ANALISIS FRAMING TAJUK RENCANA TENTANG KONFLIK INDONESIA-MALAYSIA DI HARIAN REPUBLIKA EDISI AGUSTUS 2010

(1)

ANALISIS FRAMING TAJUK RENCANA TENTANG KONFLIK INDONESIA-MALAYSIA DI HARIAN REPUBLIKA EDISI AGUSTUS

2010

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)

Oleh: Zahrotusti’anah NIM 107051102338

KONSENTRASI JURNALISTIK

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1432 H / 2011 M


(2)

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

Analisis Framing Tajuk Rencana tentang Konflik Indonesia-Malaysia dalam Harian Republika Edisi Agustus 2010

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)

Oleh: Zahrotusti’anah NIM 107051102338

Di Bawah Bimbingan

Gun Gun Heryanto, S.Ag, M.Si NIP 19760812 200501 1 005

KONSENTRASI JURNALISTIK

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1432 H / 2011 M


(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana 1 (SI) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini, saya telah cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini merupakan hasil plagiat atau hasil jiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 7 Juni 2011

Zahrotusti’anah


(4)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “Analisis Framing Tajuk Rencana tentang Konflik Indonesia-Malaysia di Harian Republika Edisi Agustus 2010” telah diujikan dalam sidang Munaqosah Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 7 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana program strata 1 (S.1) pada Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Konsentrasi Jurnalistik.

Jakarta, 7 Juni 2011 Sidang Munaqosah

Ketua, Sekretaris,

Drs. H. Mahmud Jalal, MA Ade Rina Farida, M.Si NIP. 19520422 198103 1 002 NIP. 197700513 200701 2 018

Penguji I, Penguji II,

Rulli Nasrullah, M. Si Drs. Wahidin Saputra, MA

NIP. 19750318200801 1 008 NIP. 19700903 199603 1 001

Pembimbing,

Gun Gun Heryanto, S.Ag, M.Si NIP 19760812 200501 1 005


(5)

ABSTRAK Zahrotusti’anah

Analisis Framing Tajuk Rencana tentang Konflik Indonesia-Malaysia dalam Harian Republika Edisi Agustus 2010

Media massa Indonesia kembali sibuk dengan pemberitaan hubungan Indonesia-Malaysia. Pemicunya adalah penangkapan petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan oleh polisi Malaysia 13 Agustus 2010. Headline, berita, bahkan tajuk rencana membahas kembali hubungan kedua negara. Hal ini menarik, apalagi, tajuk rencana merupakan opini suatu redaksi media massa yang mudah membentuk suatu opini publik. Isu ini menjadi isu utama, termasuk oleh Republika. Sebagai surat kabar komunitas muslim, sikap Republika atas kasus ini di dalam tajuknya sedikit berbeda dengan sikap media lain. Republika cenderung lebih soft dalam penulisan tajuknya dibanding media massa lainnya.

Dengan latar belakang di atas, maka timbul sebuah pertanyaan dari penulis, bagaimana Harian Republika mengemas konflik Indonesia-Malaysia dalam tajuk rencananya selama Bulan Agustus 2010?

Penelitian ini berlandaskan pada paradigma konstruktivis dengan menggunakan riset kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara, dan dokumentasi. Adapun teknik analisa data, penelitian ini menggunakan analisis framing Robert Entman yang membagi bingkai sebuah wacana ke dalam empat elemen; identifikasi masalah, penyebab masalah, evaluasi moral, dan penawaran solusi atas masalah.

Teori Konstruksi Sosial atas Realitas milik Peter L. Berger dan Thomas Luckmann menjadi teori dalam penelitian ini. Berger dan Luckman mengatakan bahwa realitas dibentuk oleh realitas objektif dan realitas subjektif. Realitas objektif terbentuk dari pengalaman di luar individu dan dianggap kenyataan. Proses penyerapan kembali realitas objektif tersebut menghasilkan realitas yang disebut dengan realitas subjektif. Dalam realitas subjektif, realitas tersebut menyangkut makna, interpretasi, dan hasil relasi antara individu dengan objek.

Berdasarkan teori tersebut, maka teks yang ada di media massa merupakan hasil konstruksi dari si pembuat teks tersebut. Harian ini menggunakan tajuk rencana untuk mengidentifikasi kasus ini ke dalam ranah tertentu, menuding aktor penyebab masalah, mengevaluasi moral atas kasus ini, dan juga menawarkan solusi atas kasus tersebut.

Dengan begitu, penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa Republika mengemas kasus ini sebagai masalah komunikasi internasional yang melibatkan dua negara tetangga serumpun. Aktor penyebab masalah ada di Malaysia yang kerap kali tidak menghormati kedaulatan Indonesia. Sikap saling menghormati dan menjaga hubungan baik keduanya merupakan solusi utama yang ditawarkan Republika atas kasus ini.


(6)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur atas seluruh kehendak Allah S.W.T, Sang Pemilik Kehendak. Atas izin-Nya lah, akhirnya skripsi ini selesai dalam proses pengerjaan selama kurang lebih 6 bulan. Skripsi ini merupakan anugerah dan nikmat yang besar yang Allah berikan kepada saya.

Atas terselesaikannya skripsi ini, tak lupa saya haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi, Bapak Dr. H. Arief Subhan, M.A, Pembantu Dekan I Bidang Akademik, Bapak Drs. Wahidin Saputra, M.A, Pembantu Dekan II Bidang Administrasi Umum, Bapak Drs. Mahmud Jalal, M.A, serta Pembantu Dekan III Bidang Kemahasiswaan, Bapak Drs Study Rizal, L.K, MA.

2. Ketua Konsentrasi Jurnalistik, Ibu Rubiyanah, M.A beserta Sekretaris Konsentrasi Jurnalistik, Ibu Ade Rina Farida, M.Si yang selalu berkenan membantu saya dalam banyak hal.

3. Dosen pembimbing skripsi, Bapak Gun Gun Heryanto, S.Ag, M.Si yang telah meyediakan waktu dan tenaganya, serta membagi ilmunya untuk membimbing saya.

4. Seluruh dosen dan staf akademik Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi atas ilmu dan bantuannya selama ini.

5. Segenap staf Perpustakaan Utama UIN Jakarta dan Perpustakaan Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi.


(7)

7. Kedua orangtua tercinta, Ayahanda Dian Syahrudin dan Bunda Uyuni yang senantiasa sabar membesarkan, mendidik, dan mendoakan saya tanpa keluh kesah.

8. Kakak dan kedua adik saya yang selalu menghibur dan menemani hari-hari pengerjaan skripsi ini, Kak Lia, Ina, dan juga Ficky.

9. Keluarga besar Bani Abdillah dan Haji Hasyim sekalian atas doanya. 10. Teman-teman Jurnalistik angkatan 2007, mereka yang menemani,

membantu, dan menginspirasikan saya, Ririn, Ika, Cahya, Dita, Zabrina, Mawa, Zahra, Yanti, Silvi, Nana, Nunu, Nia, Lola, Sintya, Rezza, Ipunk, Dodo, Era, Ajat, Helmi, Alan, Anay, Beben, Fajar, Wahyu, Miral, Ibenk, Kiki, Iman, Murni, Nadia, Zenal, Nujum. Terimakasih atas semangat moril dan kebersamaan selama 4 tahun ini.

11. Semua pihak dan teman-teman yang telah mendukung, mendoakan, dan membantu saya dan tidak bisa saya sebutkan satu per satu.


(8)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... i

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Batasan Masalah ... 6

C.Rumusan Masalah ... 6

D.Tujuan Penelitian ... 7

E.Manfaat Penelitian. ... 7

F.Metodologi Penelitian... 7

G.Sistematika Penulisan ... 14

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA KONSEPTUAL A.Kajian Teoritis ... 16

1.Konstruksi Sosial atas Realitas ... 16

a.Latar Belakang Teori Konstruksi ... 16

b.Teori Kostruksi Sosial atas Realitas Peter Berger dan Thomas Luckmann ... 17

c.Konstruksi Realitas di Media Massa ... 22

B.Kerangka Konseptual ... 27

1.Analisis Framing ... 27

a.Definisi Framing ... 27

b.Framing Robert Entman ... 32

2.Tajuk Rencana ... 36

a.Definisi dan Fungsi ... 36

b.Jenis dan Penetapan Isu Tajuk Rencana ... 39

c.Model ANSVA dan SEES ... 41

BAB III GAMBARAN UMUM HARIAN REPUBLIKA A.Sejarah Harian Republika ... 43

B.Visi dan Misi Harian Republika ... 47

C.Karakter Harian Republika ... 49

D.Struktur Redaksi Harian Republika ... 51

BAB IV TEMUAN DAN ANALISA DATA A.Analisis Framing Tajuk Rencana Kamis, 19 Agustus 2010 ... 58


(9)

C.Analisis Framing Tajuk Rencana Senin, 30 Agustus 2010 ... 79 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A.Kesimpulan ... 89 B.Saran ... 91

DAFTAR PUSTAKA ... 92 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(10)

DAFTAR TABEL

1. Tabel I.1 Model Analisis Framing Robert N. Entman

2. Tabel IV.1 Daftar Judul Tajuk Rencana dengan Pembahasan Indonesia-Malaysia

3. Tabel IV.2 Framing Tajuk Rencana “Hubungan RI-Malaysia” 4. Tabel IV.3 Framing Tajuk Rencana “Hubungan Panas Serumpun” 5. Tabel IV.4 Framing Tajuk Rencana “Malaysia yang Berbudi”


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tanggal 13 Agustus 2010 lalu, media massa Indonesia ramai membincangkan kembali hubungan panas antara Indonesia dan Malaysia. Konflik ini kembali mencuat dengan tertangkapnya tiga petugas Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) oleh polisi Diraja Malaysia. Penangkapan ketiga petugas KKP RI itu dilakukan di perairan Bintan, Kepulauan Riau.

Kejadian ini bermula dari tujuh nelayan Malaysia yang kedapatan mengambil ikan-ikan di perairan Bintan. Petugas KKP yang sedang berpatroli pun menggiring tiga nelayan tersebut ke Batam dengan memindahkan mereka ke dalam kapal KKP. Tiga dari petugas KKP mengawal lima kapal nelayan Malaysia. Polisi Diraja Malaysia pun kemudian menggiring lima kapal nelayan beserta tiga petugas KKP ke Johor setelah melepaskan tembakan peringatan.

Hubungan yang sering tidak harmonis ini sudah terjadi sejak tahun 1963. Bermula dari keinginan Inggris menyatukan wilayah Sabah dan Serawak sebagai bagian dari wilayah koloninya, Soekarno geram dengan aksi Anti-Indonesia.1 Aksi tersebut berujung pada penginjakan lambang garuda oleh Perdana Menteri Malaysia saat itu, Tuanku Abdul Rahman. Tidak hanya itu, para demonstran pun merobek-robek foto Soekarno dan mengobrak-abrik kedubes RI di Malaysia.

1

Usm an, Syafaruddin dan Isnawit a Din. Ancaman Negeri Jiran : Dari ” Ganyang M alaysia” Sampai Konflik Ambalat (Yoyakart a: M edia Pressindo, 2009), h. 28.


(12)

Pada dasarnya, kondisi demografi Malaysia tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Malaysia dan Indonesia memiliki rumpun yang sama sehingga tak jarang, banyak kesamaan yang muncul dari kedua negara ini. Dari segi budaya, tak sedikit budaya kedua negara ini yang hampir serupa, seperti tarian, adat, atau bahkan ragam makanan. Maka tidak heran, hubungan kedua negara tetangga ini sering memanas.

Pengklaiman ragam budaya Indonesia cukup membuat bangsa ini geram. Sebut saja kasus pengklaiman Reog Ponorogo, tari Tari Pendet dari Bali, batik khas Jawa, dan lagu daerah Maluku “Rasa Sayange” yang dipakai Malaysia sebagai isi iklan pariwisatanya. Belum lagi masalah perbatasan teritorial yang sensitif, seperti perbatasan di perairan Ambalat. Menjadi catatan buruk juga sikap kekerasan Malaysia terhadap TKI di negeri johor itu yang akhirnya menyebut bangsa kita sebagai bangsa babu. Malaysia dan Indonesia menjadi tetangga yang tidak harmonis.

Peranan media massa dalam membingkai kasus pada 13 Agustus lalu menjadi semakin kuat. Berbagai media, baik televisi, radio, dan surat kabar gencar memberitakan kasus ini ke hadapan publik. Kasus ini pun kerap menjadi headline

di berbagai media massa.

Harian Republika sebagai harian nasional yang berbasis komunitas muslim menulis paling sedikit tiga headline yang secara implisit membahas hubungan kedua negara sejak konflik ini kembali mencuat 13 Agustus 2010. Headline tersebut antara lain berjudul, “Konfrontasi!” pada tanggal 16 Agustus 2010, “Malaysia Meradang: Pemerintah tak tanggapi pernyataan Menlu Malaysia” pada


(13)

tanggal 27 Agustus 2010, dan “Menlu Anifah Tolak Minta Maaf” pada 28 Agustus 2010.

Headilne-headline tersebut diperkuat dengan ilustrasi seputar batas wilayah atau juga dengan ilustrasi wajah Menlu Malaysia dan Indonesia yang dimaknai sebagai proses diplomasi yang lembek. Kasus ini pun terlihat menjadi lebih penting manakala dibahas pula dalam berita-berita yang diletakkan pada rubrik berita utama dan rubrik berita lainnya baik secara implisit maupun eksplisit.

Secara eksplisit, ada beberapa berita dan tajuk rencana yang menyelipkan kasus ini dalam teksnya. Seperti pada headline “Pidato Tak Beri Harapan” yang berisi tentang daftar pidato presiden bertepatan dengan Hari Kemerdekaan RI ke-55. Dalam list pidato presiden tersebut, kasus Indonesia-Malaysia termasuk ke dalam kasus yang tidak dibahas dalam pidato presiden kala itu.

Lainnya, secara eksplisit dikemukakan dalam tajuk rencana pada tanggal 20 Agustus 2010 yang berjudul “Jangan Buang Energi”. Taju ini mengatakan bahwa, usul kontroversial anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Ruhut Sitompul, tentang perpanjangan masa jabatan Presiden SBY merupakan pengalihan isu atas kelemahan SBY menyikapi kasus Indonesia-Malaysia.

Fungsi dan peran media massa menurut Lasswell dibagi menjadi tiga, yakni: pengamatan lingkungan, korelasi bagian-bagian dalam masyarakat untuk merespon lingkungan, dan penyampaian warisan masyarakat dari generasi ke generasi.2

2

Werner J.Severin dan Jam es W. Tankard Jr, Teori Komunikasi: Sejarah, M et ode dan Terapan di dalam M edia M assa (Jakart a: Prenada M edia, 2008), h. 386.


(14)

Adapun fungsi yang kedua, korelasi, adalah fungsi dimana media memeberikan interpretasinya tentang informasi kepada masyarakat. Melalui fungsi ini, media kerap kali memasukkan kritik atau pandangannya terhadap isu-isu yang dinilai menyimpang. Media menjadi sebuah kontrol sosial atas lingkungannya. Media memberikan pandangan kepada khalayak untuk menyikapi suatu kejadian melalui tajuk atau editorialnya. Untuk itu, dengan fungsi ini tajuk rencana mampu membuat sebuah opini publik tentang suatu kasus.

Tajuk rencana adalah opini berisi pendapat dan sikap resmi suatu media sebagai institusi penerbitan terhadap persoalan aktual, fenomenal, dan atau kontroversial yang berkembang dalam masyarakat.3 Tajuk rencana atau yang juga disebut sebagai editorial memiliki peran sendiri bagi media massa, dalam hal ini, surat kabar. Tajuk menjadi begitu bernilai manakala publik merasa bahwa pandangan dari redaksi media adalah pandangan yang patut untuk diketahui.

Untuk itu, penulis merasa bahwa kasus ini menarik, bukan hanya masalah kedua negara merupakan negara tetangga yang tidak harmonis, melainkan juga ingin mengetahui bagaimana sikap Republika sebagai koran komunitas muslim terbesar di Indonesia menanggapi kasus ini.

Republika bukan berada pada karakter media provokatif dalam penulisan beritanya. Untuk itu, penulis tertarik untuk melihat solusi apa yang ditawarkan Republika sementara koran lain banyak yang menyetujui aksi provokatif, seperti perang misalnya.

Dari tiga tajuk rencana yang ditulis Republika pun terkesan berbeda. Ketiganya memang menggunakan penulisan halus namun tetap tegas. Penulis pun

3

AS Haris Sumadiria, Menulis Artikel dan Tajuk Rencana: Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis Profesional (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008), h. 2.


(15)

tertarik mengambil tajuk rencana Republika karena sudut pandang dalam tajuk tersebut berbeda dari koran lain. Republika lebih mengedepankan hubungan kedua negara yang seharusnya bisa lebih baik tanpa diganggu masalah-masalah seperti ini terus menerus. Republika mendorong tak hanya pemerintah Indonesia-Malaysia yang bertanggungjawab atas hal ini, tapi juga semua lapisan masyarakat, baik Indonesia maupun Malaysia.

Oleh karena itu, penulis mengangkat judul “Analisis Framing Tajuk Rencana tentang Konflik Indonesia-Malaysia di Harian Republika Edisi Agustus 2010”.

B. Pembatasan Masalah

Merujuk pada latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka penulis membatasi penelitian ini pada tajuk rencana yang mengangkat konflik antara Indonesia-Malaysia pada Harian Republika edisi Agustus 2010.

C. Perumusan Masalah

Dari batasan penelitian di atas, maka rumusan masalah yang akan penulis kaji adalah “bagaimana pengemasan kasus konflik Indonesia-Malaysia dalam tajuk Harian Republika?”

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana Harian Republika mengemas kasus konflik Indonesia-Malaysa pada edisi Agustus sampai September 2010.

E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Akademis


(16)

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada pengembangan keilmuan komunikasi terutama komunikasi massa yang terkait dengan model analisis framing atas media massa, khususnya model Robert N. Entman.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini juga diharapkan memberi masukan sebagai referensi tambahan terkait data analisis kepada penelitian sejenis di masa mendatang. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh para praktisi di bidang jurnalistik, seperti wartawan dalam membingkai peristiwa.

F. Metodologi Penelitian 1. Paradigma Penelitian

Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis dengan metode riset kualitatif. Pada dasarnya, paradigma atau pendekatan riset komunikasi dapat dilihat menjadi tiga paradigma; positivis, konstruktivis, dan juga kritis. Ketiga paradigma ini biasanya dapat dibedakan dengan melihat dari aspek ontologi, epistemologi, aksiologi, dan juga metodologi.

Aspek ontologi melihat apa yang disebut sebagai suatu realitas. Paradigma konstruktivis ini memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi hasil dari konstruksi.4 Dilihat dari aspek epistemologinya, atau sesuatu yang menyangkut bagaimana cara mendapatkan pengetahuan, paradigma konstruktivis menempatkan peneliti dan objek yang diteliti sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan.

4

Eriyanto, Analisis Framing : konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, (Yogyakarta: LKis, 2008) Cet. Ke-5 h. 5


(17)

Aspek yang ketiga adalah aspek aksiologi di mana menyangkut tentang tujuan untuk mempelajari sesuatu. Penelitian dengan paradigma konstruktivis bertujuan untuk rekonstruksi realitas sosial secara dialektis antara peneliti dengan pelaku sosial yang diteliti.5 Terakhir adalah aspek metodologi di mana teknik-teknik dipelajari dalam menemukan pengetahuan. Pada paradigma ini peneliti dan responden (yang diteliti) menekankan pada hubungan empati dan interaksi melalui metode-metode kualitatif, seperti observasi partisipan.

2. Metode Penelitian

Paradigma konstruktivis yang bernilai subjektif ini menggunakan metode riset kualitatif di mana menekankan pada kualitas data dan bukan kuantitasnya. Metode kualitatif sebenarnya merupakan metode penelitian yang dipakai untuk menjelaskan suatu fenomena sedalam-dalamnya dengan menggunakan pengumpulan data yang sedalam-dalamnya pula.

Secara sederhana, metode kualitatif tidak melakukan pengumpulan data dengan metode statistik. Metode ini digunakan justru untuk menjelaskan apa yang tidak bisa dijelaskan pada metode kuantitatif. Untuk itu, metode kualitatif membutuhkan analisa di lapangan yang mendalam. Salah satu asumsi desain kualitatif adalah peneliti kualitatif merupakan instrumen pokok untuk pengumpulan dan analisa data. Data didekati melalui instrumen manusia, bukannya melalui inventaris, daftar pertanyaan, atau mesin.6

Karakteristik masalah pada penelitian kualitatif adalah adanya kebutuhan dari si peneliti untuk menggali lebih dalam lagi suatu fenomena dan

5

Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi: Disertai Contoh Praktis Riset Media, (Jakarta: Kencana 2007) Cet ke-2, h. 110

6

John W. Creswell, Desain Penelitian: Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif, (Jakarta: KIK Press, 2003), h. 140


(18)

mengembangkan teori yang sudah ada. Oleh karenanya, desain penelitian kualitatif bersifat induktif, sehingga teori tidak menjadi sesuatu untuk diuji tetapi untuk dikembangkan dan dibentuk melalui proses penelitian.7

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan teknik atau cara-cara yang digunakan periset untuk mengumpulkan data. Teknik pengumpulan data dibedakan dengan metodologi dari riset yang digunakan para periset, yakni riset kualitatif dan kuantitafif. Pada riset kualitatif yang penulis pakai pada riset ini ialah observasi, wawancara, dan juga dokumentasi. Ide penelitian kualitatif adalah dengan sengaja memilih informan (atau dokumen atau bahan-bahan visual lain) yang dapat memberikan jawaban terbaik pertanyaan penelitian.8

a. Observasi

Observasi merupakan kegiatan mengamati apa yang ada di sekeliling kita. Pada dasarnya, observasi memang hal yang sering dilakukan kita sehari-hari. Observasi pada riset ini diartikan sebagai kegiatan mengamati subjek (tajuk rencana Harian Republika) dan objek (tajuk pada tanggal 19, 28, dan 30 Agustus 2010) penelitian secara langsung.

Pada metode observasi, periset biasanya menggunakan instrumen observasi. Instrumen observasi tersebut antara lain: sistem kategori, sistem skala, sistem tanda, diary keeping, analisis dokumen, lembar pengamatan, dan panduan

7

John W. Creswell, h. 98. 8


(19)

pengamatan.9 Pada riset ini hanya analisis dokumen yang digunakan sebagai instrumen observasi. Analisis dokumen hanya mengamati dokumen sebagai sumber informasi dan menginterpretasikannya ke dalam hasil penelitian. Dokumen yang digunakan, pada dasarnya, terdiri atas dokumen publik dan dokumen privat. Namun, seperti yang telah disebutkan di atas, riset ini hanya membutuhkan dokumen publik berupa teks tajuk Harian Republika edisi 19, 28, dan 30 Agustus 2010.

b. Wawancara

Teknik pengumpulan data yang juga digunakan periset adalah wawancara. Wawancara dalam riset kualitatif, yang disebut sebagai wawancara mendalam

(depth interview) atau wawancara intensif (intensive-interview) dan kebanyakan

tak berstruktur.10 Tujuannya untuk mendapatkan data kualitatif yang mendalam. Wawancara ini akan dilakukan bersama narasumber yang merupakan redaksi Harian Republika.

c. Dokumentasi

Terakhir, teknik pengumpulan data yang periset gunakan adalah metode dokumentasi. Peneliti menambah data-data yang digunakan melalui penghimpunan data-data, literatur, dan kajian pustaka terkait masalah yang akan diangkat. Pengumpulan dokumentasi tersebut digunakan untuk mendapatkan informasi yang mendukung dalam menginterpretasi data dan menganalisis masalah.

9

Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta: Kencana 2007) Cet ke-2, h. 111.

10


(20)

1. Teknik Analisis Data

Membaca bingkai yang dilakukan Harian Republika pada tajuknya atas kasus konflik Indonesia-Malaysia pada edisi Agustus 2010, peneliti menggunakan teknik analisa framing milik Robert N. Entman. Entman membagi modelnya ke dalam empat bagian, identifikasi masalah, penyebab masalah, evaluasi moral, dan penawaran solusi atas masalah tersebut.

Gagasan mengenai framing sendiri pertama kali diperkenalkan oleh Beterson pada tahun 1955. Framing dikenal sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana, serta yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas.11 Tahun 1974, Goffman mengembangkan konsep framing menjadi kepingan-kepingan perilaku individu dalam membaca realitas. Framing pada dasarnya merupakan pemberian definisi, penjelasan, evaluasi, dan rekomendasi dalam suatu wacana untuk menekankan kerangka berpikir tertentu terhadap peristiwa yang diwacanakan (Entman dalam Dennis McQuail, 2002).12

Framing secara sederhana dapat digunakan untuk menyusun dan membaca realitas yang dikonstruksi oleh media massa. Suatu isu, pada penyajiannya, melalui beberapa proses yang akhirnya menjadi satu sajian utuh yang dikonsumsi oleh publik. Proses inilah yang membedakan antara satu berita oleh media A dan media B dengan isu yang sama.

Perbedaan sajian atau bingkai yang dipakai media massa merupakan realitas yang sengaja dibentuk untuk menyampaikan pesan tersendiri bagi media

11

Alex Sobur, Analaisis Teks Media : Suatu Pengantar Untuk analisis Wacana, Analisis semiotic, dan Analisis Framing, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), h. 162.

12

M. Antonius Birowo (ed.), Metode Penelitian Komunikasi: Teori dan Aplikasi, (Yogyakarta: Gitanyali, 2004), h. 181.


(21)

tersebut. Pada dasarnya, framing merupakan metode untuk melihat cara bercerita media atas peritiwa.13 Metode ini digunakan untuk melihat bsagaimana peristiwa dikonstruksi oleh media.

Entman mendefinisikan framing sebagai seleksi dari berbagai aspek realitas yang diterima dan membuat peristiwa itu lebih menonjol dalam suatu teks komunikasi. Framing menjauhkan khalayak untuk mendapatkan obyektivitas pemberitaan. Framing dapat terjadi melalui cara pengambilan gambar atau sudut pandang peristiwa, penyuntingan, dan penyajian peristiwa pada teks yang disajikan.

Dalam proses framing terdapat berbagai kepentingan yang menempel dengannya, bisa berasal dari pemilik/pemegang saham terbesar media, pengiklan, atau dari institusi penekan lain seperti pemerintah, agama, dan lain-lain. Entman juga menyertakan penempatan informasi-informasi dalam konteks yang khas sehingga sisi tertentu mendapatkan alokasi lebih besar daripada sisi yang lain.14

Menurut Entman, framing dalam berita dilakukan dengan empat cara, yakni:15 Pertama, indetifikasi masalah (problem indentication), yaitu peristiwa dilihat sebagai sesuatu yang mana positif dan yang mana negatif. Kedua,

identifikasi penyebab masalah (causal interpretation), yaitu siapa yang dianggap penyebab masalah. Ketiga, evaluasi moral (moral evaluation), yaitu penilaian atas penyebab masalah; dan keempat, saran penanggulangan masalah (treatment

recommendation), yaitu menawarkan suatu cara penanganan masalah dan kadang

kala memprediksikan hasilnya.

13

Eriyanto, Analisis Framing : konstruksi Ideologis, dan Politik Media, (Yogyakarta: LKiS, 2008), h. 10.

14

Alex Sobur, Analaisis Teks Media, h.67. 15


(22)

Framing Robert Entman

Problem indentication Peristiwa dilihat sebagai sesuatu yang

mana positif dan yang mana negatif

Causal interpretation Siapa/apa yang dianggap penyebab

masalah

Moral evaluation Penilaian atas penyebab masalah

Treatment recommendation Menawarkan suatu cara penanganan

masalah dan kadang kala memprediksikan hasilnya

Tabel I.1

Model Analisis Framing Robert N. Entman

Pengidentifikasian masalah atau tahap problem identification merupakan tonggak dari bingkai suatu teks media. Pada tahap ini, peneliti harus mengambil pokok dari suatu masalah yang sedang diangkat. Masalah tersebut adalah penginterpretasian dari redaksi dalam menyikapi perstiwa tersebut.

Diagnose Causes, mencari penyebab masalah. Diagnosa penyebab

masalah dilihat ketika suatu peristiwa yang dipahami redaksi ditulis sedemikian rupa dan menonjolkan sesuatu yang dianggap menjadi penyebab masalah. Dalam suatu teks media, penyebab tidak hanya diartikan sebagai who atau siapa, melainkan juga what atau apa.

Tahap ketiga adalah moral evaluation atau evaluasi moral. Di sini, masalah yang sudah diidentifikasikan dan diketahui penyebabnya kemudian dipertegas oleh gagasan lain. Gagasan ini sifatnya akan membenarkan pokok


(23)

masalah yang diangkat pihak redaksi. Gagasan akan berupa argumen dan kutipan dari seseorang yang kompetibel dengan masalah dan dikenal khalayak.

Terakhir merupakan solusi yang ditawarkan pihak redaksi atas masalah tersebut, atau treatment recommendation. Tahap ini mengambil sikap yang diambil pihak redaksi untuk dijadikan bahan masukan, solusi atas masalah. Solusi yang diberikan pihak redaksi tentunya bergantung pada masalah yang ditonjolkan, penyebab masalahnya, dan juga penguatan masalah oleh gagasan lain.

G. Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini memaparkan latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA KONSEPTUAL

Bab ini akan membahas tentang teori konstruksi sosial atas realitas Peter L. Berger dan Luckmann. Selain itu, Bab ini akan membahas konsep framing dan tajuk rencana.

BAB III GAMBARAN UMUM

Bab ini berisi profil dari Harian Republika. Profil itu sendiri terdiri atas sejarah singkat berdirinya Harian Republika, visi dan misi Harian Republika, serta struktur redaksional dari Harian Republika.


(24)

BAB IV TEMUAN DAN ANALISA DATA

Bab ini berisi temuan data dan analisis framing terhadap tajuk Harian Republika pada edisi 19, 28, dan 30 Agustus 2010 yang membincang konflik Indonesia-Malaysia.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN


(25)

BAB II

KAJIAN TEORITIS DAN KERANGKA KONSEPTUAL

A. Kajian Teoritis

1. Konstruksi Sosial Atas Realitas a. Latar Belakang Teori Konstruksi

Konstruksionisme sendiri merupakan cikal bakal yang berasal dari aliran filsafat. Ide konstruksionis dimulai oleh Giambatista Vico, seorang epistemolog dari Italia.16 Aristoteles dalam Bertens mengatakan bahwa, manusia adalah makhluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah logika dan dasar pengetahuan adalah fakta.17

Konstruksionisme menjelaskan bahwa konstruksionis merupakan proses kerja kognitif individu di mana terjadi relasi sosial antara individu dengan orang atau lingkungannya. Proses inilah yang menafsirkan realitas yang ada. Realitas tersebut dibentuk sendiri oleh pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya oleh masing-masing individu. Piaget menyebut kemampuan ini sebagai skema atau skemata dalam yang berarti suatu struktur mental atau kognitif yang dengannya seseorang secara intelektual beradaptasi dan mengkoordinasi lingkungan sekitarnya.18

16

Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa: Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklak Televisi, dan Keputusan Konsimen serta Kritik Terhadap Peter L. Berger dan Thomas Luckmann (Jakarta: Kencana, 2008), h. 13

17

Ibid, h. 13. 18

Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan (Pustaka Filsafat, 2007), h. 30.


(26)

Berbeda dengan kaum positivis yang cenderung mengabaikan individu dan hanya terpaku pada struktur sosial, kaum konstruksionis memilih ke arah teori-teori beraliran interpretatif atau humanistis. Teori-teori humanistis ini cenderung berada di tengah, antara positivis dan kritis. Oleh karenanya, konstuksionisme sebagai bagian dari teori humanistis menganggap individu yang berinteraksi sebagai alat analisa yang tepat.

Baginya, realitas sosial memang sudah ada dengan sendirinya namun juga tergantung pada manusia sebagai subjeknya. Pembahasan tersebut yang menjadi bahasan Berger pada teori konstruksi realitas atas realitanya. Berger berpendapat bahwa realitas sosial secara objektif memang ada tetapi maknanya berasal dari dan oleh hubungan subjektif (individu) dengan dunia objektif.19

b. Teori Konstruksi Sosial atas Realitas Peter L. Berger dan Thomas Luckmann

Peter Ledwig Berger merupakan sosiolog asal Amerika yang mengambil benang merah antara aliran Emil Durkheim (1858-1917), Max Weber (1864-1920), dan Karl Marx (1818-1883). Berger memiliki pandangan sendiri dalam menyikapi pertarungan aliran positivis Durkheim, humanis Weber, dan juga teori kritik Marx. Berger mengambil sikap tegas bahwa sosiologi merupakan suatu disiplin yang humanitik.20 Namun, dalam perspektifnya, Berger menekuni makna yang menghasilkan watak ganda masyarakat, yakni; masyarakat sebagai kenyataan subyektif seperti pandangan

19

Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003) , h. 299.

20


(27)

Weber dan masyarakat sebagai kenyataan obyektif menurut Durkheim yang terus berdialektika (Marx).

Perspektif Berger mendapat sumbangan besar dari Alfred Schutz (1899-1959) tentang makna dan pembentukan makna atau bagaimana makna membentuk struktur sosial.21 Schutz mengatakan tindakan manusia menjadi suatu hubungan sosial bila manusia memberikan arti atau makna tertentu terhadap tindakannya itu sebagai sesuatu yang penuh arti.22

Gagasan Berger dan Luckmann bertumpu pada makna realitas dan pengetahuan. Kenyataan adalah suatu kualitas yang terdapat dalam fenomena-fenomena yang memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak individu manusia (yang kita tidak dapat meniadakannya dengan angan-angan). Pengetahuan adalah kepastian bahwa fenomena-fenomena itu nyata (real) dan memiliki karakteristik-karakteristik yang spesifik.23

Keterkaitan hubungan individu dan dunia sosiokulturalnya disusun dalam gagasan eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Ketiganya ini merupakan proses dialektika antara indidu dengan masyarakatnya atau masyarakat dengan individu. Eksternalisasi dan objektivasi merupakan proses di mana masyarakat merupakan realiats objektif, sedangkan proses internalisasi menempatkan masyarakat sebagai realitas subjektif.

21

Ibid, h. 299. 22

George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h. 59.

23


(28)

a.1. Manusia Sebagai Realitas Objektif 1. Eksternalisasi

Berger mendefinisikan eksternalisasi sebagai proses penyesuaian diri individu terhadap dunia sosiokulturalnya.24 Eksternalisasi dipengaruhi secara aktif maupun pasif oleh akumulasi common sense yang merupakan pengetahuan yang dimiliki individu bersama individu-individu lainnya dalam kegiatan rutin yang normal, dan sudah jelas dengan sendirinya, dalam kehidupan sehari-hari.25 Pengetahuan bersama ini pada dasarnya bersifat subyektif yang kemudian terjadi berulang-ulang lalu mengendap sehingga menjadi akumulasi common sense yang terhabitualisasi. Habitualisasi ini selanjutnya membentuk produk sosial yang nantinya akan diwariskan. Dengan kata lain, manusia merupakan instrumen dalam menciptakan realitas sosial yang objektif melalui proses eksternalisasi.26

2. Objektivasi

Objektivasi tahap pertama disebut sebagai institusionalisasi dan kedua merupakan legitimasi.27 Institusi adalah jawaban manusia terhadap kehidupannya yang terus mengalir dengan tidak pasti. 28 Ketidakpastian ini yang dimaksud Berger sebagai kekacauan yang diliputi kehampaan makna. Institusi, dengan segala ketentuan yang mengatur peran anggotanya, berfungsi

24

Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, h. 15. 25

Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan; Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan (Jakarta: LP3ES, 1990), h. 34.

26

Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, h. 302. 27

Geger Riyanto, Peter L. Berger: Perspektif Metateori Pemikiran (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2009), h. 117.

28


(29)

untuk memberikan rasa keteraturan dan kenyamanan kepada anggotanya tersebut.29

Institusi yang diwariskan ini tidak bersifat statis atau tanpa perubahan. Karena dari zaman ke zaman, anggota baru dari institusi tersebut akan terus bisa mempertanyakan institusi tersebut. Untuk mempertahankannya dibutuhkan legitimasi yang merupakan tahap objektivasi tahap kedua. Legitimasi meletakkan justifikasi kognitif atau penjelasan berdasarkan pembuktian logis mengenai relevansi dari sebuah institusi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menyoal institusi tersebut, saat institusi itu mulai dirasa kurang atau tidak relevan dalam menjawab persoalan-persoalan yang timbul.30

Dengan demikian masyarakat sebagai realitas subjektif dari kedua proses di atas (eksternalisasi dan objektivasi) dapat diterangkan sebagai berikut;

“Dalam proses eksternalisasi, mula-mula sekelompok manusia menjalankan sejumlah tindakan. Bila tindakan-tindakan tersebut dirasa tepat dan berhasil menyelesaikan persoalan merea bersama pada saat itu, maka tindakan tersebut akan diulang-ulang. Setelah tindakan itu mengalami pengulangan yang konsisten, kesadaran logis manusia akan merumuskan bahwa fakta tersebut terjadi karena ada kaidah yang mengaturnya. Inilah tahapan objektivasi di mana sebuah institusi menjadi realitas yang objektif setelah melalui proses ini.”31

29

Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, h. 303. 30

Geger Riyanto, Peter L. Berger, h. 116. 31


(30)

a.2. Manusia Sebagai Realitas Subjektif 1. Internalisasi

Masyarakat sebagai kenyataan subyektif menyiratkan bahwa realitas obyektif ditafsiri secara subyektif oleh individu. Dalam proses menafsiri itulah berlangsung internalisasi. Internalisasi yang berlangsung melibatkan sosialisasi, baik primer maupun sekunder.

“Internalisasi itu di antaranya berwujud dalam sosialisasi –bagaimana satu generasi menyampaikan nilai-nilai budaya yang ada pada generasi berikut. Generasi berikut diajar untuk hidup sesuai dengan nilai budaya yang mewarnai struktur masyarakatnya. Generasi baru dibentuk oleh makna-makna yang sudah diobjektivasikan, mengidentifikasi diri dengannya. Tetapi tidak memilikinya dengan sekadar mengenalnya, ia juga mengungkapkannya.”32

Sosialisasi primer berlangsung pada masa anak-anak dengan hubungan emosional yang tinggi yang pada akhirnya tidak hanya menimbulkan proses belajar mengenal lingkungan secara kognitif saja. Sedangkan sosialisasi sekunder memurut Berger dan Luckmann dikatakan bahwa, tanpa mempertimbangkan dimensi lainnya, bisa dikatakan bahwa sosialisasi sekunder adalah proses memperoleh pengetahuan khusus sesuai dengan perannya (

role-spesific knowledge), di mana peran-peran secara langsung atau tidak langsung

berakar dalam pembagian kerja.33

Ketiga proses atau tahapan di atas merupakan realitas yang dimaksud Berger dan Luckmann. Realitas objektif yang merupakan realitas yang terbentuk dari pengalaman di luar individu dan dianggap kenyataan ini adalah eksternalisasi. Ekspresi dari realitas objektif dalam berbagai bentuk simbolis tersebut dinamakan objektivasi. Sedangkan proses penyerapan kembali realitas

32

Eriyanto, h. 15 33


(31)

objektif dan simbolik melalui proses internalisasi menghasilkan realitas yang disebut dengan realitas subjektif.

Dalam realitas subjektif, realitas tersebut menyangkut makna, interpretasi, dan hasil relasi antara individu dengan objek. Setiap individu mempunyai latar belakang sejarah, pengetahuan, dan lingkungan yang berbeda-beda, yang bisa jadi menghasilkan penafsiran yang berbeda pula ketika melihat dan berhadapan dengan objek. Sebaliknya, realitas itu juga mempunyai dimensi objektif –sesuatu yang dialami, bersifat eksternal, berada di luar- atau dalam istilah Berger, tidak dapat kita tiadakan dengan angan-angan yang ada, dan sebagainya.34

c. Konstruksi Realitas di Media Massa

Berger dan Luckmann memang tidak menyebutkan aktivitas media massa dalam gagasan konstruksi sosial atas realitas, namun gagasan Berger dan Luckmann tersebut memberi banyak substansi pada konstruksi sosial media massa.35

Tiga proses dialektika Berger dan Luckmann; eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi ini juga digunakan dalam proses konstruksi realitas media massa. Hanya saja, ketiga proses tersebut berjalan lamban karena terjadi antarindividu saja dan juga menggunakan pola vertikal yang kemudian bersifat spasial, di mana konstruksi sosial berlangsung seperti dari atasan ke bawahannya atau orangtua kepada anaknya.

34

Eriyanto, Analisis Framing, h. 16. 35


(32)

Konstruksi realitas media massa pada dasarnya memang melibatkan individu sebagai subjeknya, akan tetapi, individu tersebut tidak akan memberi kontribusi besar terhadap proses konstruksi jika tanpa melaui media massa. Misalnya, aktor atau subjek individu dalam proses pengkonstruksian sebuah peristiwa di media massa adalah wartawan dan pihak redaksi media tersebut. Wartawan tersebut tidak memiliki kekuatan konstruksi besar dalam mata khalayak, kecuali gagasan-gagasannya tersebar di media massa. Burhan Bungin mengatakan dalam konteks konstruksi iklannya, bahwa konstruksi iklan atas realitas sosial itu terjadi karena iklan televisi adalah bagian dari media televisi dan menjadi salah satu sumber otoritas individu.36

Kelambanan yang terjadi pada proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi Berger dan Luckmann ditutupi oleh proses sirkulasi informasi media yang cepat dan tersebarluas. Namun, proses sirkulasi tersebut pun butuh tahapan-tahapan yang pada akhirnya akan membentuk realitas media massa. Berikut bagan yang menggambarkan proses konstruksi sosial media massa:37

GAMBAR II.1

Proses Konstruksi Sosial Media Massa

36

Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, h. 213. 37


(33)

Sebagai sumber, ketiga proses Berger dan Luckmann berjalan pada dapur redaksi. Tahapan ini dinamakan penyiapan materi. Di sini, terjadi penentuan isu yang akan disampaikan pada khalayak. Seorang wartawan atau pun pihak redaksi sudah memiliki gambaran tersendiri tentang suatu peristiwa yang terjadi. Gambaran pengetahuan itu sudah ada sebelum proses pencarian fakta dilakukan. Tahap eksternalisasi ini kemudian berada pada realitas objektif tentang peristiwa tersebut. Ketika wartawan tersebut turun ke lapangan, mencari fakta demi fakta, realitas objektif tersebut akan tercampur dengan apa yang dilihat dan dialami langsung oleh si wartawan yang menjadikan fakta tersebut sebagai realitas subjektif. Ada pemaknaan yang dilakukan wartawan tentang realitas objektif atau pengetahuan tentang peristiwa yang sudah ada sebelum ia turun langsung dan realitas yang ia lihat ketika proses peliputan terjadi. Berita bersifat subjektif, karena opini tidak dapat dihilangkan ketika peliputan. Wartawan melihat dengan perspektif dan pertimbangan subjektif. 38

Menurut Mark Fishman, Berita dihasilkan dari pengetahuan dan pikiran, bukan karena ada realitas objektif yang berada di luar, melainkan karena orang akan mengorganisasikan dunia yang abstrak ini menjadi dunia yang koheren dan beraturan serta mempunyai makna.39

Bagaimana peristiwa itu dikemas dan mengapa peristiwa itu dimaknai tertentu bukan hanya semata-mata subjektivitas individu dari wartwan itu sendiri, tapi juga institusi yang menaunginya. Tidak dapat dipungkiri bahwa wartawan hidup dalam institusi media dengan seperangkat aturan, pola kerja,

38

Eriyanto, Analisis Framing, h. 27. 39


(34)

dan aktivitasnya sehingga tidak menutup kemungkinan ada control dari pihak institusi dalam pengemasan suatu peristiwa.

Pada tahapan ini, konstruksi realitas akan diawali dengan adanya keberpihakan media massa kepada kapitalisme. Keberpihakan tersebut tidak bisa dipungkiri mengingat ideologi media massa saat ini memang sudah pada tataran industri di mana membutuhkan modal dan juga menjadikan produk medianya laku di masyarakat.40

Selain itu, pada tahapan ini pun media akan memberikan keberpihakan semu kepada masyarakat dan juga kepentingan umum lainnya. Keberpihakan semu ini akan dibentuk melalui sikap empati dan simpati media dalam produk

ber-genre kemanusiaan yang sifatnya menyentuh sensitivitas khalayak.

Proses konstruksi ini melibatkan bagaimana peristiwa bisa dikemas agar memiliki nilai berita. Jutaan peristiwa terjadi setiap harinya, namun wartawanlah yang kemudian memilih peristiwa itu, menuliskannya sedemikian rupa dan memberikan makna serta penonjolan-penonjolan lain yang bisa menjadi nilai berita, karena nilai berita merupakan produk dari konstruksi wartawan. Elemen ini berhubungan dengan orientasi media dengan khalayaknya. Menurut Shoemaker dan Reese, nilai berita adalah elemen yang ditujukan kepada khalayak.41

Tahapan kedua adalah penyebaran konstruksi. Dua poin penting dalam tahapan ini adalah mengenai waktu dan segmentasi khalayak. Media massa harus bisa menyebarkan informasi dalam waktu yang secepat mungkin dan dengan target khalayak yang jelas serta tepat sasaran. Keduanya akan

40

Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, h. 197. 41


(35)

mempermudah pembentukan konstruksi media, sebab media massa memang bekerja dengan keaktualitasannya terhadap suatu peristiwa. Hal tersebut menjadi bahan khalayak dalam pemilihan media yang akan mereka konsumsi. Media pun harus jeli dalam melihat segmentasi audiens agar pesan yang dibawa media menjadi lebih cepat dan tepat diterima khalayak.

Selanjutnya, tahapan ketiga, di mana konstruksi realitas terbentuk harus dilalui dengan tahapan lain yang lebih melibatkan kesadaran masing-masing dari khalayak tersebut. Pertama-tama, khalayak akan berada pada tahapan di mana membenarkan apa saja yang disajikan media massa. Setelah itu, khalayak secara sadar akan memiliki kesediaan untuk dikonstruksi media massa dengan kesediaannya menjadi pembaca atau pemirsa dari media tersebut. Ketika dua tahap ini sudah ada pada masing-masing individu, sikap konsumerisme terhadap media akan meningkat dan menjadi suatu kebutuhan hidup dan habitualisasi khalayak.

Tahapan terakhir dalam pembentukan realitas adalah tahap konfirmasi. Di sini, muncul alasan-alasan dari setiap individu tentang kesediaan dirinya terlibat dalam pembentukan konstruksi. Misalnya, munculnya alasan bahwa media massa merupakan sumber pengetahuan yang dapat diakses kapan saja dan di mana pun. Oleh karenya, masyarakat modern harus selalu mengkonsumsi media yang sudah menjadi kebutuhan hidup tersebut.

Efek dari konstruksi realitas media massa di atas menjelaskan bahwa pemberitaan (dan atau produk media massa) itu lebih cepat diterima masyarakat luas, lebih luas jangkauan pemberitaannya, sebaran merata, karena


(36)

media massa dapat ditangkap masyarakat luas secara merata dan di mana-mana, membentuk opini massa, karena merangsang masyarakat untuk beropini atas kejadian tersebut, massa cenderung terkonstruksi, karena masyarakat mudah terkonstruksi dengan pemberitaan-pemberitaan yang sensitif, bahkan

opini massa cenderung apriori sehingga mudah menyalahkan berbagai pihak

yang bertanggungjawab atas kasus terkait, serta opini massa cenderung sinis, karena peristiwa terkait sering kali terjadi di Indonesia.42

B. Kerangka Konseptual 1. Analisis Framing

a. Definisi Framing

Framing atau bingkai berfungsi untuk menjaga pandangan kita terhadap suatu gambar yang ada. Tuchman dalam salah satu bukunya “Making

News” menganalogikan framing sebagai jendela.43 Apa yang ada di luar

jendela terlihat dari bagaimana jendela yang kita pakai untuk melihatnya. Jendela yang luas, misalnya, akan memungkinkan kita melihat tidak hanya halaman rumah kita saja, tapi juga rumah-rumah lain atau pemandangan lain yang bisa lebih luas jangkauannya. Berbeda dengan apabila kita menggunakan jendela berukuran kecil yang pada akhirnya sangat membatasi apa yang bisa kita lihat.

Konsep framing dalam studi media banyak berasal dari lapangan psikologi dan sosiologi.44 Dalam dimensi psikologi, framing dilihat dari pengaruh kognisi seseorang yang membentuk skema tentang diri. Skema lahir

42

Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, h. 202. 43

Eriyanto, Analisis Framing, h. 4. 44


(37)

dari proses pengetahuan dan pengalaman seseorang. Selain itu, lingkungan sosial juga ikut memengaruhi kehadiran skema. Skema merupakan aktivitas kognitif seseorang dalam melihat dunia sosialnya dengan perspektif tertentu.

Secara psikologis, individu akan cenderung melihat realitas yang kompleks dengan perspektif pribadi.45 Kecenderungan ini yang membuat perspektif tentang suatu realitas antarindividu berbeda. Setiap individu mempunyai perspektif masing-masing yang tidak sama sesuai dengan aktivitas kognisinya.

Untuk itu, skema digunakan untuk menyederhanakan realitas-realitas kompleks yang ditangkap individu tersebut. Penyederhanaan tersebut dilakukan agar pikiran kita mudah mengerti dan memahami suatu realitas.46 Skema ini pula bergantung pada pengetahuan dan pengalaman yang dialami individu. Pembentukan makna akan sesuatu bagi anak-anak pastinya berbeda dengan yang sudah dewasa. Oleh karenanya, framing dilihat sebagai perspektif yang membatasi pandangan individu terhadap suatu realitas tersebut.

Dengan skema, maka sesorang akan mampu untuk membedakan satu hal dan yang lainnya berdasarkan klasifikasi. Klasifikasi ini merupakan perspektif yang dibuat seseorang untuk memberikan ciri-ciri khusus agar mudah diingat dan membedakannya dengan hal serupa namun tak sama maknanya.47

Selain itu, skema juga membuat kita menjeneralisir suatu hal. Kalau klasifikasi berhubungan dengan bagaimana satu peristiwa atau orang dibedakan dengan cirri-cirinya, generalisasi berhubungan dengan bagaimana satu orang

45

Ibid, h. 72. 46

Ibid, h. 86. 47


(38)

yang mempunyai ciri dan sifat yang berdeketan digeneralisasikan dengan melekatkan pada ciri-ciri yang sama.48 Tidak hanya menyederhanakan realitas, mengklasifikasikan, dan mengeneralisir saja, namun skema juga bisa mengasosiasikan peristiwa satu dan yang lainnya. Hal ini yang menyebabkan sesuatu yang sering dihubung-hubungkan dengan hal lain sehingga memunculkan perspektif yang kadang bias.

Sedangkan dalam dimensi sosiologis, konsep framing banyak berasal dari Alfred Schutz, Erwin Goffman, dan juga Peter Berger.49 Gagasan Schutz tentang manusia sebagai aktor kreatif dalam pemberian makna diartikan bahwa teks berita di media massa awalnya hanya berupa teks biasa tanpa makna, namun, kita sendiri sebagai pembaca yang memberikan makna tersebut.50 Hal itu pula yang terjadi pada proses peliputan dan penulisan berita oleh wartawan dan pihak redaksi. Peristiwa yang mereka lihat adalah mereka sendiri yang memaknainya.

Gagasan mengenai framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun 1955 dalam Sudibyo, yang menjelaskan bahwa mulanya, frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana, serta yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas.51 Konsep ini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Goffman pada 1974, yang mengandaikan frame sebagai kepentingan-kepentingan perilaku (strips of behavior) yang membimbing individu dalam membaca realitas oleh media.

48

Ibid, h. 88. 49

Ibid, h. 79-80. 50

Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, h. 299. 51

Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 161.


(39)

Goffman menjelaskan bahwa strips adalah urutan aktivitas sesorang dengan framing sebagai pola dasar yang mendefinisikan strips.52 Mengambil alat makan, mengambil makanan, kemudian memakannya merupakan strips

yang diorganisasikan menjadi satu pola bernama aktifitas makan yang merupakan frame. Begitu pula dalam konteks berita. Peristiwa yang ada diruntun dengan bahasa dan simol yang sedemikian rupa oleh wartawan yang disebut strips lalu menjadi satu berita utuh yang merupakan frame.

Setiap wacana memiliki struktur internal sendiri di dalamnya. Struktur internal tersebut memiliki sebuah gagasan inti yang kita bahas sekarang, yaitu framing. Sebagai suatu metode analisis wacana, framing bertugas menemukan perspektif media dalam wacananya. Perspektif media inilah yang digunakan untuk mengkonstruksi suatu peristiwa. Perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, serta hendak dibawa ke mana berita tersebut. 53

Dengan framing, maka wacana itu bisa dilihat lebih dalam tentang bagaimana pesan diorganisir, digunakan, dan dipahami. Proses framing (pembingkaian pesan), menurut George J. Aditjondro dalam merupakan metode penyajian realitas di mana kebenaran tentang suatu kejadian tidak diingkari secara total, tetapi dibelokkan secara halus.54

“Framing dipandang sebagai sebuah strategi penyusunan realitas sedemikian rupa, sehingga dihasilkan sebuah wacana (discourse) yang di dalam media massa wacana ini paling banyak mengambil bentuk dalam wujud berita. Seperti halnya teori semiotika yang bisa dipakai sebagai wacana teori semiotika, teori framing juga bisa dipakai

52

Eriyanto, Analisis Framing, h. 82. 53

Bimo Nugroho, Eriyanto, Franz Sudiarsis, Politik Media Mengemas Berita (Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 1999), h. 21.

54

Hotman Siahaan, Pers yang Gamang: Studi Pemberitaan Jajak Pendapat Timor Timur (Lembaga Studi Perubahan Sosial, 2001), h. 9.


(40)

sebagai salah satu metode untuk memahami “information strategy”

dari strategi penyusunan realitas, maka analaisis framing berfungsi untuk membongkar muatan wacana.”55

Proses framing juga dapat menjadi implikasi politik yang sangat signifikan. Framing dapat membentuk rekayasa opini publik tentang suatu kasus. Dengan mempertajam frame tertentu tentang sebuah isu politik, mereka dapat mengklaim bahwa opini publik yang berkembang mendukung kepentingan mereka, atau konvergen dengan “klaim kebenaran” mereka.56

Realitas dan peristiwa itu begitu kompleks dan acak, ia harus diidentifikasi (diberi nama, diidentifikasi, dan dihubungkan dengan peristiwa lain yang diketahui oleh khalayak) dan ditempatkan dalam konteks sosial tertentu di mana khalayak tersebut berada (sering kali itu dilakukan dengan menempatkan peristiwa dalam kerangka acuan yang familiar dari khalayak).57 Maka dari itu, efek framing yang paling mendasar adalah realitas sosial yang kompleks dan tidak beraturan dibuat sederhana dan beraturan. Framing menyediakan alat bagaimana peristiwa dibentuk dan dikemas dalam kategori yang dikenal khalayak. Khalayak bukan disediakan informasi yang rumit, melainkan informasi yang tinggal ambil, kontekstual, berarti bagi dirinya, dan diingat dalam benak mereka.

55

Ibnu Hamad. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa: Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap Berita-berita Politik (Jakarta: Granit, 2004), h. 21-22.

56

Agus Sudibyo, Politik Media dan Pertarungan Wacana (LKiS Pelangi Aksara, 2001), h. 188.

57


(41)

b. Framing Robert Entman

Framing Robert Entman menjadi model framing paling terdepan dengan definisi framing yang diberikan Entman dalam Journal of Communcation

vol.43 yang ditulisnya, yaitu:

“To frame is to select some aspects of a perceived reality and make them more salient in a communicating text, in such a way as to promote a particular problem definition, causal interpretation,

moral evaluation, and/or treatment recommendation.”58

Entman dalam Dennis McQuail juga menyebutkan bahwa aspek utama dari sebuah framing adalah pendefinisian masalah, penyebab masalah, evaluasi moral, dan solusi penyelesaian masalah.

“According to Entman (1993), ‘Framing involves selection and salience.’ He summarizes the main aspects of framing by saying that frames define problems, diagnose causes, make moral judgements, and suggest remedies. It is clear that a very large number of textual devices can be used to perform these activities. They include using certain words or phrases, making certain contextual references, choosing certain pictures or film, giving

examples as typical, reffering to certain sources and so on.”59

Pembahasan utama framing dari Entman adalah soal penyeleksian dan penonjolan isu. Aspek penyeleksian isu terjadi oleh pihak redaksi di mana ada pemilihan isu yang nantinya akan disebarkan lewat pemberitaannya atau tulisan di media massanya. Penyeleksian ini meliputi soal pemilihan isu mana yang akan diambil dan mana yang tidak. Tidak semua bisa ditampilkan oleh pihak media, oleh karenanya, isu yang sudah diterima khalayak adalah hasil penyeleksian dari wartawan dan redaksi media tersebut.

58

Thomas Konig, “Frame Analysis,” artikel diakses pada 23 Maret 2011 dari http://www.ccsr.ac.uk/methods/publications/frameanalysis/

59

Dennis Mc. Quail, McQuail’s Mass Communication Theory (T.tp: SAGE Publications Ltd, 2010) , h. 380.


(42)

Framing pada dasarnya adalah penonjolan isu di mana suatu peristiwa ditonjolkan dengan menggunakan aksen-aksen tambahan serta bahasa yang menjadikannya mudah diingat pembaca. Dengan bentuk seperti iti, sebuah ide/ gagasan/ informasi lebih mudah terlihat, lebih mudah diperhatikan, diingat, dan ditafsirkan, karena berhubungan dengan skema pandangan khalayak.60

Proses framing adalah kegiatan yang tak terpisahkan dari pihak media dalam mengkonstruksikan fakta. Bagaimana si wartawan memilih peristiwa yang akan diangkatnya menjadi sebuah berita yang memiliki nilai berita, siapa saja yang ia pilih untuk menjadi narasumbernya, serta bagaimana ia menuliskannya. Tentunya menjadikan berita yang ia tulis menjadi subjektif secara tidak langsung. Tidak hanya wartawan, karena pemilihan angle atau tema atas berita yang ditulis juga menjadi keputusan rapat redaksi media bersangkutan. Berita yang ditulis wartawan pun nantinya akan kembali disunting oleh editor yang juga sesuai dengan perspektif si editor atas berita tersebut. Redaktur pun memiliki kewenangan dalam memutuskan apakah erita tersebut layak muat atau tidak. Begitu pula dengan para layouter atau tata letak, mereka akan menambahkan gambar, karikatur, dan aksen lainnya untuk memperkuat gagasan dalam tulisan tersebut baik tanpa maupun melalui kebijakan dari redakturnya.

Entman menerangkan bahwa framing bahkan bisa menjadi sebuah paradigma sendiri. Ini dikarenakan proses dari praktik jurnalistik yang demikian. Ada pemilihan dan penonjolan isu sendiri yang akan diangkat oleh pihak redaksi dari media bersangkutan.

60


(43)

Model framing Entman, sebagaimana yang ia selalu tekankan dalam definisinya tentang framing adalah dilakukannya pengidentifikasian masalah

(problem identifikation), mencari penyebab masalah (causal interpretation),

membuat keputusan moral (moral judgement), dan solusi atas masalah

(treatment recommendation).

Pada pendefinisian masalah akan dilihat bagaimana suatu masalah atau persitiwa dilihat. Satu masalah atau peristiwa akan dimaknai berbeda oleh wartawan yang berbeda. Itu dikarenakan skema individu yang berbeda, karena setiap individu memiliki perspektifnya masing-masing atas suatu masalah. Secara luas, pendefinisian masalah ini menyertakan, di dalamnya, konsepsi dan skema interpretasi wartawan.61 Menurut Entman dalam Journal of

Communication , identifikasi masalah adalah mengidentifikasi apa yang

dilakukan agen penyebab masalah dengan menggunakan istilah-istilah umum yang sesuai dengan nilai budaya setempat.

Memperikarakan penyebab masalah (causal interpretation) merupakan tahapan di mana peristiwa dilihat dari siapa atau apa yang menyebabkannya. Di sini, Entman menyebutkan bahwa causal interpretation adalah pengidentifikasian kekuatan yang menyebabkan masalah. Penyebab masalah tidak harus terpaku oleh apa, namun juga siapa aktor, yang dalam wacana tersebut dituding sebagai peenyebab masalah. Dalam tahap ini, dapat terlihat bahwa ada yang dianggap sebagai pelaku dan juga ada yang dianggap sebagai korban.

61


(44)

Membuat pilihan moral (make moral judgement), tahapan ini adalah tahapan di mana terjadi evaluasi terhadap si penyebab masalah dan efek yang ditimbulkan oleh masalah tersebut. Ada penguatan argument dalam pendefinisian masalah. Artinya, ada argument lain yang menegaskan gagasan yang ingin disampaikan wartawan dan pihak redaksi. Gagasan yang dikutip berdasarkan sesuatu yang familiar dan dikenal oleh khalayak.62

Yang terakhir adalah solusi atas masalah atau treatment

recommendation. Dengan tahapan ini, kita bisa mencari apa sebenarnya yang

ditawarkan penulis sebagai solusi atas masalah yang diangkat sebagaimana yang ada di pengidentifikasian masalah. Apa yang menjadi jalan keluar yang menunjukkan sikap wartawan atau redaksi yang ditawarkan untuk menyelesaikan masalah tersbut.

Keempat tahapan atau elemen di atas merupakan alat untuk memilah dan mengetahui framing yang dipakai media untuk mengemas suatu perstiwa atau berita. Eriyanto mengatakan tentang dua level frame berita yang timbul, selengkapnya adalah;

“Frame berita timbul dalam dua level. Pertama, konsepsi mental yang digunakan untuk memproses informasi dan sebagai karakteristik dari teks berita. Kedua, perangkat spesifik dari narasi berita yang dipakai untuk membengun pengertian mengenai peristiwa. Frame berita dibentuk dari kata kunci, metafora, konsep, simbol, citra yang ada dalam narasi berita.”63

Model framing Entman memang banyak berbicara tentang aksen-aksen yang menjadikan suatu wacana menonjol dan mendapat perhatian lebih. Seperti misalnya, penempatan berita menjadi headline yang bearada di halaman muka

62

Ibid, h. 191. 63


(45)

suarat kabar. Jenis font yang dicetak tebal dan besar. Belum lagi, penambhan foto, gambar, diagram, karikatur, dan lain-lain yang membuatnya menjadi menonjol sehingga menarik khalayak untuk membacanya.

Aksen-aksen tersebut merupakan penguatan yang dilakukan terhadap teks berita atau wacana. Kata menjadi senjata utama bagi para penulis dalam mengemas isu mereka. Oleh karenanya, dengan model framing Entman, pembedahan kata-kata tersebut akan lebih mudah teridentifikasi.

Kata memiliki kekuatan yang besar untuk memengaruhi cara memaknai teks oleh pembaca. Kata hanya mempunyai makna setelah ia diasosiasikan dengan referen. Artinya, ketika kita berbicara tentang denotasi, kita merujuk pada asosiasi primer yang dimiliki sebuah kata bagi kebanyakan anggota suatu masyarakat linguistik tertentu, sedangkan konotasi merujuk pada asosiasi sekunder yang dimiliki sebuah kata bagi seorang atau lebih anggota masyarakat itu.64

Oleh karenaya, Entman memandang bahwa wacana merupakan arena pertarungan simbolik antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan pokok persoalan wacana. Masing-masing pihak saling menonjolkan perspektif dan argumennya agar diterima khalayak. Setiap pihak juga menggunakan simbol, retorika, dan bahasa-bahasa tertentu dengan konotasi tertentu. Dengan kata lain, proses framing menjadikan media massa sebagai suatu arena di mana informasi tentang masalah-masalah tertentu diperebutkan dalam suatu perang simbolik antara berbagai pihak yang sama-sama menginginkan pandangannya didukung pembaca.65 Inilah yangdisebut Eriyanto dengan efek framing.

64

Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss, Human Communication, h. 71. 65


(46)

Akan tetapi, Entman pun mengatakan bahwa sebuah kalimat bisa saja menunjukkan lebih dari satu dari empat elemen framingnya, walaupun banyak kalimat dalam teks yang sama yang tidak menunjukkan satu pun dari keempat framing tersebut.

Dalam proses komunikasi, setidaknya ada empat lokasi yang menunjukkan suatu framing; komunikator, teks, si penerima, dan juga budaya. Komunikator berperan membuat suatu bingkai yang secara disadari maupun tidak menentukan apa yang ingin dikatakan dan menggiring dengan menggunakan schemata yang telah diorganisasikan. Teks yang terdiri atas potongan bingkat tersebut kemudian dikonstruksi dan ditonjolkan dengan menggunakan kata-kata kunci tertentu, frase, gambar, sumber informasi, atau apa pun yang bisa menggiring si pembaca ke arah bingkai yang dimaksud si komunikator. Framing pun kemudian diterima si pembaca yang sesuai dan diperkuat dengan nilai-nilai budaya dari suatu kelompok tersebut.

Cara framing bekerja adalah menonjolkan beberapa informasi dari teks. Kata penonjolan itu sendiri pun perlu diberi makna. Artinya, membuat potongan sebuah informasi itu lebih ditandai pembaca, lebih bermakna, dan juga lebih diingat pembaca. Sebuah teks bisa saja menjadi menonjol dengan penempatan-penempatan di kolom yang lebih besar, lebih mudah ditemukan, dan sebagainya. Atau teks tersebut selalu diulang untuk meninggalkan kesan yang kuat untuk diingat.

2. Tajuk Rencana


(47)

Tajuk rencana atau editorial merupakan pikiran sebuah institusi opini publik, yang menyajikan fakta dan opini yang menafsirkan berita-berita penting dan memengaruhi pendapat umum.66 Tajuk rencana merupakan sebuah tulisan di surat kabar atau koran yang berisi pendapat atau opini redaksi surat kabar tersebut terhadap sebuah permasalahan aktual. Dalam sebuah tajuk, biasanya disajikan terlebih dahulu fakta-fakta tentang sebuah permasalahan aktual, seperti peristiwa, kejadian, atau fenomena. Lalu disisipkan opini, pandangan, pendapat dari redaksi koran tersebut untuk mengomentari atau mengkritisi permasalahan tersebut.

Secara teknis jurnalistik, tajuk rencana diartikan sebagai opini redaksi berisi aspirasi, pendapat, dan sikap resmi media pers terhadap persoalan potensial, fenomenal, aktual, dan atau kontroversial yang terdapat dalam masyarakat.67

Produk jurnalistik itu ada dua, yaitu news dan views. News adalah berita

dan views ialah segala apa yang bersifat opini.68 Tajuk rencana atau yang biasa

disebut editorial bukanlah berita, namun tajuk rencana tetap bagian dari produk jurnalistik. Tajuk rencana merupakan sikap atau opini yang ditulis redaksi, oleh karenanya ia tetap menjadi produk jurnalistik. Dikatakan bukan berita, karena pertama, tajuk rencana, kita tahu tidak ditempatkan pada kolom-kolom berita, melainkan kolom sendiri, bahkan di beberapa media, ia berada pada kolom opini, pendapat, dan sebagainya. Selain itu, karena jelas, tajuk rencana bukan memberitakan suatu peristiwa yang terjadi, tapi mengomentari, memberi

66

Septiawan Santana Kurnia, Jurnalisme Kontemporer ((Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 64.

67

AS. Haris Sumardiria, Menulis Artikel dan Tajuk Rencana: Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis Profesional (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), h. 82.

68


(48)

pendapat, dan merupakan bentuk sikap redaksi media terhadap peristiwa tersebut.

Menurut William Pinkerton dari Harvard University, fungsi tajuk rencana mencakup empat hal; menjelaskan berita (explaining the news), menjelaskan latar belakang (filling in background), meramalkan masa depan

(forecasting the future), dan menyampaikan pertimbangan moral (passing

moral judgement).69

Tajuk rencana sebagai explaining the news berfungsi menerangkan apa yang terjadi kepada khalayak. Sebagai filling in background, tajuk rencana menggambarkan pula latar belakang peristiwa yang diangkat dengan memaparkan latar belakang sejarah kemudian menghubungkannya dengan peristiwa sekarang. Selain itu, sebagai forecasting the future, tajuk rencana memberikan prediksi bagaimana peristiwa tersebut di masa yang akan datang.

70 Passing moral judgement

adalah tugas para penulis tajuk rencana untuk mempertahankan kata hati mereka. Mereka diharapkan mempertahankan isu-isu moral dan mempertahankan posisi mereka.71

Tajuk rencana juga berfungsi sebagai kritik atas ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat dan pemberian wawasan kepada masyarakat atas permasalahan yang sedang hangat terjadi. Sikap media pada tajuk rencana dapat dilihat dengan memahami permasalahan yang dikemukakan dalam tajuk rencana, tujuan pembahasan masalah tersebut, serta menemukan pandangan, kritik atau tanggapan redaksi atas permasalahan tersebut. Dengan begitu,

69

Ibid, h. 83. 70

Suhaemi dan Ruli Nasrullah, Bahasa Jurnalistik (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), h. 53.

71


(49)

sebagai pembaca, kita akan mampu menemukan opini redaksi atas permasalahan tersebut dan beropini kembali atas opini redaksi tersebut.

b. Jenis dan Penetapan Isu Tajuk Rencana

Rolnicki, Tate, dan Taylor menjelaskan tentang jenis-jenis dari tajuk rencana atau editorial:72

a. Editorial Advokasi, yaitu editorial yang menginterpretasikan, menjelaskan, dan membujuk adanya perubahan yang dikaitkan dengan peristiwa atau fenomena yang menjadi sorotan pihak media.

b. Editorial Pemecahan Masalah, tipe editorial ini digunakan baiasanya untuk menarik perhatian pada suatu problem atau ingin mengkritik tindakan seseorang, kelompok, atau institusi baik swasta maupun pemerintah.

c. Editorial Penghargaan, yaitu editorial yang mengulas tentang seseorang, organisasi, perusahaan, yang telah meraih kesuksesan atau prestasi di bidang tertentu.

d. Editorial Singkat, yaitu editorial yang memuat satu atau dua paragraph yang efektif dan membahas hanya satu dua poin atau sedikit bukti latar belakang informasi yang perlu diberikan.

e. Editorial Pendek, yaitu yang hanya memuat satu komentar pujian atau kritik dan tidak selalu berkaitan dengan berita lainnya di media.

72


(50)

f. Editorial Kartun, yaitu jenis editorial yang berupa gambar kartun dengan satu dua kalimat dialog yang berisi komentar, kritik, menginterpretasikan, membujuk, dan menghibur.

Pihak redaksi harus pandai-pandai memilih topik yang akan diangkat pada tajuk redaksinya. Karena ini merupakan sikap dari media, maka semakin topik itu menarik di kalangan masyarakat, maka wibawa media pun akan semakin dipertimbangkan.

Topik-topik yang diangkat di tajuk rencana biasanya adalah topik-topik kontroversial yang memiliki daya tarik bagi para pembaca. Hanya saja adakalanya suatu lembaga media massa menulis tajuk rencana tidak semata-mata karena ingin menyikapi peristiwa itu, tetapi karena peristiwa itu termasuk masalah besar yang tidak sempat dimuat atau disiarkan oleh media massa yang bersangkutan.73

Topik tajuk rencana juga mencerminkan visi, misi, dan kebijakan umum media penerbitan pers. Ada pesan yang ingin disampaikan media lewat tajuk rencananya. Maka dari itu, topik juga disesuaikan degan kualifikasi dan fokus wilayah sirkulasi penerbitan untuk mendapat target yang tepat sasaran.

Fokus tajuk rencana akan sangat ditentukan oleh filosofi, visi, misi, dan kebijakan umum media penerbitan; kualifikasi dan wilayah sirkulasi media penerbitan; pertimbangan politis dari ideologis tertentu, baik yang bersifat situasional maupun permanen.74

Topik tajuk rencana, idealnya ditulis dengan mengedepankan nilai standar jurnalistik yang mengedepankan aktualitas, objektivitas, akurasinya,

73

Sudirman Tebba, Jurnalistik Baru (Ciputat: Kalam Indonesia, 2005), h. 157. 74


(51)

serta prinsip liputan berimbang (cover both sides). Topik pun tidak bertentangan dengan aspek ideologis, yuridis, sosiologis, dan aspek etis yang terdapat dalam masyarakat kita. Topik dari tajuk rencana juga berorientasi pada nilai-nilai luhur yang menegakkan kebenaran.

Tajuk rencana yang baik seharusnya melakukan analisis terhadap masalah yang terjadi. Pihak redaksi menjelaskan terlebih dahuluan masalah dan latar belakang munculnya masalah tersebut. Selanjutnya, redaksi menganalisis dengan teknik perbandingan, menerangkan sebab-akibat, serta melakukan analogi masalah. Kesimpulan yang ditarik pihak redaksi harus pula memberikan solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut.

2.3. Model ANSVA dan Model SEES

Menurut Monroe dalam Raymond S. Ross, dalam Persuassion:

Communication and Interpersonal Relations, terdapat lima tahap urutan motif

yang sesuai dengan cara berpikir manusia dalam formula ANSVA: perhatian

(attention), kebutuhan (need), pemuasan (satisfaction), visualisasi

(visualization), dan tindakan (action).75

Dengan menggunakan attention, tajuk rencana harus membuat pembaca tertarik untuk membaca lebih lanjut. Pandangan pertama para pembeca akan tertuju pada judul, untuk itu membuat tajuk rencana menarik adalah dengan menggunakan judul yang bombastis dan kalimat pembuka semenarik mungkin. Tajuk rencana harus memenuhi kebutuhan (need) dan memuaskan kebutuhan

75


(52)

para pembaca (satisfaction). Keduanya adalah berkaitan dengan proses atau gaya penulisan dari pihak redaksi beserta pemilihan isu yang diangkat.

Untuk visualization, yang dimaksud adalah penggambaran atas peristiwa yang diangkat. Biasanya, penggambaran diperkuat dengan contoh-contoh riil yang terjadi sehingga pembaca mudah menangkap pesan tajuk rencana dan mudah untuk mengingatnya. Sedangkan untuk action, tahap ini berada pada kesimpulan yang ditarik redaksi. Kesimpulan ini merupakan sikap redaksi atas kasus sehingga pembaca secara sederhana dan singkat dapat menangkap maksud dari tajuk rencana tersebut.

Selain teori ANSVA, dikenal juga teori SEES yang merupakan singkatan dari statement, explanation, example, dan juga summary. Pada model SEES, akan terlihat gaya penulisan yang lebih tegas dan ringkas. Statement,

menunjukkan pernyataan yang lugas dan tembak langsung terhadap permasalahan. Tidak bertele-tele dalam memaparkan persoalan yang sedang dibahas. Pernyataan yang lugas tersebut kemudian harus didukung dengan bukti-bukti logis dan analisis yang meyakinkan pada explanation.

Sebagaimana, pada model ANSVA, SEES juga membutuhkan penambahan-penembahan aksen yang memperkuat explanation yaitu berupa contoh-contoh

(example). Terakhir, dengan masih mengedepankan gaya bahasa yang padat

dan lugas, kesimpulan pun harus ditulis dengan mencantumkan tindakan konkret sebagai solusi masalahnya. Bagian ini adalah summary.

Jika dilihat dari polanya, pers popular biasanya menggunakan teori SEES, sedangkan pers serius papan papan atas lebih banyak memilih teori ANSVA. Pers serius melihat teori SEES terlalu sederhana sehingga agak


(53)

menyulitkan mereka untuk melakukan analisis lebih dalam dan tajam dalam tajuk rencana yang ditulisnya.76

76


(54)

BAB III

GAMBARAN UMUM HARIAN REPUBLIKA

A. Sejarah Harian Republika

Harian Republika terbit pertama kali pada tanggal 4 Januari 1993. Ia dilahirkan oleh kalangan komunitas muslim dan dirintis oleh para wartawan profesional muda yang dipimpin oleh Zaim Ukhrowi. Nama Republika berasal dari ide Presiden Soeharto yang disampaikan saat beberapa pengurus Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) pusat menghadap untuk melaporkan rencana peluncuran harian umum tersebut.77

ICMI sendiri berdiri pada bulan Desember 1990. ICMI sebagai komunitas cendekiawan muslim melihat bahwa hingga tahun 1990-an belum ada media atau pers Islam yang cukup berpengaruh di Indonesia. Padahal, 80% penduduk Indonesia merupakan kaum muslim.

Media Islam dianggap kurang menjaga kredibilitas di hadapan pembacanya, sambil mengkompromikan sebuah akomodasi dengan kepentingan negara. Ilustrasi tersebut terlihat pada Harian Pelita.

“Pada pemilu 1977 dan 1982, Pelita dikenal dengan suara kekuatan politik Islam, terutama Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Saat itu seikulasinya telah mencapai hampir 100.000 eksemplar. Usai pemilu 1982, Pelita dibredel. Namun empat bulan kemudian harian ini terbit kembali dengan garis editorial yang lebih moderat dan lebih pragmatis-komersial. Semenjak itu Pelita ditinggalknan pembacannya.”78

77

Data resmi berupa Company Profile dari Harian Republika 78

Agus Sudibyo, Hamad, Qarari, Kabar-kabar Kebencian: Prasangka Agama di Media Massa (Jakarta: ISAI, 2001), h.10.


(55)

Sebagai upaya menjawab persoalan seputar pers yang berorientasi Islam ini, pada tanggal 18 November 1991, ICMI mengadakan seminar tentang pers Islam. Seminar ini melahirkan harapan perlunya media Islam yang cukup kuat, baik dari segi pengaruh sosial politik maupun aspek lainnya. Melalui program 5K-nya, yaitu Kualitas Iman, Kualitas Hidup, Kualitas Kerja, Kualitas Karya, dan Kualitas Pikir, ICMI membantu Republika menembus izin penerbitan yang saat itu sangat ketat.79

Sebagai organisasi yang menghimpun cendekiawan dari mayoritas pemeluk agama, ICMI memang mempunyai political power yang lebih dibanding organisasi-organisasi lainnya. Kekuatan ini kemudian didukung oleh banyaknya para birokrat, bahkan tingkat menteri, yang mendukung ICMI.

Hairus Salim H.S di tulisannya yang berjudul “ICMI, Pluralisme Agama dan Demokrasi” dalam ICMI, Negara dan Demokratisasi : Catatan Kritis Kaum Muda mengatakan:

“Jika ICMI lupa diri dan terjerat dalam semangat serta merta, dua hal ini akan sangat mungkin menggiringnya untuk terus mengakumulasi kekuasaan dan selalu berupaya untuk menggapai target-target politiknya, yang selama ini dikalkulasi dalam hitungan-hitungan statisktik jabatan-jabatan strategis dan kritik-kritiknya terhadap kelompok-kelompok lain. Kemungkinan itu didukung oleh –melebihi partai pula-, ICMI mempunyai “mesin-mesin” politik seperti Harian Republika, CIDES, dan belakangan ini Ummat.”80

Bertekad memiliki media massa yang berkualitas dan memegang nilai-nilai spiritualitas, ICMI dan beberapa tokoh pemerintah, serta

79

Data resmi Harian Republika

80

Zuli Qodir, ed, ICMI, Negara dan Demokratisasi : Catatan Kritis Kaum Muda, (Yogyakarta: Kelompok Studi Lingkaran, 1995), h. 22.


(1)

http://www.facebook.com/pages/REPUBLIKA-Online diakses pada tanggal 09-05-2011 pukul 20:40 WIB

http://www.republika.co.id Lain-lain:

Data resmi berupa Company Profile dari Harian Republika

Hasil wawancara dengan Redaktur Pelaksana II Harian Republika, Irwan Ariefyanto, pada Kamis, 5 Mei 2011


(2)

(3)

Hasil Wawancara

Hari/Tanggal : Kamis, 05 Mei 2011 Waktu : 17.00 – 18 WIB

Tempat : Kantor Harian Republika, Warung Buncit, Jakarta Selatan Narasumber : Irwan Ariefyanto

Jabatan : Redaktur Pelaksana II Harian Republika (Kepala News Room)

1. Untuk tajuk rencana Republika, siapa yang biasa bertugas menulisnya?

Tajuk itu satu minggu ada 6 penulis. Ganti-ganti penulisnya tergantung jadwal piket.

2. Dalam satu bulan ada 3 wacana tajuk tentang hubungan kedua Negara, apakah kasus ini dianggap penting oleh Republika? Mengapa?

Sangat penting sekali. Dalam kasus Indonesia-Malaysia sangat penting sekali. Biar bagaimana pun kita mempunyai kebijakan agar tidak terlalu memprovokasi. Karena kita lihat saat itu, bagaimana ketika terjadi penangkapan sejumlah petugas KKP oleh Malaysia. Banyak orang berharap kita bersikap keras, tegas, dengan mungkin perang atau apa. Kita tidak mau seperti itu. Kita hindari. Tapi kalau bersikap tegas kita harus. Nah inilah selama ini diplomasi Indonesia sangat luar biasa jelek di luar negeri, termasuk terhadap negara tetangga kita sendiri, Malaysia dan Singapura, juga bagaimana kita harus kehilangan Ambalat.


(4)

3. Sebenarnya, bagaimana Republika memandang kasus tersebut?

Kita sangat fokus, tapi kita juga tidak memprovokasi. Jadi intinya Republika selalu menegaskan perlunya ketegasan diplomasi, perlunya luwesnya diplomasi, tapi kita tidak akan masuk ke dalam provokasi misalnya untuk menimbulkan permusuhan atau kebencian terhadap Malasyia. Karena bagaimana pun kita tetangga, satu rumpun.

4. Mengapa ketiga tajuk lebih menonjolkan angle tentang Malaysia yang sebenarnya berhutang budi dengan Indonesia?

Sebenernya di tajuk ini kita menggambarkan bahwa sebenarnya kita ini satu rumpun dan faktanya memang 10 tahun terakhir ini Indonesia jauh dibandingkan dari Malaysia. Padahal dalam sejarahnya Malaysia banyak belajar dari Indonesia. Tajuk ini menggambarkan bagaimana beberapa tahun lalu Malaysia banyak belajar tentang pertambangan, pendidikan, atau masalah-masalah yang berhubungan ekonomi dengan Indonesia. Tetapi dalam perkembangannya ternyata Malaysia lebih maju dari Indonesia. Nah, di sini kita menggambarkan bagaimana Indonesia sangat tertinggal jauh dari Malaysia dan seharusnya Malaysia melakukan sikap balas budi terhadap Indonesia. Balas budi dalam artian bahwa seharusnya Malaysia tidak lagi melakukan konfrontasi-konfrontasi seperti yang dilakukan di perairan Riau. Apalagi kita tetangga, kedua kita satu rumpun. Kita orang-orang Melayu. Kita (Republika) memang termasuk tidak terlalu keras dalam kasus ini.


(5)

5. Mengapa tidak mengambil angle lain seperti kasus-kasus yang biasa terjadi antara keduanya atau sikap pemerintah yang dinilai lamban?

Kita menulis sebuah tajuk punya pandangan yg berbeda meskipun tujuan akhirnya sama. Untuk kasus Indonesia-Malaysia pun kita sama. Kita tetap menuding pemerintah yang cenderung tidak respon. Kita hanya menuding bahwa pemerintah kita memang lamban. Tapi kita juga tidak mau memprovokasi pemberitaan bahwa kita harus bermusuhan dengan Malaysia. Karena bagaimana pun nanti yang rugi juga Indonesia. Tidak ada untungnya kita berkelahi atau istilahnya bermusuhan dengan tetangga kita. Karena bagaiman pun kita satu rumpun, satu wilayah. Yang harus dilakukan oleh kita adalah diplomasi-diplomasi yang elegan. Bukan diplomasi barter seperti yang disebutkan di beberapa Koran, termasuk Republika.

6. Siapa yang menjadi penyebab utama masalah ini menurut Republika?

Walaupun kita cenderung realtif lebih soft dari koran lain tapi kita tetap menghajar Malaysia.

7. Mengapa Republika menganggap ini kesalahan Malaysia?

Di “hubungan panas serumpun” kita menggambarkan bagiamana hubungan Indonesia-Malaysia yang saling berkesinambungan. Perekonomian Indonesia yang tergantung dengan Malayisa. Malaysia yang tergantung dengan Indonesia. Kita tahu bahwa banyak jumlah tenaga kerja


(6)

Indonesia di Malaysia. Tapi Malaysia juga tergantung dalam kebutuhan pertaniannya dan mereka banyak mengimpor dari Indonesia. Lalu kenapa harus diganggu dengan hal-hal seperti ini. Nah, kita mendorong seharusnya Malasyia sebagai negara yang pernah kita bantu tidak melakukan hal-hal seperti itu.

8. Bagaimana menurut Republika tindakan yang dipakai oleh pemerintah Indonesia menanggapi hubungan kedua Negara saat itu?

Sikap yang ditunjukkan sekarang ini adalah bagaimana pemerintah kita membiarkan sejumlah pegawai pemerintahannya ditangkap oleh aparatur Malaysia. Yang dilihat selama ini kan presiden SBY sangat lembek dalam hubungan dengan luar negeri. SBY itu sangat berhati-hati. Tidak sekeras mungkin zamannya Pak Harto. Tahun 1985 atau 1990 kita merupakan negara yang sangat disegani di Asia. Tidak hanya Malaysia, tapi juga Singapura, negara kecil seperti itu. Tapi faktanya kita sekarang berbalik.

9. Solusi yang ditawarkan dari Republika tentang kasus yang melibatkan hubungan kedua negara?

Sikap pemerintah yang seharusnya melakukan penegasan terhadap Malaysia. Bagaimana pun tidak boleh tetangga saling mengusik.