objektif dan simbolik melalui proses internalisasi menghasilkan realitas yang disebut dengan realitas subjektif.
Dalam realitas subjektif, realitas tersebut menyangkut makna, interpretasi, dan hasil relasi antara individu dengan objek. Setiap individu
mempunyai latar belakang sejarah, pengetahuan, dan lingkungan yang berbeda- beda, yang bisa jadi menghasilkan penafsiran yang berbeda pula ketika melihat
dan berhadapan dengan objek. Sebaliknya, realitas itu juga mempunyai dimensi objektif –sesuatu yang dialami, bersifat eksternal, berada di luar- atau
dalam istilah Berger, tidak dapat kita tiadakan dengan angan-angan yang ada, dan sebagainya.
34
c. Konstruksi Realitas di Media Massa
Berger dan Luckmann memang tidak menyebutkan aktivitas media massa dalam gagasan konstruksi sosial atas realitas, namun gagasan Berger dan
Luckmann tersebut memberi banyak substansi pada konstruksi sosial media massa.
35
Tiga proses dialektika Berger dan Luckmann; eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi ini juga digunakan dalam proses konstruksi
realitas media massa. Hanya saja, ketiga proses tersebut berjalan lamban karena terjadi antarindividu saja dan juga menggunakan pola vertikal yang
kemudian bersifat spasial, di mana konstruksi sosial berlangsung seperti dari atasan ke bawahannya atau orangtua kepada anaknya.
34
Eriyanto, Analisis Framing, h. 16.
35
Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, h. 194.
Konstruksi realitas media massa pada dasarnya memang melibatkan individu sebagai subjeknya, akan tetapi, individu tersebut tidak akan memberi
kontribusi besar terhadap proses konstruksi jika tanpa melaui media massa. Misalnya, aktor atau subjek individu dalam proses pengkonstruksian sebuah
peristiwa di media massa adalah wartawan dan pihak redaksi media tersebut. Wartawan tersebut tidak memiliki kekuatan konstruksi besar dalam mata
khalayak, kecuali gagasan-gagasannya tersebar di media massa. Burhan Bungin mengatakan dalam konteks konstruksi iklannya, bahwa konstruksi
iklan atas realitas sosial itu terjadi karena iklan televisi adalah bagian dari media televisi dan menjadi salah satu sumber otoritas individu.
36
Kelambanan yang terjadi pada proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi Berger dan Luckmann ditutupi oleh proses sirkulasi informasi
media yang cepat dan tersebarluas. Namun, proses sirkulasi tersebut pun butuh tahapan-tahapan yang pada akhirnya akan membentuk realitas media massa.
Berikut bagan yang menggambarkan proses konstruksi sosial media massa:
37
GAMBAR II.1 Proses Konstruksi Sosial Media Massa
36
Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, h. 213.
37
Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, h. 195
Sebagai sumber, ketiga proses Berger dan Luckmann berjalan pada dapur redaksi. Tahapan ini dinamakan penyiapan materi. Di sini, terjadi
penentuan isu yang akan disampaikan pada khalayak. Seorang wartawan atau pun pihak redaksi sudah memiliki gambaran tersendiri tentang suatu peristiwa
yang terjadi. Gambaran pengetahuan itu sudah ada sebelum proses pencarian fakta dilakukan. Tahap eksternalisasi ini kemudian berada pada realitas objektif
tentang peristiwa tersebut. Ketika wartawan tersebut turun ke lapangan, mencari fakta demi fakta, realitas objektif tersebut akan tercampur dengan apa
yang dilihat dan dialami langsung oleh si wartawan yang menjadikan fakta tersebut sebagai realitas subjektif. Ada pemaknaan yang dilakukan wartawan
tentang realitas objektif atau pengetahuan tentang peristiwa yang sudah ada sebelum ia turun langsung dan realitas yang ia lihat ketika proses peliputan
terjadi. Berita bersifat subjektif, karena opini tidak dapat dihilangkan ketika peliputan. Wartawan melihat dengan perspektif dan pertimbangan subjektif.
38
Menurut Mark Fishman, Berita dihasilkan dari pengetahuan dan pikiran, bukan karena ada realitas objektif yang berada di luar, melainkan
karena orang akan mengorganisasikan dunia yang abstrak ini menjadi dunia yang koheren dan beraturan serta mempunyai makna.
39
Bagaimana peristiwa itu dikemas dan mengapa peristiwa itu dimaknai tertentu bukan hanya semata-mata subjektivitas individu dari wartwan itu
sendiri, tapi juga institusi yang menaunginya. Tidak dapat dipungkiri bahwa wartawan hidup dalam institusi media dengan seperangkat aturan, pola kerja,
38
Eriyanto, Analisis Framing, h. 27.
39
Ibid, h. 101.
dan aktivitasnya sehingga tidak menutup kemungkinan ada control dari pihak institusi dalam pengemasan suatu peristiwa.
Pada tahapan ini, konstruksi realitas akan diawali dengan adanya keberpihakan media massa kepada kapitalisme. Keberpihakan tersebut tidak
bisa dipungkiri mengingat ideologi media massa saat ini memang sudah pada tataran industri di mana membutuhkan modal dan juga menjadikan produk
medianya laku di masyarakat.
40
Selain itu, pada tahapan ini pun media akan memberikan keberpihakan semu kepada masyarakat dan juga kepentingan umum lainnya. Keberpihakan
semu ini akan dibentuk melalui sikap empati dan simpati media dalam produk ber-genre kemanusiaan yang sifatnya menyentuh sensitivitas khalayak.
Proses konstruksi ini melibatkan bagaimana peristiwa bisa dikemas agar memiliki nilai berita. Jutaan peristiwa terjadi setiap harinya, namun
wartawanlah yang kemudian memilih peristiwa itu, menuliskannya sedemikian rupa dan memberikan makna serta penonjolan-penonjolan lain yang bisa
menjadi nilai berita, karena nilai berita merupakan produk dari konstruksi wartawan. Elemen ini berhubungan dengan orientasi media dengan
khalayaknya. Menurut Shoemaker dan Reese, nilai berita adalah elemen yang ditujukan kepada khalayak.
41
Tahapan kedua adalah penyebaran konstruksi. Dua poin penting dalam tahapan ini adalah mengenai waktu dan segmentasi khalayak. Media
massa harus bisa menyebarkan informasi dalam waktu yang secepat mungkin dan dengan target khalayak yang jelas serta tepat sasaran. Keduanya akan
40
Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, h. 197.
41
Ibid, h. 105.
mempermudah pembentukan konstruksi media, sebab media massa memang bekerja dengan keaktualitasannya terhadap suatu peristiwa. Hal tersebut
menjadi bahan khalayak dalam pemilihan media yang akan mereka konsumsi. Media pun harus jeli dalam melihat segmentasi audiens agar pesan yang
dibawa media menjadi lebih cepat dan tepat diterima khalayak. Selanjutnya, tahapan ketiga, di mana konstruksi realitas terbentuk
harus dilalui dengan tahapan lain yang lebih melibatkan kesadaran masing- masing dari khalayak tersebut. Pertama-tama, khalayak akan berada pada
tahapan di mana membenarkan apa saja yang disajikan media massa. Setelah itu, khalayak secara sadar akan memiliki kesediaan untuk dikonstruksi media
massa dengan kesediaannya menjadi pembaca atau pemirsa dari media tersebut. Ketika dua tahap ini sudah ada pada masing-masing individu, sikap
konsumerisme terhadap media akan meningkat dan menjadi suatu kebutuhan hidup dan habitualisasi khalayak.
Tahapan terakhir dalam pembentukan realitas adalah tahap konfirmasi. Di sini, muncul alasan-alasan dari setiap individu tentang
kesediaan dirinya terlibat dalam pembentukan konstruksi. Misalnya, munculnya alasan bahwa media massa merupakan sumber pengetahuan yang
dapat diakses kapan saja dan di mana pun. Oleh karenya, masyarakat modern harus selalu mengkonsumsi media yang sudah menjadi kebutuhan hidup
tersebut. Efek dari konstruksi realitas media massa di atas menjelaskan bahwa
pemberitaan dan atau produk media massa itu lebih cepat diterima masyarakat luas, lebih luas jangkauan pemberitaannya, sebaran merata, karena
media massa dapat ditangkap masyarakat luas secara merata dan di mana- mana, membentuk opini massa, karena merangsang masyarakat untuk beropini
atas kejadian tersebut, massa cenderung terkonstruksi, karena masyarakat mudah terkonstruksi dengan pemberitaan-pemberitaan yang sensitif, bahkan
opini massa cenderung apriori sehingga mudah menyalahkan berbagai pihak yang bertanggungjawab atas kasus terkait, serta opini massa cenderung sinis,
karena peristiwa terkait sering kali terjadi di Indonesia.
42
B. Kerangka Konseptual
1. Analisis Framing a. Definisi Framing
Framing atau bingkai berfungsi untuk menjaga pandangan kita terhadap suatu gambar yang ada. Tuchman dalam salah satu bukunya “Making
News” menganalogikan framing sebagai jendela.
43
Apa yang ada di luar jendela terlihat dari bagaimana jendela yang kita pakai untuk melihatnya.
Jendela yang luas, misalnya, akan memungkinkan kita melihat tidak hanya halaman rumah kita saja, tapi juga rumah-rumah lain atau pemandangan lain
yang bisa lebih luas jangkauannya. Berbeda dengan apabila kita menggunakan jendela berukuran kecil yang pada akhirnya sangat membatasi apa yang bisa
kita lihat. Konsep framing dalam studi media banyak berasal dari lapangan
psikologi dan sosiologi.
44
Dalam dimensi psikologi, framing dilihat dari pengaruh kognisi seseorang yang membentuk skema tentang diri
. Skema lahir
42
Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, h. 202.
43
Eriyanto, Analisis Framing, h. 4.
44
Ibid, h. 71.