Karakteristik Siswa Putus Sekolah

26 dengan jenis pekerjaan. Sebagian dari orang tua anak yang putus sekolah adalah seorang wiraswasta, sehingga pandapatan mereka juga tidak dapat dipastikan. 3 Kondisi Psikologis Anak Kondisi psikologis yang paling mempengaruhi adalah motivasi. Motivasi berpengaruh penting pada keputusan seseorang untuk melanjutkan sekolah atau tidak. Meski semua orang tua telah memberi motivasi pada anak-anaknya, tetapi keputusan ini bergantung pada anak itu sendiri. Dari penyebab awal yaitu rasa malas, maka berkembang menjadi sering membolos. Sehingga pihak sekolah terpaksa mengembalikan ke orang tua.

2.5.3 Karakteristik Siswa Putus Sekolah

Penelitian awal berfokus pada karakteristik individual siswa yang putus sekolah, termasuk sejumlah faktor demografi dan sosial seperti status sosial ekonomi, ras dan etnis, jenis kelamin, dan status cacat. Hidup dalam kemiskinan, saat sedang sekolah di SD, SMP dan SMA adalah salah satu dari beberapa faktor yang secara signifikan berkorelasi dengan dropout. Siswa berusia 16 sampai 24 dari latar belakang sosial ekonomi tingkat atas tujuh kali lebih mungkin untuk lulus daripada yang dari kuartil sosial ekonomi terendah. Meskipun karakteristik demografi terkait dengan kelurga yang dropout tidak bisa diubah oleh sekolah, indikator ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi kelompok-kelompok siswa yang mungkin beresiko untuk dropout dan yang mungkin mendapatkan manfaat dari layanan yang ditargetkan untuk meningkatkan tingkat kelulusan Hammond et al. 2007. Sementara studi awal difokuskan pada karakteristik individu dan kondisi yang dapat digunakan untuk memprediksi mana siswa yang akan dropout, penelitian telah diperluas untuk menyelidiki faktor tambahan berbasis rumah, masyarakat, dan sekolah, 27 yang sering mempengaruhi tingkat kelulusan. Faktor tersebut banyak dipengaruhi oleh upaya intervensi. Prestasi akademik siswa yang rendah, siswa yang mengulang atau kelebihan usia, dan sering membolos, secara signifikan terkait dengan dropout, baik di SD, SMP, dan SMA. Faktor-faktor ini mudah diidentifikasi dan mungkin menjadi sasaran upaya pencegahan dropout. Pengalaman siswa terkena dampak sekolah, apakah mereka akan lulus dari SMA, kinerja akademik dan keterlibatan mereka di sekolah, merupakan indikator utama peluang dropout. Kinerja akademis yang buruk, yang diukur dengan nilai rendah, gagal kursus, atau nilai tes rendah, merupakan salah satu indikator dropout. Sejumlah penelitian juga menemukan kombinasi, antara kegagalan dalam pelajaran inti dalam kelas, kehadiran yang buruk, dan pernah mendapat peringatan buruk dari para guru, berhubungan dengan dropout. Siswa juga dapat secara psikologis melepaskan diri dari sekolah, tidak berharap untuk lulus, dan tidak memiliki rencana akademik untuk lulus SMA. Selain itu, perilaku mengganggu di kelas dapat menunjukkan proses pelepasan siswa. Perilaku yang mengganggu pengajaran dan pembelajaran siswa dapat mencakup tindakan impulsif, menentang otoritas, berdebat dengan teman sebaya, dan atau melanggar peraturan sekolah. Siswa yang menunjukkan perilaku mengganggu di ruang kelas mengalami kesulitan baik akademik dan psikososial dan bisa menghambat pelajaran di sekolah. Meningkatnya perilaku yang tidak patut di ruang kelas, menyebabkan bertambah ketatnya tata tertib dan dan menurunkan prestasi akademik. Selain itu, perilaku mengganggu di kelas dan kenakalan, terutama ketika kegiatan tersebut dimulai di kelas SD. Pelanggaran disiplin di sekolah dasar, SMP, dan SMA juga berhubungan dengan dropout, karena memiliki perilaku antisosial termasuk mendapatkan masalah dengan polisi, tindak kekerasan, dan penyalahgunaan obat-obatan. Bahkan setelah mengontrol 28 karakteristik demografi siswa dan prestasi akademik, Rumberger 2004 menemukan bahwa kurangnya keterlibatan siswa di sekolah secara signifikan berhubungan dengan dropout. Hasil penelitian menunjukkan retensi tidak memiliki efek positif pada prestasi siswa dan siswa yang ditunda, secara signifikan lebih mungkin mengalami masalah disiplin dan dropout. Alexander, Entwistle dan Horsey 1997 melaporkan bahwa 63 siswa sekolah menengah dan 64 siswa SD yang ditunda kenaikannya, kemudian gagal mendapatkan ijazah SMA.

2.6 Praktek Pekerjaan Sosial Dengan Anak Dalam Penanganan Anak Putus Sekolah