Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah

3. Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah

Republik Indonesia saat ini sedang memasuki masa pemulihan akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan. Seluruh pihak termasuk pemerintah sendiri mencoba mengatasi hal ini dengan melakukan reformasi di segala bidang. Salah satu usaha memulihkan kondisi ekonomi, sosial dan politik adalah dengan mengembalikan kepercayaan rakyat kepada pemerintah dengan mencoba mewujudkan suatu pemerintahan yang bersih dan berwibawa atau yang dikenal dengan istilah good governance. Upaya ini juga didukung oleh banyak pihak baik pemerintah sendiri sebagai lembaga eksekutif, DPR sebagai lembaga legislatif, pers dan juga oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Unsur-unsur pokok upaya perwujudan good governance ini adalah transparency, fairness, responsibility dan accountability. Hal ini muncul sebenarnya sebagai akibat dari perkembangan proses demokratisasi di berbagai bidang serta kemajuan profesionalisme. Dengan demikian pemerintah sebagai pelaku utama pelaksanaan good governance ini dituntut untuk memberikan pertanggungjawaban yang lebih transparan dan lebih akurat. Hal ini semakin penting untuk dilakukan dalam era reformasi ini melalui pemberdayaan peran lembaga-lembaga kontrol sebagai pengimbang kekuasaan pemerintah. Ada beberapa perbedaan pertanggungjawaban keuangan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Pertanggungjawaban keuangan pemerintah daerah adalah diantaranya: 1. Pertanggungjawaban pembiayaan pelaksanaan dekonsentrasi. 2. Pertanggungjawaban pembiayaan pelaksanaan pembantuan Universitas Sumatera Utara 3. Pertanggungjawaban anggaran pendapatan dan belanja daerah APBD. Sementara di tingkat pemerintah pusat, pertanggungjawaban keuangan tetap dalam bentuk pertanggungjawaban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APBN. Saat ini di Indonesia sedang dilakukan persiapan penyusunan suatu standar akuntansi pemerintahan yang lebih baik serta pembicaraan yang intensif mengenai peran akuntan publik dalam memeriksa keuangan negara maupun keuangan daerah. Namun tampak bahwa akuntabilitas pemerintahan di Indonesia masih berfokus pada sisi pengelolaan keuangan negara atau daerah. Memasuki era reformasi, masyarakat di sebagian besar wilayah Indonesia, baik di propinsi, kota maupun kabupaten mulai membahas laporan pertanggungjawaban kepala daerah masing-masing dengan lebih seksama. Beberapa kali terjadi pernyataan ketidakpuasan atas kepemimpinan kepala daerah dalam melakukan manajemen pelayanan publik maupun penggunaan anggaran belanja daerah. Melihat pengalaman di negara-negara maju, ternyata dalam pelaksanaannya, keingintahuan masyarakat tentang akuntabilitas pemerintahan tidak dapat dipenuhi hanya oleh informasi keuangan saja. Masyarakat ingin tahu lebih jauh apakah pemerintah yang dipilihnya telah beroperasi dengan ekonomis, efisien dan efektif. Pemerintah dalam menyikapi kemajuan pola pikir masyarakat saat ini harus dapat membuat suatu pelaporan pengukuran kinerja performance measurement berkaitan erat dengan suatu proses yang dinamakan managing for results pengelolaan pencapaian. Proses ini timbul terhadap tuntutan yang meningkat bahwa manajemen pemerintahan perlu memakai pendekatan yang sama dengan Universitas Sumatera Utara manajemen di sektor swasta maupun organisasi-organisasi nir laba lainnya. Proses ini merupakan pendekatan komprehensif untuk memfokuskan suatu organisasi terhadap misi mission, sasaran goals dan tujuan objectives. Dalam penelitian ini yang dimakud dengan kinerja keuangan pemerintah daerah adalah tingkat capaian dari satu hasil kerja di bidang keuangan daerah dengan menggunakan indikator keuangan yang ditetapkan melalui suatu kebijakan atau ketentuan perundang-undangan selama satu periode anggaran. Bentuk dari pengukuran kinerja tersebut berupa pengukuran dalam rasio keuangan. Pemerintah Daerah sebagai pihak yang diserahi tugas menjalankan roda pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat wajib menyampaikan pertanggungjawaban keuangan daerahnya untuk dinilai apakah pemerintah daerah berhasil menjalankan tugasnya dengan baik atau tidak. Hal ini juga disampaikan dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006. Adapun rasio-rasio yang dapat digunakan dalam pengukuran kinerja keuangan Pemerintah Daerah adalah sebagai berikut Indra Bastian, 2000:274: 1. Rasio Kemandirian Yaitu menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Kemandirian Keuangan Daerah ditunjukkan oleh besar kecilnya Pendapatan Asli Daerah PAD dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber yang lain, misalnya bantuan pemerintah pusat atau pinjaman. Universitas Sumatera Utara Total Pendapatan Asli Daerah PAD Rasio Kemandirian = Bantuan Pemerintah Pusat Propinsi dan Pinjaman Rasio Kemandirian menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana ekstern. Semakin tinggi Rasio Kemandirian berarti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak ekstern terutama pemerintah pusat atau propinsi semakin rendah dan demikian pula sebaliknya. Rasio Kemandirian juga menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi Rasio Kemandirian, maka semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen utama Pendapatan Asli Daereah PAD. 2. Rasio Upaya Fiskal Bagian ini akan mengukur tingkat kemampuan daerah dalam mencapai target Pendapatan Asli Daerah PAD. Total Pendapatan Asli Daerah PAD Rasio Upaya Fiskal = Total Anggaran Pendapatan Asli Daerah Total Anggaran Pendapatan Asli Daerah PAD merupakan target besarnya Pendapatan Asli Daerah PAD yang ingin dicapai dalam 1 tahun anggaran dan ditetapkan berdasarkan kemampuan rasional yang ingin dicapai. Rasio Upaya Fiskal ini dimaksudkan untuk mengukur tingkat kemampuan pemerintah daerah dalam mencapai target pendapatan dalam1 tahun. Semakin tinggi hasil rasionya, akan semakin terlihat bahwa upaya pemerintah daerah Universitas Sumatera Utara semakin lebih baik dan adanya perencanaan yang baik dalam mengelola pendapatan. 3. Rasio Desentralisasi Fiskal Ukuran ini menunjukkan kewenangan dan tanggung jawab yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk menggali dan mengelola pendapatan. Pendapatan Asli Daerah Rasio Desentralisasi Fiskal = Total Pendapatan Daerah Rasio Desentralisasi Fiskal juga dapat diukur dengan: Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak untuk Daerah Rasio Desentralisasi Fiskal = Total Pendapatan Daerah Rasio Desentralisasi Fiskal ini dimaksudkan untuk mengukur tingkat kontribusi Pendapatan Asli Daerah sebagai sumber pendapatan yang dikelola sendiri oleh pemerintah daerah terhadap total pendapatan daerah. Di dalam pengukuran kinerja, kita juga perlu mengetahui berapa kontribusi masing-masing komponen Pendapatan Asli Daerah PAD terhadap Total Realisasi Pendapatan Asli Daerah. Kontribusi ini bisa ukur juga dalam bentuk rasio-rasio. Besar kecilnya kontribusi masing-masing komponen Pendapatan Asli Daerah PAD ini untuk setiap tahunnya berbeda-beda. Pemerintah daerah juga sangat perlu dalam memperkirakan hal ini. Karena mereka dapat mengetahui komponen Pendapatan Asli Daerah PAD mana, yang memiliki kontribusi yang terbesar atau mungkin terkecil. Sehingga pemerintah daerah dapat merencenakan strategi-strategi apa saja yang bisa dilakukan dalam Universitas Sumatera Utara mengantisipasi hal ini. Untuk dapat mengetahui besar kecilnya kontribusi yang dihasilkan oleh masing-masing komponen tersebut dapat dilakukan dengan perhitungan dibawah ini: 1. Kontribusi Pajak Daerah terhadap Realisasi PAD, dapat dihitung dengan: Total Realisasi Pajak Daerah Total Realisasi Pendapatan Asli Daerah PAD 2. Kontribusi Retribusi Daerah terhadap Realisasi PAD, dapat dihitung dengan: Total Realisasi Retribusi Daerah Total Realisasi Pendapatan Asli Daerah PAD 3. Kontribusi Hasil Perusahaan dan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan Realisasi PAD, dapat dihitung dengan: Total Realisasi Laba BUMD Total Realisasi Pendapatan Asli Daerah PAD 4. Rasio penerimaan lain-lain yang sah terhadap PAD, dapat dihitung dengan: Total Realisasi Penerimaan Lain-lain yang Sah Total Realisasi Pendapatan Asli Daerah PAD 4. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD Pemerintah Daerah dituntut mampu menciptakan sistem manajemen yang mampu mendukung operasionalisasi pembangunan daerah. Salah satu aspek dari pemerintahan daerah yang harus diatur secara hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Anggaran Daerah atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi Pemerintah Daerah. Universitas Sumatera Utara Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD adalah dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 satu tahun anggaran terhitung mulai tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. Hal ini juga diungkapkan dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006 Pasal 21. Begitu juga dengan bentuk dan susunan APBD ditetapkan Permendagri No. 13 Tahun 2006 Pasal 22 terdiri dari 3 bagian, yaitu: Pendapatan, Belanja, dan Pembiayaan. Anggaran Pendapatan menggambarkan potensi penerimaan daerah yang terdiri dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan dan Penerimaan lainnya yang Sah yang harus dicapai untuk pemenuhan belanja pelayanan publik. Sebagai instrumen kebijakan, APBD menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah. APBD digunakan sebagai alat untuk menentukan besarnya pendapatan dan pengeluaran, membantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi pengeluaran di masa-masa yang akan datang, sumber pengembangan ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja, alat untuk memotivasi para pegawai, dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dari berbagai unit kerja. Dalam kaitan ini, proses penyusunan dan pelaksanaan APBD hendaknya difokuskan pada upaya untuk mendukung pelaksanaan program dan aktivitas yang menjadi preferensi daerah yang bersangkutan. Untuk memperlancar pelaksanaan program dan aktivitas yang telah direncanakan dan mempermudah pengendalian, pemerintah daerah dapat membentuk pusat-pusat pertanggungjawaban responsibility centers sebagai unit pelaksana. Universitas Sumatera Utara Peraturan-peraturan di era reformasi keuangan daerah mengisyaratkan agar laporan keuangan makin informatif. Untuk itu, dalam bentuk yang baru, APBD diperkirakan tidak akan terdiri dari dua sisi dan akan dibagi menjadi tiga bagian yaitu: Penerimaan, Pengeluaran dan Pembiayaan. Pembiayaan merupakan kategori yang baru yang belum ada di era pra reformasi. Adanya pos pembiayaan merupakan upaya agar APBD makin informatif, yaitu memisahkan pinjaman dari pendapatan daerah. Hal ini sesuai dengan definisi pendapatan sebagai hak pemerintah daerah, sedangkan pinjaman belum tentu menjadi hak pemerintah daerah. Pos pembiayaan ini merupakan alokasi surplus atau sumber penutup defisit anggaran. Dalam bentuk APBD yang baru itu pula, penerimaan dibagi menjadi tiga kategori yaitu Pendapatan Asli Daerah PAD, dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Selanjutnya pengeluaran