seorang wirausahawan memiliki tiga dasar motif sosial : motif untuk berprestasi, motif untuk berafiliasi menjalin persahabatan, dan motif untuk berkuasa. Dari
perbandingan keduanya ternyata seorang wirausaha terlihat jelas memiliki motif berprestasi yang menonjol sangat tinggi dibandingkan dengan individu yang
tidak tertarik berwirausaha. Berdasarkan uraian di atas maka faktor-faktor yang mempengaruhi intensi
berwirausaha adalah faktor eksternal yaitu lingkungan keluarga, dan pendidikan. Sedangkan faktor internal yaitu nilai personal, usia dan jenis kelamin.
B. Adversity Quotient AQ
1. Pengertian Adversity Quotient
Adversity Quotient, merupakan suatu penilaian yang mengukur bagaimana respon seseorang dalam menghadapai masalah untuk dapat diberdayakan menjadi
peluang. Adversity Quotient dapat menjadi indikator seberapa kuatkah seseorang dapat terus bertahan dalam suatu pergumulan, sampai pada akhirnya orang
tersebut dapat keluar sebagai pemenang, mundur di tengah jalan atau bahkan tidak mau menerima tantangan sedikit pun.
Adversity Quotient AQ adalah kecerdasan untuk mengatasi kesulitan. AQ mempunyai tiga bentuk. Pertama, AQ adalah suatu kerangka kerja konseptual
yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan. Kedua, AQ adalah suatu ukuran untuk mengetahui respons terhadap kesulitan, dan yang
ketiga, AQ adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respons terhadap kesulitan Stoltz, 2000.
Universitas Sumatera Utara
Stoltz 2000 menambahkan bahwa individu yang memiliki kemampuan untuk bertahan dan terus berjuang dengan gigih ketika dihadapkan pada suatu
problematika hidup, penuh motivasi, antusiasme, dorongan, ambisi, semangat, serta kegigihan yang tinggi, dipandang sebagai figur yang memiliki Adversity
Quotient yang tinggi, sedangkan individu yang mudah menyerah, pasrah begitu saja pada takdir, pesimistik dan memiliki kecenderungan untuk senantiasa
bersikap negatif, dapat dikatakan sebagai individu yang memiliki tingkat Adversity Quotient yang rendah.
Stoltz 2000 mengajukan beberapa faktor yang diperlukan untuk mengubah kegagalan menjadi suatu peluang yaitu daya saing, produktivitas,
kreativitas, motivasi, mengambil risiko, ketekunan, belajar, merangkul perubahan, dan keuletan. Ditambahkan juga bahwa dalam menghadapi setiap kesulitan,
kesedihan serta kegagalan hidup maka yang diperlukan adalah sikap tahan banting dan keuletan.
Bila mengukur kecerdasan dalam menghadapi rintangan individu, yang dilihat tidak hanya sekedar pengkategorian dalam menghadapi rintangan tinggi
dan kecerdasan dalam menghadapi rintangan rendah, karena kecerdasan dalam menghadapi rintangan merupakan suatu tantangan. Kecerdasan dalam
menghadapi rintangan bukan masalah hitam dan putih, tinggi atau rendah namun merupakan suatu masalah derajat. Individu yang memiliki kecerdasan dalam
menghadapi rintangan tinggi akan memiliki kemungkinan yang lebih besar dalam menikmati manfaat-manfaat kecerdasan dalam menghadapi rintangan yang tinggi
Stoltz, 2000.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan dalam menghadapi rintangan Adversity Quotient adalah suatu kemampuan untuk
mengubah hambatan menjadi suatu peluang keberhasilan mencapai tujuan. melalui kemampuan berpikir, mengelola dan mengarahkan tindakan yang
membentuk suatu pola–pola tanggapan kognitif dan prilaku atas stimulus peristiwa–peristiwa dalam kehidupan yang merupakan tantangan atau kesulitan.
2. Dimensi-dimensi Adversity Quotient