Analisis Framing Tajuk Rencana Senin, 30 Agustus 2010

beberapa ditulis koran lain. Solusi sederhana tersebut, menurut Republika, merupakan solusi paling penting untuk masalah ini. Tajuk yang ditulis Republika berdasarkan pola Monroe soal penulisan tajuk rencana cenderung mengikuti pola ANSVA, yakni attention, need, satisfaction, visualization, dan action. Tajuk ini pertama menjelaskan tentang masalah-masalah kedua negara untuk menarik perhatian pembaca menemukan apa yang sebenarnya menjadi pokok permasalahan. Dengan menemukan pokok masalah tersebut, tajuk ini kemudian kembali memberikan gambaran-gambaran untuk lebih mempermudah pembaca menangkap pesan yang ingin disampaikan Republika. Tajuk ini pun ditutup oleh solusi yang merupakan action yang ingin ditawarkan redaksi Republika terhadap masalah dalam tajuk ini.

C. Analisis Framing Tajuk Rencana Senin, 30 Agustus 2010

Tajuk rencana yang ditulis Republika pada penghujung Bulan Agustus 2010 lalu mengupas tentang keberhasilan yang sudah dicapai Malaysia selama ini. Berikut merupakan tajuk rencana tersebut: Malaysia yang Berbudi Tiga puluh lima tahun lalu, Malaysia bukan apa-apa. Berhadapan dengan Shell dan Esso—dua perusahaan minyak multinasional paling senior dalam geng Seven Sister—pun mereka gentar. Saat itu, Malaysia ingin mengubah kontrak kerja sama dari pola konsesi yang merugikan negara pemilik minyak. Dua hal yang membuat negeri itu selamat dalam negosiasi dan kemudian Petronas tumbuh jadi perusahaan minyak multinasional. Pertama, ketegaran tim negosiasi yang mencerminkan kekuatan nasionalisme. Kedua, ilmu production sharing yang mereka pelajari dari Pertamina, perusahaan minyak Indonesia. Itulah titik balik Malaysia. Dari negeri yang terintimidasi, tumbuh menjadi macan ekonomi yang krisis 1996 pun enggan menyentuhnya. Macan- macan Asia lain, seperti Korea Selatan, Thailand, dan Indonesia, terguncang. Tapi, di Malaysia, krisis saat itu tak lebih dari sebuah tragedi yang tak pernah terjadi. Malaysia amat bangga dengan prestasi itu dan sang pemimpin, Mahathir Mohamad, kian yakin dengan visinya: Malaysia menjadi negara maju sepenuhnya pada 2020. Ketika Menara Petronas akhirnya menjadi bangunan tertinggi di dunia pada 1999, Malaysia berpikir sebuah visi sudah terealisasi dan hanya langitlah batas negeri itu. Pikiran itulah yang menguasai Malaysia saat menangkap tiga pegawai negara Indonesia. Malaysia lupa perlunya budi pekerti dalam bertetangga. Perselisihan soal perbatasan adalah hal lazim di antara ratusan negara di dunia. Tapi, penangkapan pegawai resmi yang disertai pemborgolan dan perlakuan bak terhadap kriminal jelas sebuah provokasi—bahkan konfrontasi. Cara bertetangga seperti ini tidak elok. Indonesia dan Malaysia bukan sekadar dua negeri serumpun. Lebih dari itu, kedua negara adalah kekuatan ekonomi dunia di masa depan. Tak sampai dua dekade lagi, episentrum ekonomi dunia akan bergeser ke Asia dan kedua negara adalah aktor-aktor pokok di dalamnya. Malaysia akan menjadi negara dengan angka pertumbuhan pendapatan domestik bruto PDB terbesar. Tapi, jangan lupa, Indonesia pun demikian. Walaupun tak mencerminkan kemakmuran per kapita karena jumlah penduduk Indonesia 10 kali lipat penghuni Malaysia, PDB menunjukkan kekuatan bangsa ini dalam memengaruhi ekonomi dunia. Saat ini saja, Indonesia sudah masuk dalam kelompok 20 negara dengan skala ekonomi terbesar di dunia, sedangkan Malaysia pada posisi 36. Pada 2020, katakanlah ketika Malaysia benar-benar sudah jadi negara yang sepenuhnya maju, Indonesia diperkirakan pula sudah menjadi negara dengan kekuatan ekonomi nomor 7 di dunia. Malaysia juga perlu menyadari kehidupan demokrasi dan politik di Indonesia lebih baik. Mereka tak dapat menyalahkan orang-orang yang berunjuk rasa di depan Kedubes Malaysia di Jakarta karena itu adalah bagian dari kemajuan Indonesia. Negeri ini mengizinkan warganya berbeda pendapat bahkan dengan pemerintahnya sendiri. Ancaman travel advisory mungkin menggentarkan kabinet Yudhoyono, tetapi tak lebih dari pepesan kosong bagi warganya. Menteri Luar Negeri Malaysia pun tak boleh mengukur baju orang lain pada tubuhnya sendiri. Di Indonesia, pers bebas mengutarakan sikap, bahkan mengkritik pemerintahnya. Percuma saja mempersoalkan pers Indonesia karena pers di negeri ini adalah cermin perasaan masyarakat. Ibarat Rastam Hadi dan Ismail Hashim saat bernegosiasi dengan Shell dan Esso, masyarakat Indonesia saat ini mungkin secara teknis lemah, tetapi secara moral tinggi. Judul : Malaysia yang Berbudi Variabel Indikator Keterangan P robl em I de nt if ic at ion Komunikasi internasiona l dan ekonomi 1. Dua hal yang membuat negeri itu selamat dalam negosiasi dan kemudian Petronas tumbuh jadi perusahaan minyak multinasional. 2. Dari negeri yang terintimidasi, tumbuh menjadi macan ekonomi yang krisis 1996 pun enggan menyentuhnya. Tapi, di Malaysia, krisis saat itu tak lebih dari sebuah tragedi yang tak pernah terjadi. 3. Tak sampai dua dekade lagi, episentrum ekonomi dunia akan bergeser ke Asia... Malaysia akan menjadi negara dengan angka pertumbuhan pendapatan domestik bruto PDB terbesar. 4. Walaupun tak mencerminkan kemakmuran per kapita karena jumlah penduduk Indonesia 10 kali lipat penghuni Malaysia, PDB menunjukkan kekuatan bangsa ini dalam memengaruhi ekonomi dunia. Saat ini saja, Indonesia sudah masuk dalam kelompok 20 negara dengan skala ekonomi terbesar di dunia, sedangkan Malaysia pada posisi 36. C aus al I nt er pr et at ion Malaysia 1. Pikiran itulah yang menguasai Malaysia saat menangkap tiga pegawai negara Indonesia. Malaysia lupa perlunya budi pekerti dalam bertetangga. Perselisihan soal perbatasan adalah hal lazim di antara ratusan negara di dunia. Tapi, penangkapan pegawai resmi yang disertai pemborgolan dan perlakuan bak terhadap kriminal jelas sebuah provokasi— bahkan konfrontasi. Cara bertetangga seperti ini tidak elok. M or al E val uat ion Sebagai negara tetangga yang sama- sama penting di kancah internasiona l, Malaysia terlalu mengangga p remeh Indonesia 1. Indonesia dan Malaysia bukan sekadar dua negeri serumpun. Lebih dari itu, kedua negara adalah kekuatan ekonomi dunia di masa depan. Tak sampai dua dekade lagi, episentrum ekonomi dunia akan bergeser ke Asia dan kedua negara adalah aktor-aktor pokok di dalamnya. Malaysia akan menjadi negara dengan angka pertumbuhan pendapatan domestik bruto PDB terbesar. Tapi, jangan lupa, Indonesia pun demikian. T re at m ent R ec om m endat ion Malaysia harus menghorma ti kedaulatan Indonesia 1. Menteri Luar Negeri Malaysia pun tak boleh mengukur baju orang lain pada tubuhnya sendiri. Di Indonesia, pers bebas mengutarakan sikap, bahkan mengkritik pemerintahnya. Percuma saja mempersoalkan pers Indonesia karena pers di negeri ini adalah cermin perasaan masyarakat. Ibarat Rastam Hadi dan Ismail Hashim saat bernegosiasi dengan Shell dan Esso, masyarakat Indonesia saat ini mungkin secara teknis lemah, tetapi secara moral tinggi Tabel IV. 4 Framing Tajuk Rencana “Malaysia yang Berbudi” Problem Identification. Masalah yang diangkat pada tajuk rencana ini ditarik Republika masih ke dalam komunikasi internasional kedua negara. Selain itu, Republika pun meyeret kasus ini ke dalam kasus ekonomi dan kehidupan demokrasi. Untuk pembuktian kasus ini merupakan kasus komunikasi internasional, masih bisa dilihat dari bagaimana Republika menyebut para pelaku komunikasi internasional, seperti Menteri Luar Negeri dan pers. “Menteri Luar Negeri Malaysia pun tak boleh mengukur baju orang lain pada tubuhnya sendiri. Di Indonesia, pers bebas mengutarakan sikap, bahkan mengkritik pemerintahnya. Percuma saja mempersoalkan pers Indonesia karena pers di negeri ini adalah cermin perasaan masyarakat. Ibarat Rastam Hadi dan Ismail Hashim saat bernegosiasi dengan Shell dan Esso, masyarakat Indonesia saat ini mungkin secara teknis lemah, tetapi secara moral tinggi.” Paragraf terakhir ini juga menyebut negosiasi sebagai istilah dalam komunikasi internasional. Selain negosiasi pada paragraf ini, Republika menyebut pula bagaimana keberhasilan Malaysia dalam negosiasi di paragraf kedua. ”Pertama, ketegaran tim negosiasi yang mencerminkan kekuatan nasionalisme.” Kasus ini memang kasus komunikasi internasional karena mempersoalkan hubungan kedua negara yang sering kali tidak harmonis. Pada tajuk ini, Republika masih mengingatkan pembaca soal tragedi 13 Agustus tersebut yang menjadi pemicu konflik kembali. Hal tersebut terlihat pada paragraf kelima. “Pikiran itulah yang menguasai Malaysia saat menangkap tiga pegawai negara Indonesia. Malaysia lupa perlunya budi pekerti dalam bertetangga. Perselisihan soal perbatasan adalah hal lazim di antara ratusan negara di dunia. Tapi, penangkapan pegawai resmi yang disertai pemborgolan dan perlakuan bak terhadap kriminal jelas sebuah provokasi—bahkan konfrontasi. Cara bertetangga seperti ini tidak elok.” Masalah dalam tajuk rencana ini kemudian ditarik lebih luas dalam wilayah ekonomi. Di sini, Republika, dengan judul “Malaysia yang Berbudi,” secara jelas menggambarkan bagaimana keberhasilan Malaysia dalam urusan perekonomiannya. Pada paragraf pembuka, misalnya: “Tiga puluh lima tahun lalu, Malaysia bukan apa-apa. Berhadapan dengan Shell dan Esso—dua perusahaan minyak multinasional paling senior dalam geng Seven Sister—pun mereka gentar. Saat itu, Malaysia ingin mengubah kontrak kerja sama dari pola konsesi yang merugikan negara pemilik minyak.” Pada awal paragraf kedua dan paragraf ketiga; “Dua hal yang membuat negeri itu selamat dalam negosiasi dan kemudian Petronas tumbuh jadi perusahaan minyak multinasional.” “Itulah titik balik Malaysia. Dari negeri yang terintimidasi, tumbuh menjadi macan ekonomi yang krisis 1996 pun enggan menyentuhnya. Macan-macan Asia lain, seperti Korea Selatan, Thailand, dan Indonesia, terguncang. Tapi, di Malaysia, krisis saat itu tak lebih dari sebuah tragedi yang tak pernah terjadi.” Paragraf keenam dan ketujuh menarik lebih dalam masalah ini ke dalam kasus ekonomi. “Tak sampai dua dekade lagi, episentrum ekonomi dunia akan bergeser ke Asia dan kedua negara adalah aktor-aktor pokok di dalamnya. Malaysia akan menjadi negara dengan angka pertumbuhan pendapatan domestik bruto PDB terbesar.” “Walaupun tak mencerminkan kemakmuran per kapita karena jumlah penduduk Indonesia 10 kali lipat penghuni Malaysia, PDB menunjukkan kekuatan bangsa ini dalam memengaruhi ekonomi dunia. Saat ini saja, Indonesia sudah masuk dalam kelompok 20 negara dengan skala ekonomi terbesar di dunia, sedangkan Malaysia pada posisi 36. Pada 2020, katakanlah ketika Malaysia benar-benar sudah jadi negara yang sepenuhnya maju, Indonesia diperkirakan pula sudah menjadi negara dengan kekuatan ekonomi nomor 7 di dunia.” Selain masalah komunikasi internasional dan ekonomi, Republika juga menambahkan soal kehidupan demokrasi di Indonesia yang lebih baik dari Malaysia. Paragraf kedelapan, “Malaysia juga perlu menyadari kehidupan demokrasi dan politik di Indonesia lebih baik.” Paragraf terakhir, “Di Indonesia, pers bebas mengutarakan sikap, bahkan mengkritik pemerintahnya. Percuma saja mempersoalkan pers Indonesia karena pers di negeri ini adalah cermin perasaan masyarakat.” Causal Interpretation. Sebagaimana pada tajuk sebelumnya, Republika masih menjadikan Malaysia sebagai aktor penyebab masalah. Tajuk ini lebih banyak menggambarkan keberhasilan dan kesuksesan Malaysia dalam bidang ekonomi. Keberhasilan-keberhasilan tersebut yang dituding Republika sebagai alasan Malaysia bersikap semena-mena dalam tragedi 13 Agusutus lalu. Paragraf kelima, “Pikiran itulah yang menguasai Malaysia saat menangkap tiga pegawai negara Indonesia. Malaysia lupa perlunya budi pekerti dalam bertetangga. Perselisihan soal perbatasan adalah hal lazim di antara ratusan negara di dunia. Tapi, penangkapan pegawai resmi yang disertai pemborgolan dan perlakuan bak terhadap kriminal jelas sebuah provokasi—bahkan konfrontasi. Cara bertetangga seperti ini tidak elok.” Moral Evaluation. Malaysia, menurut Irwan Ariefyanto, sebenarnya banyak belajar dari Indonesia, walaupun faktanya, Indonesia kini tertinggal dari Malaysia. 102 Sebagaimana pada akhir paragraf kedua; “...ilmu production sharing yang mereka pelajari dari Pertamina, perusahaan minyak Indonesia.” Selain itu, Indonesia, menurut tajuk ini, juga memiliki kekuatan yang sama besarnya di mata internasional. Seperti misalnya, bagaimana Indonesia berdasarkan angka PDB Pendapatan Domestik Bruto juga ikut memengaruhi kekuatan ekonomi dunia dengan menduduki posisi ke-20 dalam skala ekonomi terbesar di dunia. Paragraf ketujuh tersebut yang digunakan Republika untuk mendelegitimasi masalah hubungan kedua negara dalam kasus ini. Karena bagi Republika, keduanya sama-sama penting, sama-sama mempunyai kedudukan tinggi di mata dunia. Seperti pada paragraf keenam; “Indonesia dan Malaysia bukan sekadar dua negeri serumpun. Lebih dari itu, kedua negara adalah kekuatan ekonomi dunia di masa depan. Tak sampai dua dekade lagi, episentrum ekonomi dunia akan bergeser ke Asia dan kedua negara adalah aktor-aktor pokok di dalamnya. Malaysia akan menjadi negara dengan angka pertumbuhan pendapatan domestik bruto PDB terbesar. Tapi, jangan lupa, Indonesia pun demikian.” 102 Hasil wawancara dengan Redaktur Pelaksana II, Irwan Ariefyanto Treatment Recommendation. Sebagai negara tetangga yang sama-sama penting di mata internasional, keduanya harus saling menghormati, terlebih Malaysia. Sebagaimana yang dikatakan Irwan selaku Redaktur Pelaksana II Harian Republika, “Malaysia banyak belajar tentang pertambangan, pendidikan, atau masalah-masalah yang berhubungan ekonomi dengan Indonesia. Tetapi dalam perkembangannya ternyata Malaysia lebih maju dari Indonesia. Nah, di sini kita menggambarkan bagaimana Indonesia sangat tertinggal jauh dari Malaysia dan seharusnya Malaysia melakukan sikap balas budi terhadap Indonesia. Balas budi dalam artian bahwa seharusnya Malaysia tidak lagi melakukan konfrontasi-konfrontasi seperti yang dilakukan di perairan Riau.” 103 Malaysia harus lebih menghormati kedaulatan Malaysia. Tidak mengukur baju orang lain pada tubuhnya sendiri. Indonesia, menurut Republika, memiliki kebebasan berpendapat yang tidak dimiliki Malaysia. Oleh karenanya, protes yang disampaikan Menteri Luar Negeri, Datuk Seri Anifah Aman terkait pers Indonesia yang cenderung berlebihan tidak berarti apa-apa bagi Indonesia. Paragraf terakhir tajuk ini merangkum solusi yang ditawarkan Republika. “Menteri Luar Negeri Malaysia pun tak boleh mengukur baju orang lain pada tubuhnya sendiri. Di Indonesia, pers bebas mengutarakan sikap, bahkan mengkritik pemerintahnya. Percuma saja mempersoalkan pers Indonesia karena pers di negeri ini adalah cermin perasaan masyarakat. Ibarat Rastam Hadi dan Ismail Hashim saat bernegosiasi dengan Shell dan Esso, masyarakat Indonesia saat ini mungkin secara teknis lemah, tetapi secara moral tinggi.” Tiga tajuk rencana di atas merupakan suara Republika yang geram terhadap kelambanan pemerintah Indonesia menyikapi konflik kedua negara yang tak pernah selesai. Menurut Irwan Ariefyanto, Redaktur Pelaksana 2 Harian Republika, kasus ini memang dianggap penting, karena Indonesia dan Malaysia 103 Hasil wawancara dengan Redaktur Pelaksana II, Irwan Ariefyanto. merupakan negara serumpun yang seharusnya menjalin hubungan baik. Menurutnya, kasus ini mencerminkan bagaimana diplomasi Indonesia di mata luar negeri sangat lembek. Oleh karenya, Republika selalu mendorong agar pemerintah bertindak tegas dan berani agar Indonesia kembali disegani seperti pada kisaran tahun 80 sampai 90-an. Tajuk rencana yang terakhir ini terlihat lebih geram dari dua tajuk sebelumnya. Berbeda dengan dua tajuk sebelumnya yang lebih menuntut ketegasan pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan kasus ini, tajuk “Malaysia yang Berbudi” membahas keberhasilan-keberhasilan yang diraih Malaysia selama ini. Kesuksesan Malaysia di berbagai bidang, khsusnya ekonomi, menurut Republika sebenarnya juga tak lepas dari campur tangan Indonesia. Malaysia yang pernah belajar dari Indonesia ditulis Republika seharusnya tidak melakukan konfrontasi-konfrontasi yang memicu konflik. Seharusnya, ia Malaysia membalas budi dengan menunjukkan etika bertetangga yang baik, yang saling menghormati. Tajuk terakhir Bulan Agustus ini masih menggunakan pola ANSVA sebagaimana yang dipakai pada dua tajuk sebelumnya. Hal ini dikarenakan, Republika, menurut data resminya, didominasi kalangan pembaca profesional sebanyak 42. Ini menunjukkan karakter pembaca Republika merupakan masyarakat kota yang notabenenya kalangan menengah ke atas. Untuk itu, pola penulisan tajuknya lebih cenderung menggunakan pola ANSVA agar bisa memaparkan lebih banyak duduk permasalahan guna analisis yang lebih tajam dan mendalam.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Setelah menganalisa kasus ini dalam tiga tajuk rencana Harian Republika dengan analisis framing Robert Entman, berikut kesimpulan yang penulis peroleh: 1. Pembingkaian Republika atas “Hubungan RI-Malaysia” yang ditulis pada 19 Agustus 2010 menempatkan kasus ini sebagai masalah komunikasi internasional dan masalah pertahanan dan keamanan NKRI. Aktor penyebab masalah kasus ini menurut Republika adalah pemerintah Indonesia. Pemerintah Indonesia dianggap takut terhadap Malaysia, akibatnya banyak kerugian baik moral maupun materil yang diterima rakyat Indonesia. Republika meminta ketegasan pemerintah sebagai solusi penyelesaian konflik ini. 2. Pembingkaian yang dilakukan Republika untuk “Hubungan Panas Serumpun” yang ditulis pada tanggal 28 Agustus 2010 menempatkan kasus ini pada masalah komunikasi internasional. Aktor penyebab masalahnya adalah Malaysia. Republika mengemas kasus ini dengan meletakkan sikap saling ketergantungan dan saling membutuhkan di antarakeduanya menjadi evaluasi moral atas kasus ini. Untuk itu, Republika merasa diperlukan adanya sikap saling menghormati dan saling