Jika pemerintah ingin disebut

T re at m ent R ec om m endat ion Pemerintah diminta lebih tegas dalam menyelesaikan konflik ini

1. Mereka

rakyatt Indonesia menuntut penyelesaian secara hukum terhadap nelayan dan membebaskan petugas Indonesia dengan disertai permohonan maaf.

2. Jika pemerintah ingin disebut

heroik, pemerintah harus bisa menekan Malaysia untuk segera meyelesaikan perjanjian perbatasannya dengan Indonesia. Tabel VI. 2 Framing Tajuk Rencana “Hubungan RI-Malaysia” Tajuk pertama menyikapi konflik antara Indonesia-Malaysia di pertengahan Agustus ini mengangkat judul “Hubungan RI-Malaysia”. Di sini, Republika menggambarkan bahwa hubungan kedua negara ini sering kali terjadi ketegangan. Bukan hanya masalah penangkapan petugas KKP RI oleh Polisi Diraja Malaysia saja, namun juga masalah-masalah lain seperti sengketa perbatasan, perlakuan kasar terhadap Tenaga Kerja Indonesia TKI, atau klaim- klaim Malaysia terhadap kebudayaan Indonesia. Masalah penangkapan petugas KKP yang menjadi salah satu penyulut konflik ini pun diakui oleh pemerintah Malaysia. Pemerintah Malaysia jelas mengakui bahwa memang benar nelayan mereka memasuki perairan Indonesia. Dalam tajuk ini disebutkan bahwa walaupun pemerintah Indonesia merasa ini memang benar kesalahan Malaysia dan bahkan Malaysia sudah mengakuinya, pemerintah kita hanya menurut saja saat Malaysia meminta membarter petugas KKP RI dengan nelayan Malaysia. Karenanya, Problem Identification atau identifikasi masalah dalam tajuk ini dilihat sebagai masalah komunikasi internasional dan kedaulatan wilayah NKRI itu sendiri. Hal ini dilihat dari bagaimana Republika meyebutkan diplomasi dalam tajuk ini. Sebagai negara tetangga, diplomasi menjadi solusi paling utama untuk menyikapi masalah keduanya. Hanya saja, diplomasi yang menurut Republika hanya sekadar basa-basi ini menarik konflik tersebut ke dalam wilayah kedaulatan NKRI. Kedaulatan RI kita sering kali terusik karena masalah-masalah perbatasan dengan negara tetangga. Selain konflik pokok, penangkapan petugas KKP oleh polisi Malaysia, dalam tajuk ini juga disebutkan nasib nelayan Indonesia yang ditangkap Australia. “Bandingkan dengan nasib nelayan Indonesia yang ditangkap Australia. Mereka ditahan dan kapalnya dibakar. Lalu pemerintah tak melakukan pembelaan apa pun. Kita iri pada sikap polisi Malaysia yang sigap mengejar kapal patroli Indonesia yang menangkap nelayan mereka. Betapa heroiknya tindakan mereka, tak peduli menerobos kedaulatan lain.” Causal Interpretation . Pada bagian ini, Republika jelas menuding pemerintah Indonesia sebagai penyebab masalahnya. Ini terlihat pada penggambaran-penggambaran Republika atas sikap pemerintah yang terlihat takut dan menerima apa saja keputusan Malaysia. Pemerintah, menurut tajuk Republika ini, tidak serius, lembek, bahkan terkesan takut. Ini bisa terlihat dari mulai paragraf pertama yang menggambarkan masalah-masalah antara Indonesia dan Malaysia. Dalam paragraf tersebut ditulis; “Namun, akhir-akhir ini hubungan keduanya berkali-kali menegang. Kisarannya selalu soal perlakuan terhadap tenaga kerja Indonesia di Malaysia, sengketa perbatasan, dan klaim-klaim Malaysia terhadap kebudayaan Indonesia.” Tidak cukup sampai di situ, visualisasi peristiwa 13 Agustus 2010 pun ditulis pada paragraf kedua untuk memperkuat kembali gambaran konflik yang terjadi antara keduanya. “Hal terbaru adalah soal kejadian pada 13 Agustus lalu. Sejumlah tujuh nelayan Malaysia memasuki perairan Bintan, Kepulauan Riau. Kapal Patroli Kementrian Kelautan dan Perikanan menangkap mereka. Para nelayan pindah ke kapal patroli, sedangkan tiga petugas berpindah ke kapal nelayan yang merangkai lima kapal itu dengan digandengkan. Namun, setelah 45 menit berlayar, datang kapal patroli dari polisi air Malaysia. Mereka menghadang rangkaian kapal nelayan. Selain itu, mereka juga melakukan penembakan ke udara terhadap kapal patroli Indonesia yang melaju di depan. Akhirnya, tujuh nelayan Malaysia ditahan petugas Indonesia, sedangkan tiga petugas Indonesia ditahan Malaysia. Adapun lima kapal nelayan Malaysia juga bisa dibawa kembali ke Malaysia.” Dengan dipaparkannya masalah-masalah yang timbul antara Indonesia- Malaysia, Republika melihat ada ketakutan dari pemerintah Indonesia itu sendiri terhadap Malaysia. Ini diperlihatkan pada paragraf ketiga sebagai berikut; “Kejadian ini membuat geger. Bahkan, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad menambahi bahwa Malaysia sudah 10 kali menangkap kapal Indonesia. Pihak Malaysia segera mengakui bahwa para nelayan itu memang memasuki perairan Indonesia.” Untuk memperkuat bahwa ada ketakutan dari pemerintah RI akan Malaysia, Republika memaparkan setidaknya ada empat pelanggaran yang dilakukan Malaysia dalam kasus ini pada paragraf kelima; “Walaupun begitu, setidaknya ada empat pelanggaran yang dilakukan Malaysia: illegal fishing, pelanggaran kedaulatan oleh aparat Malaysia, penyanderaan terhadap petugas resmi Indonesia, dan provokasi penembakan oleh aparat Malaysia.” Pencantuman fakta-fakta pada penjelasan di atas tentunya menggiring pembaca untuk mengetahui seberapa banyak masalah yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia. Selanjutnya, pembaca akan melihat bahwa Republika menilai masalah hubungan kedua negara terletak pada ketidakseriusan pemerintah dalam menyikapi kasus ini sebagaimana ditunjukkan Republika pada akhir paragraf ketiga; “Karena itu, solusinya pun sederhana. Pihak Indonesia mendeportasi nelayan Malaysia, demikian pula sebaliknya. Inilah yang kemudian ditafsirkan sebagai diplomasi barter.” Atau pada akhir paragraf keempat; “Namun penyelesaian sebagai bangsa serumpun dan menjaga keharmonisan ASEAN rupanya menjadi pilihan satu-satunya.” Diplomasi barter kembali dipertegas Republika pada akhir paragraf kelima; “Namun, dengan diplomasi barter, seolah tak ada kesalahan.” Dengan begitu, istilah diplomasi barter yang disebutkan hingga dua kali sebagai cara penyelesaian konflik saat itu menjadi kata kunci ketidaktegasan sikap Pemerintah RI dalam tajuk rencana ini. Pada bagian lain paragraf keempat disebutkan pula, “Sebagian pihak tak puas dengan penyelesaian seperti ini ...” Atau paragraf keenam; “Penyelesaian cara ini bisa menimbulkan trauma bagi aparat bawah.” Penggunaan kalimat penyelesaian cara ini menggiring pembaca pada si penyelesai masalah yang tidak lain adalah pemerintah Indonesia. Moral Evaluation. Penilaian terhadap Pemerintah RI sebagai aktor penyebab datang dari sikap pemerintah yang terlihat sangat lamban dan tidak tegas, bahkan terkesan takut. Pemerintah, seharusnya memberi perlindungan bagi setiap warga negaranya. Dalam kasus ini saja, pemerintah terlihat menurut saja apa yang diinginkan Malaysia sebagai solusi konflik. Tidak ada ketegasan, seperti teguran keras bagi Malaysia terkait pelanggaran-pelanggaran perbatasan. Atau misalnya tuntutan agar pihak Malaysia meminta maaf dan penyelesaian lewat jalur hukum sebagaimana yang menjadi tuntutan rakyat Indonesia. Lebih anehnya lagi, menurut Republika, adalah tawaran dari TNI AL tentang bantuan patroli di wilayah perairan Indonesia. Karena seharusnya, itu semua memang sudah menjadi tugas dan tanggungjawab TNI dan polisi untuk mengamankan wilayah Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa mental pemerintah kita di hadapan negara tetangga sangat kecil dan tak bernyali. Republika menuliskannya pada akhir paragraf keenam bahwa; “Bandingkan dengan nasib nelayan Indonesia yang ditangkap Australia. Mereka ditahan dan kapalnya dibakar. Lalu pemerintah tak melakukan pembelaan apa pun.” Akibatnya, aparatur bawah menjadi trauma dan ikut-ikutan takut menindak berbagai pelanggaran yang dilakukan negera tetangga. Aparat takut rakyat pun merugi, setidaknya inilah yang diasumsikan Republika pada paragraf keenamnya. “Mereka tak berani menindak illlegal fishing yang banyak terjadi di perairan Indonesia. Pencurian ikan di perairan Indonesia merupakan persoalan serius. Mereka berburu tuna yang banyak berbiak di perairan Indonesia. Kita kehilangan pendapatan dan nelayan Indonesia hanya bisa melongo.” Treatment Recommendation. Solusi atas masalah ini menurut Republika hanya ketegasan dan keberanian pemerintah Indonesia untuk menindak segala bentuk pelanggaran oleh negara tetangga. Ini mejadi solusi utama karena bagaimana pun, menurut Republika, wibawa Indonesia di mata negera tetangga harus dikembalikan. Pemerintah harus bisa menekan Malaysia, dalam kasus ini, untuk segera menyelesaikan perjanjian perbatasan dengan Indonesia. Bukan sekedar janji dan sebatas agenda yang tak terselesaikan selama ini. Perbatasan harus jelas dan harus menjadi prioritas utama. Dalam hal ini, Republika menyertakan suara masyarakat sebagai bagian dari solusi yang ditawarkan terhadap kasus ini. Masyarakat mengharapkan adanya penyelesaian secara hukum dan permohonan maaf. Terlihat pada paragraf keempat baris kedua sebagai berikut: “Mereka menuntut penyelesaian secara hukum terhadap nelayan dan membebaskan petugas Indonesia dengan disertai permohonan maaf.” Solusi agar pemerintah bertindak tegas ada di paragraf terakhir tajuk ini; “Jika pemerintah ingin disebut heroik, pemerintah harus bisa menekan Malaysia untuk segera meyelesaikan perjanjian perbatasannya dengan Indonesia.” Tajuk pertama ini secara tegas menggambarkan masalah penangkapan petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan di perairan Riau 13 Agustus lalu. Tajuk ini menggiring pembaca bahwa kasus ini merupakan kasus penting yang bukan hanya menyinggung perbatasan wilayah saja, tapi juga sudah memasuki wilayah hubungan kedua negara yang tak kunjung harmonis. Tudingan bahwa aktor penyebab masalah merupakan pemerintah Indonesia bukan sekadar tudingan. Penulis mendapatkan banyak penonjolan yang dilakukan Republika untuk menjadikan pemerintah Indonesialah yang sangat bertanggungjawab atas kasus ini. Penonjolan-penonjolan tersebut telah dibahas pada causal interpretation di atas. Sebagai penekanan lebih bahwa pemerintah kita terlalu lemah dalam menghadapi negara tetangga, Republika pun memberikan visualisasi tentang sikap pemerintah negara lain saat warganya ditangkap atau pun saat perbatasan wilayahnya dilanggar. Tajuk ini berdasarkan pola Monroe tentang pola penulisan tajuk rencana, menurut penulis, termasuk menggunakan pola ANSVA, yakni attention, need, satisfaction, visualisasi, dan action. Gaya penulisan Republika yang lebih menggambarkan masalah di awal untuk menarik perhatian pembaca menjadi ciri khas tersendiri dalam tajuk rencana ini. Solusi sebagai action yang diberikan Republika tegas mengatakan bahwa pemerintah harus segera menyelesaikan masalah perbatasan jika memang pemerintah kita ini mau disebut sebagai heroik.

B. Analisis Framing Tajuk Rencana Sabtu, 28 Agustus 2010