BAB III KEBERADAAN RUMAH SAKIT KUSTA LAU SIMOMO
3.1 Sebelum Berdirinya Rumah Sakit Kusta Lau Simomo
Kedatangan penginjil ke Tanah Tinggi Karo tepatnya tahun 1890 bukan semata untuk tujuan rohani seperti tujuan penginjilan yang ada di daerah lain seperti
penginjilan di daerah Batak. Penginjilan di daerah Batak memang murni dengan tujuan mengenalkan agama Kristen di daerah Batak karena daerah tersebut belum
dimasuki oleh pengaruh agama Islam dan masih menganut kepercayaan lama, berbeda dengan daerah lain seperti Mandailing yang sudah berkembang agama Islam.
Sedangkan penginjilan di Tanah Tinggi Karo dibuat untuk tujuan kepentingan keamanan Belanda karena pada saat itu perlawanan masyarakat Karo sangat sulit
dihentikan. Seringkali perkebunan tembakau Belanda, Deli Mij dibakar oleh mereka. Selain itu, Belanda merasa tidak nyaman karena tindakan-tindakan orang
Karo tersebut. Perlawanan ini awalnya terjadi karena usaha Belanda untuk memperluas lahan perkebunan sampai kepada daerah yang mayoritas penduduknya
adalah etnis Karo. Tentu saja masyarakat di daerah tersebut memberontak. Untuk mengatasi perlawanan-perlawanan tersebut, maka atas usulan T. J. Creamer, salah
seorang pimpinan perkebunan di Sumatera Timur untuk melakukan sesuatu pengenalan agama terhadap penduduk. Ini dimaksudkan untuk mendekati mereka.
Menurut beliau, dengan mengkristenkan, maka mereka akan mudah untuk dijinakkan sehingga perkebunan Deli Mij akan aman dan kekacauan pun dapat diredam. Untuk
mewujudkan usaha tersebut, maka Creamer mengajak pengusaha-pengusaha perkebunan Belanda mengumpulkan dana untuk membiayai para penginjil yang telah
disepakati oleh Lembaga Pekabaran Injil atau Nederlandsche Zendeling Genootschap
Universitas Sumatera Utara
NZG di negeri Belanda. Pada tahun 1890 tibalah penginjil pertama di desa Buluh Awar. Penginjil yang dikirim itu adalah Pendeta H. C. Kruyt, Nicolas Pontoh dan
Tomohon.
25
Penginjilan yang pertama di Tanah Tinggi Karo dilakukan oleh Pendeta Van den Berg. Penginjil yang mereka kirim untuk mengkristenkan Tanah Karo mulai
berhasil. Dia melakukan pendekatan terhadap penguasa di daerah Kabanjahe yaitu Sibayak Pa Pelita. Setelah menetap di Kabanjahe, beliau melihat banyak sekali
penderita kusta di daerah tersebut. Dia juga melihat bagaimana mereka diasingkan dari masyarakat setempat dan diperlakukan dengan kejam. Dan bagi penderita kusta
tidak boleh bercampur dengan masyarakat dan tidak boleh memakai fasilitas-fasilitas umum seperti pancuran untuk tempat mandi dan jambur dilarang atau tidak boleh
digunakan oleh penderita kusta tersebut. Jambur adalah tempat pertemuan masyarakat Karo untuk berkumpul atau jika ada pesta-pesta.
Tetapi hasilnya tidaklah memuaskan karena orang-orang Karo masih belum bisa menerima apa yang mereka ajarkan dan bahkan mereka menganggab
penginjil tersebut adalah musuh karena mereka datang atas nama Belanda. Namun kemudian misi zending ini masuk ke Tanah Tinggi Karo tepatnya di Kabanjahe pada
tahun 1905.
Melihat kejadian tersebut, Van den Berg merasa iba dan dia berusaha untuk meringankan penderitaan mereka. Awalnya, dia merawat penderita kusta tersebut di
rumahnya. Lama-kelamaan penderita kusta yang datang makin banyak. Hal ini membuat masyarakat Kabanjahe tidak senang dan protes ke pemerintah setempat.
Protes ini akhirnya sampai kepada Asisten Residen Westen Berg yang berada di
25
P. Sinuraya, Diakonia GBKP Sejarah Pelayanan Diakonia NZG di Tanah Karo 1890-1940, Medan: Merga Silima , 1997, hal. 26.
Universitas Sumatera Utara
Saribudolok.
26
Sibayak Pa Pelita kemudian mengusulkan agar lokasi untuk pemukiman tersebut dibangun di Lau Simomo. Desa tersebut berjarak 10 km dari kota Kabanjahe.
Bulan Juli 1906 Westen Berg mendatangi Van den Berg untuk meminta keterangan yang sesungguhnya. Van den Berg menjelaskan bahwa penularan
penyakit kusta akan meningkat apabila tidak dilakukan pengobatan bagi penderita. Akhirnya Westen Berg dapat mengerti penjelasan tersebut dan menganjurkan kepada
Van den Berg untuk segera menyelesaikan masalah tersebut. Atas dasar tersebut, Van den Berg meminta persetujuan dari sibayak Pa Pelita selaku penguasa daerah tersebut
untuk merundingkan tempat pemukiman bagi penderita kusta agar masyarakat tidak protes lagi. Sibayak Pa Pelita menyetujui permintaan tersebut mengingat dia juga
mempunyai saudara yang mengidap penyakit kusta sehingga beliau juga menyadari bagaimana penderitaan akibat penyakit kusta itu.
3.2.Sesudah Berdirinya Rumah Sakit Kusta Lau Simomo
Berdirinya Rumah Sakit Kusta Lau Simomo tidak terlepas dari besarnya peranan orang Belanda melalui Nederlandsche Zendeling Genootschap NZG,
mereka dengan cara pertamanya mengirimkan penginjil ke Tanah Tinggi Karo. Penginjil yang bernama Van den Berg mendirikan rumah sakit kusta itu pada tahun
1906. Pada awalnya Rumah Sakit Kusta Lau Simomo bersifat leprosarium yaitu
usaha pengobatan dan penampungan para penderita kusta. Istilah rumah sakit belum cocok untuk menggambarkan penampungan kusta tersebut pada waktu itu.
Karena sarana dan prasarana perlengkapan kesehatan yang belum memadai sehingga pelayanan kepada penderita kusta sangat lambat. Keterbatasan dana dari
26
Batara Sangti, 1997:143. Western Berg pada tahun 1888 diangkat sebagai “Controleur voor de Batacshe aangelenheden”, yang berkedudukan di Medan. Tahun 1904, Western Berg diangkat menjadi Assisten
Resident di Saribudolok. Pada tahun 1908 diangkat menjadi Resident di Tapanuli.
Universitas Sumatera Utara
NZG menjadi salah satu penyebab lambatnya pelayanan kusta. Untuk tempat tinggal para penderita kusta dibangun pondok-pondok kecil dari bambu dan ilalang. Untuk
mengurangi udara dingin masuk ke dalam pondok digunakan lumpur untuk melapisi pondok tersebut. Awal adanya pemukiman orang kusta itu tempat tinggal mereka
sederhana sekali. Sebelumnya memang sudah ada poliklinik untuk pengobatan para penderita
kusta. Tetapi tempatnya sangat jauh dari desa Lau Simomo dan mereka harus berjalan jauh dari desa Lau Simomo ke Kabanjahe karena poliklinik hanya ada di sana.
Poliklinik ini menjadi cikal bakal pembangunan Rumah Sakit Zending NZG di Kabanjahe. Rumah sakit tersebut sekarang dikenal dengan nama Rumah Sakit Umum
Kabanjahe. Seharusnya poliklinik ini dibangun di desa Lau Simomo, namun karena alat transportasi masih sulit dijangkau oleh dokter perkebunan Deli Mij, maka
diputuskan dibangun di Kabanjahe. Ruang inap di penampungan kusta terbuat dari tanah yang biasa disebut
dengan ‘rumah gulbak’. Dalam bahasa Karo gulbak artinya tanah. Dan beberapa tahun kemudian perawatan dan pengobatan penderita kusta dipindahkan ke desa Lau
Simomo. Pada masa pelayanan Pendeta L. Bodaan tahun 1915, NZG mengirimkan
tenaga perawat dari Belanda yang ditugaskan di rumah sakit pembantu di Kabanjahe. Setelah rumah sakit pembantu tersebut ditutup, kemudian ia ditugaskan di Lau
Simomo. Sejak saat itu, pencegahan infeksi kusta mulai dilakukan dengan cara mencuci tangan dan kaki para penderita kusta dengan obat khusus.
Tahun 1930 Pendeta H. Vuurmans menjabat sebagai pimpinan rumah sakit ini. Saat itu, keadaan rumah sakit mengalami kemajuan. Mulailah dibangun ruang
rawat inap, apotek yang merangkap sebagai ruang laboratorium, ruang rontgen, serta
Universitas Sumatera Utara
ruang amputasi. Pelayanan tenaga medis yakni para dokter didatangkan dari Rumah Sakit Umum RSU Kabanjahe, sedangkan untuk tenaga perawat dipakai pasien kusta
yang sudah sembuh. Mereka terlebih dahulu diajari dan dilatih cara-cara untuk merawat pasien. Kepemimpinan Vuurmans berakhir tahun 1934.
Vuurman digantikan oleh Pendeta J. H. Neumann. Pada masa Pendeta Neumann Rumah Sakit Kusta Lau Simomo mengalami kemajuan pesat. Poliklinik ini
telah berfungsi selayaknya sebagai rumah sakit yang layak untuk melayani penderita kusta.
Namun keadaan ini tidak berlangsung lama. Pendudukan Jepang 1942 di Indonesia turut mempengaruhi aktivitas Rumah Sakit Kusta Lau Simomo. Kegiatan
rumah sakit sangat terganggu dan tidak dapat dioperasikan dengan baik. Tentara Jepang merampas barang-barang rumah sakit dan juga obat-obatan yang tersedia.
Pendeta Jansen Schoonhoven, pimpinan Rumah Sakit Kusta Lau Simomo pada saat itu, ditangkap oleh serdadu Jepang.
Setelah pendudukan Jepang berakhir, pengelolaan rumah sakit diserahkan kembali ke tangan Belanda. Pendeta J. H. Neumann kembali menjadi pimpinan rumah
sakit sampai akhirnya rumah sakit kusta ini dipegang diserahkan pengelolaannya ke pemerintah Indonesia.
Dari keterangan yang penulis dapatkan bahwa pergantian pengelola Rumah Sakit Kusta Lau Simomo dialihkan sesuai dengan pergantian pemerintahan Indonesia.
Adapun pergantian ini dapat dilihat rinciannya sebagai berikut: a.
tahun 1906-1942 dikelola oleh Nederlandsche Zendeling Genootschap NZG
b. tahun 1945 diambil-alih oleh pemerintah Republik Indonesia setelah
pendudukan Jepang berakhir di Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
c. Tahun 1948 pemerintah Belada kembali mengambil-alih rumah sakit
d. Tahun 1950 diambil-alih oleh Gereja Batak Karo Protestan GBKP
e. Tahun 1959 pemerintah Daerah Tingkat II DATI II Karo mengambil-
alih operasional Rumah Sakit Kusta Lau Simomo. f.
Kemudian tahun 1960, kepengurusan Rumah Sakit Kusta Lau Simomo diserahkan kepada pemerintah Tingkat I Sumatera Utara karena
ketidakmampuan dana dari Tingkat Kabupaten. Rumah Sakit Kusta Lau Simomo tersebut berada dibawah naungan Dinas Kesehatan Tingkat I
Sumatera Utara. Proses pergantian kepengurusan Rumah Sakit Kusta Lau Simomo dilakukan
secara bertahap. Namun pegawai-pegawai yang bertugas di rumah sakit ini masih sama seperti sebelumnya. Walaupun pengelolaan rumah sakit sudah diserahkan
kepada Pemerintah Daerah Tingkat I. Jadi dana operasional dan gaji pegawai rumah sakit berasal dari pemerintah Tingkat I Sumatera Utara. Pelayanan rumah sakit
semakin baik dari hari ke hari. Baik dari segi sarana maupun prasarana yang disediakan. Ketika Dr D. H. Munthe menjabat sebagai kepala rumah sakit, Rumah
Sakit Kusta Lau Simomo tersebut telah memiliki fasilitas yang baik dan memadai. Pada tahun 1982, Rumah Sakit Kusta Lau Simomo berubah menjadi Unit
Pelayanan Tekhnis UPT sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur Daerah Tingkat I Sumatera Utara Nomor 441-117k. Tahun 1982 juga terjadi pembentukan susunan
organisasi dan tata kerja unit pelayanan teknis Dinas Kesehatan Daerah Tingkat I Sumatera Utara.
Rumah Sakit Kusta Lau Simomo ini merupakan rumah sakit kelas E yaitu rumah sakit khusus special hospital yang melayani penyakit kusta saja atau
Universitas Sumatera Utara
menyelenggarakan hanya satu macam pelayanan kedokteran saja.
27
Sama halnya dengan rumah sakit paru yang hanya menangani masalah paru, rumah sakit jiwa yang
melayani masalah psikologis.
3.3 Sekilas Tentang Penyakit Kusta