Agama dan Perilaku Keagamaan

ص BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Agama dan Perilaku Keagamaan

Agama dari segi bahasa, yang dimaksud di dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia” 6 adalah sesuatu yang berhubungan dengan ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan kepercayaan, dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Sedangkan, agama dalam kenyataannya untuk membuatkan suatu definisi memang tidaklah mudah. Hal ini lebih di karenakan definisi yang diajukan oleh para ahli sosiologi tersebut sangat ditentukan oleh sudut pandang dari masing-masing agama dan latar belakangnya. Kesulitan ini lebih disebabkan karena agama itu merupakan hal yang bersifat abstrak, karena agama menyangkut system kepercayaan, sistem nilainorma dan sistem ritus, di mana setiap agama mempunyai pola dan komponen yang berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Sehingga ada beberapa alasan mengapa kemudian istilah agama ini menjadi sulit untuk didefinisikan. Beberapa alasan tersebut, antara lain: 1. Karena pengalaman keagamaan itu adalah soal batiniyah dan sangat subjektif serta bersifat individualistis. 2. Tidak ada orang yang berbicara begitu bersemangat dan emosional lebih dari pada membicarakan soal agama, maka dalam membahas arti agama 6 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta ; Balai Pustaka, 1990 13 ق selalu ada emosi yang kuat sehingga sulit memberikan arti kata agama itu. 7 3. Konsepsi tentang agama dipengaruhi oleh tujuan orang yang memberikan pengertiaan agama sehingga kerapkali ada perbuatan tujuan diantara para ahli tentang makna agama itu. Di samping itu, agama juga dikenal dengan Istilah din dan religi yang pada umumnya dianggap memiliki pengertian yang sama dengan agama. Dalam terminologi Arab, agama biasa disebut dengan kata al-Din atau al- Millah. Sebagaimana agama, kata al-Din mengandung berbagai arti. Al-Din atau al-Millah yang berarti “mengikat”, maksudnya adalah mempersatukan segala pemeluknya dan mengikat dalam satu ikatan yang erat. 8 Al-Din juga berarti undang-undang yang harus dipatuhi. Namun al-Din yang biasa diterjemahkan dengan “agama”, menurut Guru Besar Al-Azhar Syaikh Muhammad Abdullah Badran, adalah menggambarkan suatu hubungan antara dua pihak di mana pihak yang pertama mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada yang kedua. Dengan demikian, agama merupakan hubungan antara manusia dan tuhannya. Hubungan ini terwujud dalam sikap batin serta tampak dalam praktik ibadahritual yang dilakukannya, untuk kemudian tercermin dalam sikap dan perbuatan keseharian individu tersebut. 9 Al-Din yang berarti agama itu bersifat umum, artinya tidak ditujukan kepada salah satu agama tertentu. 10 Selain itu kata agama juga dapat disamakan dengan kata religion 7 Mukti Ali, Agama dan pembangunan di Indonesia, Depag-RI, 1972, h.48 8 Hasbi Ash-Shiddieqy, Al-Islam, Jakarta; Bulan Bintang, 1952, h.50 9 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam masyarakat, Bandung; mizan,1997, h.210 10 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, Bandung; Remaja Rosdakarya, 2000, cet., 1, h.6 ر Inggris, atau religie Belanda yang keduanya berasal dari bahasa latin, religio, dari akar kata religare yang memiliki arti “mengikat”. 11 Bahkan menurut Kamus sosiologi, pendekatan terhadap pengertian agama religion mencangkup tiga aspek yakni: 1. Menyangkut kepercayaan terhadap hal-hal yang bersifat spiritual. 2. Merupakan seperangkat kepercayaan dan praktik-praktik spiritual yang dianggap sebagai tujuan tersendiri. 3. Ideologi mengenai hal-hal yang bersifat supranatural. 12 Dengan mengacu pada beberapa pengertian di atas maka, dapat dicermati bahwa, agama yang dipercaya sebagai sebuah sistem kepercayaan dan praktik memiliki potensi untuk membentuk sebuah masyarakat yang etis, yang diikat oleh norma-norma dan nilai-nilai yang dianut bersama. Maka ketika pengertian agama mendapatkan awalan ke dan akhiran an , yang menjadi penekanan adalah; agama yang setelah mendapatkan awalan ke dan akhiran an mempunyai fungsi dan arti tersendiri. Agama yang proses turunannya setelah di tambah ke dan an berubah menjadi “keagamaan”, secara kebahasaan proses pengimbuhannya menunjukkan pertalian makna. 13 Dalam kaidah Bahasa Indonesia konflik ke dan an hanya biasa diletakkan pada kata dasr tunggal. Konflik ke dan an juga diletakkan pada kata berimbuhan maupun pada frasa. Pemanfaatan ke dan an artinya, pemanfaatan tenagakekuatan yang ada pada kata atau kalimat bahasa itu. Sehingga 11 Kahmad, Sosiologi Agama, h. 6 12 Soerjono Soekanto, “Kamus Sosiologi”, Jakarta : CV. Rajawali press, 1993, hlm. 430 13 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdiknas RI, Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempuranakan dan Pedoman Umum pembentukan istilah , Bandung; CV. Pustaka Setia, cet., ke-V, 1996, h. 146 ش imbuhan ke-an mempunyai fungsi dan arti sebagai berikut: fungsinya membentuk kata benda nominal, artinya tergantung kepada konteksnya, dapat berarti hal, atau semua yang bersangkut paut dengan apa yang disebut oleh kata dasarnya. Perilaku adalah suatu tindakan rutin yang dilakukan oleh seseorang dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan motivasi atau pun kehendak untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkannya, dan hal itu mempunyai arti. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Weber, bahwa yang dimaksud dengan perilaku adalah pelaku hendak mencapai suatu tujuan atau ia terdorong oleh motivasi, entah itu berupa perenungan, perencanaan, pengambilan keputusan, dan kelakuan itu terdiri dari intervensi positif ke dalam suatu situasi positif atau sikap pasif yang sengaja tidak mau terlibat. 14 Di dalam “Kamus Umum Bahasa Indonesia” perilaku dapat juga dikatakan dengan kata tingkah laku. Prof. Dr.Singgih D. Gunarsa menyatakan bahwa, perilaku adalah setiap cara reaksi atau respon manusia, respon mahluk hidup terhadap lingkungannya, perilaku adalah aksi, reaksi, terhadap rangsangan dari luar. 15 Selanjutnya Singgih D. Gunarsa menyatakan pula bahwa, perilaku manusia dengan segala tindakannya ada yang mudah untuk dilihat, tetapi ada juga yang sulit untuk dilihat dan hanya biasa diketahui dari hasil atau akibat dari perbuatan. Kecuali itu, perilaku ada yang tertutup atau terselubung dan ada perilaku terbuka. Yang termasuk perilaku tertutup antara lain; aspek-aspek mental meliputi persepsi, ingatan, dan perhatian. Sedangkan 14 K. J. Veeger, Realitas Sosial, Jakarta; Gramedia Pustaka Utama, 1993, cet., Ke-4, h.171 15 Prof, Dr. Singgih D. Gunarsa, Psikologi Praktis Anak, Remaja dan Keluarga, Jakarta; BPK Gunung Mulia, 1995, h. 5 ت perilaku terbuka adalah perilaku yang langsung dapat dilihat seperti; jalan, lari, tertawa dan lain-lain. 16 Di lain pihak, Talcott Parson juga mengungkapkan, bahwa perilaku manusia digairahkan dari dalam batin oleh tujuan-tujuan tertentu yang didasarkan atas nilai-nilai dan norma-norma yang dibagi bersama dengan orang lain. 17 Jadi, segala perilaku manusia sangat berhubungan dengan lingkungan dan kehidupannya, karena apapun bentuknya perilaku dibentuk berdasarkan kesadaran dan motivasi yang ingin dituju. Selain itu juga Weber mengklasifikasikan perilaku sebagai berikut: a. Perilaku yang diarahkan secara rasional kepada tercapainya tujuan. Baik tujuan itu sendiri maupun segala tindak yang diambil dalam rangka tujuan itu dan akibat-akibat sampingan yang akan timbul, dipertimbangkan dengan otak sehat. b. Perilaku yang berorientasi kepada suatu nilai, seperti keindahan, kemerdekaan, persaudaraan, dan seterusnya. c. Perilaku yang menerima orientasinya dari perasaan atau emosi seseorang, contohnya, orang yang merasa didorong melampiaskan hawa nafsu, membalas dendam, mengabdikan diri kepada seorang tokoh atau suatu cita-cita, atau mereka yang bertindak di bawah pengaruh ketegangan emosional. d. Perilaku yang menerima arahnya dari tradisi, sehingga disebut “perilaku tradisional”, sebagai contoh, banyak hal yang dilakukan tiap hari tanpa 16 Gunarsa, Psikologi Praktis Anak, Remaja dan Keluarga, h.34 17 Veeger, Realitas Sosial, h.200 ث memikirkan tujuan atau latar belakang motivasinya. Hal ini menjadi rutin dan bersifat kebiasaan. 18 Dengan demikian perilaku merupakan ekspresi dan manifestasi dari gejala-gejala hidup yang bersumber dari kemampuan-kemampuan psikis yang berpusat adanya kebutuhan, sehingga segala perilaku manusia diarahkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sebagai mahluk individu, mahluk sosial dan mahluk yang berketuhanan. Jadi perilaku mengandung sebuah tanggapan atau reaksi individu yang terwujud dalam gerakan sikap bukan saja badan atau ucapan. 19 Setelah digabungkan perilaku dan keagamaan, maka definisinya secara kebahasaan adalah, segala tingkah laku, aksi, reaksi yang termotivasi oleh rangsangan dan semua indikasi tersebut berhubungan dengan agama. Sedangkan, pemahaman perilaku keagamaan yang ingin disampaikan disini bagaimanapun adanya harus mengikutsertakan aspek- aspek sosiologisnya. Ketika dihubungkan perilaku dan keagamaan yang ditinjau dalam sudut pandang sosiologi. Sosiologi akan memberikan gambaran yang mengungkapkan apa yang dimengerti dan dialami pemeluk-pemeluknya. 20 Jika dijabarkan secara terinci perilaku keagamaan mengandung penjelasan sebagai suatu tanggapan atau reaksi individu terhadap ajaran agama yang terwujud dalam gerakan sikap, tidak saja melalui badan ataupun ucapan. Hal ini menunjukkan bahwa, perilaku keagamaan mencerminkan sikap kesalehan hidup berdasarkan nilai-nilai 18 Veeger, Realitas Sosial, h.200 19 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1990, Cet.,ke-3, h. 671 20 Hendropuspito, Sosiologi agama, Yogyakarta; PT. Kanisius, 1983, h. 29 خ ketuhanan dan kemanusiaan, yang mengarah kepada pengalaman dan penghayatan sikap hidup seseorang berdasarkan nilai-nilai keagamaan yang diyakininya. Lebih lanjut, menurut buku pengantar sosiologi karangan kamanto sunarto bagi Emile Durkheim mengatakan bahwa perilaku keagamaan adalah, ”suatu sistem yang telah mendapatkan kepercayaan untuk kemudian dipraktekkan, baik yang berhubungan dengan hal yang suci. Bahwa kepercayaan dan perilaku tersebut mempersatukan semua orang yang beriman kedalam suatu komunitas yang bermoral”. 21 Perilaku keagamaan yang suci dapat memberikan solusi dan sanggup menolong manusia membawa pada ketenangan batin di dalam berinteraksi, berhubungan dengan manusia lainnya. Senada dengan Durkheim, Ligh Keller dan Calhoun, memilih memusatkan perhatiannya tentang perilaku keagamaan melalui pendekatan sosiologi, mereka mengatakan ada lima aspek yang mendasari hal tersebut, yakni: Pertama, kepercayaan agama. Kedua, Praktik agama. Ketiga, Praktik agama,. Keempat, Umat agama. Kelima, Pengalaman Keagamaan. 22 Hal itu pula yang membuat perilaku keagamaan mempunyai tingkat dalam praktiknya. Karena menurut, J. P. Williams tingkat perilaku keagamaan seseorang sangatlah beragam ia mengatakan, bahwa ada empat tipe yang dianut oleh seseorangindividu dalam beragama. 21 Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi ; Edisi Kedua, Jakarta ; FEUI, h. 69 22 Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, hlm. 70. ذ 1. Tingkat Rahasia, yakni tingkat seseorang memegang ajaran agama yang dianut dan diyakininya itu, untuk dirinya sendiri dan tidak untuk di diskusikan dengan atau dinyatakan kepada orang lain. 2. Tingkat PrivatPribadi, yakni tingkat dia mendiskusikan dengan, atau menambah atau menyebarkan pengetahuan dan keyakinan keagamaannya, dari dan kepada sejumlah orang tertentu yang digolongkan sebagai orang yang secara pribadi amat dekat hubungannya dengan dirinya. 3. Tingkat Denominasi, yakni tingkat individu mempunyai keyakinan keagamaan yang sama dengan yang dipunyai oleh individu-individu lainnya dalam suatu kelompok besar, dan karena itu bukan merupakan sesuatu yang rahasia atau privat. 4. Tingkat Masyarakat, yakni tingkat individu memiliki keyakinan keagamaan yang sama dengan keyakinan keagamaan dari warga masyarakat tersebut. 23 Fenomena keagamaan dalam masyarakat yang majemuk ini, jika di perhatikan banyak ditimbulkan oleh ekspresi pelaku agama itu sendiri, hal ini tentu sangat bervariasi dan banyak diasumsikan bahwa dengan adanya perbedaan ini agama justru memiliki kepanutannya masing- masing. Sesuai dengan beragam cara dan tingkatan keagamaan diatas, niat agama dalam praktiknya muncul ingin mencipyakan suatu ikatan bersama dalam menjalankan kewajiban-kewajiban sesuai dengan ajaran agama 23 Parsudi Suparlan, “Kata Pengantar”, dalam Roland Robertson, ed., “Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis”, Jakarta ; PT. Raja Grafindo Persada, 1993, hlm. XII-XIII. ض yang diyakini. Yang selanjutnya dapat mempersatukan mereka, dengan dilandasi semangat nilai-nilai dan sistem-sistem kebenaran universal yang diakui bersama. Hal ini menjamin adanya kombinasi bersama, oleh karena nilai-nilai kesakralan yang terkandung di dalamnya.

B. Politik dan Partai Politik