumbuhkan keinginan untuk sembuh dari dalam diri pasien. Dari pengalaman pengelola pemberantasan penyakit kusta dan rumah sakit kusta (Soewono,1997) menyimpulkan bahwa pengobatan penyakit kusta mempunyai kendala bukan saja dari aspek biomedis tetapi lebih kepada aspek persepsi dan partisipasi masyarakat untuk mendukung proses penyembuhan dan rehabilitasi.40

Untuk itu diperlukan suatu pendekatan sosial budaya untuk pemberantasan seperti penyuluhan-penyuluhan kepada masyarakat akan bahaya penyakit kusta yang apabila tidak ditangani dengan baik maka dapat menular kepada siapa saja. Penyuluhan ini bertujuan agar masyarakat menyadari akan bahaya penyakit kusta dan menyadari bahwa beratnya beban para penderita kusta. Dan diharapkan dukungan dari masyarakat untuk memotivasi penderita kusta untuk sembuh dan tidak merendahkan ataupun menghina mereka lagi. Pendekatan ini akan mempercepat proses pemberantasan penularan penyakit kusta dan keinginan yang besar untuk sembuh dari penderita kusta.

Asumsi yang dibangun oleh masyarakat dahulu kepada penderita kusta sangat berpengaruh besar dalam diri penderita kusta. Walaupun telah sembuh dari penyakitnya, mereka lebih memilih menetap di desa Lau Simomo. Dapat dilihat dari penduduk Lau Simomo yang kebanyakan penduduknya adalah keturunan dari penderita kusta yang telah sembuh. Mereka hidup berumah tangga dengan sesama penderita kusta. Salah satu keluarga dimana si suami dan si istri merupakan bekas pasien kusta tinggal di desa Lau Simomo menyatakan bahwa Lau Simomo merupakan

40

Boedhi Hartono, Usaha Pengendalian Kusta Dan Aspek Sosial Budaya (dalam buku Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1997, Hal 193.


(1)

Lampiran 6

Tugu peringatan 100 tahun jubelium Rumah Sakit Kusta Lau Simomo yang diresmikan pada tahun 2006.

Sumber: dokumentasi pribadi

Lampiran 7

Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) yang dibangun pada tahun 1923, pada awalnya bernama Gereja Oikumene.Letak gereja ini berada dibelakang bangunan rumah sakit Sumber: dokumentasi pribadi


(2)

Lampiran 8

Rumah – rumah kecil model rumah Adat Karo yang dibangun tahun 1948 oleh Hengky Neumann sebagai tempat tinggal penderita penyakit kusta yang mondok. Sumber: dokumentasi pribadi

Lampiran 9

Rumah-rumah kecil yang ada di belakang gereja GBKP Sumber: dokumentasi pribadi


(3)

Lampiran 10

“Rumah Gulbak”, yaitu ruangan inap penderita kusta yang terbuat dari tanah dan atap daun ilalang.Tetapi sekarang ini sudah tidak ada lagi rumah gulbak.

Sumber: buku Sejarah Pemukiman dan Rumah Sakit Kusta Lau Simomo

Lampiran 11

Peta yang menunjukkan lokasi desa Lau Simomo yang dibuat oleh Belanda Sumber: dokumentasi pribadi


(4)

Lampiran 12

Penderita kusta di Lau Simomo

Sumber: buku Sejarah Pemukiman dan Rumah Sakit Kusta Lau Simomo

Lampiran 13

Salah satu pasien rumah sakit kusta yang mondok Sumber: dokumentasi pribadi


(5)

Lampiran 14

Ciri – ciri orang yang mengidap penyakit kusta Sumber: atlas kusta


(6)

Lampiran 15

Ciri – ciri orang yang mengidap penyakit kusta Sumber: Atlas Kusta