Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Permasalahan tenaga kerja di Indonesia akhir-akhir ini semakin kompleks. Hal ini dapat diamati dari jumlah pengangguran yang terus meningkat dan terbatasnya lapangan pekerjaan yang tersedia saat ini. Pengangguran yang terjadi merupakan lulusan jenjang pendidikan SMA dan perguruan tinggi, dari tahun ke tahun populasi pengangguran terdidik di Indonesia bukannya malah surut tetapi bertambah mengingat pertumbuhan anak usia sekolah dan para pencari kerja dari tahun ke tahun makin meningkat. Sementara itu lapangan pekerjaan di negara ini tidak bertumbuhkembang dengan cepat dan sangat sulit bertambah jumlahnya secara signifikan Media Indonesia, 2011. Sulitnya mencari pekerjaan setelah lulus dari perguruan tinggi memang bukan fenomena baru di Indonesia. Berbagai upaya pun telah dilakukan pemerintah untuk membuka lapangan kerja seluas-luasnya bagi masyarakat. Namun pada kenyataannya, hal ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Jumlah pengangguran negeri ini tidak lantas berkurang drastis Afrilia, 2010. Fenomena ironis yang muncul di dunia pendidikan di Indonesia adalah semakin tinggi pendidikan seseorang, probabilitas atau kemungkinan seseorang menjadi penganggur pun semakin tinggi. Apabila dilihat dari tingkat pendidikan, mengutip data dari Badan Pusat Statistik BPS, 2010 jumlah orang yang bekerja dengan pendidikan sarjana hanya sekitar 4,94 juta orang 4,60 sedangkan Universitas Sumatera Utara tingkat pengangguran dengan pendidikan sarjana sebesar 14,23. Padahal masih terdapat 2 juta hingga 3 juta pencari kerja baru setiap tahunnya. Tidak seimbangnya jumlah lulusan perguruan tinggi dengan lapangan kerja yang tersedia dilansir banyak pihak sebagai penyebab utama. Harian pikiran rakyat 2010 menyebutkan bahwa setiap tahun perguruan tinggi terus mencetak ratusan ribu bahkan jutaan lulusan sementara lapangan kerja tidak bertambah secara signifikan dan pada akhirnya, perguruan tinggi pun sempat dicap sebagai pencetak pengangguran terdidik. Kewirausahaan pun kemudian digaungkan pemerintah dan perguruan tinggi untuk mencegah semakin tingginya pengangguran di Indonesia. Sebuah solusi yang sepertinya masuk akal mengingat jumlah wirausaha di Indonesia memang masih sangat minim karena idealnya sebuah negara memiliki wirausaha sedikitnya dua persen dari jumlah penduduknya sementara di Indonesia, jumlah wirausaha baru sekitar 0,18 persen atau sekitar 400.000 orang. Padahal jumlah ideal dari total penduduk 220 juta jiwa adalah 4,4 juta wirausaha. Kondisi tersebut didukung pula oleh kenyataan bahwa sebagian besar lulusan Perguruan Tinggi adalah lebih sebagai pencari kerja daripada pencipta lapangan pekerjaan. Hal ini bisa jadi disebabkan karena sistem pembelajaran yang diterapkan di berbagai perguruan tinggi saat ini lebih berfokus pada bagaimana menyiapkan para mahasiswa yang cepat lulus dan mendapatkan pekerjaan, bukannya lulusan yang siap menciptakan pekerjaan Bambang, 2009. Pada kenyataannya, intensi berwirausaha kurang menyentuh pada kalangan mahasiswa itu sendiri karena menanamkan jiwa wirausaha pada mahasiswa tidaklah mudah. Walaupun pihak perguruan tinggi sudah berupaya Universitas Sumatera Utara untuk mendorong agar mahasiswanya mulai memilih berwirausaha sebagai pilihan karirnya dengan cara memberi kurikulum yang telah memasukkan pelajaran atau mata kuliah kewirausahaan. Namun demikian, hasilnya masih belum terlihat. Para lulusan perguruan tinggi masih saja enggan untuk langsung terjun sebagai wirausahawan, dibuktikan dengan angka pengangguran terdidik yang ternyata malah makin meningkat Afrilia, 2010. Hal serupa juga diungkapkan oleh Halim dan Sahnan dalam Afrilia 2010 yang menambahkan bahwa dari puluhan ribu sarjana yang merupakan lulusan baru, hanya sekitar 18 yang berminat menjadi wirausaha. Kondisi ini kurang mendukung program pemerintah dengan mengurangi angka pengangguran kalangan terdidik dari perguruan tinggi, sebab 82 dari mereka cenderung menjadi karyawan kantor. Banyak orang yang beranggapan bahwa untuk memulai bisnis bukanlah hal yang mudah karena banyak pertimbangan yang harus dipikirkan sehingga tak jarang membuat orang urung memulai bisnis. Akan tetapi apabila sudah berkecimpung di sektor bisnis yang sangat kompetitif dan peka terhadap pengaruh lingkungan, seorang wirausaha banyak dituntut untuk terus berinisiatif, kreatif, dinamis, agresif dan selalu harus mampu mengantisipasi tuntutan lingkungan yang terus tumbuh sehingga dapat mematangkan pola berpikir dan kehidupan kita untuk terus menempa jiwa wirausaha dan diharapkan mampu bekerja sama dengan penuh tanggung jawab dalam setiap penugasan yang dibebankan kepadanya Afrilia, 2010. Selain itu dalam sektor pendidikan yang relatif tidak atau kurang kompetitif tetap membutuhkan manusia wirausaha sehingga diperlukan adanya Universitas Sumatera Utara pemahaman tentang bagaimana mengembangkan dan mendorong lahirnya wirausaha-wirausaha muda yang potensial Afrilia, 2010. Wirausaha itu adalah seseorang yang bebas dan memiliki kemampuan untuk hidup mandiri dalam menjalankan kegiatan usahanya atau bisnisnya atau hidupnya. Ia bebas merancang, menentukan mengelola, mengendalikan semua usahanya. Sedangkan kewirausahaan adalah suatu sikap, jiwa dan kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru yang sangat bernilai dan berguna bagi dirinya dan orang lain. Kewirausahaan merupakan sikap mental dan jiwa yang selalu aktif atau kreatif berdaya, bercipta, berkarsa dan bersahaja dalam berusaha dalam rangka meningkatkan pendapatan dalam kegiatan usahanya atau kiprahnya. Hartini dalam Wijaya, 2007 mengemukakan bahwa pada kenyataannya banyak lulusan perguruan tinggi yang belum siap bekerja dan menjadi pengangguran, beberapa diantaranya lebih senang menjadi pegawai atau buruh dan hanya sedikit sekali yang berkeinginan atau tertarik untuk berwirausaha, dan bahkan ada yang tidak ingin untuk berwirausaha. Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian Hartini dalam Wijaya, 2007 yang menyatakan bahwa sampai saat ini di antara mahasiswa-mahasiswa lulusan perguruan tinggi tidak banyak yang berorientasi dan berniat untuk bekerja sendiri atau berwirausaha dengan bekal ilmu pengetahuan yang telah diperoleh. Ada yang tertarik berwirausaha dan ada yang tidak berkeinginan untuk melakukan wirausaha. Keinginan untuk melakukan hal tersebut oleh Fishbein dan Ajzen 1975 disebut sebagai intensi. Fishbein Ajzen 1975 dalam hal ini mendefinisikan intensi sebagai suatu komponen dalam diri indifidu yang mengacu pada keinginan untuk Universitas Sumatera Utara melakukan tingkah laku tertentu. Lebih lanjut Ajzen dalam Linan Chen, 2006 menyatakan bahwa adanya intensi terhadap suatu tingkah laku akan menjadi prediktor terbaik dari munculnya tingkah laku tersebut di masa depan. Salah satu pengamat pendidikan, Darmaningtyas 2008 menyatakan ada kecenderungan, semakin tinggi tingkat pendidikan semakin besar keinginan mendapat pekerjaan yang aman. Individu-individu tersebut tak berani ambil pekerjaan berisiko seperti berwirausaha. Pilihan status pekerjaan utama para lulusan perguruan tinggi adalah sebagai karyawan atau buruh, dalam artian bekerja pada orang lain atau instansi atau perusahaan secara tetap dengan menerima upah atau gaji rutin. Orientasi pada mencari kerja bukan pada memberi pekerjaan mengesankan bahwa bidang wirausaha kurang dapat menyentuh intensi para mahasiswa. Kondisi yang terjadi di lapangan masih banyak ditemui mahasiswa ataupun lulusan perguruan tinggi yang kurang siap bersaing dalam merebut pasar pekerjaan yang ada Afrilia, 2010. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi intensi berwirausaha termasuk diantaranya faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal mencakup lingkungan keluarga dan pendidikan. Sedangkan faktor internal, terdiri atas nilai personal, usia dan jenis kelamin wijaya, 2007. Nilai personal sebagai salah satu faktor internal yang mempengaruhi kecendrungan berwirausaha dibentuk oleh motivasi, dan optimisme individu. Motivasi, optimisme, kecerdasan untuk mengatasi kesulitan, kemampuan untuk bertahan, dan terus berjuang dengan gigih dibutuhkan individu untuk menghadapi Universitas Sumatera Utara kesulitan, dimana stolzt 2000 menyebutkannya dengan istilah Adversity Quotient. Stoltz 2000 mengatakan bahwa individu yang memiliki kemampuan untuk bertahan dan terus berjuang dengan gigih ketika dihadapkan pada suatu problematika hidup, penuh motivasi, antusiasme, dorongan, ambisi, semangat, serta kegigihan yang tinggi, dipandang sebagai figur yang memiliki Adversity Quotient yang tinggi. Sedangkan individu yang mudah menyerah, pasrah begitu saja pada takdir, pesimistik dan memiliki kecenderungan untuk senantiasa bersikap negatif, dapat dikatakan sebagai individu yang memiliki tingkat Adversity Quotient yang rendah. Harefa 1998 menyatakan bahwa setiap orang yang memiliki keberanian untuk mengambil keputusan dapat belajar menjadi wirausaha, dan berperilaku seperti wirausaha sepanjang ada keinginan membuka hati dan pikiran untuk belajar, maka kesempatan untuk menjadi seorang wirausaha tetap terbuka. Semua orang berpotensi untuk menjadi wirausaha, khususnya mahasiswa yang dianggap sebagai penerus bangsa diharapkan mampu menjadi tulang punggung Negara sehingga dengan hasil pendidikan yang dikuasainya mampu menciptakan lapangan kerja, bukan menambah jumlah pengangguran setelah ia lulus dari sebuah perguruan tinggi dan diharapkan mampu bekerja dengan baik dilihat dari segi ilmu maupun teknis lapangan dan sebisa mungkin seorang mahasiswa dituntut untuk berpikir secara kreatif terhadap peluang bisnis yang ada di masyarakat dan berani mencoba untuk memulai usaha. Ada beberapa hal mengapa mahasiswa tidak tertarik berwirausaha setelah lulus adalah karena tidak mau mengambil resiko, takut gagal, tidak memiliki Universitas Sumatera Utara modal dan lebih menyukai bekerja pada orang lain. Lebih lanjut dijelaskan bahwa individu tidak tertarik berwirausaha karena kurang memiliki motivasi dan tidak memiliki semangat serta keinginan untuk berusaha sendiri. Akibatnya individu berfikir bahwa berwirausaha merupakan sesuatu yang sulit untuk dilakukan dan lebih senang untuk bekerja pada orang lain Wijaya, 2007. Rendahnya intensi berwirausaha pada mahasiswa karena ragu-ragu dan takut gagal sehingga mereka tidak siap menghadapi rintangan yang ada. Dengan demikian hanya individu yang berani mengambil resiko serta memiliki kecerdasan menghadapi rintangan sajalah yang memiliki intensi berwirausaha yang tinggi Wijaya, 2007. Gorman, Kourilsky dan Walstad dalam Indarti Rostiani, 2008 dari beberapa penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa keinginan berwirausaha pada mahasiswa merupakan sumber bagi lahirnya wirausaha-wirausaha masa depan. Sikap, perilaku dan pengetahuan mereka tentang kewirausahaan akan membentuk kecenderungan mereka untuk membuka usaha-usaha baru di masa mendatang. Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Adversity Quotient sebagai prediktor bagi intensi berwirausaha pada mahasiswa”.

B. Perumusan Masalah