HASIL WAWANCARA Peran Komunikasi Antar Pribadi Dalam Voluntary Counselling And Testing : (Studi Deskriptif Tentang Faktor Konsep Diri ODHA Setelah Melakukan Konseling dan Tes HIV di Klinik Voluntary Counselling and Testing RSU Pirngadi Medan)

1. 2. 3. 4. 5. Sangat benar Benar Cukup benar Salah Sangat salah 5 31 4 - 7 10,6 66 8,5 - 14,9 Total 47 100 P.30FC.31 Berdasarkan data pada tabel 29, dapat diketahui bahwa 5 orang 10,6 responden menyatakan bahwa pelayanan konseling di klinik VCT sangat memuaskan, 31 orang 66 responden menyatakan pelayanan konseling di klinik VCT memuaskan. Sedangkan 4 orang 8,5 responden menyatakan pelayanan konseling di klinik VCT cukup memuaskan. Tetapi 7 orang 14,9 responden menyatakan bahwa pelayanan konseling di klinik VCT sangat tidak memuaskan.

IV.2. HASIL WAWANCARA

Selain menginterpretasikan data menggunakan tabel tunggal, penulis juga menginterpretasikan data melalui hasil wawancara sebagai berikut. Penulis melakukan wawancara terhadap tiga orang klien ODHA yang berkunjung ke klinik VCT RSU Dr. Pirngadi Medan. Klien pertama yang penulis wawancara adalah seorang perempuan berusia 33 tahun berinisial JD yang bekerja sebagai Lay Support pendamping. JD mengatakan bahwa ia cukup terbuka ketika berkomunikasi dengan konselor. Pada konseling pertama ia masih meragukan dan belum begitu percaya pada konselor. Namun, karena belum tahu banyak informasi mengenai HIVAIDS ia sepenuhnya percaya pada konselor. Ia mengatakan bahwa pada saat itu konselor berempati dan memberikan dukungan padanya. Dukungan dan empati tersebutlah yang menambah semangatnya Universitas Sumatera Utara dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Ia merasa nyaman dan leluasa ketika bercerita pada konselor tentang masalahnya. Konselor mendengarkan, selalu siap, cepat tanggap, dan memberikan solusi. Hingga akhirnya ia berpikir positif tentang dirinya dan setelah konseling ia langsung mau melakukan tes. Setelah tahu bahwa hasil tesnya positif ia merasa sedih, tidak mau bertemu orang lain, dan gampang marah. Sempat juga terlintas dalam benaknya bahwa ia akan mati. Berikut kata-kata yang penulis kutip dari JD “aku merasa sendiri, gak mau ketemu orang lain, gampang marah, waktu pertama kali tahu status ku positif aku merasa kakiku buntung dan gak bisa jalan lagi. Tapi setelah tiga bulan kemudian aku tahu dan kenal dengan ODHA lainnya aku gak ngerasa sendiri lagi. Ternyata banyak orang-orang seperti aku, bahkan ada yang lebih parah lagi”. Sebagian orang yang mengenal JD dan tahu akan statusnya menghargai dirinya. Namun sebagian lagi takut bergaul dengannya, mereka takut tertular, lagi-lagi karena kurangnya informasi tentang HIVAIDS. “Mereka gak mau makan atau minum sama, takut tertular” kata JD. Ia pun merasa terdiskriminasi pada saat itu. Meskipun begitu ia tetap menghargai dirinya sendiri karena ia menganggap walaupun bukan karena HIVAIDS semua orang nantinya pun akan mati. Selama melakukan konseling di klinik VCT ia jadi lebih menghargai hidup dan berjanji untuk lebih menjaga kesehatan. Dapat penulis lihat dari kesehariannya yang selalu minum obat teratur kalau sakit, banyak minum air putih, dan selalu menjaga kebersihan. Seperti yang diucapkannya, “yang penting untuk menghargai diriku mulai dari sekarang aku harus lebih menjaga kesehatanku dan menjadikan hidup lebih berarti”. Selama konseling juga ia bisa lebih kuat dan menerima kenyataan, “kalau mau kuat kita Universitas Sumatera Utara harus menerima kenyataan, kalau terus menolak kenyataan hidup akan lebih berat untuk dijalani” ujarnya. Dengan bantuan dan dukungan dari konselor yang tidak menghakimi ketika memberikan solusi kini ia cukup menghargai diri dan hidupnya. Berikutnya, klien kedua yang penulis wawancara adalah seorang waria berinisial WK, berusia 30 tahun, dan bekerja sebagai pendamping bagi ODHA Lay Support. Ketika ditanya mengenai keterbukaannya pada konselor saat melakukan konseling ia mengatakan bahwa keterbukaan itu akan terjadi pada saat konseling itu berlangsung. Ditambah dengan situasi dan tempat yang mendukung, serta sikap konselor yang menganggap klien adalah teman dekat atau keluarga. Lalu mengenai keterbukaan konselor pada klien, ia mengatakan pada awal berkomunikasi konselor masih dalam tahap mencari tahu atau mengenal jati diri seseorang dalam hal ini klien, setelah keakraban terjalin barulah ia meyakinkan klien untuk berterus terang jujur mengenai masalahnya. Karena menurut WK tidak semua orang akan mau berterus terang dengan seseorang yang belum memahami dan mengenal satu sama lain. Namun, WK sendiri pada saat itu tidak terlalu terbuka pada konselor, “fifty fifty lah” katanya. Kemudian mengenai empati konselor pada klien, WK mengatakan bahwa konselor berempati dengan memberi jalan keluar solusi agar klien menjadi lebih baik. Ia pun menambahkan bahwa empati tersebut sangat mempengaruhinya untuk menceritakan masalah-masalahnya secara detail. Tetapi semua itu melalui proses dengan menciptakan jalinan keakraban sehingga semua permasalahan akan keluar dengan sendirinya dan secara detail. Dengan empati yang diberikan konselor itu pula hubungan antara klien dan konselor bukan sekedar untuk konseling saja, apa pun hasil dari konseling dan tes itu nantinya, positif + atau negatif - mereka tetap berhubungan baik. Universitas Sumatera Utara Seperti yang penulis lihat sendiri, hubungan WK dan konselor di klinik VCT begitu akrab seperti sahabat dekat saja. Dukungan yang diterima WK dari konselor berupa dukungan moril, dengan cara menceritakan riwayat kesehatan klien-klien sebelumnya. Hal ini kata WK agar hidupnya lebih berarti dan pola hidupnya jadi lebih sehat. Dengan dukungan inilah ia jadi lebih bersemangat dalam melakukan kegiatannya sehari-hari, karena bagi WK setiap kehidupan memiliki resiko yang harus ditempuh. Ia pun harus tetap sehat dan bersemangat untuk menjalaninya. Selama konseling ia yakin telah berfikir positif tentang dirinya maupun konselor. Dengan berfikir positif ia dengan cermat bisa menyampaikan permasalahannya sehingga dapat dipahami oleh konselor, walaupun ada hal-hal yang dianggapnya sangat pribadi private. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa pada awalnya ia canggung juga ketika bercerita pada konselor. Ia merasakan adanya tingkatan seolah-olah konselor adalah atasan dan ia adalah bawahannya. Sejalan dengan proses keakraban tadi terciptalah proses kesetaraan antar teman yang saling menghargai dan menghormati. Kemudian baru dengan leluasa ia mencoba terbuka bercerita pada konselor. Selanjutnya, memasuki topik kedua mengenai konsep diri klien ODHA. Ketika penulis tanya tentang bagaimana ia menilai dirinya saat tahu statusnya + HIV, ia mengatakan pada awal penerimaan hasil tes ia sedih, shock, dan sudah pasti stress. Tetapi dengan berjalannya waktu lama kelamaan ia bisa lebih menghargai dirinya sendiri, baik dari segi fisik ataupun mental. Kemudian penulis tanya lagi mengenai pandangan masyarakat atau keluarga terhadapnya. WK mengatakan stigma dan diskriminasi masih melekat pada masyarakat, “bahkan keluarga juga bisa bersikap seperti itu, apalagi teman Universitas Sumatera Utara dekat” kata WK. WK berpendapat mereka yang belum paham HIVAIDS menilai bahwa ODHA itu adalah orang yang jahat buruk kelakuannya. Tidak semua ODHA buruk kelakuannya, “bagaimana dengan perempuan istri yang tertularterinfeksi dari suaminya?” katanya. Ada benarnya yang WK katakan, bahkan bayi yang masih dalam kandungan ibunya pun bisa terinfeksi HIV, padahal bayi kan makhluk Tuhan yang paling suci. Kemudian ia menambahkan lagi, “nah, justru itu mari kita sama-sama merubah pola fikir masyarakat, keluarga dan teman dekat sekalipun, untuk memahami HIVAIDS lebih berkala karena siapa saja yang beresiko akan terancam hidupnya dengan HIVAIDS”. Oleh sebab itu, ia tetap menghargai dirinya sendiri, seperti yang telah ia sampaikan bahwa setiap orang memiliki resiko baik medis maupun non medis. Selama ia melakukan konseling di klinik VCT ia merasa lega seperti tak terbebani. Seperti yang ia katakan, “dalam hidup saya paling tidak suka bertanya-tanya dalam hati, mengetahui status diri sejak dini lebih baik walaupun gelisah menunggu hasilnya, agar dapat merencanakan untuk menjadi lebih baik ke depannya”. Menurut WK, citra diri dan harga dirinya tidak sepenuhnya terbentuk melalui proses konseling, karena itu semua kembali pada diri masing-masing. Konseling berperan dalam membantu memperkuat citra diri dan harga diri seseorang. Setiap orang memilikinya, tetapi belum begitu kuat, “masih terombang-ambing” kata WK. Dengan masukan-masukan yang diberikan konselor melalui konseling itulah proses penguatan konsep diri kita sesuaikan dan kita jalani. Klien ketiga yang penulis wawancara adalah seorang lelaki berinisial D yang berusia 30 tahun dan bersuku chinese. D merasa konseling yang dilakukannya sangat mendukung dengan adanya pemberian informasi dan semangat dari konselor. Seperti Universitas Sumatera Utara yang dikatakan D “konseling ini menambah semangat saya, karena bisa menambah informasi tentang AIDS, karena saya masih merasa kekurangan informasi”. Kemudian ketika penulis bertanya mengenai bagaimana ia menilai dan menghargai dirinya saat ia mengetahui bahwa ia positif mengidap HIVAIDS dengan tenang ia menjawab bahwa pada awalnya ia merasa shock, bersalah, dan putus asa tetapi karena ia sadar akan apa yang menyebabkannya terinfeksi virus ini adalah kesalahannya sendiri perlahan ia dapat mengatasi rasa shock tersebut. Ditambah juga dengan adanya dukungan dari keluarga yang sudah mengetahui status penyakitnya. D menuturkan dengan adanya konseling ini ia dan keluarga jadi mengerti tentang HIVAIDS, sehingga keluarga yang mengetahui statusnya tetap mendukung dan menghargainya bukan menjauhinya. Namun sebaliknya dengan beberapa kenalan yang belum paham mengenai HIVAIDS, mereka malah menjaga jarak dengan D. Setelah melakukan konseling D dirawat inap karena merasakan adanya penurunan kondisi fisik. Selama dirawat, terkadang timbul juga rasa sesal dalam hatinya “kenapa ya saya bisa positif?” tetapi kemudian ia langsung menghilangkan rasa itu dengan mengingat Allah SWT. Ia juga selalu berusaha menghibur dirinya sendiri dengan berkata “mungkin ini jalan untuk saya bertobat”. Selain itu, ia juga selalu dikunjungi beberapa teman Lay Support pendamping yang juga banyak membantu dan memberikan informasi. Di akhir percakapan kami ia mengatakan bahwa konseling ini sangat berguna, karena pada awalnya ia tidak tahu apa-apa mengenai HIVAIDS dan ia memerlukan banyak informasi tentang penyakitnya. Dari konseling inilah ia banyak memperoleh informasi dan dukungan. Universitas Sumatera Utara B A B V KESIMPULAN DAN SARAN