Kajian Proses Pemekaran Fisik Kota di Pinggiran Kota Pematangsiantar (Studi Kasus Koridor Jalan Melanthon Siregar)

(1)

KAJIAN PROSES PEMEKARAN FISIK KOTA

DI PINGGIRAN KOTA PEMATANGSIANTAR

(Studi Kasus Koridor Jalan Melanthon Siregar)

TESIS

OLEH

JAYADIN SIMARMATA

087020013/AR

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KAJIAN PROSES PEMEKARAN FISIK KOTA

DI PINGGIRAN KOTA PEMATANGSIANTAR

(Studi Kasus Koridor Jalan Melanthon Siregar)

TESIS

Untuk memperoleh Gelar Magister Teknik

Dalam Program Studi Magister Teknik Arsitektur

Pada Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara

OLEH :

JAYADIN SIMARMATA

087020013/AR

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

PERNYATAAN

KAJIAN PROSES PEMEKARAN FISIK KOTA

DI PINGGIRAN KOTA PEMATANGSIANTAR

(Studi Kasus Koridor Jalan Melanthon Siregar)

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi,

dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam

naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Oktober 2010


(4)

Judul Tesis : Kajian Proses Pemekaran Fisik Kota di Pinggiran Kota

Pematangsiantar (Studi Kasus Koridor Jalan Melanthon Siregar)

Nama Mahasiswa : Jayadin Simarmata

Nomor Pokok : 087020013/AR

Program Studi : Teknik Arsitektur

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Abdul Ghani Salleh, B.Ec, M.Sc, PhD) (Salmina W. Ginting, ST, MT)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan

Magister Teknik Arsitektur USU, Fakultas Teknik USU

(Ir. Dwira Nirfalini Aulia, M.Sc, PhD) (Prof. Dr. Ir. Bustami Syam, MSME)


(5)

Telah diuji pada

Tanggal : 4 Nopember 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Abdul Ghani Salleh, B.Ec, M.Sc, PhD

Anggota : 1. Salmina W. Ginting, ST, MT

2. Ir. Nurlisa Ginting, M.Sc

3. Ir. Dwi Lindarto Hadinugroho, MT 4. Wahyuni Zahrah, ST, MS


(6)

ABSTRAK

Suatu kota (kawasan) dalam kondisi umum akan selalu bertumbuh dan berkembang baik dimensi kenampakan fisik spasial dan dimesi non fisikalnya. Perkembangan ini diakibatkan adanya pertumbuhan penduduk dan berbagai aktivitas pembangunan, ekonomi, sosial, budaya, politik dan sebagainya pada kawasan tersebut yang berdampak terjadinya peningkatan kebutuhan akan ruang (lahan). Jawaban kebutuhan akan ruang (lahan) salah satunya adalah lahan di sekitar pinggiran kota dengan membangun berbagai sarana prasarana di kawasan tersebut yang mengakibatkan terjadinya pemekaran kenampakan fisik spasial kota, walaupun banyak dampak negatifnya karena umumnya lahan dipinggiran kota adalah lahan-lahan pertanian yang masih produktif.

Demikian juga pada kawasan penelitian koridor Jalan Melanthon Siregar, yang telah dan sedang ber-evolusi menjadi kenampakan fisikal kota yang diindikasikan dengan terjadinya konversi lahan-lahan pertanian menjadi kawasan terbangun (settlement built up area) antara lain perumahan, ruko, sekolah, rumah ibadah, kantor dan sebagainya.

Pemekaran fisik kota di kawasan tersebut sebagai konsekuensi logis dari pertumbuhan kota, namun ke depan perlu di pikirkan solusi yang lebih baik dikarenakan perubahan tersebut juga sebenarnya memiliki banyak dampak negatif terutama bagi kelestarian lingkungan dan ketahanan pangan. Beberapa solusi (1) agar pemerintah kota

dan segenap stakeholders mengawasi lebih ketat pemanfaatan lahan pada kawasan

tersebut dan (2) membuat legalisasi peraturan daerah tentang tata guna lahan sebagai pedoman dalam pemanfaatan dan pengendalian penggunaan lahan.


(7)

ABSTRACT

In general, a city (an area) will grow and develop both in its physical-spatial and non-physical dimensions. This development occurs because of the population growth and a variety of development, economic, social, political and other activities in the area which ultimately result in the increasing need for space (land). One of the ways of fulfilling this need for space (land) is by building a variety of facilities and infrastructure in suburban areas which will bring about improvements in the physical-spatial appearance of the areas although this might have negative consequences considering that suburban areas generally make productive agricultural land.

And this is also true for the research area located along Melanthon Siregar Street, which has evolved and is evolving into a city in its physical appearance indicated by the conversion of agricultural land into settlement built up area which includes, among others: housing complex, storied shops, schools, houses of worship and others.

While the physical expansion of city in the area occurs as a logical consequence of the city development, better future solutions should be sought because the change itself has a negative impact on the environmental reservation and food supply. Some of the solutions include : (1) the city government along with the stakeholders should impose stricter supervision of land use in the area, and (2) legalize local regulations on land utilization as a guide to land control and use.


(8)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Jayadin Simarmata

Alamat : Jalan Dr. Kumpulan Pane No. 7E Tebing Tinggi

Agama : Kristen Protestan

Tempat/Tanggal Lahir : Pematangsiantar, 06 Januari 1970

Jenis Kelamin : Laki-laki

Anak ke : 2 dari 8

Warga Negara : Indonesia

Nama Ayah : St. Poltak Simarmata (Alm.)

Nama Ibu : St. Tamainim br Purba

Nama Istri : Seva br Karo

Nama Anak : Harodian Simarmata

Harodwiki Simarmata

Pendidikan Formal : SD GKPS II Pematangsiantar (tamat tahun 1982)

SMPN I Pematangsiantar (tamat tahun 1985) SMAN III Pematangsiantar (tamat tahun 1988)

Sarjana Teknik Sipil Universitas Tanjung Pura, Pontianak (tamat tahun 1995)


(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kasih karena atas ijin dan karuniaNya

penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan judul ”Kajian Proses Pemekaran

Fisik Kota di Pinggiran Kota Pematangsiantar (Studi Kasus Koridor Jalan

Melanthon Siregar)”. Penelitian ini disusun untuk memenuhi persyaratan Mata Kuliah

PPs – 699 Tesis pada Program Studi Magister Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang tak terhingga kepada yang terhormat :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu,

D.T.M.&H., M.Sc. (C.T.M.), Sp.A.(K.).

2. Dekan Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Ir. Bustami

Syam, M.S.M.E.

3. Ketua Program Studi Magister Teknik Arsitektur, Ibu Ir. Dwira Nirfalini Aulia,

MSc, PhD.

4. Sekretaris Program Studi Magister Teknik Arsitektur, Ibu Beny Octofryana

Yousca Marpaung, ST, MT, PhD.

5. Koordinator Manajemen Pembangunan Kota, Bapak Achmad Delianur Nasution,

ST, MT, IAI.

6. Dosen Pembimbing I, Bapak Prof. Abdul Ghani Salleh, B.Ec, M.Sc, PhD, atas

bimbingan dan dukungan penuh dalam menyelesaikan penelitian ini.

7. Dosen Pembimbing II, Ibu Salmina W. Ginting, ST, MT atas bimbingan,

kesabaran dan dukungan penuh dalam menyelesaikan penelitian ini.

8. Para Staf Pengajar dan Penguji Program Studi Magister Teknik Arsitektur

Universitas Sumatera Utara yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu atas materi perkuliahan dan masukan-masukan yang sangat berarti dalam menyelesaikan penelitian ini.


(10)

9. Ibu Novi Yanthi sebagai administrasi Program Studi Magister Teknik Arsitektur Universitas Sumatera Utara atas komunikasi dan administrasi yang baik selama studi.

10.Walikota Pematangsiantar Up. Sekretaris Daerah Kota Pematangsiantar Bapak

Drs. Donver Panggabean, MSi yang pada akhirnya telah menerbitkan Surat Ijin Belajar kepada penulis.

11.Para mantan dan Kepala Bappeda Kota Pematangsiantar selama periode penulis

mengikuti pendidikan, yaitu : Bapak Drs. Midian Sianturi, Bapak Herowhin TF. Sinaga, AP, MSi dan Bapak Ir. Adyaksa DS. Purba, MM atas segala dukungan dan pengertiannya.

12.Kepala Badan Penelitian Pengembangan dan Statistik Kota Pematangsiantar,

Bapak Drs. M. Akhir Harahap, atas penerbitan Surat Rekomendasi Ijin Penelitian.

13.Kepala Dinas Pertanian Kota Pematangsiantar, Bapak Robert Pangaribuan, SP,

MSi, Pelaksana Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Bapak Ir. Adres Tarigan, Kepala BPS Kota Pematangsiantar, Bapak Drs. Ngiahken Karo-karo untuk bantuan data dan informasi yang telah diberikan.

14.Rekan-rekan para Kasubbid dan staf di Bidang Monitoring Bappeda Kota

Pematangsiantar atas dukungan pelaksanaan tugas sehari-hari (walaupun Kabidnya sering bolak balik Siantar – Medan, harap maklum ya…).

15.Isteriku tercinta ‘Nande’ Seva br Karo, untuk segala cinta kasih, kesabaran,

dukungan dan pengertian yang sangat besar, kedua putraku Harodian Simarmata dan Harodwiki Simarmata (rajin belajar agar bisa sekolah minimal sampai kayak bapak ya, ... doa dan harapan).

16.Kedua orangtua yang sangat kukasihi Bapak Alm. St. Poltak Simarmata sebagai

teladan dan motivator terbesar, Ibu St. Tamainim br Purba yang telah menunjukkan kasih sayangnya dengan caranya sendiri, dan yang tak terlupakan perawat masa mudaku ‘Tutuaku’ Alm. Romsi br Sinaga.


(11)

17.Saudara-saudaraku, keluarga AH. Damanik/ Jayani br Simarmata, SE, Ukir Saut Silalahi, BSc/ Jayalena br Simarmata, Amd, Parlindungan Pasaribu, SE/Jayasti br Simarmata, SPd, Berlison Purba, SH/Jayador br Simarmata, SS, Amrin Hutasoit, SSos/Jayatur br Simarmata, SPd, Pdt. Jayasser Simarmata, STh/Melda br Hutahaean, SPd, Jayamos Simarmata, SE/Mira br Purba, SPd dan seluruh keponakan.

18.Keluarga Besar Mertuaku Dame Karosekali/Upah br Sembiring atas dukungan

semangat dan doanya, khususnya keluarga ‘Silih’ Ir. Jendakem Karosekali/AKBP. Kasmina br Ginting, SSi di Medan.

19.Rekan-rekan Mahasiswa Magister Manajemen Pembangunan Kota Angkatan

2008 : Lucy, Arfan, Asmadi, Bayhaki, Bernas, Rai, Hendra, Muara, Yani, Sahid, Erwin, Amsuardiman, Armelia atas kebersamaan dan kerjasama yang sudah terjalin selama ini.

20.Tak lupa Saudara-saudaraku Alumni PMK Pontianak dimanapun sekarang

berada dan berkarya, kak Will, kak Omi, mas Samuel, bang Jimmy, Dju Kheng, Bardoth, Freddy, Oloan, Santi, Martha, Lusi, Yusi, Famin, Robin, Men Khiong, Lina dan lain-lain.

Dalam penyusunan makalah ini, penulis menyadari terdapat kekurangan-kekurangan yang diharapkan dapat disempurnakan atas bimbingan dan masukan dari pembimbing, penguji, dan pembaca.

Akhir kata, semoga makalah ini dapat diterima dan memberi manfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya. Terimakasih...!

Medan, Oktober 2010 Penulis,


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ……… i

ABSTRACT……… ii

KATA PENGANTAR……… iii

DAFTAR ISI……….. vi

DAFTAR TABEL……….. ix

DAFTAR GAMBAR……….. x

BAB I. PENDAHULUAN……….. 1

1.1. Latar Belakang………... 1

1.2. Perumusan Masalah……… 5

1.3. Tujuan Penelitian……… 5

1.4. Manfaat Penelitian………. 6

1.5. Kerangka Berfikir………... 7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA……… 8

2.1. Urban Sprawl : Defenisi dan Konteks……… 8

2.2. Proses Urban Sprawl ………. 11

2.3. Pemekaran Kota di Cileunyi – Bandung……… 17

2.4. Dimensi Fisik Spasial dan Non Fisik………. 17

2.4.1. Dimensi Fisik Spasial………... 17


(13)

2.5. Faktor-faktor Penyebab Urban Sprawl………... 23

2.6. Diversifikasi Mata Pencaharian……….. 31

BAB III. METODE PENELITIAN………. 33

3.1. Lokasi Penelitian……… 33

3.2. Jenis dan Metode Pengumpulan Data……… 33

3.2.1. Data Sekunder………. 33

3.2.2. Data Primer……….. 34

3.2.3. Metode Pengumpulan Data………. 34

3.3. Tahapan/Kronologis Pengumpulan Data……… 37

3.4. Metode Analisis………. 39

3.3.1. Analisis Deskriptif Kualitatif……… 39

BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN……….. 42

4.1. Gambaran Kota Pematangsiantar……… 42

4.1.1. Kondisi Geografis dan Administratif……… 42

4.1.2. Sejarah Kota Pematangsiantar………. 44

4.2. Gambaran Kecamatan Siantar Marihat………... 45

4.2.1. Luas Wilayah Menurut Kelurahan……… 45

4.2.2. Batas-batas Administrasi………. 47

4.3. Gambaran Lokasi Penelitian………... 47

4.4. Rencana Tata Guna Lahan………. 49

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN………. 52


(14)

5.1.1. Karakteristik Pemanfaatan Lahan……… 52

5.1.2. Karakteristik Bangunan……… 64

5.1.3. Karakteristik Sirkulasi……….. 75

5.2. Analisis Aspek Non Fisik……… 79

5.2.1. Diversifikasi Mata Pencaharian……… 79

5.3. Faktor-faktor Penyebab………. 85

5.3.1. Faktor dari dalam (internal)………. 85

5.3.2. Faktor dari luar (eksternal)……… 88

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN……… 91

6.1. Kesimpulan………. 91

6.2. Saran ………. 93

DAFTAR PUSTAKA……… 94


(15)

DAFTAR TABEL

No. JUDUL hal.

4.1. Luas Daerah Menurut Kecamatan……….. 43

4.2. Rencana Pembagian Bagian Wilayah Kota (BWK)……….. 51

5.1. Perubahan Guna Lahan Tahun 1990 – 2000……… 54

5.2. Perubahan Guna Lahan Tahun 2000 – 2010……… 59

5.3. Bentuk Bangunan Tetap Fungsi Berubah……… 66

5.4. Bentuk Bangunan Berubah Fungsi Berubah……… 68

5.5. Bentuk Bangunan Ruko Fungsi Komersil……… 70

5.6. Nama Angkutan Yang Melintasi Jalan Melanthon Siregar…………. 77

5.7. Jenis dan Mata Pencaharian Penduduk……… 80

5.8. Perubahan Mata Pencaharian/Pekerjaan………... 81


(16)

DAFTAR GAMBAR

No. JUDUL hal.

1.1. Kerangka Berfikir……… 7

2.1. Perembetan Konsentris……… 13

2.2. Perembetan Linier……… 14

2.3. Perembetan Meloncat……….. 15

2.4. Hubungan Faktor Penentu dalam Pemanfaatan Lahan……… 29

4.1. Kota Medan – Pematangsiantar (128 Km)……….. 42

4.2. Peta Administratif Kota Pematangsiantar……… 46

4.3. Peta Administratif Kecamatan Siantar Marihat………... 46

4.4. Peta Koridor Jalan Melanthon Siregar………. 48

4.5. Gambar Ruas Jalan Melanthon Siregar……….. 49

4.6. Rencana Tata Guna Lahan………... 50

5.1. Peta Pola Penggunaan Lahan Tahun 1990……….. 53

5.2. Peta Pola Penggunaan Lahan Tahun 2000……….. 58

5.3. Peta Pola Penggunaan Lahan Tahun 2010……….. 60

5.4. Bentuk Bangunan Tetap Fungsi Berubah……… 67

5.5. Bentuk Bangunan Berubah Fungsi Berubah……… 69

5.6. Form Bangunan Ruko Fungsi Komersil……….. 71

5.7. Form Bangunan Fungsi Non Komersil……… 72


(17)

5.9. Form Bangunan Fungsi Non Komersil……… 74

5.10. Kondisi Sirkulasi Jalan Melanthon Siregar……….. 78

5.11. Fasilitas Umum di Koridor Jalan M. Siregar………... 88

5.12. Aksesibilitas Jalan M. Siregar………. 89


(18)

ABSTRAK

Suatu kota (kawasan) dalam kondisi umum akan selalu bertumbuh dan berkembang baik dimensi kenampakan fisik spasial dan dimesi non fisikalnya. Perkembangan ini diakibatkan adanya pertumbuhan penduduk dan berbagai aktivitas pembangunan, ekonomi, sosial, budaya, politik dan sebagainya pada kawasan tersebut yang berdampak terjadinya peningkatan kebutuhan akan ruang (lahan). Jawaban kebutuhan akan ruang (lahan) salah satunya adalah lahan di sekitar pinggiran kota dengan membangun berbagai sarana prasarana di kawasan tersebut yang mengakibatkan terjadinya pemekaran kenampakan fisik spasial kota, walaupun banyak dampak negatifnya karena umumnya lahan dipinggiran kota adalah lahan-lahan pertanian yang masih produktif.

Demikian juga pada kawasan penelitian koridor Jalan Melanthon Siregar, yang telah dan sedang ber-evolusi menjadi kenampakan fisikal kota yang diindikasikan dengan terjadinya konversi lahan-lahan pertanian menjadi kawasan terbangun (settlement built up area) antara lain perumahan, ruko, sekolah, rumah ibadah, kantor dan sebagainya.

Pemekaran fisik kota di kawasan tersebut sebagai konsekuensi logis dari pertumbuhan kota, namun ke depan perlu di pikirkan solusi yang lebih baik dikarenakan perubahan tersebut juga sebenarnya memiliki banyak dampak negatif terutama bagi kelestarian lingkungan dan ketahanan pangan. Beberapa solusi (1) agar pemerintah kota

dan segenap stakeholders mengawasi lebih ketat pemanfaatan lahan pada kawasan

tersebut dan (2) membuat legalisasi peraturan daerah tentang tata guna lahan sebagai pedoman dalam pemanfaatan dan pengendalian penggunaan lahan.


(19)

ABSTRACT

In general, a city (an area) will grow and develop both in its physical-spatial and non-physical dimensions. This development occurs because of the population growth and a variety of development, economic, social, political and other activities in the area which ultimately result in the increasing need for space (land). One of the ways of fulfilling this need for space (land) is by building a variety of facilities and infrastructure in suburban areas which will bring about improvements in the physical-spatial appearance of the areas although this might have negative consequences considering that suburban areas generally make productive agricultural land.

And this is also true for the research area located along Melanthon Siregar Street, which has evolved and is evolving into a city in its physical appearance indicated by the conversion of agricultural land into settlement built up area which includes, among others: housing complex, storied shops, schools, houses of worship and others.

While the physical expansion of city in the area occurs as a logical consequence of the city development, better future solutions should be sought because the change itself has a negative impact on the environmental reservation and food supply. Some of the solutions include : (1) the city government along with the stakeholders should impose stricter supervision of land use in the area, and (2) legalize local regulations on land utilization as a guide to land control and use.


(20)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Suatu kawasan (wilayah) akan selalu bertumbuh dan berkembang dinamis seiring perjalanan waktu, baik dimensi kenampakan fisik maupun non fisiknya. Perubahan(evolusi) kenampakan fisik suatu kawasan dapat kita lihat terhadap 3 (tiga) elemen morfologi kota yaitu : karakteristik penggunaan lahan, bangunan dan sirkulasi. Sedangkan perubahan non fisik meliputi aspek ekonomi, sosial, budaya, politik, teknologi dan sebagainya.

Proses perubahan tersebut dapat diidentifikasi misalnya, yang sebelumnya adalah kawasan dengan ciri pedesaan berubah menjadi ciri perkotaan, atau yang sebelumnya adalah kota kecil berubah menjadi kota besar bahkan menjadi kota metropolitan yang terdiri dari kota-kota sekitarnya atau bahkan kota megapolitan, yang pada umumnya kenampakan spasial fisikal kekotaannya melewati batas-batas

administrasi pemerintahan kota tersebut yang oleh Yunus (1999) disebut sebagai under

bounded city.

Mengapa hal ini bisa terjadi, adalah sebagai konsekuensi logis dari adanya dinamika berbagai aktivitas pembangunan dan pertumbuhan penduduk di kawasan tersebut, yang berdampak kepada peningkatan kebutuhan akan ruang dan lahan sebagai wadah untuk melakukan berbagai kegiatan ekonomi, sosial, budaya dan kebutuhan lahan untuk memenuhi perumahan bagi pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat.


(21)

Pembangunan baik dalam aspek fisik dan non fisik adalah sesuatu yang mutlak diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di suatu daerah (kawasan) baik dalam skala lokal, regional dan nasional. Tanpa adanya aktivitas ekonomi, sosial,

budaya dan sebagainya maka dapat dikatakan suatu kawasan ‘mati’ (stagnan) dan

kondisi ini tentunya tidak diinginkan terjadi oleh suatu pemerintahan dan masyarakat (stakeholders) di manapun. Salah satu ciri pembangunan secara fisikal adalah adanya perubahan (evolusi) di kawasan objek pembangunan tersebut, misalnya kawasan yang sebelumnya adalah kawasan hutan, pertanian, perkebunan, ruang terbuka hijau dan sebagainya secara lambat laun berubah menjadi kenampakan perumahan permukiman penduduk, perkantoran, perdagangan, sekolah, pusat kesehatan, dan berbagai sarana prasarana berciri perkotaan lainnya. Sedangkan dipusat kota sendiri, yang dulunya adalah taman-taman kota (ruang terbuka), bangunan-bangunan tua yang masih difungsikan ataupun tidak, berubah menjadi bangunan-bangunan modern dan bertingkat, seperti hotel dan pusat-pusat perbelanjaan (mall, supermarket) yang seringkali berdampak hilangnya ‘saksi-saksi’ sejarah masa lampau kawasan tersebut.

Jadi peningkatan berbagai aktivitas pembangunan secara fisik membutuhkan

input lahan sebagai wadah aktivitas tersebut, sehingga semakin pesat dinamika pembangunan di suatu kawasan semakin cepat pula proses perubahan yang terjadi di kawasan tersebut. Dengan adanya kegiatan pembangunan akan membuka berbagai lapangan pekerjaan dan berbagai peluang usaha lainnya yang akan meningkatkan perekonomian, pendapatan dan kesejahteraan bagi masyarakat.

Selanjutnya, perkembangan kota diindikasikan dengan evolusi kenampakan fisik spasial akan selalu bersifat dinamis, baik secara horizontal (sentrifugal dan sentripetal) maupun secara vertikal (bangunan bertingkat). Perkembangan secara horizontal (ke arah


(22)

luar) kawasan pinggiran kota, yang dulunya adalah ciri fisik pedesaan ber-evolusi menjadi kenampakan kekotaan, atau yang dulunya kota kecil berubah menjadi kota besar dengan kenampakan bangunan yang semakin rapat dan vertikal (bertingkat) serta

semakin melebar ke arah luar (urban sprawl), bahkan tidak jarang terjadi perkembangan

fisiknya melewati batas-batas administrasi kota itu sendiri, menjadikan dua atau lebih kawasan yang secara administratif berbeda (terpisah) namun jadi satu kesatuan kenampakan kekotaan (kota metropolitan) dengan bentuk dan fungsi-fungsi bangunan yang berkarakteristik kota.

Lahan merupakan faktor produksi yang secara fisik tidak berpindah, tetapi eksisting dan pemanfaatannya ditentukan oleh beragam kepentingan dalam pembangunan, ekonomi, sosial dan politik. Semua ini mempercepat terjadinya proses perubahan (Waters, 2000) dalam (Suartika, 2007).

Sedangkan tinjauan terhadap dimensi non fisik, meliputi perubahan yang terjadi

akibat proses urban sprawling terhadap aspek ekonomi, sosial budaya, lingkungan,

teknologi dan sebagainya. Aspek ekonomi misalnya penduduk yang dulunya bermata pencaharian utama petani secara lambat laun berubah menjadi pedagang, buruh dan pekerjaan berciri kota lainnya. Aspek sosial budaya yaitu dengan berubahnya pola hubungan kekerabatan dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial budaya berciri khas kota, lingkungan yang semakin panas, polusi, banjir dan lain-lain diakibatkan semakin berkurangnya vegetasi, resapan air dan makin bertambahnya jumlah kendaraan bermotor dan mesin-mesin pabrik yang berdampak kepada kesehatan penduduk.

Berbagai hasil penelitian yang sudah dilakukan, umumnya menghasilkan suatu


(23)

pertanian di suatu kawasan menimbulkan banyak dampak negatif terhadap lingkungan dan mengancam keberlangsungan produksi hasil pertanian (pangan). Sementara jumlah penduduk terus bertambah yang otomatis juga semakin meningkatkan kebutuhan pangan pada akhirnya akan menimbulkan krisis pangan yang semakin parah atau ketergantungan terhadap kawasan/negara lain (impor pangan), dan akan mengancam

berbagai aspek dalam pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan

pemanasan global (global warming) yang merupakan salah satu issu (permasalahan)

universal yang dihadapi semua masyarakat dan negara di dunia dalam dekade terakhir ini.

Akibat hilangnya lahan terbuka hijau di daerah pinggiran kota banyak berkaitan dengan hilangnya sumber daya lahan pertanian sebagai sumber utama penghasilan pangan. Dampak lokal mungkin tidak dirasakan namun sebagai suatu bangsa yang berjalan dalam satu kesatuan sistem ekonomi nasional, maka akibat kumulatif dari hilangnya lahan pertanian subur beririgasi teknis akan mengakibatkan bencana di masa yang akan datang. Pengurangan lahan pertanian berjalan terus, usaha menciptakan lahan pertanian baru belum membawa hasil yang berarti paling tidak dalam dekade pertama millenium ketiga ini dan sementara itu jumlah mulut yang harus diberi suapan pangan bertambah terus-menerus. Analisis untuk meramalkan dampak yang akan terjadi tidak memerlukan kualifikasi intelektual yang tinggi, karena hampir semua orang akan memahami akibat yang dapat timbul karenanya. (Yunus, 2005).

Namun selama masih adanya pertumbuhan penduduk dan dinamika pembangunan di suatu kota, maka konsekuensinya kebutuhan akan ruang dan lahan akan

terus berkembang yang salah satunya adalah dengan pemekaran kota (urban sprawling)


(24)

luas, harga lahan yang lebih murah dan kondisi lingkungan yang lebih baik. Namun ironisnya lahan di pinggiran kota tersebut pada umumnya adalah lahan-lahan pertanian produktif sebagai sumber penghasil pangan dan berfungsi sebagai paru-paru kota.

1.2. Perumusan Masalah

1). Bagaimana proses pemekaran fisik kota di kawasan penelitian pada jangka waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir dikaji terhadap :

a. Aspek Fisik Spasial b. Aspek Non Fisikal

2). Faktor-faktor apa yang menjadi penyebab terjadinya proses pemekaran fisik kota di

kawasan penelitian.

1.3. Tujuan Penelitian

1). Mengkaji proses pemekaran fisik kota di kawasan penelitian pada jangka waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir ditinjau terhadap :

a. Aspek Fisik Spasial :

Melakukan kajian terhadap 3 (tiga) elemen morfologi kota yaitu : karakteristik penggunaan lahan, karakteristik bangunan dan karakteristik sirkulasi.

b. Aspek Non Fisikal

Aspek ini meliputi bidang yang sangat luas, yaitu ekonomi, sosial budaya, lingkungan, teknologi dan sebagainya, sehingga tinjauan pada aspek ini dibatasi pada salah satu elemen bidang ekonomi saja yaitu diversifikasi mata pencaharian penduduk.


(25)

2). Mengidentifikasi faktor-faktor penyebab terjadinya proses pemekaran fisik kota di kawasan penelitian.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi segenap stakeholders di kawasan

penelitian terutama Pemerintah Kota Pematangsiantar sebagai masukan berbasis kajian ilmiah didalam merumuskan kebijakan yang berkenaan dengan pemanfaatan ruang (lahan) di kawasan pinggiran kota khususnya di koridor Jalan Melanthon Siregar, Kecamatan Siantar Marihat.


(26)

KAWASAN PINGGIRAN 

KORIDOR JALAN 

MELANTHON SIREGAR 

AKTIVITAS DAN 

PERTUMBUHAN PENDUDUK 

INPUT LAHAN

PEMEKARAN FISIK 

KOTA 

ANALISIS 

FISIK SPASIAL :      

3 ELEMEN 

MORFOLOGI KOTA  

NON FISIK : 

EKONOMI, SOSIAL 

DAN LINGKUNGAN 

 

FAKTOR ‐FAKTOR 

PENYEBAB 

KESIMPULAN DAN 

SARAN 


(27)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Urban Sprawl : Defenisi dan Konteks

Dari waktu ke waktu, sejalan dengan selalu meningkatnya jumlah penduduk perkotaan serta meningkatnya tuntutan kebutuhan kehidupan dalam berbagai aspek-aspek politik, ekonomi, sosial, budaya dan teknologi telah mengakibatkan meningkatnya kegiatan penduduk perkotaan. Baik meningkatnyya jumlah penduduk perkotaan maupun kegiatan penduduk perkotaan telah mengakibatkan meningkatnya kebutuhan ruang kekotaan yang besar. Oleh karena ketersediaan ruang di dalam kota tetap dan terbatas, maka meningkatnya kebutuhan ruang untuk tempat tinggal dan kedudukan fungsi-fungsi selalu akan mengambil ruang di daerah pinggiran kota. Gejala pengambil

alihan lahan non urban di daerah pinggiran kota disebut sebagai “invasion”. Proses

perembetan kenampakan fisik kekotaan ke arah luar disebut “urban sprawl” (Yunus,

1999).

Selanjutnya dari Yunus (1999) tersebut mengutip beberapa pengertian urban

sprawl, antara lain yaitu :

Menurut Northam (1975) :

Urban sprawl refers to the areal expansion of urban concentration beyond what they have been. Urban sprawl involves the conversion of land peripheral to urban centers that has previously been used for non urban uses to one or more urban uses.


(28)

Urban sprawl refers to continous expansion around large cities, where by there is always a zone of land that is in the process of being converted from rural to urban use.

Menurut Domouchel (1976) :

Urban sprawl can be defined of growth of metropolitan area through the process of development of miscellaneous types of land use in the urban fringe areas.

Sedangkan pengertian menurut Rosul (2008), Urban Sprawl atau dikenal dengan

pemekaran kota merupakan bentuk bertambah luasnya kota secara fisik. Perluasan kota disebabkan oleh semakin berkembangnya penduduk dan semakin tingginya arus urbanisasi. Semakin bertambahnya penduduk kota menyebabkan semakin bertambahnya kebutuhan masyarakat terhadap perumahan, perkantoran, dan fasilitas sosial ekonomi lain. Urban sprawl terjadi dengan ditandai adanya alih fungsi lahan yang ada di sekitar

kota (urban periphery) mengingat terbatasnya lahan yang ada di pusat kota. Urban

sprawl merupakan salah satu bentuk perkembangan kota yang dilihat dari segi fisik seperti bertambahnya gedung secara vertikal maupun horisontal, bertambahnya jalan, tempat parkir, maupun saluran drainase kota. Dampak dari pemekaran kota adalah semakin berkurangnya lahan subur produktif pertanian sehingga mengancam swasembada pangan karena terjadi perubahan peruntukan lahan pertanian menjadi lahan

terbangun. Disamping itu pemekaran kota yang tidak terkendali (unmanaged growth)

menyebabkan morfologi kota yang tidak teratur, kekumuhan (slum), dan permukiman

liar (squatter settlement). Pemilihan lokasi hunian di pinggiran kota dengan asumsi

harga lahan yang lebih murah dan kondisi udara yang masih sehat. Penduduk yang semula menyewa rumah, dengan semakin meningkat pendapatan sebagian penduduk


(29)

memilih lokasi tinggal di luar kota agar memiliki rumah tinggal sendiri. Sebagian penduduk yang berpenghasilan rendah dengan terpaksa menempati rumah tinggal yang sempit dan kumuh. Sebagian penduduk terpaksa tinggal di daerah genangan. Musim kemarau tergenang oleh air rob (air laut pasang), dan musim hujan tergenang oleh oleh air hujan. Rumah dan fasilitas pendukungnya seperti jalan, saluran drainase, tiang listrik, barang elektronik menjadi rusak. Masyarakat yang mampu pindah ke tempat lain, tetapi masyarakat yang miskin tidak ada pilihan selain tetap bertempat tinggal disana. Salah satu kota dengan urbanisasi dan pertumbuhan kota yang khas adalah Kota Semarang.

Bukit yang seharusnya menjadi daerah tangkapan hujan (recharge area) dijadikan

sebagai permukiman sebagai akibat terbatasnya lahan di pusat kota. Dampaknya adalah

air larian permukaan (surface run off) semakin tinggi dan menurunnya resapan

(inviltrasi), semakin banyak vegetasi yang hilang sehingga udara semakin panas. Itulah sebabnya sumur kering pada musim kemarau karena menurunnya cadangan air di groundwater. Keberadaan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) masih belum dapat diimplementasikan dalam mencapai tata ruang yang pro lingkungan. Terlalu banyak kepentingan sosial ekonomi yang mempengaruhi pelaksanaan RTRW, sehingga fungsi lingkungan terabaikan. Rencana yang disusun masih baik dalam teori konsep, tetapi karena tidak dapat diimplementasikan maka keberadaannya tidak mampu memformat kota agar dapat terkendali.

2.2. Proses Urban Sprawl

Menurut Yunus (2005), ditinjau dari prosesnya perkembangan spasial fisikal kota dapat diidentifikasi, yaitu :


(30)

1). Sentrifugal : proses bertambahnya ruang kekotaan yang berjalan ke arah luar dari daerah kekotaan yang sudah terbangun dan mengambil tempat di daerah pinggiran kota. Proses inilah yang memicu dan memacu bertambah luasnya areal kekotaan. Makin cepat proses ini berjalan, makin cepat pula perkembangan kota secara fisikal.

2). Sentripetal : proses penambahan bangunan-bangunan kekotaan di bagian dalam kota (pada lahan kosong/ruang terbuka kota).

b. Secara vertikal : penambahan ruang kota dengan menambah jumlah lantai (bangunan

bertingkat).

Dalam penelitian ini, penulis menitikberatkan fokus studi pada proses perkembangan spasial fisikal kota secara horizontal sentrifugal yaitu proses

bertambahnya ruang kota ke arah luar/pinggiran kota atau urban sprawl yang masih

kental dengan kenampakan fisik desa yaitu wajah pertanian terutama sawah dengan irigasi teknis. Artinya terjadi alih fungsi (konversi) penggunaan lahan pertanian menjadi

built up area dalam hal ini menjadi perumahan/permukiman penduduk, perkantoran, sekolah, perdagangan dan berbagai infrastruktur perkotaan lainnya.

Pengaruh urban sprawl dari struktur fisik adalah terjadinya pola penyebaran

permukiman yang semakin meluas/melebar ke samping kiri kanan jalur transportasi,

dengan kata lain terjadi pemusatan fasilitas umum perkotaan di nodes; bagian wilayah

tertentu. Dari struktur kependudukan adalah terjadinya pola penyebaran penduduk diperlihatkan dengan penyebaran lahan terbangun (permukiman) yang semakin melebar

ke samping kiri kanan jalan arteri. Sedangkan dari struktur ekonomi, pengaruh urban

sprawl adalah terjadinya perubahan pola kegiatan ekonomi penduduk ke arah non pertanian. Hal ini terlihat dengan semakin berkurangnya penduduk yang bekerja di


(31)

sektor pertanian dan meningkatnya penduduk yang bekerja di sektor non pertanian (pedagang, buruh industri dan jasa).

Selanjutnya menurut Yunus (1999), secara garis besar ada tiga macam proses

perluasan kekotaan (urban sprawl), yaitu :

Tipe 1 : Perembetan Konsentris ( Concentric Development/Low Density Continous

Development

Tipe pertama ini oleh Harvey Clark (1971) disebut sebagai “low density, continous development” dan oleh Wallace (1980) disebut “concentric development”. Jadi ini merupakan jenis perembetan areal kekotaan yang paling lambat. Perembetan berjalan perlahan-lahan terbatas pada semua bagian-bagian luar kenampakan fisik kota. Karena sifat perambatannya yang merata disemua bagian luar kenampakan kota yang sudah ada, maka tahap berikutnya akan membentuk suatu kenampakan morfologi kota yang relatif kompak.


(32)

Tipe 2 : Perembetan Memanjang (Ribbon development/linear development/axial development).

Tipe ini menunjukkan ketidakmerataan perembetan areal kekotaan disemua bagian sisi-sisi luar dari pada daerah kota utama. Perembetan paling cepat terlihat di sepanjang jalur transportasi yang ada, khususnya yang bersifat menjari (radial) dari pusat kota. Daerah ini sepanjang rute transportasi utama merupakan tekanan paling berat dari perkembangan. Membumbungnya harga lahan pada kawasan ini telah memojokkan pemilik lahan pertanian pada posisi yang sangat sulit.

Makin banyaknya perubahan lahan pertanian ke lahan non pertanian, makin banyaknya penduduk, makin banyaknya kegiatan non agraris. Tingginya harga lahan dan makin banyak orang yang mau membeli telah memperkuat dorongan pemilik lahan untuk meninggalkan kegiatannya dan menjualnya. Bagi masyarakat hasil penjualan tanahnya diinvestasikan lagi pada lahan yang jauh dari kota sehingga memperoleh lahan pertanian yang lebih luas.


(33)

Gambar 2.2. Perembetan Linier

Tipe 3 : Perembetan yang meloncat (leap frog development/checkerboard development)

Tipe perkembangan ini oleh kebanyakan pakar lingkungan dianggap paling merugikan, tidak efisien dalam arti ekonomi, tidak mempunyai nilai estetika dan tidak menarik. Perkembangan lahan kekotaannya terjadi berpencaran secara sporadis dan tumbuh di tengah-tengah lahan pertanian. Keadaan ini sangat menyulitkan pemerintah kota untuk membangun prasarana-prasarana fasilitas kebutuhan hidup sehari-hari.

Gambar 2.3. Perembetan Meloncat

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa ketiganya dapat terjadi bersama-sama, gabungan dari dua macam maupun sendiri-sendiri. Makin besar kotanya makin kompleks ekspresi spasial yang ditampilkannya. Pengenalan sifat masing-masing bentuk ekspresi perkembangan spasial sentrifugal adalah sangat penting karena berkaitan dengan penentuan dan pemilihan teknik manajemen tertentu yang direkomendasikan dipakai dalam rangka manajemen spasial kota. (Yunus, 2005).


(34)

2.3. Pemekaran Kota di Cileunyi – Bandung

Perkembangan suatu wilayah sangat dipengaruhi oleh wilayah sekitarnya, terutama antara wilayah kota dengan wilayah pinggirannya. Demikian halnya dengan Kecamatan Cileunyi yang merupakan wilayah pinggiran dari Kota Bandung. Salah satu

pengaruh yang mulai jelas terlihat adalah terjadinya urban sprawl.

Untuk melihat sejauhmana terjadinya urban sprawl di Kecamatan Cileunyi,

digunakan metode pendekatan studi melalui analisis deskriptif kualitatif. Analisis ini

digunakan untuk menilai indikator urban sprawl selama kurun waktu tahun 1990-2003,

yaitu jumlah, kepadatan dan migrasi penduduk, mata pencaharian penduduk, penggunaan lahan dan fasilitas umum perkotaan. Hasil akhir dari studi ini adalah

gambaran mengenai proses terjadinya urban sprawl selama kurun waktu 1990-2003 dan

pengaruh urban sprawl terdahap struktur tata ruang wilayah Kecamatan Cileunyi.

Dimana proses terjadinya urban sprawl di mulai sejak tahun 1997, terutama terlihat dari

jumlah dan kepadatan penduduk di setiap desa dan Kecamatan Cileunyi secara keseluruhan yang mengarah pada perubahan fungsi wilayah pedesaan menjadi kota

menengah dan menuju kota besar. Sedangkan pengaruh urban sprawl terhadap struktur

tata ruang dapat dilihat dari 3 (tiga) struktur yaitu struktur fisik, kependudukan dan ekonomi.

Pengaruh urban sprawl dari struktur fisik adalah terjadinya pola penyebaran

permukiman yang semakin meluas/melebar ke samping kiri kanan jalur transportasi,

dengan kata lain terjadi pemusatan fasilitas umum perkotaan di nodes; bagian wilayah


(35)

diperlihatkan dengan penyebaran lahan terbangun (permukiman) yang semakin melebar

ke samping kiri kanan jalan arteri. Sedangkan dari struktur ekonomi, pengaruh urban

sprawl adalah terjadinya perubahan pola kegiatan ekonomi penduduk ke arah non pertanian. Hal ini terlihat dengan semakin berkurangnya penduduk yang bekerja di sektor pertanian dan meningkatnya penduduk yang bekerja di sektor non pertanian (pedagang, buruh industri dan jasa).

Dengan gambaran kondisi tersebut, lebih jauh pengaruh urban sprawl terhadap struktur tata ruang wilayah Kecamatan Cileunyi dapat merambah ke kawasan dengan fungsi lindung. Untuk itu perlu ada upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bandung bekerja sama dengan Kota Bandung seperti pengendalian pemanfaatan ruang sesuai fungsi kawasan, pengaturan pemberian ijin lokasi (insentif dan disinsentif), pengaturan distribusi penduduk, pengelolaan wilayah pinggiran melalui sinkronisasi kebijaksanaan, program dan kegiatan serta pengalihan sebagian pusat-pusat kegiatan perkotaan ke wilayah pinggiran. (Rustiati 2007).

2.4. Dimensi Fisik Spasial dan Non Fisik

Secara garis besar proses urban sprawl dapat ditinjau terhadap dua dimensi yaitu

dimensi fisik spasial dan dimensi non fisikal.

2.4.1. Dimensi Fisik Spasial

Identifikasi dimensi secara fisikal ditinjau terhadap 3 (tiga) elemen utama morfologi kota (Smailes, 1955) dalam Yunus (2006) yang dapat digunakan sebagai indikator untuk mengenali sifat kekotaan dari segi kenampakan fisik. Ketiga elemen tersebut adalah :


(36)

a. Karakteristik pemanfaatan lahan (land use characteristics)

Elemen karakteristik pemanfaatan lahan ditekankan pada bentuk dan tipe pemanfaatan lahan semata. Klasifikasi bentuk pemanfaatan lahan yang berkonotasi kekotaan atau kedesaan diklasifikasikan kedalam 2 (dua) bentuk saja, yaitu bentuk pemanfaatan lahan non agraris dan bentuk pemanfaatan lahan agraris. Bentuk pemanfaatan lahan non agraris adalah bentuk pemanfaatan lahan yang diklasifikasikan

sebagai settlement built-up areas yang berasosiasi dengan sektor kekotaan dan bentuk

pemanfaatan lahan agraris khususnya vegetated area yang berasosiasi dengan sektor

kedesaan.

b. Karakteristik bangunan (building characteristics)

Tinjauan ini menekankan pembahasan pada fungsi dari sebuah bangunan, fungsi mana selalu berasosiasi dengan orientasi pemanfaatannya. Sesuatu kota selalu diciri khas oleh dominasi fungsi bangunan yang berorientasi pada kegiatan kekotaan atau sektor non agraris. Dalam tinjauan mengenai karakteristik bangunan juga ditambahkan tentang kepadatan bangunan dan jumlah bangunan pada suatu areal tertentu yang sangat berbeda dengan apa yang terdapat di daerah pedesaan dengan jumlah dan kepadatan bangunan yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan apa yang terlihat di bagian kota.

Fenomena lain yang perlu diamati berkaitan dengan pembahasan karakteristik bangunan adalah proses perubahan fungsi bangunan. Proses perubahan orientasi pada sektor kedesaan dan kemudian beralih menjadi berorientasi sektor kekotaan. Hal ini terjadi dalam kompleks permukiman maupun dalam bangunan-bangunan secara individual.


(37)

c. Karakteristik sirkulasi (circulation characteristics)

Karakteristik yang juga digunakan untuk mengidentifikasi apakah sesuatu kenampakan fisikal merupakan bagian dari daerah kekotaan adalah karakteristik sirkulasi. Sirkulasi yang ditekankan di sini adalah prasarana yang memfasilitasi peredaran barang, jasa dan informasi yaitu jaringan transportasi dan komunikasi. Jaringan transportasi yang terbentuk di daerah yang kegiatan penduduknya sangat banyak baik volume maupun frekuensinya akan menciptakan jaringan transportasi yang sangat padat dengan kompleksitas sarana transportasi yang sangat tinggi.

Kompleksitas karakteristik sirkulasi dapat dilihat dari banyaknya kendaraan yang berlalu lalang, keragaman kendaraan, kepadatan jaringan jalan, keanekaan rambu-rambu lalu lintas yang kesemuanya nyaris tidak ditemukan di daerah yang bukan bersifat kekotaan.

Proses urbanisasi secara fisik spasial terdiri dari 3 (tiga) yaitu :

a. Perpindahan penduduk dari desa ke kota. b. Perubahan status pemerintahan.

c. Perembetan kenampakan fisik kekotaan kearah luar (urban sprawl).

2.4.2. Dimensi Non Fisikal

Dalam tinjauan ini, proses urban sprawl yaitu merupakan berubahnya

keseluruhan dimensi kehidupan manusia dari sifat kedesaan menjadi bersifat kekotaan. Perubahan meliputi perilaku ekonomi, sosial, budaya, politik dan teknologi. Contoh perubahan non fisikal yang umumnya terjadi misalnya dari aspek sosial budaya adalah


(38)

sifat kekerabatan yang dulunya kuat menjadi semakin individualistis dan formalistik, aspek ekonomi misalnya perubahan proporsi mata pencaharian dari agraris (petani) menjadi non agraris (pedagang, karyawan, buruh), aspek teknologi misalnya penggunaan peralatan rumah tangga dari yang sederhana menjadi yang serba elektronis (rice cooker, setrika listrik, televisi, HP), aspek politik yaitu semakin meningkatnya kesadaran masyarakat akan peran serta mereka dalam berbagai kegiatan politik dan pembangunan.

Beberapa karakteristik sebagai ciri yang membedakan masyakat pedesaan dengan masyarakat perkotaan ditinjau dari dimensi non fisikal seperti yang disebutkan oleh Said (2009), yaitu :

a.Jumlah dan kepadatan penduduk.

Meskipun tidak ada ukuran pasti, kota memiliki penduduk yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan desa. Hal ini mempunyai kaitan erat dengan kepadatan penduduk. Kepadatan penduduk ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap pola pembangunan perumahan.

b. Lingkungan hidup.

Lingkungan hidup di pedesaan sangat jauh berbeda dengan di pekotaan. Lingkungan pedesaan terasa lebih dekat dengan alam bebas. Udaranya bersih, sinar matahari cukup, tanahnya segar diselimuti berbagai jenis tumbuh-tumbuhan dan berbagai satwa yang terdapat sela-sela pepohonan. Air yang menetes, memancar dari sumber-sumber dan kemudian mengalir melalui anak-anak sungai mengairi petak-petak


(39)

persawahan. Semua ini sangat berbeda dengan lingkungan perkotaan yang sebagian besar dilapisi beton dan aspal. Bangunan-bangunan yang menjulang tinggi. Udara yang terasa pengap karena tercemar asap buangan cerobong pabrik dan kendaran bermotor. Kota sudah terlalu banyak mengalami sentuhan teknologi, sehingga kadang-kadang memasukkan sebagian alam kedalam rumahnya, baik yang berupa tumbuh-tumbuhan bahkan mungkin hanya gambarnya saja.

c. Mata pencaharian.

Perbedaan yang sangat menonjol adalah pada mata pencaharian. Kegiatan utama penduduk desa berada di sektor ekonomi primer yaitu bidang agraris. Kehidupan ekonomi terutama tergantung pada usaha pengelolaan tanah untuk keperluan pertanian, peternakan dan termasuk juga perikanan darat. Sedangkan kota merupakan pusat kegiatan sektor ekonomi sekunder yang meliputi bidang industri, disamping sektor ekonomi tertier yaitu bidang pelayanan jasa. Jadi kegiatan di desa adalah mengolah alam untuk memperoleh bahan-bahan mentah untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia. Sedangkan kota mengolah bahan-bahan mentah yang berasal dari desa menjadi bahan setengah jadi atau mengolahnya sehingga berwujud bahan jadi yang dapat segera di konsumsi.

d. Corak kehidupan sosial.

Corak kehidupan sosial di desa dapat dikatakan masih homogen. Sebaliknya di kota sangat heterogen, karena disana saling bertemu berbagai suku bangsa, agama, kelompok dan masing-masing memiliki kepentingan yang berlainan.


(40)

e. Stratifikasi sosial.

Stratifikasi sosial kota jauh lebih kompleks daripada di desa. Misalnya saja mereka yang memiliki keahlian khusus dan bidang kerjanya lebih bamyak memerlukan pemikiran memiliki kedudukan lebih tinggi dan upah lebih besar dari pada mereka yang dalam sisitem kerja hanya mampu menggunakan tenaga kasarnya saja. Hal ini akan membawa akibat bahwa perbedaan antara pihak kaya dan miskin semakin menyolok.

f. Mobilitas sosial.

Mobilitas sosial di kota jauh lebih besar daripada di desa. Di kota, seseorang memiliki kesempatan besar untuk mengalami mobilitas sosial, baik vertikal yaitu perpindahan kedudukan yang lebih tinggi atau lebih rendah, maupun horisontal yaitu perpindahan ke pekerjaan lain yang setingkat.

g. Pola interaksi sosial.

Pola-pola interaksi sosial pada suatu masyarakat ditentukan oleh struktur sosial masyarakat yang bersangkutan. Karena struktur sosial dan lembaga-lembaga sosial yang ada di pedesaan sangat berbeda dengan di perkotaan. Maka pola interaksi sosial pada kedua masyarakat tersebut juga tidak sama.

h. Solidaritas sosial.

Solidaritas sosial pada kedua masyarakat ini pun ternyata juga berbeda. Kekuatan yang mempersatukan masyarakat pedesaan timbulk karena adanya


(41)

kesamaan-kesamaan kemasyarakatan. Sebaliknya solidaritas masyarakat perkotaan justru terbentuk karena adanya perbedaan-perbedaan dalam masyarakat.

i. Kedudukan dalam hierarki sistem administrasi nasional.

Dalam hierarki sistem administrasi nasional, kota memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada desa. Di negara kita misalnya, urut-urutan kedudukan tersebut adalah : ibukota negara, kota provinsi, kota kabupaten, kota kecamatan dan seterusnya. Semakin tinggi kedudukan suatu kota dalam hierarki tersebut, kompleksitasnya semakin meningkat, dalam arti semakin banyak kegiatan yang berpusat disana.

Dalam penelitian ini, proses urban sprawl untuk dimensi non fisik ditinjau

terhadap perubahan mata pencaharian penduduk yang berlokasi di kawasan penelitian, yaitu perubahan mata pencaharian dari sektor primer (pertanian) menjadi bermata pencaharian non pertanian antara lain : pedagang/wiraswasta, industri (buruh dan karyawan), PNS/TNI/Polri dan sebagainya.

2.5. Faktor-faktor Penyebab Urban Sprawl

Proses bertambahnya ruang kekotaan yang berjalan ke arah luar dari daerah kekotaan yang sudah terbangun dan mengambil tempat di daerah pinggiran kota memicu dan memacu bertambah luasnya areal kekotaan. Makin cepat proses ini berjalan, makin cepat pula perkembangan kota secara fisikal. Variasi keruangan dan lingkungan yang terdapat di daerah pinggiran kota akan menyebabkan variasi akselerasi perkembangan spasial yang terjadi. Makin banyak dan kuat faktor-faktor penarik yang terdapat di daerah pinggiran kota terhadap penduduk dan fungsi-fungsi, makin cepat pula proses bertambahnya ruang kekotaan.


(42)

Menurut Lee (1979) dalam Yunus (2005), mengemukakan bahwa terdapat 6 (enam) faktor yang mempunyai pengaruh kuat yang menyebabkan perkembangan ruang

secara sentrifugal kearah luar (urban sprawling) dan sekaligus akan mencerminkan

variasi intensitas perkembangan ruang di daerah pinggiran kota. Keenam faktor-faktor tersebut adalah :

a. Faktor Aksesibilitas

Faktor aksessibilitas mempunyai peranan yang besar terhadap perubahan pemanfaatan lahan, khususnya perubahan pemanfaatan lahan agraris menjadi non agraris di daerah pinggiran kota. Dalam wacana aksesibilitas dikenal berbagai macam jenis aksesibilitas, antara lain aksesibilitas sosial, aksesibilitas ekonomi, aksesibilitas budaya, aksesibilitas politik dan aksesibilitas spasial yang sering diasosiasikan dengan pengertian aksesibilitas fisikal. Yang dimaksud aksesibilitas dalam hal ini adalah aksesibilitas fisikal yaitu tingkat kemudahan suatu lokasi dapat dijangkau oleh berbagai lokasi lain. Pengukuran aksesibilitas fisikal dapat dilaksanakan dengan menilai prasarana transportasi yang ada bersama-sama dengan sarana transportasinya.

Di daerah yang mempunyai nilai aksesibilitas fisikal yang tinggi akan mempunyai daya tarik yang lebih kuat dibandingkan dengan daerah yang mempunyai nilai aksesibilitas fisikal yang rendah terhadap penduduk maupun fungsi-fungsi kekotaan. Di bagian tertentu daerah pinggiran kota yang masih didominasi oleh lahan pertanian, namun memliki nilai aksesibilitas fisikal yang tinggi, proses konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian atau proses pengurangan lahan pertanian akan berjalan jauh lebih cepat dibandingkan dengan daerah-daerah pertanian dengan aksesibilitas fisikal yang lebih rendah.


(43)

b. Faktor Pelayananan Umum

Faktor pelayanan umum merupakan faktor penarik terhadap penduduk dan fungsi-fungsi kekotaan untuk datang kearahnya. Makin banyak jenis dan macam pelayanan umum yang terkonsentrasi pada suatu wilayah, maka makin besar daya tariknya terhadap penduduk dan fungsi-fungsi kekotaan. Pembangunan kampus pendidikan yang besar, sebagai contoh, akan diikuti pula oleh banyaknya pendatang baru baik sebagai mahasiswa maupun pegawai-pegawai institusi yang bersangkutan. Penduduk setempat baik asli maupun pendatang banyak yang memanfaatkan peluang bisnis baru untuk memperoleh tambahan penghasilan. Usaha pemondokan mahasiswa, pembangunan rumah baru untuk tujuan yang sama, usaha jasa pengetikan, rental komputer, warung internet, fotocopy dan percetakan dan lain sejenisnya sangat marak terjadi pada pusat-pusat pendidikan baru.

Pusat pelayanan umum sangat banyak macamnya, antara lain, kampus pendidikan, pusat perbelanjaan, kompleks perkantoran, kompleks industri, pusat rehabilitasi, rumah sakit, tempat ibadah, tempat rekreasi dan olah raga, stasiun kereta api, stasiun bus, bandara dan lain sejenisnya.

c. Faktor Karakteristik Lahan

Lahan-lahan yang terbebas dari banjir, stabilitas tanahnya tinggi, topografi relatif datar atau mempunyai kemiringan yang kecil, air tanah relatif dangkal, relief mikronya tidak menyulitkan untuk pembangunan, drainasenya baik, terbebas dari polusi air, udara maupun tanah akan mempunyai daya tarik yang lebih besar terhadap penduduk maupun fungsi-fungsi lain kekotaan dibandingkan dengan daerah-daerah yang skor komposit variabel karakteristik lahannya lebih rendah.


(44)

Demikian pula bentuk pemanfaatan lahan yang berbeda akan mempunyai daya tarik yang berbeda pula. Sebagai contoh dapat dikemukakan, yaitu lahan pekarangan akan berbeda dengan lahan persawahan walaupun keduanya mempunyai skor komposit yang sama. Bagi orang yang akan memanfaatkan lahannya untuk perumahan, cenderung memilih lahan pekarangan dibandingkan lahan persawahan. Penyebab utamanya terletak pada kerepotan dalam proses pembangunannya.

d. Faktor Karakteristik Pemilik Lahan.

Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa pemilik lahan yang mempunyai status ekonomi lebih lemah mempunyai kecenderungan lebih kuat untuk menjual lahannya dibanding dengan mereka yang mempunyai status ekonomi kuat. Pemilik-pemilik lahan berekonomi lemah kebanyakan berasosiasi dengan Pemilik-pemilikan lahan yang sempit dan mereka inilah yang paling terpengaruh oleh meningkatnya harga lahan yang semakin tinggi, sementera itu upaya pengolahan lahannya tidak menguntungkan. Mereka yang berekonomi kuat tidak didera oleh kebutuhan ekonomi mendesak, sehingga kemampuan untuk mempertahankan lahannya atau tidak menjual lahannya lebih kuat dibandingkan dengan mereka yang berekonomi lemah. Hal inilah antara lain alasan rasional yang mendasari mengapa karakteristik pemilik lahan mempunyai pengaruh terhadap perkembangan spasial di daerah pinggiran kota. Pada daerah yang didominasi oleh pemilik lahan yang berstatus ekonomi lemah, transaksi jual-beli lahan akan lebih intensif dibandingkan dengan daerah yang didominasi oleh pemilik lahan berekonomi kuat.


(45)

Diyakini sebagai salah satu faktor yang berpengaruh kuat terhadap intensitas perkembangan spasial di daerah pinggiran kota apabila peraturan yang ada dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen. Beberapa kota di Indonesia telah mempunyai perumusan yang baik untuk pengembangan kotanya, namun kebanyakan dari mereka tidak melaksanakan keputusannya sendiri secara konsisten dan konsekuen. Hal inilah yang mengakibatkan dampak-dampak keruangan, sosial, ekonomi dan lingkungan negatif yang sulit dipecahkan pada masa depan yang panjang.

f. Faktor prakarsa pengembang

Faktor ini mempunyai peranan yang kuat pula dalam mengarahkan pengembangan spasial sesuatu kota. Oleh karena pengembang selalu menggunakan ruang yang cukup luas maka keberadaan kompleks yang dibangun akan mempunyai dampak yang besar pula terhadap lingkungan sekitar. Pada daerah tertentu yang mungkin sebelum dibeli pengembang merupakan lahan dengan nilai ekonomis yang sangat rendah, setelah dibeli dan dimanfaatkan oleh pengembang untuk kawasan permukiman elit dengan prasarana dan sarana permukiman yang lengkap dan baik, maka daerah tersebut menjadi sangat menarik pemukim-pemukim baru maupun bentuk kegiatan ekonomi. Daerah semacam ini akan mempunyai akselerasi perkembangan spasial yang jauh lebih cepat dibandingkan dengan daerah yang tidak dijamah oleh pengembang.

Sedangkan menurut Chapin (1957) dalam Suartika (2007) mengidentifikasi tiga kelompok (faktor) yang berperan besar dalam menentukan tata guna lahan yaitu :

1. Faktor ekonomi, yang berorientasi kepada kepentingan pengembangan modal


(46)

2. Faktor pemenuhan kebutuhan dasar dan menjaga keberlangsungan hidup masyarakat

umum (public interest values).

3. Faktor nilai-nilai sosial bertumbuhkembang di daerah dimana lahan itu berada

(socially rooted values).

Gambar 2.4. Hubungan antara faktor-faktor penentu dalam pemanfaatan lahan

Secara nalar, Chapin kemungkinan menghilangkan kepentingan politik (political

values) karena secara prinsip politik suatu negara didedikasikan menjaga

keberlangsungan hidup rakyatnya (public interest values). Tetapi hal ini tidak selalu

benar. Kalau kerangka pemikiran Chapin hendak diterapkan di negara dengan praktek-praktek sentralisasi politik yang kental seperti Indonesia (Firman 1999, 2000, Faisal 2002), memberikan tempat khusus pada political interest menduduki posisi strategis, seperti faktor penentu yang telah diidentifikasikan dari awal (Suartika, 2007).


(47)

Jadi menurut Suartika untuk negara dengan sentralisasi kebijakan politik yang masih kental termasuk Indonesia terdapat 4 (empat) faktor penentu tata guna lahan, yaitu :

1. Faktor Ekonomi

2. Faktor Kebutuhan Masyarakat. 3. Faktor nilai-nilai sosial.

4. Faktor Politik.

Sedangkan menurut Dowall (1978), Durand dan Laverse (1983) dalam Hartini dkk (2008), ada dua faktor yang mempengaruhi penggunaan lahan, yaitu faktor eksternal dan faktor internal.

Faktor eksternal meliputi :

1. Tingkat urbanisasi secara umum

2. Kondisi perekonomian

3. Kebijakan dan program-program pembangunan kota

Sedangkan faktor internal, meliputi :

1. Lokasi dan potensi lahan

2. Pola pemilikan lahan

3. Motivasi kepemilikannya.

Sementara menurut Suryadini (1994) dalam Hartini dkk (2008) menyatakan bahwa faktor penyebab terjadinya perubahan pemanfaatan lahan adalah :


(48)

2. Kebutuhan pemenuhan fasilitas yang ingin dibangun untuk melayani penduduk

3. Kurangnya pengawasan dari pemerintah.

4. Tingkat pendapatan masyarakat berpengaruh terhadap tingkat kebutuhan akan ruang

terbuka hijau.

5. Konsekuensi dari lokasi yang strategis secara ekonomis dan produktif yang dapat

meningkatkan nilai lahan.

2.6. Diversifikasi Mata Pencaharian

Diversifikasi adalah suatu proses semakin beragam dan semakin banyaknya sumber penghasilan penduduk. Proses tersebut merupakan proses struktural dimana sumber lapangan kerja dan pendapatan penduduk desa dikembangkan dan diperluas. Jadi proses tersebut mencakup pengembangan dari pengenalan jenis tanaman dan teknologi pada sistem usahatani tradisional ke pengembangan lapangan kerja di luar pertanian, khususnya pada industri kecil pedesaan. Secara bertahap proses tersebut tersebut mencakup beralihnya tenaga kerja pedesaan yang bekerja di sektor pertanian (dalam tingkat yang makin besar) dan hal ini merupakan bagian dari transformasi ekonomi secara struktural. Pada tingkat yang sangat umum ini, diversifikasi pedesaan dapat dianggap sebagai proses bertahap yang tidak dapat dihindari. (Prabowo, 1995).

Hal tersebut di atas merupakan elemen utama dalam proses pembangunan di hampir semua negara berkembang, yang mencakup tidak hanya kenaikan produksi

pertanian non-traditional tetapi juga pertumbuhan nonfarm di pedesaan yang dapat

menyediakan dasar bagi pertumbuhan yang berkesinambungan dan pemerataan. Sebagai akibatnya, transformasi struktural berakibat terhadap turunnya sumbangan sektor


(49)

pertanian baik dalam produksi maupun penyerapan tenaga kerja serta proporsi penduduk pedesaan terhadap penduduk keseluruhan.

Sedangkan menurut Rachman, Handewi PS, dkk (2006), pengertian diversifikasi terkait dengan masalah keragaman sumber pendapatan (usaha) rumah tangga di pedesaan. Dari berbagai definisi, secara umum, diversifikasi dapat diterangkan sebagai berikut :

a. Pergeseran sumberdaya dari kegiatan usahatani ke non-usahatani.

b. Penggunaan sumberdaya dalam skala besar berupa campuran dari berbagai komoditas dan kegiatan yang menunjangnya.

c. Perubahan sumberdaya dari komoditas pertanian bernilai rendah ke komoditas pertanian bernilai tinggi.

Yang juga penting adalah kemampuan melakukan diversifikasi (mata pencaharian, peruntukan lahan, moda transportasi, dan sebagainya) yang seringkali harus dilakukan akibat tekanan atau perubahan-perubahan tertentu. Satu contoh yang dapat dikemukakan disini adalah diversifikasi mata pencaharian penduduk di dua desa di sekitar delta Red River di Vietnam yang dikaitkan dengan pertumbuhan jaringan transportasi dan perkembangan kota-kota di sekitarnya. Selama 15 tahun pengamatan, penduduk di ke-dua desa tersebut melakukan diversifikasi usaha mulai dari petani, peternak, pedagang, hingga pengrajin untuk bertahan dan meningkatkan kualitas hidup (Thanh dkk, 2005).


(50)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah di koridor Jalan Melanthon Siregar di Kecamatan Siantar Marihat Kota Pematangsiantar. Mengapa koridor jalan ini, adalah dengan

pertimbangan letak geografis jalan yang terletak di pinggiran kota (sub urban)

Pematangsiantar yang banyak mengalami fenomena proses urban sprawling dimana

terjadinya perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi built up area antara lain

berupa perumahan dan permukiman penduduk, perkantoran, perdagangan, pendidikan dan berbagai infrastruktur dan utilitas perkotaan lainnya.

Jalan Melanthon Siregar sendiri merupakan jalan propinsi dengan kondisi berupa infrastruktur aspal hotmix yang cukup baik dan lebar menghubungkan pusat primer Kota Pematangsiantar dengan kota-kota Kecamatan di Kabupaten Simalungun wilayah timur dan merupakan jalan alternatif bagi para pengguna kendaraan dari dan ke wilayah pesisir timur Sumatera Utara.

3.2. Jenis dan Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah Data Sekunder dan Data Primer.

3.2.1. Data Sekunder

Data Sekunder adalah jenis data yang diperoleh dari hasil pengumpulan publikasi


(51)

a. Peta-peta Tematik Kota Pematangsiantar dan Kecamatan Siantar Marihat.

b. Rencana Umum Tata Ruang Kota Pematangsiantar Tahun 2002 -2011.

c. Perda Nomor 7 Tahun 2003 tentang Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Kota Pematangsiantar Tahun 2002 – 2011.

d. Laporan Rencana Revisi RUTR Kota Pematangsiantar Tahun 2007 – 2016.

e. Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) Kecamatan Siantar Marihat Tahun 2000 – 2011.

f. Pematangsiantar Dalam Angka, Kecamatan Siantar Marihat Dalam Angka, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), dan sebagainya.

3.2.2. Data Primer

Data primer adalah data yang didapatkan dari hasil wawancara dan penyebaran kuesioner kepada penduduk di wilayah penelitian, wawancara dengan aparat Pemerintah Kota dan Kecamatan/Kelurahan yang berkompeten, pengamatan (observasi) langsung dan mendokumentasikan secara visual kondisi eksisting di lapangan.

3.2.3. Metode Pengumpulan Data

a. Data Sekunder

Metode pengumpulan data sekunder ini adalah dengan cara mengumpulkan publikasi dari berbagai sumber instansi Pemerintah Kota Pematangsiantar baik dalam bentuk buku, gambar, peta dan sebagainya antara lain dari Bappeda, Dinas Pertanian,


(52)

Dinas Pekerjaan Umum, Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kantor Kecamatan/Kelurahan di Siantar Marihat.

b. Data Primer

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Dalam Penelitian kualitatif metode pengumpulan data primer yang biasanya dimanfaatkan adalah wawancara, pengamatan, dan pemanfaatan dokumen (Moleong, 2005).

1). Wawancara

Wawancara yang dilakukan dibagi atas dua bagian yaitu wawancara terstruktur dan wawancara tidak terstruktur. Wawancara terstruktur, dengan mengadakan wawancara langsung kepada responden secara pribadi atau perseorangan dengan mengajukan kuesioner. Wawancara tidak terstruktur, dalam hal ini tidak disediakan daftar pertanyaan, akan tetapi caranya agak bebas dan sederhana serta tidak terlihat formil, sehingga tidak menimbulkan kekakuan dalam wawancara dan yang diwawancarai diusahakan tidak menyadari bahwa responden (informan) sedang diwawancarai sehingga data yang diperoleh lebih akurat dan terjamin (Muslim, 2003).

Untuk mendapatkan sampel digunakan teknik random sampling (sampel

random). Sampel random adalah sampel yang diambil dari suatu populasi dan setiap anggota populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel (Singarimbun, 1995).

Wawancara dilakukan terhadap sampel penduduk yang bermukim di sepanjang koridor Jalan Melanthon Siregar yang masuk wilayah administratif Kota Pematangsiantar. Untuk pengampilan sampel yang representatif, tergantung dari kondisi


(53)

populasi. Jika populasi penelitian dianggap homogen, maka sampelnya cukup diambil 5 % saja tetapi manakala populasinya heterogen, maka jumlah sampelnya dinaikkan menjadi lebih besar. Donald Ary menyarankan 10 – 20 %. (Mukhtar dan Widodo, 2000). Dalam penelitian ini penulis tidak membatasi diri tentang persentase minimal jumlah sampel terhadap populasi, namun penulis berusaha mendapatkan sebanyak-banyaknya sampel dari total populasi penduduk yang bermukim di kawasan penelitian tersebut, melebihi persyaratan minimum jumlah sampel di atas.

Wawancara terstruktur dengan pengisian kuesioner sebagian besar dilakukan terhadap sampel penduduk di lokasi penelitian, sebagian kecil dilakukan dengan wawancara tidak terstruktur, sedangkan wawancara yang dilakukan terhadap beberapa narasumber yang berkompeten dari jajaran instansi Pemerintahan Kota Pematangsiantar antara lain : Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Kepala Bappeda, Kepala Dinas Pertanian, Kepala BPS, Camat dan Lurah di Siantar Marihat, pengurus sekolah, rumah ibadah, perkantoran swasta dan sebagainya, dilakukan dengan teknik wawancara tidak terstruktur.

2). Pengamatan

Pengamatan atau observasi ke lapangan ditujukan untuk lebih meyakini kebenaran dari data yang diperoleh berdasarkan wawancara untuk disesuaikan dengan kondisi lapangan atau lokasi penelitian dan mendokumentasikan secara visual kondisi eksisting tersebut.


(54)

Pemanfaatan dokumen adalah berupa data sekunder yang didapatkan penulis dari berbagai sumber instansi Pemerintah Kota Pematangsiantar antara lain Bappeda, Dinas PU, Dinas Pertanian, BPS, Kecamatan dan Kelurahan di Siantar Marihat. Dokumen-dokumen tersebut antara lain Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Pematangsiantar, Rencana Detail Tata Ruang Kecamatan Siantar Marihat, Pematangsiantar Dalam Angka, PDRB Kota Pematangsiantar dan sebagainya.

3.3. Tahapan/Kronologis Pengumpulan Data

Pengumpulan data baik data sekunder dan data primer dilakukan dengan tahapan/kronologis sebagai berikut :

1). Pengurusan surat izin penelitian dari Ketua Program Studi Magister Teknik Arsitektur Universitas Sumatera Utara Nomor Surat : 032/H5.2.1.4/SPB/2010 tanggal 30 Januari 2010 perihal Permohonan Izin Penelitian.

2). Pengurusan Surat Rekomendasi/Izin Penelitian dari Pemerintah Kota

Pematangsiantar up. Kepala Badan Penelitian Pengembangan dan Statistik Kota Pematangsiantar Nomor : 800/035/BPPS/II/2010 tanggal 1 Pebruari 2010 perihal Rekomendasi/Izin Penelitian an. Jayadin Simarmata.

3). Setelah mendapat izin/rekomendasi dari Pemerintah Kota Pematangsiantar, penulis segera mengumpulkan data sekunder berupa berbagai dokumen tertulis yang dimiliki oleh instansi di jajaran Pemerintah Kota yang berhubungan dengan penelitian ini, dilakukan pada periode waktu bulan Pebruari sampai dengan April 2010.


(55)

a. Wawancara terstruktur yaitu dengan menyebarkan kuesioner kepada responden yang berdomisili di sepanjang kiri kanan koridor Jalan Melanthon Siregar. Jumlah responden berdasarkan jumlah bangunan yang terdapat pada koridor jalan ini adalah sebanyak 102 (seratus dua) responden, namun yang berhasil didapatkan adalah 78 (tujuh puluh delapan) responden atau 76,47 %. Dari 78 responden tersebut, kami klasifikasikan lagi berdasarkan tahun mulai berdomisili di kawasan tersebut, yaitu periode sebelum tahun 1990 yaitu sebanyak 49 responden, sedangkan yang berdomisili setelah tahun 1990 sebanyak 29 responden.

Beberapa kendala dalam mendapatkan data penghuni (responden) di kawasan tersebut sebanyak 24 (dua puluh empat) rumah yang dapat kami identifikasi berdasarkan pengalaman di lapangan antara lain :

1). Responden (pemilik rumah) yang tidak berdomisili di tempat tersebut (rumah/ruko yang dibiarkan kosong tidak berpenghuni) : 7 (tujuh) buah.

2). Responden yang tidak bersedia mengisi kuesioner maupun untuk di wawancarai : 12 (dua belas) buah.

3). Responden yang mengembalikan kuesioner dalam keadaan kosong (tidak diisi/tidak lengkap) : 5 (lima) buah.

b. Wawancara Tidak Terstruktur : yaitu dengan melakukan pembicaraan lisan dengan beberapa responden(informan) terutama yang sudah berdomisili di kawasan tersebut sebelum periode tahun 1990 yang mengetahui sejarah lahan dan bangunan di kawasan tersebut. Wawancara tidak terstruktur juga dilakukan dengan beberapa aparat Pemerintah Kota Pematangsiantar antara lain dengan Kepala Bappeda, Kepala


(56)

Dinas Pekerjaan Umum, Kepala Dinas Pertanian, Kepala BPS, Camat Siantar Marihat dan pengurus sekolah, rumah ibadah, perkantoran yang berlokasi di sepanjang koridor Jalan Melanthon Siregar.

Penyebaran kuesioner dan wawancara dilakukan oleh penulis sendiri dibantu beberapa orang staf dari Bappeda Kota Pematangsiantar, dilaksanakan pada minggu pertama bulan Juni tahun 2010.

3.4. Metode Analisis

Penelitian ini mempergunakan metode deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki (Nasir, 1999).

3.3.1. Analisis Deskriptif Kualitatif

Metode Analisis Data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan analisis data Teknik Deskriptif Kualitatif. Menurut Bogdan dan Biklen (1982) analisis data adalah proses mencari dan mengatur secara sistematis transkrip interview, catatan lapangan dan bahan-bahan lain yang ditemukan di lapangan. Kesemuanya dikumpulkan untuk meningkatkan pemahaman (terhadap suatu fenomena) dan membantu untuk mempresentasikan temuan penelitian kepada orang lain. Secara subtansial, pendapat ini menunjukkan bahwa di dalam analisis data terkandung muatan pengumpulan dan


(57)

interpretasi data. Inilah yg menjadi ciri utama dari penelitian deskriptif kualitatif. (Mukhtar dan Widodo, 2000).

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang dilakukan dalam setting tertentu

yang ada dalam kehidupan riil (alamiah) dengan maksud menginvestigasi dan memahami fenomena : apa yang terjadi, mengapa terjadi dan bagaimana terjadinya? Jadi

riset kualitatif adalah berbasis pada konsep “going exploring” yang melibatkan

indepthand case-oriented study atas sejumlah kasus atau kasus tunggal (Finlay 2006) dalam (Chariri, 2007).

Penelitian dengan metode kualitatif (Moleong, 2005), digunakan untuk keperluan antara lain yang relevan dengan tujuan penelitian ini adalah :

a. Untuk keperluan evaluasi.

b. Dimanfaatkan oleh peneliti yang berminat untuk menelaah sesuatu latar belakang misalnya motivasi, peranan, nilai, sikap dan persepsi.

c. Dimanfaatkan oleh peneliti yang ingin meneliti sesuatu dari segi prosesnya.

Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan bersamaan dengan pengumpulan data dan dilanjutkan setelah pengumpulan data dilaksanakan. Analisis data adalah upaya untuk mengatur dan menafsirkan data agar diperoleh pemahaman tentangnya sesuai dengan tujuan penelitian.

Analisa kualitatif dalam penelitian ini mencakup tahap klasifikasi, interpretasi, dan penarikan kesimpulan. Hasil klasifikasi data diinterpetasikan dengan bantuan teori-teori untuk memperoleh pemahaman atas data sesuai dengan tujuan penelitian.


(58)

Interpretasi data merupakan upaya untuk memperoleh arti dan makna yang lebih mendalam dan luas terhadap hasil penelitian yang sedang dilakukan. Pembahasan hasil penelitian secara kritis dengan teori yang relevan dan informasi yang akurat yang diperoleh di lapangan (Moleong, 2005).

Setelah interpretasi, tahap terakhir adalah penarikan kesimpulan, yakni membuat generalisasi sebagai jawaban atas permasalahan dan pertanyaan –pertanyaan penelitian berdasarkan interpretasi terhadap data yang diperoleh.


(59)

BAB IV

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4.1. Gambaran Kota Pematangsiantar

4.1.1. Kondisi Geografis dan Administratif

Secara geografis Kota Pematangsiantar terletak di Propinsi Sumatera Utara pada garis 3°01’09” - 2°54’40” Lintang Utara dan 99°6’23” - 99°1’10” Bujur Timur yang berada di tengah-tengah Kabupaten Simalungun, dengan jarak ke ibukota Propinsi yaitu Kota Medan sejauh ± 128 km.

Gambar 4.1. Kota Medan – Kota Pematangsiantar (± 128 km)


(60)

Wilayah Kota Pematangsiantar memiliki dataran dengan luas 79,97 km2 atau sekitar 0,11 % dari luas Propinsi Sumatera Utara yang terletak ± 400 - 500 meter di atas permukaan laut. Karena terletak dekat dengan daerah khatulistiwa, Kota Pematangsiantar tergolong ke dalam daerah tropis dan memiliki kontur permukaan yang datar, beriklim sedang dengan suhu maksimum rata 29,7°C dan suhu minimum rata-rata 20,4°C pada tahun 2009. Selama tahun 2009 kelembaban udara rata-rata-rata-rata 86 % dengan rata-rata tertinggi mencapai 89 % pada bulan Oktober dan Nopember, sedangkan curah hujan rata-rata 306 mm dengan curah hujan tertinggi pada bulan September yang mencapai 574 mm (BPS Kota Pematangsiantar).

Struktur daerah di Kota Pematangsiantar berwujud daerah perkotaan dengan

pertanian berupa sawah dan ladang yang berada di pinggiran kota (sub urban), wilayah

administratif terdiri dari 8 Kecamatan dan 53 Kelurahan.

Tabel 4.1. Luas Daerah Menurut Kecamatan

No. Nama Kecamatan Luas Area (Km2) Rasio Thp Total (%)

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Siantar Marihat Siantar Marimbun Siantar Selatan Siantar Barat Siantar Utara Siantar Timur Siantar Martoba Siantar Sitalasari 7,825 18,006 2,020 3,205 3,650 4,520 18,022 22,723 9,78 22,52 2,53 4,01 4,56 5,65 22,54 28,41

Jumlah 79,971 100,00


(61)

4.1.2. Sejarah Kota Pematangsiantar

Sebelum proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, Pematangsiantar merupakan Daerah Kerajaan yang berkedudukan di Pulau Holing dan Raja terakhir dari dinasti ini adalah keturunan marga Damanik yaitu Tuan Sang Nawaluh Damanik yang memegang kekuasaan sebagai raja tahun 1906.

Setelah Belanda memasuki Daerah Sumatera Utara, Daerah Simalungun menjadi daerah kekuasaan Belanda sehingga pada tahun 1907 berakhirlah kekuasaan raja-raja. Kontroleur Belanda yang semula berkedudukan di Perdagangan, pada tahun 1907 dipindahkan ke Pematangsiantar. Sejak itu Pematangsiantar berkembang menjadi daerah yang banyak dikunjungi pendatang baru, Bangsa Cina mendiami kawasan Timbang Galung dan Kampung Melayu.

Pada tahun 1910 didirikan Badan Persiapan Kota Pematangsiantar. Kemudian pada tanggal 1 Juli 1917 berdasarkan Stad Blad No. 285 Pematangsiantar berubah menjadi Gemente yang mempunyai otonomi sendiri. Sejak Januari 1939 berdasarkan Stad Blad No. 717 berubah menjadi Gemente yang mempunyai Dewan.

Pada jaman Jepang berubah menjadi Siantar State dan Dewan dihapus. Setelah Proklamasi kemerdekaan Pematangsiantar menjadi Daerah Otonomi. Berdasarkan Undang-undang No. 22/1948 Status Gemente menjadi Kota Kabupaten Simalungun dan Walikota dirangkap oleh Bupati Simalungun sampai tahun 1957.

Berdasarkan UU No. 1/1957 berubah menjadi Kota Praja Penuh dan dengan keluarnya Undang-undang No. 18/1965 berubah menjadi Kota, dan dengan keluarnya Undang-undang No. 5/1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah berubah menjadi Kota Daerah Tingkat II Pematangsiantar sampai dengan saat ini.


(62)

Luas wilayah administratif Kota Pematangsiantar beberapa kali mengalami perubahan dan terakhir luas wilayahnya adalah seluas 79,9706 Km², terdiri dari 8 (delapan) Kecamatan dan 53 (lima puluh tiga) Kelurahan.

4.2. Gambaran Kecamatan Siantar Marihat

4.2.1. Luas Wilayah Menurut Kelurahan

Penelitian ini berlokasi di koridor Jalan Melanthon Siregar di Kecamatan Siantar Marihat di wilayah selatan Kota Pematangsiantar. Kecamatan Siantar Marihat memiliki luas wilayah 2.583,06 Ha yang terdiri dari 7 (tujuh) Kelurahan dengan masing-masing luas wilayah, yaitu :

1. Kelurahan Baringin Pansur Nauli : 448,4 ha

2. Kelurahan Naga Huta : 400,4 ha

3. Kelurahan Pardamean : 57,0 ha

4. Kelurahan Pematang Marihat : 547,4 ha

5. Kelurahan Simarimbun : 891,8 ha

6. Kelurahan Sukamaju : 38,8 ha


(63)

Gambar 4.2. Peta Administratif Kota Pematangsiantar

Gambar 4.3. Peta Administratif Kecamatan Siantar Marihat


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Bappeda Kota Pematangsiantar (2002), Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Kota

Pematangsiantar Tahun 2002 – 2011 dan Perda Nomor 7 Tahun 2003 tentang

RUTR Kota Pematangsiantar tahun 2002 – 2011).

Bappeda Kota Pematangsiantar (2003), Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK)

Kecamatan Siantar Marihat.

 

Bappeda Kota Pematangsiantar (2006), Laporan Rencana Revisi RUTR Kota

Pematangsiantar tahun 2006 - 2016.

 

BPS Kota Pematangsiantar (2009). Pematangsiantar Dalam Angka Tahun 2008.

Chariri, Anis (2007). Thesis S2 : Mungkinkah dengan Pendekatan Kualitatif ? Fakultas

Ekonomi Universitas Diponegoro, Semarang.

Hartini, Sri dkk (2008), Analisis Konversi Ruang Terbuka Hijau Menjadi Penggunaan

Perumahan di Kecamatan Tembalang Kota Semarang.

(http://harintaka.staff.ugm.ac.id), tanggal diakses 7 Mei 2009.

Moleong, Lexy J. (2005). Metode Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi, Remaja

Rosdakarya, Bandung.

Mukhtar dan Widodo, Erna (2000). Konstruksi ke Arah Penelitian Deskriptif, Avyrouz ,

Yogyakarta.

Muslim, Junaidi (2003). Analisis Alih Fungsi Lahan Sawah dan Dampaknya Terhadap

Sosial Ekonomi Petani (Tesis), PSL, Universitas Sumatera Utara, Medan.


(2)

Nasir, Mohammad (1999). Metode Penelitian. Ghalia Indonesia, Jakarta.

Prabowo, Dibyo (1995). Diversifikasi Pedesaan. UIP, Jakarta.

Rachman, Handewi PS, dkk (2006). Prospek Diversifikasi Usaha Rumah Tangga dalam

Mendukung Ketahanan Pangan dan Penanggulangan Kemiskinan. Forum

Penelitian Agro Ekonomi, Volume 24 No.1, Juli 2006.

Rosul. M (2008). Urban Sprawl (Pemekaran Kota) (http://mrosul.edublogs.org) diakses

tanggal 22 Januari 2010.

Rustiati (2007). Pengaruh Urban Sprawl terhadap Struktur Tata Ruang Wilayah

Kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung (http://digilib.itb.ac.id) diakses

tanggal 22 Januari 2010.

Said (2009). Desa, Kota dan Masyarakatnya, (http://ngeblogs.com) diakses tanggal 12

Maret 2010.

Singarimbun, Masri (1995) Metode Penelitian Survey, Pustaka LP3ES, Jakarta.

Suartika, G.A.M (2007). Perencanaan dan Pembangunan Keruangan : Perwujudan dan

Komunikasi Antar Kepentingan dalam Pemanfaatan Lahan.

(http://www.google.co.id/search) diakses tanggal 11 April 2009.

Thanh, Hoang Xuan and Dang Nguyen Anh and Cecilia Tacoli, 2005, Livelihood

Diversification and Rural Urban Linkages in Vietnam’s Red River Delta, IIED

Working Paper Series on Rural Urban Interaction and Livelihood Strategies,

International Institute for Environment Development, ISBN: 1 84369 546 4


(3)

Yunus, Hadi Sabari (2005). Manajemen Kota, Perspektif Spasial. Pustaka Pelajar,

Yogyakarta.

Yunus, Hadi Sabari (2006). Megapolitan. Konsep, Problematika dan Konsep. Pustaka

Pelajar, Yogyakarta.


(4)

 

MANAJEMEN PEMBANGUNAN KOTA  MAGISTER TEKNIK ARSITEKTUR 

FAKULTAS TEKNIK  UNIVERSITAS SUMATERA UTARA  JUDUL PENELITIAN 

KAJIAN

 

PROSES

 

URBAN

 

SPRAWLING

 

DI

 

PINGGIRAN

 

KOTA

 

PEMATANGSIANTAR

 

PENELITI 

JAYADIN SIMARMATA 

087020013/AR  PEMBIMBING 

PROF. ABDUL GHANI SALLEH, B.Ec, M.Sc, PhD  SALMINA W. GINTING, ST,MT 

I.

Nomor

 

dan

 

Tangga

l

 

Peng

isian

 

.Nomor Responden  

.Tanggal Pengisian   

: ……… : ………..   

II.

Identita

s

 

Responden

 

.Nama  t  .Alama .Umur  .Jenis Kelamin    : ………..  ………..  : ……… : ………T(N  : Laki‐laki/Perempuan 

DAFTAR

 

PERTANYAAN

 

Beri tanda “√” atau “x” pada kotak jawaban yang tersedia. 

Semua pertanyaan ini semata­mata hanya untuk keperluan penelitian.  Mohon diisi dengan benar. 

Terimakasih atas bantuannya. 

III.

Keterangan

 

Lahan

 

dan

 

Ba

ngun

an

 

≤ Tahun  

Tahun   –   

  Periode tahun anda mulai 

  berdomisili di tempat ini adalah

Tahun   ‐   

Milik 

Sewa/Kontrak 

  Status tempat tinggal anda ini  

adalah : 

Lain‐lain : ……… 

 

  Luas lahan  kavling   tempat 

tinggal anda ini  adalah :      ………….. M  

  Luas bangunan  tempat tinggal 

anda ini  adalah : 

 

   ………….. M  

≤ Tahun  

Tahun   –   

  Bangunan tempat tinggal anda 

a  ini dibangun pertama kali pad

periode tahun :  Tahun   ‐   

Pertanian  sawah/kebun  

Tanah kosong 

  Sebelum bangunan sekarang, 

kavling  lahan  bangunan anda 

ini  adalah berupa :  Bangunan lama/tua 

120

April 2010


(5)

 

  Lain‐lain……….. 

Tempat tinggal 

Buka usaha 

Tempat tinggal + buka usaha 

  Alasan anda membangun 

/menempati bangunan ini : 

Lain‐lain……….. 

 

Rumah tinggal 

Rumah toko  ruko  

Rumah + kios 

  Jenis bangunan tempat tinggal 

anda sekarang ini adalah :  

Lain‐lain ………. 

 

Fotocopy/Percetakan/ATK 

Sembako/Kelontong 

Warnet/Komputer 

Rumah Makan/Restroran 

(andhopne/Pulsa 

  Jika jawaban No.   adalah B 

atau C, jenis usaha di toko/kios  anda ini adalah :  

Dan lain‐lain………. 

 

Pernah 

  Sebelum kondisi sekarang, 

apakah bangunan ini pernah  mengalami renovasi/  perubahan fisik   :  

Tidak Pernah 

≤ Tahun  

Tahun   –   

  Jika jawaban No.   adalah A. 

Pernah, periode tahun 

direnovasi adalah :  Tahun   ‐   

Rumah tinggal 

Rumah toko  ruko  

Rumah tinggal + kios 

  Jika jawaban No.   adalah A. 

Pernah, jenis bangunan anda  sebelum  direnovasi adalah : 

Lain‐lain ……….. 

 

Ekonomi  untuk buka usaha  

Penambahan anggota keluarga 

Kondisi fisik rumah 

  Jika jawaban No.   adalah A. 

Pernah, alasan  anda melakukan   renovasi adalah : 

Dan lain‐lain……… 

 

IV.

KETERANGAN

  

PEKERJ

AAN

 

Petani 

)ndustri  buruh/karyawan swasta  

PNS/TN)/Polri  termasuk pensiunan  

Karyawan BUMN/BUMD 

Pedagang/Wiraswasta 

  Jenis pekerjaan  mata 

pencaharian  anda sekarang  adalah : 

Lain‐lain ………. 

  Ya  

  Sebelum pekerjaan sekarang 

apakah  anda pernah berubah 

pekerjaan  :  Tidak 

Petani 

)ndustri  buruh/karyawan swasta  

PNS/TN)/Polri  termasuk pensiunan  

  Jika jawaban No.   adalah A. 

Ya, jenis pekerjaan anda sampai 

periode tahun   adalah : 


(6)

113

 

Pedagang/Wiraswasta 

Lain‐lain ………. 

 

termasuk jika belum bekerja  

Petani 

)ndustri  buruh/karyawan swasta  

PNS/TN)/Polri  termasuk pensiunan  

Karyawan BUMN/BUMD 

Pedagang/Wiraswasta 

  Jika jawaban No.   adalah A. 

Ya, jenis pekerjaan anda sampai 

periode tahun   adalah : 

L . 

  ain‐lain ………  

termasuk jika belum bekerja

Penghasilan kurang 

Adanya peluang usaha lain  

Perusahaan tutup  P(K  

Diterima di pekerjaan lain 

  Jika jawaban No.   adalah A. 

Ya, alasan anda merubah jenis  pekerjaan anda adalah : 

Lain‐lain………. 

 

Penghasilan mencukupi 

Tidak ada pekerjaan lain 

Tidak punya modal buka usaha lain 

Tidak ada skill  keterampilan  lain 

  Jika jawaban No.   adalah B. 

Tidak, alasan anda tidak  merubah jenis pekerjaan anda  adalah : 

L

  ain‐lain ……… 

 

Catatan/Keterangan Tambahan (jika diperlukan) : 

……… 

………. 

………. 

 

       

      Tanda tangan Responden,